Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Thirty Three

Perihal jodoh, rezeki, maut, dan kematian tidak ada yang tahu kecuali Allah. Berharap tentang sesuatu yang kita inginkan pun rasanya percuma jika penulis skenario hidup tidak berkehendak. Tawakal, bersabar, dan berhusnuzan adalah jalan satu-satunya.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

Kedua netra hazel yang sangat dikagumi oleh Haidar itu menatap hamparan nabastala yang dihiasi oleh banyaknya gemintang dan juga sang rembulan yang bercaha terang di tengah-tengah gemintang yang juga bercahaya, tetapi cahaya gemintang belum bisa menandingi cahaya rembulab walaupun ia hanya sendiri.

Angin malam berembus lembut membelai wajah mungil yang tiap sisinya ditutupi oleh kain yang selama ini menjaga apa yang memang seharusnya tidak diperlihatkan pada orang-orang yang bukan muhrimnya. Pemilik netra hazel itu menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan pelan, setelah itu memejamkan mata dan detik selanjutnya beberapa tetes bulir bening keluar dan membasahi pipinya yang terasa dingin karena angin malam.

Nyatanya sekuat apa pun dia bermasa bodoh seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengganggu pikirannya belakangan ini, sama sekali tidak berpengaruh jika dia sudah sendiri. Senyum lembut dan tawa yang selalu dia perlihatkan pada orang-orang terdekatnya hanya sebuah topeng untuk menutupi rasa sakit yang lelaki itu torehkan di sanubarinya yang masih terbilang baru di dunia percintaan.

Pertanyaan tentang 'apakah jatuh cinta untuk pertama kalinya memang sesakit ini?' selalu terngiang-ngiang di benaknya. Nyatanya sekuat apa pun dia mengalihkan pikirannya perihal masalah hati, sama sekali tidak berhasil jika dia sudah sendiri di tengah senyap yang serasa begitu menyesakkan baginya.

Bagaimana bisa dia begitu cepat menjatuhkan hati pada lelaki itu? Seandainya dia menahan sebentar saja perasaannya dan rahasia lelaki itu terbongkar sebelum dia jatuh, mungkin dia tidak akan sesakit ini. Seandainya juga pertemuan mereka tidak pernah terjadi mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Namun, nyatanya semua manusia memang hanya bisa berandai-andai di saat dia merasa ekspektasinya tidak sejalan dengan realita. Nyatanya, semua skenario hidup sudah Allah atur dengan amat rapi dan terperinci.

Perempuan itu--Azura menunduk, lalu menghapus air matanya. Embusan angin masih setia menemani dan membelai lembut permukaan wajahnya. Walau lelaki itu--Haidar sudah berjanji akan menepati janjinya untuk menjadikan dia seorang istri, nyatanya Azura mulai ragu dia tidak ingin berharap lebih lagi. Sudah cukup harapannya belakangan ini, yang justru menjadi salah satu penyebabnya merasakan sakit hati.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, 'aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia'. Nyatanya berharap pada manusia tidak seindah berharap kepada Allah. Jika berharap kepada manusia, dia masih bisa digerakkan oleh Allah sehingga kita bisa merasakan yang namanya 'kekecewaan'. Namun, beda ceritanya jika kita sudah berharap kepada Allah, karena Allah tidak digerakkan jadi, Ia tidak akan membuat hambanya kecewa karena berharap kepadanya.

"Aku cariin dari tadi, ternyata kamu malah nongkrong di sini."

Azura sontak mendongak dan mendapati Adira yang sudah duduk di sampingnya, detik selanjutnya dia kembali menatap ke atas langit. "Kamu belum tidur ternyata," ujarnya tanpa menatap ke arah Adira yang juga memandang ke atas.

"Kamu kalau mau nangis ajak-ajak aku, kek. Nggak asik banget jadi sahabat." Adira mengabaikan ucapan Azura barusan.

"Sok tahu. Yang nangis siapa coba?" kilah Azura.

"Yang bohong hidungnya panjang," ujar Adira seraya menunjuk wajah Azura.

"Ye, kamu pikir aku Pinokio yang hidungnya jadi panjang karena bohong."

Adira memutar bola mata malas karena Azura masih tidak mau jujur kepadanya. "Kamu bohong juga percuma, sih. Selain percuma, kamu juga nggak ada bakat buat bohong. Mending kamu jadi Azura yang biasanya aja, selalu jujur," ujar Adira, lalu telunjuknya dia arahkan pada pipi Azura. "Tuh, air mata masih ada di pipi kamu."

Azura meraba pipinya dan, ya telapak tangannya basah. Detik selanjutnya dia menghela napas panjang, lalu menatap Adira dengan bibir bagian bawah yang dia gigit. Rasa sesak kembali hadir di hatinya dan rasa sesak itu juga yang mengundang air mata hingga kembali menggenang di pelupuk matanya. "Adira, aku harus gimana? Kenapa rasanya harus sesakit ini?" lirihnya dan air mata pun kembali membasahi pipinya.

Adira mengangguk paham, lalu menggeser tubuhnya untuk duduk lebih dekat dengan Azura dan detik selanjutnya sebelah tangannya merangkul bahu Azura yang sudah bergetar karena menangis. Adira berusaha menenangkan Azura dengan cara mengusap lengan sahabat sekaligus sepupunya itu dengan lembut.

"La tahzan, Ukhty," bisik Adira pelan tepat di telinga Azura. Adira memang tidak ikut menangis, tetapi hatinya juga ikut bersedih melihat Azura yang rapuh seperti ini hanya karena sebuah kata yang sepertinya mutlak untuk tidak dirasakan oleh semua manusia. Dia juga akan tetap merasakan hal itu, tetapi porsinya bukan sekarang. Kalau bukan besok, lusa, atau beberapa hari lagi. Hal itu tergantung dari penulis skenario hidup di dunia ini.

"Aku tahu, berat buat kamu menghadapi semua ini, tapi aku minta sama kamu untuk nggak bersedih kaya gini. Yang harus kamu lakukan sekarang hanya berdiskusi dengan Allah dan mendoakan Kak Haidar agar dia bisa menyelesaikan masalahnya secepat mungkin, biar kamu nggak lama-lama bersedih kayak gini. Kalaupun nanti keinginan kalian berdua bertolak belakang dengan kehendak Allah, ya udah tawakal aja, husnuzan aja sama Allah, mungkin Kak Haidar memang bukan jodoh yang Allah siapkan untuk kamu."

••••

Plak!

Sebuah tamparan menyambut kedatangan Haidar saat tiba di rumahnya. Bahkan, dia baru selangkah memasuki rumah bertingkat tiga itu, tetapi dia sudah disambut dengan tamparan yang berhasil membuat pipinya terasa kebas. Haidar memegang pipinya, lalu menatap Abrisam yang kini berdiri di hadapannya dengan aura yang begitu menyeramkan.

Kedua netra cokelat milik Abrisam menatap Haidar dengan tajam, rahang pria paruh baya itu juga terlihat mengeras, selain itu kedua tangannya juga sudah mengepal di kedua sisi tubuhnya. Pria paruh baya itu berusaha menahan diri untuk tidak menghabisi putranya sendiri. Dengan napas yang terlihat memburu, telunjuk Abrisam yang tampak gemetar menunjuk tepat di depan wajah Haidar.

"Kamu! Apa yang sudah kamu lakukan, Haidar!" Suara Abrisam menggema di setiap sudut rumah.

Haidar bungkam, enggan menjawab pertanyaan Abrisam yang sebenarnya sudah diketahui oleh papanya itu. Karena Abrisam tidak mungkin semarah ini jika dia tidak tahu apa yang sudah Haidar perbuat.

"Kenapa kamu jadi pembangkang seperti ini, hah! Di mana Haidar yang dulu? Di mana anak papa yang penurut itu?" tanya Abrisam dengan wajah memerah padam sembari mengguncang tubuh Haidar.

Haidar sendiri enggan menjawab dan juga menatap Abrisam yang emosinya sudah berada di ubun-ubun.

"Jawab Papa, Haidar! Kamu bisu?" Abrisam menarik paksa wajah Haidar hingga menatap wajahnya.

"Pa." Haidar berusaha menjauhkan tangan Abrisam yang masih mencengkram dagunya.

"Kenapa kamu nekat membatalkan perjodohan ini, hah?" tanya Abrisam, lalu mendorong tubuh Haidar.

"Karena aku nggak cinta sama Olaf, Pa!"

"CINTA, CINTA, CINTA! SUDAH BERAPA KALI PAPA BILANG, KALAU KAMU PASTI BISA CINTA SAMA OLAF SEIRING DENGAN KEBERSAMAAN KALIAN. KENAPA KAMU SANGAT KERAS KEPALA, HAIDAR!"

"Sudah berapa kali juga aku bilang ke Papa kalau aku nggak akan bisa cinta sama ...."

"HAIDAR!" Abrisam kembali membentak Haidar dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. "Baik, karena kamu sudah membatalkan perjodohan itu, maka Papa juga akan melakukan sesuatu yang akan ngebuat kamu menyesal karena sudah membatalkan perjodohan itu. Ingat! Ini bukan ancaman lagi karena sebentar lagi kamu akan lihat apa yang akan Papa lakuin," ujar Abrisam dengan nada yang berubah rendah penuh dengan penakanan di setiap katanya.

Haidar hanya bergeming sembari menatap wajah Abrisam yang menatapnya dengan amat sangat dingin. "Sebelumnya Papa sudah memperingatimu, tapi ternyata kamu malah melakukan sesuatu yang membuat Papa juga nekat melakukan sesuatu yang akan kamu sesali nantinya."

Setelah mengatakan hal tersebut Abrisam berbalik meninggalkan Haidar yang termangu di tempatnya. Takut? Ya, Haidar mengaku ada sedikit rasa takut yang muncul di dalam hatinya, tetapi dia menggeleng pelan mencoba untuk berhusnuzan. Papanya tidak akan melakukan hal nekat apa pun itu, ucapannya tadi hanya sebuah ancaman yang selalu dia ucapkan.

Ya, Papa nggak akan ngelakuin sesuatu yang berbahaya dan gue nggak akan pernah menyesal seperti apa yang tadi papa katakan, batin Haidar berusaha meyakinkan diri bahwa dia tidak akan pernah menyesal dengan keputusan yang diambilnya.

.
.
.
.
.

To be continued.


Assalamualaikum semuaaa. Selamaaat sore menjelang petang!

Gimana? Ikut emosi nggak sama papanya Haidar? Aku aja agak nganu sama dia tuh, wkwkw.

Dahlah, seperti biasa jangan lupa vote, komen dam follow akum aku, ya. Biasain ninggalin jejak setelah atau sebelum membaca okke!

Jangan lupa follow Ig aku juga ya @ayuniswy.story

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 19, Juni, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro