Twenty One
Tidak ada yang tahu jalan hidup seperti apa yang sudah Allah siapkan untuk hambanya. Yang pasti, manusia hanya bisa berenca dan Allah yang menentukan.
©Letter of Destiny©
🕊🕊🕊🕊
Azura tidak menyangka jika mengobrol dengan Rumaisha bisa seasik itu. Padahal sebelum menjenguk Rumaisha, Azura sudah berpikir negatif duluan, takut dia akan merasa canggung saat berhadapan dengan Rumaisha, tetapi nyatanya itu hanya ada di pikirannya saja. Buktinya, Rumaisha lebih ramah dari apa yang dia bayangkan sebelumnya.
Azura memutar keran wastafel lalu mencuci tangannya. Setelah itu, dia menatap bayangannya di cermin sembari memperbaiki tatanan jilbabnya yang sedikit miring. Setelah selesai, dia pun bergegas keluar dari toilet. Berlama-lama di dalam toilet sangatlah dihindari oleh Azura.
"Ra." Kemunculan Haidar yang tiba-tiba saat Azura baru saja keluar dari toilet membuat dia terlonjak kaget dan memundurkan tubuhnya dua langkah saat Haidar tepat berada di depan mulut pintu.
"Astagfirullah, Kak Haidar."
"Sorry, sorry. Gue ngagetin lo, ya?"
Azura tidak menjawab, tetapi justru bertanya pada Haidar. "Kak Haidar kenapa bisa ada di sini? Di depan toilet wanita," tanya Azura bingung.
"Gue lagi nungguin lo," jawab Haidar.
Azura menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" Haidar mengangguk. "Memangnya ada apa? Sampai Kak Haidar harus nunggu aku di sini?"
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Haidar dengan nada yang begitu serius.
"Ya udah bicaranya di ruangan mamanya Kak Haidar aja kalau gitu. Nggak enak juga kalau kita ngobrol di sini."
"Jangan di ruangan mama!"
"Kenapa?" tanya Azura seraya mengernyit bingung.
"Karena gue cuman mau ngobrol berdua sama lo," jawab Haidar.
Azura terdiam sejenak. Dia tidak mungkin mengiyakan ajakan Haidar dan pergi berdua dengan lelaki itu. Azura masih tahu batasan dan aturan seorang muslimah yang baik, walau dia sadar jika dirinya masih jauh dari kata muslimah yang baik, tetapi berusaha memperbaiki diri selalu Azura lakukan.
"Gimana? Lo mau nggak?" tanya Haidar setelah lama terdiam menunggu jawaban Azura, tetapi perempuan di depannya itu masih saja terdiam dengan pemikirannya.
"Giaman, ya, Kak ...." Azura tersenyum tidak enak kepada Haidar.
"Tenang aja, kita ngobrolnya masih di rumah sakit, kok. Kita bisa ngobrol di taman, di sana rame. Jadi, lo nggak perlu khawatir kalau misalnya nanti kita ngobrolnya cuman berdua," ucap Haidar yang seolah tahu apa yang sedang Azura pikirkan tadi.
"Ya udah," putus Azura pada akhirnya.
Haidar tersenyum, lalu berjalan lebih dulu yang kemudian diikuti oleh Azura di belakangnya. Sembari mengikuti langkah Haidar, Azura mulai memaksa otaknya untuk memikirkan hal apa yang akan Haidar katakan padanya. Menurut Azura, dia tidak pernah memiliki kepentingan dengan Haidar. Namun, hal apa yang akan lelaki itu katakan nantinya?
Tak membutuhkan waktu lama keduanya telah tiba di taman rumah sakit, dan benar saja ada banyak orang di sana, mulai dari perawat, pasien, dan orang-orang yang mungkin ingin mencari angin. Haidar mengajak Azura menuju sebuah bangku panjang yang berada di bawah pohon, tepat di depan bangku panjang itu ada sebuah kolam ikan yang memiliki air mancur.
Angin sepoi-sepoi berembus lembut membelah wajah keduanya. Kicauan burung yang ada di atas pohon juga terdengar, belum lagi suara riuh dari beberapa orang di sekitar sana membuat Azura tampak tenang. Satu menit sudah berlalu, tetapi Haidar maupun Azura masih membisu dengan pikiran masing-masing.
Di saat Azura menunggu Haidar membuka suara, lelaki itu justru sibuk menata hati dan menyusun kalimat yang akan dia sampaikan pada Azura. Setelah menemukan kalimat yang pas, Haidar segera berdeham, lalu memperbaiki posisi duduknya agak menyamping. Agar dia bisa nyaman menatap Azura yang kini masih mengamati keadaan sekitar.
"Ra."
Azura menatap Haidar sekilas, lalu berkata, "Iya, Kak?"
"Sebenarnya gue mau ngungkapin sesuatu ke lo, tapi gue tahu yang akan gue ungkapin ke lo ini salah. Gue tahu itu salah karena lo beda sama cewek-cewek yang sering dianuin sama Nizam. Lo bukan cewek sembarangan, tapi ... gue nggak bisa kalau gue ngungkapin ini sama lo," ucap Haidar agak berbelit.
Hal itu sontak membuat kening Azura mengernyit bingung. Dia tidak terlalu mengerti apa yang sedang lelaki itu katakan barusan. Uangkapan apa? Terus sering dianuin sama Nizam itu apa maksudnya? Pertanyaan itu memutar begitu saja di kepala Azura.
"Em ... maaf, Kak. Kakak ngomongnya bisa langsung aja nggak? Soalnya kalau Kak Haidar ngomong kayak tadi aku jadi bingung maksudnya apa," ucap Azura pelan.
Haidar yang mendengar ucapan Azura pun, tampak tersenyum canggung lalu menggaruk kepala belakangnya. Azura tidak tahu saja jika jantung lelaki itu sudah berdisko ria, saking gugupnya. Haidar kembali berdeham dan memperbaiki posisi duduknya.
"Gue nggak tahu, mau ngomong kayak gimana, soalnya ini pertama kalinya gue kayak gini," ucap Haidar yang lagi-lagi membuat Azura bingung.
"Ya, tinggal ngomong aja, Kak. Pake bahasa Kak Haidar kayak biasanya," ujar Azura memberi masukan. Perempuan itu mulai merasa canggung saat melihat gelagat Haidar yang terlihat gugup.
"Oke, tapi bentar. Gue tarik napas dulu," ucap Haidar dan mendapat anggukan setuju dari Azura.
"Sebenarnya gue suka sama lo! Cinta sama lo, Azura!"
Azura yang tadinya memperbaiki khimarnya yang diterpa angin, seketika terhenti. Tubuhnya terasa membeku setelah mendengar ucapan Haidar yang seolah menusuk telinganya. Kedua tangan perempuan itu masih menggantung di udara dengan pandangan yang terlihat kosong ke arah depan. Dia masih berusaha mencerna perkataan Haidar yang menyapa indra pendengarnya, dia masih berusaha meyakinkan dirinya jika tadi dia salah dengar.
"Ra."
"A ... apa?"
Azura mengelak, dia menggeleng pelan dan meyakinkan dirinya jika tadi dia salah dengar. Namun, perkataan Haidar selanjutnya membuat keyakinan itu patah.
"Gue suka sama lo, Ra! Gue cinta sama lo, Azura! Lo nggak salah denger."
Tubuh Azura kembali menegang, perasaannya seketika campur aduk, tetapi ada satu hal yang tidak bisa dia pungkiri, yaitu jantungnya yang berdetak cepat setelah mendengar pengakuan Haidar yang tidak pernah dia bayangkan akan diucapkan oleh lelaki itu.
••••
Di sebuah restoran mewah, yang terletak tepat di tengah-tengah kota sedang berkumpul empat orang yang berbeda generasi. Seorang wanita yang masih terlihat muda duduk dengan manis di samping pria paruh baya yang wajahnya terlihat kebarat-baratan. Sementara dua orang lainnya, duduk tepat di hadapan pria paruh baya dan perempuan itu.
Mereka mengobrol dengan begitu hangat, tidak ada kecanggungan sama sekali yang mereka rasakan. Suara tawa juga kerap kali terdengar dari tempat mereka, hingga membuat beberapa orang yang duduk di meja tidak jauh dari mereka menatap dengan tatapan penasaran.
"Om, Kak Haidar nggak dateng?" tanya perempuan muda itu. Dia sudah sedari tadi menunggu Haidar, tetapi lelaki itu tak kunjung muncul.
"Nggak, Laf. Katanya dia lagi sibuk ngerjain skripsinya," jawab Abrisam yang saat itu duduk berhadapan dengan Olaf.
"Jadi, kita menunda lagi untuk membahas tanggal lamarannya?" tanya pria paruh baya yang duduk di sebelah Olaf. Pria itu adalah, Damarion--dady Olaf.
"Tentu saja tidak. Kita bisa menetapkan tanggalnya tanpa meminta persetujuan dari Haidar. Saya yakin, dia akan setuju," jawab Abrisam seraya tersenyum.
"Jadi, Olaf kamu ada masukan tidak buat tanggal lamaran kalian?" tanya Abrisam pada Olaf.
Olaf menggeleng seraya tersenyum malu. "Aku ikutin apa kata Om sama Dady aja," jawabnya dengan senyum malu-malunya.
"Mas aku ada masukan, gimana kalau lamaran mereka dilaksanain setelah Haidar wisuda. Kan, nggak lama lagi dia diwisuda. Takutnya kalau kita lakuin lamarannya sebelum dia wisuda, dia malah pusing dan nggak bisa fokus kerjain skripsinya. Gimana?"
Abrisam dan Damarion saling memandang, keduanya tersenyum lebar. Seolah ucapan Dania adalah yang terbaik.
"Saya setuju. Sementara Haidar menyelesaikan skripsinya Olaf juga bisa fokus ke ujiannya untuk ke semester selanjutnya," ujar Damarion dan mendapat anggukan setuju dari Abrisam.
"Gimana, Laf? Kamu setuju tidak sama pendapat Tante?" tanya Dania pada Olaf.
Dengan semangat Olaf mengangguk. "Aku setuju, Tante," jawab Olaf. Senyumnya kian mereka saat membayangkan jika kelak dia dan Haidar menikah. Harapan Olaf dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, yaitu Haidar yang bisa menerima dan juga mencintainya. Itu saja.
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum, selamat malam semuaaaa!
Seperti biasa jangan lupa vote, komen, dan follow, ya. Jadilah pembaca yg estetik, yang ngehargain author, hehhe.
Oiya jangan lupa follow Ig : @ayuniswy.story juga😉
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 22, Mei, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro