Thirty Two
The man who was truly sincere kept his promise. They will not make promises without keeping them.
©Letter of Destiny©
🕊🕊🕊🕊
Haidar turun dari motor setelah menstandarnya. Kedua tungkainya melangkah lebar masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya seketika terhenti saat netranya menangkap musuh sekaligus saudara tirinya sedang mengangkat dua koper menuruni anak tangga. Di belakangnya Dania mengikuti dengan raut wajah yang sedih, tetapi bibirnya tersenyum.
Haidar masih terdiam di tempatnya seraya memperhatikan kedua orang itu, tetapi mereka belum menyadari keberadaannya. Saat tiba di tangga terakhir barulah mereka menyadari keberadaan Haidar.
"Haidar," panggil Dania. Namun, Haidar mengabaikannya sebab kedua netranya saling menatap tajam dengan netra Dean. Aura permusuhan terasa begitu kental di antara keduanya.
"Dean tidak akan tinggal lagi di rumah ini. Papa akan mengirim dia ke Lombok untuk mengurus perusahan cabang Papa yang ada di sana." Haidar dan Dean masih saja melempar tatapan kebencian saat Abrisam menghampiri mereka. "Tadinya Papa ingin jika Dean bekerja di perusahaan pusat, tapi karena kalian selalu bertengkar jadi Papa memutuskan untuk memisahkan kalian," jelas Abrisam tanpa diminta oleh Haidar.
"Syukur deh. Akhirnya nggak akan ada lagi yang buat aku emosi kalau nginap di sini," ujar Haidar seraya tersenyum sinis.
"Haidar!" tegur Abrisam.
"...." Baru saja Dean akan membalas ucapan Haidar, tetapi Dania sudah lebih dulu menarik tangannya untuk keluar. Dania tidak ingin lagi melihat pertengkaran Dean dan juga Haidar yang berhasil membuatnya ketakutan.
Kini hanya ada Abrisam dan juga Haidar. Pria paruh baya itu menatap wajah putra pertamanya beberapa saat, lalu berjalan santai menuju sofa. "Ada apa? Apa kamu berubah pikiran dengan tawaran Papa yang sudah kamu tolak?" tanya Abrisam sangat santai. Pria paruh baya itu terlihat sangat yakin jika kedatangan Haidar yang menemuinya kali ini karena dia ingin menerima tawaran yang sudah dia berikan pada Haidar sehari setelah lelaki itu diwisuda.
"Aku mau Papa batalin perjodohan aku sama Olaf!"
Abrisam yang baru saja akan membuka koran yang dia ambil di atas meja, seketika terhenti. Pria paruh baya itu mendongak, lalu menatap Haidar dengan wajahnya yang kini berubah datar. "Sudah berapa kali Papa katakan, Haidar. Perjodohan kamu dengan Olaf tidak akan pernah batal! Harus dengan bahasa apa yang Papa gunakan agar kamu mengerti?"
Haidar seketika mengepalkan kedua tangannya. Emosinya tersulut mendengar ucapan Abrisam. "Dan harus dengan bahasa apa juga yang aku gunakan biar Papa ngerti kalau aku nggak mau menikah dengan Olaf, aku nggak cinta sama dia, Pa! Papa bisa nggak, sih ngertiin aku sekali aja?" tanya Haidar dengan penuh emosi, kedua hidungnya sudah kembang kempis juga dadanya yang mulai naik turun. "Selama ini aku selalu ngalah, aku selalu hidup dengan aturan dan pilihan Papa, sekalipun aku belum pernah ngerasain hidup dengan pilihan aku sendiri. Nggak bisakah Papa kasih aku satu kesempatan untuk memilih pilihanku sendiri. Aku cuman minta satu, Pa. Apa itu sulit?"
"Apa kamu juga nggak bisa turutin pilihan Papa yang terakhir kalinya? Apa sesulit itu?" tanya Abrisam mengulang pertanyaan Haidar. "Persiapkan dirimu, minggu depan kita akan ke rumah Olaf untuk melamarnya." Setelah mengatakan hal itu Abrisam beranjak dari duduknya, lalu melewati Haidar begitu saja, tetapi ucapan Haidar selanjutnya berhasil membuat Abrisam menghentikan langkahnya.
"Pa, aku nggak cinta sama Olaf! karena di hati aku udah ada Azura perempuan yang aku cintai," ujar Haidar dengan lantang.
"Lupakan perempuan dan perasaanmu itu! Fokus saja untuk mencintai Olaf," ujar Abrisam tak kalah lantangnya.
"Nggak akan! Tekad aku udah bulat. Kalau Papa nggak mau batalin perjodohan ini, aku sendiri yang akan berbuat nekat biar perjodohan ini batal," final Haidar dengan rahang yang sudah mengeras dan kedua tangannya yang juga ikut mengepal di kedua sisi tubuhnya.
Abrisam berbalik lalu menatap Haidar dengan tatapan yang sangat dingin. "Kalau kamu bisa nekat, Papa bisa lebih nekat dari kamu, Haidar. Ingat, Papa nggak pernah main-main sama ucapan Papa! Jadi, sebelum kamu bertindak pikirkan baik-baik, jangan sampai kamu menyesal!" ancam Abrisam dengan nada suara yang kembali Haidar dengar setelah Rumaisha sadar. Suara yang penuh ancaman itu seketika mengingatkan Haidar pada saat Rumaisha koma dan Abrisam mengancam untuk tidak lagi mau membiayai perawatan Rumaisha selama di rumah sakit saat dia berusaha menolak keinginan papanya itu.
Haidar menatap kepergian Abrisam dengan gamang. Namun, beberapa detik selanjutnya lelaki bernetra cokelat itu menggeleng pelan. Dia tidak boleh takut oleh ancaman apa pun, dia harus tetap menyelesaikan permasalahannya dengan keluarga Olaf. Dia sudah bertekad, jika Abrisam tidak ingin membatalkan perjodohannya, maka dia sendiri yang akan menemui Olaf dan juga Damarion.
••••
Suasana di ruangan yang terlihat sangat luas dan juga mewah itu, terasa begitu menegangkan. Ada tiga orang berbeda generasi yang sedang duduk di atas sofa mahal yang berada di ruangan tersebut. Keempat netra yang berbeda itu menatap seorang pria yang tengah mengenakan kaos oblong hitam--sembari menunduk. Posisi pria itu belum juga berubah setelah tiba di ruangan berukuran luas itu selama tiga menit.
"Sebenarnya ada apa kamu ingin menemui saya dan juga Olaf? Apa kamu mau mengajaknya jalan? Silakan, Om selalu memberikanmu izin untuk membawa Olaf. Lagian sebentar lagi kalian juga akan ...."
"Saya ingin perjodohan ini batal!"
Damarion menghentikan ucapannya karena tiba-tiba saja Haidar mendongak, lalu menatap tepat ke dalam maniknya, kemudian mengatakan hal yang sangat membuatnya terkejut.
"Maksud kamu apa?" Nada suara Damarion seketika berubah datar. Kedua netranya menatap datar ke arah Haidar. "Bukannya papa kamu sudah pernah bilang, kalau sampai kapan pun perjodohan kalian tidak akan pernah batal? Lalu, buat apa kamu ke sini jika hanya mau mengatakan hal itu? Karena sampai kapan pun tidak akan ada yang membatalkan perjodohan ini. Kamu dan Olaf akan tetap menikah."
Tatapan Haidar seketika berubah tajam. Rasa muak dan ketidaksukaan tercetak jelas di wajah tampannya. "Menikah tanpa adanya cinta?" Haidar mengangkat sebelah bibir kanannya ke atas. "Saya tidak akan mau menikah dengan perempuan yang tidak saya cintai."
"Kenapa? Bukannya cinta bisa tumbuh karena adanya kebersamaan?" lirih Olaf sembari menatap Haidar dengan wajah yang sudah memerah juga air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Walaupun kita selalu bersama, tapi hati gue tetep nggak cinta sama lo, yang ada sia-sia. Menikah tanpa adanya cinta itu nggak enak, Laf. Lo mau makan hati mulu karena sikap gue yang nggak pernah baik sama lo? Nggak, kan? Jadi, gue mohon bilang sama Om Damar buat batalin perjodohan gila ini," ujar Haidar sembari menatap Olaf dengan serius. Dia juga sebenarnya tidak tega dengan perempuan yang sedang ada di hadapannya ini, tetapi karena keegoisan orang tuanya, mau tidak mau membuat Haidar harus melakukannya.
"Sedikit pun ... aku nggak ada di hati Kak Haidar?" tanya Olaf dengan suara bergetar menahan tangis.
Dengan cepat Haidar menggeleng. "Nggak."
"Terus siapa? Apa ada perempuan lain di hati, Kak Haidar?" tanya Olaf masih dengan suara yang rendah dan bergetar. Air mata sudah membasahi pipi mulusnya.
"Ada. Namanya Azura, perempuan soleha yang waktu itu pergi setelah ngasih gue hadiah."
Deg!
Ucapan Haidar bagaikan timah panas yang menancap tepat ke dalam hati Olaf. Olaf memejamkan mata, merasakan sesuatu yang tak kasat mata meremas erat hatinya. Sakit sekali. Adakah yang bisa berada di posisinya? Rasanya, dia ingin pergi sejauh-jauhnya agar rasa sakit ini tidak pernah dia rasakan.
Air mata sudah membasahi seluruh pipinya, isakan kecil bahkan sudah terdengar di ruangan yang luas itu, memang samar tetapi yang mendengarnya bisa merasakan betapa sedihnya perempuan itu. Damarion yang memang duduk di samping Olaf segera menarik putri semata wayangnya ke dalam pelukan. Sementara Haidar memalingkan pandangannya, dia tidak bisa melihat pemandangan itu. Pemandangan yang bisa saja membuatnya luluh karena teringat saat Haura menangis seperti itu.
Beberapa menit keheningan menyelimuti ketiganya. Hanya suara jam, AC, dan isakan Olaf yang mengisi keheningan itu. Namun, setelah merasa tenang, Olaf melepas pelukan Damarion. Lalu kedua netra ambernya menatap sendu ke arah Haidar yang kini sudah kembali memandangnya.
Keduanya bertatapan begitu lama, seolah kedua netra merekalah yang sedang berbicara satu sama lain. Namun, Olaf lebih dulu mengalihkan pandangan, karena bertatapan dengan lelaki di hadapannya itu justru semakin membuat dadanya sesak karena sebuah fakta yang diketahuinya. Bahkan, saat perempuan bernetra amber itu memejamkan mata, air mata kembali berjatuhan dari matanya.
Olaf menarik napas dalam-dalam, berusaha mengurangi rasa sesak yang saat ini dia rasakan. Lalu, kedua netra ambernya kembali menatap Haidar yang ternyata masih memandang ke arahnya.
"Aku mau perjodohan ini batal!" putus Olaf seraya beralih menatap Damarion dengan senyum yang berusaha dibuat setegar mungkin.
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum semua, selamat siaaang!
Hayolohhh Tim Haidar Azura mana suaranya. Tuh, Olaf udah ngalah. Sebenarnya aku kasian juga sama Olaf, sih yah wkwkw.
Seperti biasa ya jangan lupa vote komen dan juga follow, ya. Budayakan meninggalkan jejak sebelum menghilang--ralat maksudnya setelah membaca, heehe.
Jangan lupa follow ig aku ya, @ayuniswy.story
& @ayuniswy_
OH IYA, SEBENARNYA AKU MAU UP SATU CAPHTER LAGI, TAPI KALAU YANG KOMEN SEBANYAK YANG BACA FIX AKU LANGSUNG UPDATE.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 17, Juni, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro