Twenty Four
Orang tua yang paham agama tidak akan menanyakan kematanganmu perihal materi saat kamu berniat melamar putrinya. Melainkan, hal utama yang akan mereka tanyakan ialah seberapa dekat kamu dengan Allah.
©Letter of Destiny©
🕊🕊🕊🕊
Haidar masih bergeming sembari kedua manik coklatnya menatap tiga orang di hadapannya secara bergantian. Haidar sendiri sedikit bingung, mengapa mereka terlihat sangat terkejut? Bukannya mereka harus senang karena ada lelaki yang ingin melamar putrinya? Entahlah, Haidar pun tak tahu.
Dehaman dari Abrar menginterupsi Ruqayyah dan Farhan. Ketiganya kembali menghujami Haidar dengan tatapan yang Haidar sendiri sulit untuk mengartikannya. Namun, rasa gugup kembali menyergap saat Abrar memperbaiki posisi duduk, lalu menatapnya dengan begitu intens.
"Jadi, Nak Haidar serius datang kemari untuk melamar putri kami?" Haidar mengangguk yakin.
"Sebelumnya saya boleh tanya-tanya dulu?" Pertanyaan Abrar itu kembali mendapat anggukan dari Haidar.
"Kenapa dari sekian banyak wanita di luar sana, kamu malah memilih putri saya?"
Haidar tampak termenung setelah mendapat pertanyaan seperti itu dari Abrar. Dia sendiri bingung kenapa dia bisa mencintai Azura? Mungkin memang sudah begitu jalan yang dipilih oleh hatinya, pikir Haidar.
"Saya sendiri tidak tahu kenapa bisa mencintai Azura ...." Jeda beberapa detik Haidar kembali mengatakan pemikiran yang tiba-tiba muncul di otaknya. "Mungkin karena Azura berbeda dengan kebanyakan perempuan yang sering saya temui di luar sana. Di saat kebanyakan perempuan di luar sana asik mempertontonkan auratnya, Azura justru menutupnya dengan sempurna seolah tidak ada celah sedikit pun agar kami para lelaki dapat melihatnya. Selain itu, di saat kebanyakan wanita biasa saja saat bersentuhan atau bertatapan dengan lelaki yang bukan mahramnya, Azura justru berbeda. Dia begitu menjaga diri dan juga pandangannya. Dari awal bertemu pun saya sudah tertarik dengan dia, Ust. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bisa bertemu dengan perempuan saleha seperti dia dan saya rasanya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan Azura."
Jawaban mantap dari Haidar membuat Abrar mengangguk beberapa kali seraya tersenyum. Begitupun juga dengan Ruqayyah, dia sedikit merasa bangga akan kejujuran yang dikatakan Haidar. Sementara Farhan hanya terdiam, tidak ada raut apa pun yang ditunjukkan wajahnya.
"Jadi karena itu, Nak Haidar mencintai putri saya?" Haidar kembali mengangguk mantap. "Tapi, Nak Haidar tahu sendiri, kan? Menikah itu bukanlah perkara yang mudah. Harus ada kesiapan yang matang untuk melakukan salah satu ibadah itu."
Haidar kembali mengangguk. "Iya, saya tahu kok, Ust. Dan saya sudah sangat siap untuk menikah. Uastaz tenang saja, setelah wisudah nanti saya akan mencari kerja, dan setelah mendapatkan uang yang cukup saya akan langsung menikahi Azura," ujar Haidar begitu mantap. Seolah-olah dia memang sudah sangat siap membina rumah tangga.
Abrar kembali tersenyum dan mengangguk paham. "Kalau saja Azura menerima lamaranmu saat ini. Saat ini juga kamu bisa menikahi dia, dan soal wisudah dan mencari pekerjaan, kamu bisa melakukannya setelah menikah nanti. Tapi ... ada satu hal yang ingin saya tanyakan ...."
Netra Haidar sudah berbinar cerah, raut wajahnya juga terlihat berseri setelah mendengar ucapan Abrar yang secara tidak langsung mengatakan jika dia memberi restu kepadanya. "Apa itu, Ust?" tanya Haidar dengan senyumnya.
Masih dengan senyumnya Abrar pun bertanya. "Seberapa dekat kamu dengan Allah?"
Deg!
Pertanyaan Abrar bak anak panah yang menancap tepat ke jantung Haidar. Meluluh lantahkan perasaan yang tadinya begitu gembira menjadi duka. Mimik wajah bahagianya perlahan mengendur, tatapan berbinarnya pun mulai meredup. Pertanyaan Abrar barusan membuat kepercayaan diri Haidar lenyap dalam sedetik.
"Nak," panggil Abrar saat Haidar hanya membisu sembari menatapnya dengan tatapan kosong.
"Haidar." Kali ini Ruqayyah yang memanggilnya ... dan berhasil. Lelaki itu menatap Ruqayyah sejenak lalu menundukkan kepalanya. Bahu yang tadinya tegap, kini meluruh seolah ada begitu banyak beban yang dia pikul di kedua bahunya.
"Jadi, apa jawabanmu, Nak?" tanya Abrar lagi.
Haidar mengembuskan napas gusar, lalu kembali mengangkat kepala dan menatap Abrar yang masih menatapnya dengan senyuman lembut yang dia miliki. Dengan pelan Haidar menggeleng. "Saya memang Islam, tapi tidak begitu dekat dengan Allah. Salat pun saya hanya melakukannya sekali dalam seminggu, kecuali kalau saya tinggal dengan Mama, baru saya melakukan salat itupun hanya salat subuh, selebihnya saat tidak bersama Mama saya kembali lalai," ujar Haidar dengan sejujur mungkin.
Entah mengapa hati kecil Haidar merasa malu berhadapan dengan ketiga orang yang dia yakini ahli ibada itu. Dia merasa begitu sangat kecil berhadapan dengan mereka.
"Kalau begitu maaf ...."
Haidar kembali menunduk, dia sudah tahu arti di balik kata maaf itu. Ditolak, ya sudah pasti dia ditolak. Orang tua mana yang mau melepaskan anaknya pada seorang lelaki yang kelak tidak bisa membimbing istrinya menuju surga Allah? Menikah bukan hanya sekedar mencari kebahagian dan pelipur lara di kala sedih, melainkan menikah juga bertujuan untuk berjalan bersama mencari rida Allah agar bisa sama-sama masuk ke dalam surga-Nya.
"Kami tidak bisa menyerahkan putri kami kepada, Nak Haidar."
Haidar mengangguk paham, walau dia mengerti tetap saja ada sebuah luka dan kecewa yang dia rasakan. Dia juga merasa, jika saat ini ada sebuah tangan tak kasat mata yang mencubit hati kecilnya, sakit sekali.
Namun, tepukan dari pundaknya membuat Haidar kembali mendongak. Dia menoleh ke sebelah kirinya dan menemukan Farhan yang menatapnya dengan senyuman. Haidar pun membalas senyuman itu, tetapi senyumannya tidak sampai di mata. Sekuat apa pun Haidar menutupi rasa sakitnya, tetap saja rasa kecewa itu tidak bisa dia sembunyikan dari netra cokelatnya, dan Farhan sangat menyadari hal itu.
"Kalau kamu serius dengan adik saya. Maka perbaikilah dirimu. Ayo, kembali ke jalan Allah!" ajak Farhan masih dengan senyumnya.
"Memangnya Allah masih mengampuni saya yang sudah melupakan-Nya?" tanya Haidar, "rasanya saya tidak punya muka lagi untuk menemui Allah. Saya merasa begitu berdosa karena sudah lalai dengan semua perintah-Nya."
Farhan kembali menepuk pundak Haidar. "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, 'setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah yang bertaubat'¹. Jadi, kamu tidak perlu malu untuk bertemu dan mendekati Allah. Karena Allah sangat sayang pada hambanya walaupun Ia tahu seberapa pendosa hambanya itu ...." Jeda beberapa detik, Farhan kembali berkata. "Yang harus kamu ketahui, Allah itu maha pengampun dan juga maha pemaaf. Maka kembalilah kejalannya dan mulailah untuk memperbaiki dari karen-Nya. Bukan karena Azura atau siapa pun itu."
Setelah mengatakan hal itu, Farhan kembali ke tempat duduknya. Kini semua netra tertuju pada Haidar yang masih setia menunduk, pria itu masih berusaha mencerna semua perkataan Farhan dan berusaha memantapkan hatinya untuk kembali ke jalan Allah.
••••
Haidar mendongak saat sebuah cangkir berisi teh hangat diletakkan di atas bangku panjang yang sedang dia duduki--tepat di sebelahnya. Maniknya sempat bertubrukan dengan manik hazel yang terus membuatnya mengagumi salah satu ciptaan Allah itu. Sungguh, manik hazel itu terlihat sangat mengagumkan di matanya.
"Silakan diminum, Kak," ujar Azura. Saat perempuan itu berbalik hendak kembali masuk ke rumah, terurungkan saat Haidar melontarkan sebuah pertanyaan.
"Menurut lo, orang kayak gue ini bener-bener bakalan bisa berubah jadi yang lebih baik nggak?"
Azura berbalik, kedua tangannya memegang nampan yang dia tempelkan di dada. Kemudian kedua netranya menatap Haidar sekilas, lalu berkata, "Itu tergantung dari Kak Haidar sendiri. Tanya sama diri Kakak, apa bener dia mau berubah jadi orang yang lebih baik? Kalau Kakak nanya gini ke semua orang, jelas jawaban orang itu nantinya nggak akan ngebuat Kakak puas. Karena apa?" tanya Azura, "karena yang tahu jawabannya cuman diri Kakak sendiri," lanjutnya seraya tersenyum tipis.
Untuk beberapa saat Haidar bergeming sembari menatap Azura dengan tatapan yang tidak terbaca, tetapi detik selanjutnya lelaki itu mengangguk paham. Di sertai dengan senyumnya, dia pun berkata, "Ya, lo bener. Harusnya gue nanya sama diri gue sendiri. Karena nantinya, yang ngejalanin perubahan itu gue, bukan orang lain."
Azura mengangguk, lalu kembali tersenyum. "Ya udah, kalau gitu aku masuk dulu, ya, Kak. Assalamualaikum."
Baru saja Azura berjalan tiga langkah meninggalkan Haidar, lelaki itu kembali mengeluarkan suara, yang membuat Azura menghentikan langkahnya.
"Lo ... mau bantuin gue untuk memperbaiki diri nggak?"
Rasa hangat seketika menelusup masuk ke dalam hati Azura. Embusan angin di sore itu membuat Azura merasa sejuk dan damai, sedamai saat Haidar melontarkan pertanyaan yang kembali membuat jantungnya berdegup kencang.
Bak adegan slow motion, Azura dengan perlahan berbalik kembali ke arah Haidar, kedua sudut bibirnya tertarik sempurna hingga menghasilkan sebuah kurva senyuman yang terlihat begitu manis dan tulus, bersamaan dengan itu Azura mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Haidar.
.
.
.
.
.
To be continued.
1. HR. Ibnu Majah.
Assalamualaikum semua. Selamaaat malaaam!
Niatnya sih aku bakalan update pas jam sembilan WITA, tapi karena kuotaku udah sekarat banget, jadi aku update sekarang deh. Maaf, ya nggak sesuai sama apa yang udah aku bilang, hehehe.
Seperti biasa, jangan lupa follow, vote, dan komen yah. Jadilah reader yang budiman, okke!.
Jangan lupa follow Ig : @ayuniswy.story
Dan, aku juga baru banget buat akun tiktok, jangan lupa difollow juga yah. Nama akun aku tetep @ayuniswy_
Kayak nama akun Wattpadku, hehehe.
Okee, sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 29, Mei, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro