Twenty
"Perempuan saleha itu tidak perlu janji dan ungkapan perasaan. Kamu mendatangi orang tuanya dan memintanya dengan baik-baik saja sudah cukup."
~Rumaisha~
🕊🕊🕊🕊
Haidar keluar dari ruangan Rumaisha dengan otak yang terus memutar perkataan mamanya. Ternyata setelah mengetahui nama Azura, mamanya tidak berhenti untuk menanyakan hal lain tentang perempuan itu. Rumaisha seolah begitu penasaran akan sosok Azura, dan jadilah Haidar menceritakan semuanya mulai dari awal pertemuannya sampai kedekatan keduanya hingga kini.
Namun walau begitu, Haidar sama sekali tidak merasa keberatan menceritakan sosok Azura pada Rumaisha. Sebab, dia memang sudah berjanji akan memperkenalkan keduanya jika mamanya telah sadar. Haidar bahkan sangat merasa senang, karena mamanya seperti menyukai Azura dan sangat penasaran ingin bertemu dengan perempuan itu.
"Perempuan saleha itu tidak perlu janji dan ungkapan perasaan. Kamu mendatangi orang tuanya dan memintanya dengan baik-baik saja sudah cukup." Perkataan mamanya setelah Haidar mengatakan ingin mengungkapkan perasaannya pada Azura, terngiang-ngiang di otaknya.
Namun, bukan Haidar namanya jika dia tidak menepati janji yang sudah dia ucapkan pada dirinya sendiri. Bahwa nanti atau esok hari dia akan tetap mengatakan perasaannya pada Azura. Ya, Haidar pasti akan melakukan hal itu.
Setelah mengenakan helm full face miliknya, dengan segera Haidar menyalakan motornya dan membawanya meninggalkan area rumah sakit menuju sekolah Haura. Dia mamacu kecepatan di atas rata-rata, sebab dia masih sangat sayang dengan telinganya. Sepertinya Haidar lebih takut akan omelan Haura yang panjang kali lebar, dibanding dengan keselamatannya sendiri.
Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, Haidar sudah tiba di depan pagar SMA Nusa Bangsa. Tempat Haura menimba ilmu dan juga tempatnya dulu saat dia masih duduk di bangku SMA.
Haidar menstandar motornya, lalu menghampiri Pak Doni--satpam sekolah yang selalu berjaga di pos. Tanpa mengatakan apa pun, Haidar segera mendudukkan dirinya di bangku panjang--tepat di sebelah kanan Pak Doni.
"Siang, Pak Doni," sapa Haidar dengan senyumnya.
"Haidar!" seru Pak Doni.
"Ya, itu nama saya, Pak," ucap Haidar yang kemudian menyengir. "Ternyata Bapak masih kenal sama saya. Saya pikir Bapak udah lupain saya."
"Walaupun saya sudah tua, saya tidak akan pernah lupa sama anak nakal dan usil kayak kamu, Dar yang kerjaannya selalu telat setiap hari," sarkas Pak Doni.
Haidar terbahak setelah mendengar ucapan Pak Doni. Ternyata Pak Doni masih ingat semuanya. "Ya elah si Bapak. Masih inget aja, saya aja udah lupa kalau saya pernah nakal, Pak."
Berdusta? Tentu saja. Haidar tidak sepelupa itu dengan kenalakan yang pernah dia lakukan saat SMA dulu. Apalagi saat mengusili dan membohongi Pak Doni, sama sekali masih terekam jelas di otaknya.
"Apa perlu saya ingatkan?" Haidar kembali terbahak saat mendengar pertanyaan Pak Doni.
"Ya, nggak usahlah, Pak. Lagian, kan waktu perpisahan dulu saya udah minta maaf sama, Bapak. Dan waktu itu saya juga udah traktir Bapak makan bakso tiga mangkuk. Apa itu nggak cukup, buat Bapak nggak dendam sama saya?"
"Jadi kamu nggak ikhlas teraktir saya bakso waktu itu? Sampai harus kamu ungkit segala."
"Nggak lah, Pak. Demi Allah, saya ikhlas traktir Bapak waktu itu. Cuman saya mau ingetin aja, kalau waktu itu Bapak udah maafin saya dan katanya Bapak juga udah nggak dendam sama saya. Tapi, kok sekarang Bapak kayak kelihatan benci lagi sama saya?" tanya Haidar dengan tawa yang dia tahan. "Padahal, kan. Kita baru ketemu lagi, Pak setelah perpisahan beberapa tahun lalu. Jadi, saya rasa, saya belum ngelakuin sesuatu yang bisa aja ngebuat Bapak benci sama saya lagi."
"Jadi, kamu mau lakuin sesuatu lagi sama saya?" tanya Pak Doni dengan galak.
Untuk kesekian kalinya Haidar terbahak. Dia merasa benar-benar terhibur dengan kelakuan Pak Doni ini. Haidar jadi menyesal tidak membiarkan Nizam ikut dengannya. Dijamin, lelaki itu akan lebih tertawa kencang melihat kelakuan Pak Doni yang lebih sensitif.
"Kamu ke sini ada keperluan apa?"
Haidar berdeham untuk mengurangi tawa dan juga suara seraknya karena tertawa tadi. Baru saja Haidar akan buka mulut untuk menjawab pertanyaan Pak Doni, terurungkan saat Haura baru saja tiba dan memanggilnya.
"Abang!"
"Nah, ini, Pak. Saya ke sini mau jemput adik saya. Lagian, Bapak nggak perlu khawatir akan diusilin lagi sama saya. Saya udah tobat, Pak."
Haura mengernyit bingung setelah mendengar ucapan abangnya itu. Namun, dia tetap diam dan akan menanyakannya nanti. Rasanya tidak sopan jika dia tiba-tiba membuka suara.
"Ya sudah kalau begitu saya duluan, ya, Pak. Kapan-kapan kalau saya ke sini lagi, nanti sama saya ditraktir deh. Biar Bapak nggak benci lagi sama saya." Setelah mengucapkan kalimat itu, Haidar pun segera menarik tangan Haura menuju motornya.
"Bang Haidar sama Pak Doni keliatan akrab banget. Kalian saling kenal?" tanya Haura, lalu memberikan helmnya pada Haidar.
Haidar yang mengerti pun meraih helm Haura dan membantu membukakannya. Setelah terbuka, Haidar memasangkannya di kepala Haura. "Iya, dong. Dulu, kan waktu sekolah di sini Abang jadi anak kesayangannya Pak Doni," jawab Haidar yang diakhiri dengan tawa kecil.
••••
"Assalamualaikum," salam Azura setelah sebelumnya mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam," jawab dua suara yang terdengar berbeda.
Sembari membawa parsel buah, Azura berjalan menghampiri Rumaisha yang setengah berbaring sembari mengobrol dengan sesosok lelaki yang masih Azura ingat, tetapi dia tidak mengetahui siapa nama lelaki itu. Dia hanya tahu jika lelaki itu adalah sahabatnya Haidar dan Gavin.
"Nah, Tan. Orang yang dari tadi buat Tante penasaran akhirnya datang juga."
Sontak saja Azura berbalik setelah mendengar ucapan lelaki itu barusan. Azura berpikir jika ada orang lain yang masuk setelah dirinya, tetapi netranya tidak menemukan siapa pun di belakangnya.
"Kok, malah balik, sih?" tanya lelaki itu--Nizam yang diakhiri tawa kecil.
"Maksud Kakak saya?" tanya Azura sembari menunjuk dirinya sendiri. Mimik kebingungan tercetak jelas di wajahnya yang ayu.
"Sudah, jangan dengarkan ucapan dia. Nizam ini memang suka bercanda," ujar Rumaisha yang kemudian diikuti dengan senyumnya yang terlihat sangat keibuan.
Oh, jadi namanya Kak Nizam, batin Azura mengangguk paham.
"Kamu yang namanya Azura, ya?" tanya Rumaisha yang kemudian mendapat anggukan dan senyuman yang hangat dari Azura. Nizam yang melihat senyum Azura yang tampak manis itu, tidak bisa menahan diri untuk tidak memujinya.
Pantes aja si Haidar jatuh cinta sama nih cewek. Senyumnya aja manis gitu, belum lagi tutur kata dia yang lembut. Kalau gue nggak berperikesahabatan udah gue rebut nih cewek dari Haidar, batin Nizam sembari menggeleng pelan.
"Iya, Tante. Aku Azura. Maaf, ya Tan aku baru jenguk sekarang. Belakangan ini lagi sibuk banget. Dosen di kampus nggak tanggung-tanggung ngasih tugasnya," ujar Azura dengan perasaan yang tidak enak.
"Nggak apa-apa lagi. Kan, kamu udah sering jengukin Tante pas koma, itu aja udah buat Tante bersyukur. Belum lagi kata Haura, kalau kamu lagi jengukin Tante, pasti kamu bakalan bacain satu surah buat Tante.Harusnya Tante ngucapin makasih banyak sama kamu. Makasih, ya, Azura." Untuk kedua kalinya senyum keibuan yang ditunjukkan Rumaisha membuat Azura nyaman dan seketika mengingat ummanya di rumah.
Sudah dua minggu ini dia belum pulang ke pesantren karena tugas kuliahnya yang begitu banyak. Karena seminggu lagi dia akan menghadapi ujian semister, Azura pun memutuskan pulang ke pesantren setelah liburan semester tiba, yaitu setelah ujian nanti.
"Nggak usah ucapin makasih lagi, Tan. Kan sesama muslim kita memang seharusnya saling mendoakan satu sama lain." Rumaisha mengangguk, dia makin dibuat kagum dengan Azura. Rumaisha yakin jika Azura dididik begitu baik oleh kedua orang tuanya.
"Oh iya sampe lupa. Ini, Tan aku bawain buah." Azura segera meletakkan buah itu di nakas, tepat di samping brankar Rumisha.
"Ya ampun, sampai repot-repot bawa buah. Kamu udah datang jenguk Tante aja udah cukup, Zur."
Azura kembali tersenyum. "Nggak, kok, Tan. Selagi Azura masih mampu beli, jadi Azura bawain buat, Tante."
"Aduuuh, gue dikacangin nih di sini. Kalian ngobrolnya keasikan banget sampe lupa kalau di sini masih ada makhluk Tuhan yang paling tampan."
Mendengar ucapan Nizam yang terlalu percaya diri, membuat Rumaisha menggeleng pelan, sementara Azura tersenyum tidak enak lalu meminta maaf.
"Tenang aja gue orangnya pemaaf, jadi gue udah maafin lo. Ya udah, kalian lanjut aja ngobrolnya. Gue mau keluar dulu, mau cari angin sekalian cari cewek. Siapa tahu aja gue ketemu jodoh di lorong rumah sakit, kan pertemuannya jadi aesthetic gitu." Setelah mengatakan hal itu Nizam beranjak dari duduknya, lalu berjalan dengan kepala yang diangkat sedikit ke atas serta kedua tangannya yang masuk ke dalam saku celana.
Setelah membuka pintu ruangan Rumaisha, Nizam kembali berjalan dengan gayanya yang dibuat angkuh sampai dia tidak sadar tepat di depan pintu ada seseorang yang sedang berjongkok memperbaiki tali sepatunya.
"Eeeh ...."
"Astagfirullah, Ummi!"
Ucapan yang bersamaan, tetapi beda kata itu terdengar setelah keduanya jatuh terduduk di lantai. Nizam bahkan meringis sembari mengusap dengkulnya yang menghantam lantai dengan kuat, sementara seorang perempuan yang tidak jauh darinya memegang kakinya yang sempat diinjak oleh Nizam.
"Mas, kalau jalan lihat-lihat dong!" tegur perempuan itu sembari menatap Nizam dengan kesal.
"Ya, mana gue tahu kalau lo ada di situ. Lagian, lo, sih! Ngapain coba jongkok depan pintu, kan nggak kelihatan. Jadi, bukan salah gue, kalau nggak ngeliat lo," balas Nizam membela diri. Dia tidak terima disalahkan oleh perempuan berjilbab di hadapannya itu.
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum. Selamaaat siaang semuaaa.
Seperti biasa jangn lupa pencet gambar bintang yang ada di bagian bawah pojok kiri, jangan lupa komen dan follow juga ya.
Ig : @ayuniswy.story
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 20, Mei, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro