Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenty Five

Sesuatu yang belum pernah kita lakukan, awalnya memang terasa berat untuk dijalani, tetapi lama kelamaan kita akan terbiasa dengan sesuatu yang baru itu.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

"Mas Haidar. Bangun, Mas!"

Haidar menggeliat pelan saat merasa bahunya digoyangkan. Memang pelan, tetapi mampu membuat Haidar terusik. Karena memang Haidar orangnya mudah dibangunkan, jadi sekecil apa pun gerakan atau suara yang dirasakan atau didengar mampu membuatnya terbangun.

Haidar membuka matanya yang begitu terasa berat. Lalu, atensinya beralih menatap seorang lelaki bertubuh kurus yang baru saja membangunkannya. Tanpa bangun dari tidurnya Haidar pun bertanya, "Jam berapa sekarang?"

"Jam 03.00, Mas," jawab lelaki bertubuh kurus itu yang Haidar ketahui bernama Ahmad. Dia salah satu teman sekamar Haidar di pesantren.

Ya, setelah memutuskan untuk berubah, Haidar juga meminta pada Abrar untuk dibiarkan tinggal di sini sampai dia benar-benar bisa berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Tentu saja, permintaan Haidar itu mendapat sambutan baik oleh keluarga Azura dan juga beberapa ustaz dan ustaza di pesantren tersebut.

"Terus kenapa lo bangunin gue?" tanya Haidar, terselip nada kesal di perkataannya barusan.

Ahmad tersenyum maklum dan berkata, "Kita disuruh ke masjid buat salat tahajjud, Mas. Ayo, Fikri dan Ibrahim sudah pergi duluan ke masjid."

"Harus banget ikut, ya? Sumpah gue ngantuk banget," keluh Haidar lalu kembali menutup matanya.

"Harus, Mas. Kalau kita nggak ikut tanpa ada alasan kecuali sakit atau berhalangan buat perempuan, nanti bisa dapat hukuman dari ketua asrama dan ustaz di sini," jelas Ahmad.

"Ayo, Mas buruan. Sebentar lagi iqamah."

Walau berat Haidar pun bangkit dari tidurnya. Dia mengucek matanya yang ingin sekali tertutup rapat. Setelah nyawanya terkumpul, Haidar pun beranjak dari kasur berukuran kecil yang muat untuk satu orang saja.

"Mas Haidar."

Haidar berbalik menatap Ahmad dengan pandangan yang terlihat sayu. "Apa lagi, sih, Mad? Tadi, gue disuruh buru-buru, pas mau pergi lo masih ngulur-ngulur waktu."

Jangan heran mengapa Haidar begitu sensitif, karena memang sifatnya yang satu itu datang saat tidurnya diganggu.

"Sebaiknya, Mas Haidar ganti baju dulu. Kalau mau, Mas bisa pake baju saya,"  tawar Ahmad.

Haidar menatap baju yang sedang dikenakannya, kemudian menatap Ahmad. "Ya udah mana baju lo? Gue mau pinjem."

Ahmad pun berjalan menuju lemarinya, lalu memberikan baju koko putih dan sarung berwarna hitam. Setelah menerima baju dan sarung itu, Haidar pun menggantinya, sementara Ahmad menunggu di luar kamar asrama.

"Yuk!" ajak Haidar setelah menutup pintu kamar.

••••

Haidar kembali terbangun saat seseorang menepuk punggungnya beberapa kali, sembari menyuruhnya untuk bangun. Setelah nyawanya terkumpul, Haidar pun bangun dan menatap seseorang yang membangunkannya tadi, dan ternyata dia adalah Fajar salah satu Ustaz di sini.

"Ustaz. Ah, maaf, saya ketiduran," ujar Haidar seraya meringis pelan.

Dia benar-benar mengantuk bagaimana tidak, jika semalam saja dia baru bisa tidur saat jam satu malam, kemudian di jam tiga dia dibangunkan untuk salat tahajjud, selesai salat tahajjud dia kembali tertidur di masjid. Saat salat subuh pun dia kembali dibangunkan, dan lagi setelah salat subuh tadi dia kembali tertidur dan baru bangun saat dibangunkan oleh Fajar barusan.

"Tidak apa-apa. Tapi, kalau bisa setelah salat subuh sebaiknya jangan tidur lagi," ujar Fajar seraya tersenyum ramah.

Haidar tidak mengangguk, pria itu justru menggaruk tengkuknya seraya menyengir ke arah Fajar. "Insya Allah, Ust," ujarnya.

"Ya sudah, saya ke sini cuman mau sampein amanah. Kiyai Abrar memanggilmu, dia menunggu di rumahnya."

Haidar mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih pada Fajar. Setelah itu Fajar pun berlalu  sementara Haidar berjalan ke tempat wudu untuk mencuci mukanya terlebih dahulu sebelum menemui Abrar.

Setelah tiba di rumah orang tua Azura, Haidar pun mengetuk pintu sembari mengucapkan salam. Tak lama kemudian Farhan muncul setelah pintu terbuka. Haidar tersenyum yang kemudian dibalas senyuman juga oleh Farhan, setelah itu menyuruh Haidar untuk masuk.

Haidar langsung digiring menuju meja makan, dan di sana sudah ada Abrar yang duduk di meja makan, sementara Ruqayyah, Azura, dan juga Adira sedang sibuk menyajikan makanan di meja makan. Haidar melempar senyum pada Abrar, kemudian menyaliminya, setelah itu mengambil tempat duduk di samping Abrar.

"Masya Allah, Kak Haidar ganteng banget pake baju koko kayak gitu." Perkataan Adira membuat semua mata memandang ke arahnya. Detik selanjutnya semua mata menatap ke arah Haidar.

Sedangkan Haidar yang saat ini menjadi pusat perhatian, tertawa canggung sembari menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Kemudian atensinya melihat baju koko yang dia pinjam dari Ahmad.

"Ini bajunya Ahmad. Dipinjemin sama dia pas mau salat tahajjud," ujar Haidar, seraya menatap orang di sana satu per satu. Namun, saat menatap Azura, Haidar bisa melihat jika perempuan itu sedikit tersenyum sebelum akhirnya kembali berbalik untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Jadi, nanti kamu mau pulang?" tanya Abrar.

Haidar mengangguk. "Iya, Ust. Saya mau ambil pakaian sama ...." Haidar menggantung ucapannya, saat mengingat sesuatu. "Oh, iya, Ust. Apa saya boleh menggunakan laptop di sini? Soalnya, niat saya, saya juga ingin mengerjakan skripsi sambil belajar agama di sini."

Abrar tidak langsung menjawab, dia sedang mempertimbangkan permintaan Haidar itu. Sebenarnya di pesantren ini alat teknologi seperti ponsel, tablet, dan juga laptop tidak boleh digunakan oleh para santri dan santriwati, bukan hanya di pesantren ini, semua pesantren pun memiliki peraturan seperti itu. Namun, Haidar bukanlah santri tetap di sini, maka dari itu Abrar mempertimbangkan permintaan lelaki itu.

"Jadi begini, Nak. Kamu tahu sendiri, kan peraturan pesantren itu seperti apa?" Haidar mengangguk, sebenarnya sebelum meminta izin tadi, dia sudah mewanti-wanti jika dia bisa saja tidak diperbolehkan membawa laptop dan juga ponselnya, tetapi dia mau mencoba dan berharap diberi keringanan oleh Abrar.

"Tapi, karena kamu bukan santri tetap di sini, jadi saya mengizinkan kamu untuk menggunakan laptop. Tapi, kamu jangan menggunakan laptop itu di dalam kamar asrama. Kamu bisa mengerjakan skripsi kamu di samping rumah ini, di sana ada pondok-pondok kecil dan jarang santri yang berkunjung ke sana."

Haidar mengambangkan senyumnya, lalu mengucapkan terima kasih banyak pada pria yang begitu baik padanya. Semalam saja terbesit sebuah pemikiran di kepala Haidar. Dia berpikir bagaimana rasanya jika dia memiliki seorang papa yang sikapnya seperti Abrar, sudah dipastikan dia akan sangat merasa bahagia dan tentu saja tidak akan merasa tertekan lagi.

"Tapi, kalau kamu selesai. Kamu jangan bawa laptopnya ke kamar asrama, ya. Kamu taruh saja di ruangan para ustaz, nanti kalau kamu mau lanjutin kerja skripsi, kamu ambil lagi. Gimana?"

Haidar mengangguk setuju. Tidak merasa keberatan sama sekali. Dia diizinkan membawa laptop ke sini saja, sudah sangat merasa berayukur. Tak lama setelah itu makanan pun siap, dan mereka menyantap makanannya dengan khidmat.

••••

Bakda asar, Haidar pun pamit pada keluarga Azura. Dia juga sudah menggunakan pakaian yang dia kenakan kemarin. Karena tidak mungkin dia menggunakan sarung dan baju koko Ahmad untuk pulang, karena sudah dipastikan dia akan kesulitan mengendarai motor jika menggunakan sarung.

"Hati-hati di jalan, ya," pesan Farhan yang saat itu berdiri di depan pintu bersama dengan Azura dan Adira.

"Iya, Mas. Makasih," jawab Haidar sembari mengangguk sopan dan tersenyum.

"Oh iya, Kak."

Haidar beralih menatap Azura dengan kedua kening yang dinaikkan. Menunggu Azura melanjutkan ucapannya.

"Salam sama Tante Rumaisha, ya," lanjut Azura seraya tersenyum tipis.

Haidar kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, nanti gue sampein," ujarnya sembari mengangkat jempol kirinya.

"Aku juga, Kak. Sampein salam aku ke Haura, ya. Bilangin, kapan-kapan kita ke gramedia bareng buat beli komik," pesan Adira dan kembali mendapat anggukan dan acungan jempol dari Haidar.

"Ya udah, saya duluan. Assalamualaikum," salam Haidar kemudian berjalan menuju motor kesayangannya setelah mendapat jawaban salam dari ketiga orang itu.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, Haidar pun tiba di rumah papanya. Saat dia memarkirkan motor di depan garasi, dia melihat dua motor yang mirip dengan motornya, hanya saja berbeda warna.

Haidar yang sudah tahu pemilik motor itu, segera masuk ke dalam rumah, dan benar saja netranya menemukan dua orang yang selalu ada untuknya itu sedang bermain PS di dalam kamarnya.

"Assalamualaikum," salam Haidar lalu membanting tubuh lelahnya di atas kasur.

"Waalaikumsalam," jawab keduanya berbarengan sembari melirik sekilas ke arah Haidar. Setelah itu kembali fokus pada TV di depannya.

"Tumben banget ngucapin salam, kerasukan setan alim dari mana lo?" tanya Nizam, tanpa melirik ke arah Haidar.

"Dih, mana ada setan alim. Sembarangan lo kalau ngomong!" balas Haidar, lalu mengubah posisinya menjadi tengkurap dan menatap layar TV di hadapannya.

"Jadi, gimana? Diterima?" tanya Gavin tiba-tiba.

"Diterima? Diterima apaan?" tanya Nizam seraya menatap Gavin dan Haidar secara bergantian.

"Ditolak," jawab Haidar, "tapi nggak apa-apa. Berkat tolakan itu gue udah mantapin diri buat berubah. Doain gue, semoga gue bisa istikamah," ujar Haidar dengan senyum lebarnya.

Gavin bangkit dari duduknya setelah meletakkan stik PS di lantai. Dia kemudian duduk di samping Haidar, lalu menepuk pundak sahabatnya itu beberapa kali. "Pasti. Gue yakin lo bisa berubah," ujar Gavin seraya tersenyum.

Sahabat mana yang tidak senang jika sahabatnya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik? Pasti jawabannya tidak ada.

"Kalian bahas apa, sih? Siapa yang mau berubah? Terus maksud lo ngomong ditolak itu apa?" tanya Nizam beruntun, sembari menatap Haidar dan Gavin dari bawah, karena memang dia masih duduk di atas karpet.

Haidar dan Gavin saling melirik, detik selanjutnya senyum miring terbit di kedua bibir mereka. Setelah itu kembali melirik Nizam yang menatap mereka dengan penasaran. "KEPO!"

"Sialan!" umpat Nizam tidak terima.

.
.
.
.
.

To be continued.

Assalamualaikum semua. Selamat malaaam! Oh iya, maaf ya di atas ada kata yang kasar, heheh jangan dicontoh pokoknya. Nggak baik, soalnya. Okke!

Yaps, mau main tebak-tebakan nggak? Kira-kira cerita ini bakalan tamat di berapa bab, hayooo? Terus, terus menurut kalian cerita ini bakalan Happy atau sad ending? Yok, tulis pemikiran kalian di kolom komentar, ya😉.

Seperti biasa jangan lupa vote, komen, dan follow akun ini ya. Jadilah pembaca yang budiman, okke!

Jangan lupa follow juga akun Ig : @ayuniswy.stroy dan @ayuniswy_
Tiktok : @ayuniswy_

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 31, Mei, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro