Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Thirty Four

Terkadang apa yang sedang kita pikirkan, tidak akan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Namun, tidak menutup kemungkinan akan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

Haidar memainkan kunci motornya seraya tersenyum lebar masuk ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kampus. Bukan tanpa alasan Haidar ke kafe itu dengan senyum lebar yang terus terpatri di bibirnya. Sebelumnya dia sudah membuat janji dengan Azura. Dia menghubungi perempuan itu melalui Adira karena saat menghubungi Azura nomornya sedang tidak aktif.

Setelah maniknya menemukan meja yang kosong, Haidar segera berjalan ke sana dan menunggu Azura juga Adira. Sembari menunggu, Haidar mengeluarkan ponsel lalu memainkannya. Beberapa menit berlalu begitu saja, Haidar melirik pergelangan tangannya yang dililit oleh jam tangan mahal.

"Lama banget," gumam Haidar, lalu netranya melihat ke arah pintu kafe. Namun,orang yang dia tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Haidar mengembuskan napas panjang, lalu kembali memainkan ponselnya.

"Astaga, sumpah, ya. Gue kaget banget tadi, untung aja mereka nggak apa-apa."

"Ih, nggak tahu. Mbak yang agak kecil tadi luka. Lo nggak liat lengan bajunya sampe robek di bagian pergelangan tangan?"

Haidar melirik dua orang perempuan yang baru saja mendudukkan tubuhnya di meja yang berada tepat di sampingnya. Haidar bukan tipikal orang yang ingin tahu urusan orang kecuali orang yang dia anggap sangat dekat dengannya. Namun, perkataan perempuan berambut pirang tadi membuat Haidar seketika teringat dengan Azura.

Haidar kembali menoleh ke sebelah kirinya saat dua orang lelaki membicarakan hal serupa dengan yang dibicarakan oleh kedua perempuan tadi. Karena rasa penasaran dan perasaan yang mulai tidak enak karena pikirannya hanya tertuju kepada Azura. Haidar segera menanyakannya pada dua lelaki itu.

"Mas, sebentar." Haidar berdiri, lalu menghampiri dua orang lelaki yang tadi membahas tentang apa yang juga dibahas oleh kedua perempuan tadi saat melewati mejanya. "Kalau boleh tahu, memangnya ada apa ya di depan kafe? Kenapa Mbak yang di sana dan Mas tadi membahas dua orang perempuan? Maksudnya apa, ya, Mas?" tanya Haidar lalu menunjuk kedua perempuan yang bersebelahan meja dengan mejanya.

"Oh, itu, Mas di depan baru aja terjadi kecelakaan. Tapi, untung aja dua mbak tadi nggak parah, karena motornya cuman diserempet sama mobil." Salah satu lelaki yang Haidar hampiri menjelaskan kejadiannya.

"Kalau boleh tahu, motor yang diserempet itu motor apa ya, Mas?" tanya Haidar lagi.

"Motor Scoopy biru, Mas."

Haidar seketika terdiam setelah mendengar jawaban dari salah satu lelaki itu. Baru saja dia akan menanyakan sesuatu lagi, tetapi terurungkan saat ponsel yang berada ditangannya berbunyi. Haidar segera mengangkatnya saat melihat nama Adira yang tertera di layar ponselnya.

"Halo, assalamualaikum, Dir. Lo di mana?"

"...."

"Apa?" Nada suara Haidar yang agak keras membuat beberapa orang memandang heran ke arahnya, termasuk dua orang lelaki yang ada di hadapannya. "Oke, gue ke depan sekarang."

"Ada apa, Mas?" tanya lelaki yang berkulit sawo matang.

"Nggak apa-apa, Mas. Makasih sebelumnya. Permisi." Haidar segera berbalik lalu berlari keluar dari kafe.

Ternyata perasaan dan tebakannya benar, yang kecelakaan di depan kafe yaitu Adira dan juga Azura. Jantung Haidar memompa begitu cepat, dia menambah kecepatan larinya hingga beberapa waktu kemudian dia sudah tiba di depan kerumunan. Tanpa berlama-lama lagi, lelaki bertubuh tinggi itu membelah kerumunan dan segera menghampiri Adira yang sedang menopang tubuh Azura.

"Kalian nggak apa-apa?" tanya Haidar dengan napas yang memburu begitu tiba di depan Adira dan Azura.

"Aku nggak apa-apa, Kak. Cuman ini, Azura katanya lemes banget udah gitu kepalanya juga sakit."

Atensi Haidar seketika menatap wajah Azura yang tampak pucat. Perempuan itu juga beberapa kali memejamkan matanya lalu membukanya dan begitu terus sampai Haidar benar-benar panik. "Ra, lo denger gue, kan?"

"Ke ... kepala aku sa ... sakit ..," lirih Azura nyaris tak terdengar.

"Aduh, Mas itu temennya buruan di bawah ke rumah sakit. Takut kenapa-napa itu, Mas. Dia juga udah pucat banget."

Haidar mendongak menatap seorang wanita paruh baya yang menatap khawatir ke arah Azura. Detik berikutnya Haidar mengangguk, dan segera berdiri dan mencoba untuk mencari taksi. Seolah takdir sedang berpihak kepadanya, ada sebuah taksi yang berhenti tidak jauh dari tempatnya. Haidar segera menghampiri taksi itu yang ternyata memiliki penumpang yang baru saja turun.

"Pak, tolong anter temen saya ke rumah sakit. Dia ada di sana," ujar Haidar setengah membungkuk sembari menunjuk ke arah di mana Azura dan juga Adira berada.

Supir taksi mengangguk, kemudian memajukan sedikit mobilnya. Haidar segera menghampiri Azura setelah membuka pintu taksi. "Ra, lo kuat jalan nggak?" tanya Haidar setelah berjongkok di hadapan Azura. Keringat sudah membanjiri pelipis lelaki itu dan raut khawatir yang begitu kentara tidak bisa Haidar sembunyikan. Karena dia memang sangat-sangat khawatir.

"Ra," panggil Haidar lagi setelah pertanyaannya tidak mendapat jawaban.

Adira yang sedang menopang tubuh Azura segera menepuk pelan pipi sepupunya, tetapi perempuan itu masih enggan membuka matanya. "Ra, bangun. Azura!"

"Kak, kayaknya Azura pingsan. Ayo, Kak buruan bawa dia ke rumah sakit." Adira mulai panik.

Haidar mengangguk, kemudian berdiri, lalu meminta bantuan pada beberapa perempuan yang masih mengerumuni Azura. Sekitar lima orang perempuan mengangkat tubuh Azura menuju taksi yang sudah menunggu. Setelah Azura masuk, Haidar segera menutup pintu, lalu mengucapkan terima kasih pada orang yang tadi membantunya. Setelah itu, Haidar masuk ke dalam taksi di bagian depan dan menyuruh supir taksi untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

Tidak membutuhkan waktu lama, taksi yang mereka tumpangi akhirnya tiba juga di rumah sakit. Dengan cepat Haidar keluar, lalu berlari menghampiri suster yang kebetulan sedang berada di depan pintu utama rumah sakit. Setelah suster itu mengambil brankar dan memanggil beberapa tim medis lainnya, mereka segera menghampiri Azura dan Adira yang masih berada di dalam taksi.

Setelah tubuh Azura dipindahkan ke atas brankar, beberapa suster mendorong brankar menuju ruang UGD. Adira juga ikut membantu mendorong brankar yang kemudian disusul oleh Haidar. Saat tiba di depan ruang UGD Adira dan juga Haidar berhenti mendorong brankar Azura karena mereka tidak dibolehkan untuk masuk.

Untuk beberapa saat hening menyelimuti keduanya. Baik Haidar dan Adira sama-sama membisu dengan pikiran masing-masing. Namun, Haidar segera memecah keheningan itu dengan sebuah pertanyaan.

"Gimana ceritanya kalian bisa diserempet?"

Adira menggeleng pelan. "Aku juga nggak tahu, Kak. Tiba-tiba mobil tadi nyerempet kita. Untung aja tadi aku bawa motornya udah nggak cepet lagi karena udah mau sampe," jelas Adira lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. Setelah itu dia menyandarkan tubuhnya di tembok.

"Tapi yang buat aku bingung, jalanan tadi tuh lenggang, dari depan juga nggak ada kendaraan, udah gitu motor Azura juga di pinggir banget karena udah mau sampai, kan, tapi kenapa mobil itu malah mepet-mepet ke kita coba?" ujar Adira seraya menatap Haidar yang juga memandang ke arahnya. Namun, detik berikutnya Adira mengalihkan pandangannya.

"Jadi, maksud kamu. Yang punya mobil itu sengaja mau nyelakain kalian?" tanya Haidar.

Adira kembali menggeleng pelan seraya mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu juga. Aku juga sebenarnya nggak mau suuzan, tapi pikiran aku bilang kalau dia memang sengaja. Tapi, yah wallahua'lam ... mungkin ini emang ujian buat aku dan Azura."

Haidar termenung, kedua netra cokelatnya memandang lantai dengan tatapan kosong, tetapi otaknya sedang memikirkan perkataan Adira. Apa memang benar pemilik mobil itu sengaja? Kalau iya, apa untungnya? Apa pemilik mobil itu musuh Azura atau Adira? Namun, Haidar tidak percaya jika kedua perempuan itu memiliki musuh. Lalu siapa?

Apa ini rencana papa? batin Haidar bertanya. Namun detik berikutnya dia menggeleng pelan. Abrisam tidak mungkin setega itu mencelakai seseorang. Lagian, belakangan ini Abrisam sudah bodoh amat dengan apa pun yang Haidar lakukan. Jadi, rasanya Haidar tidak percaya jika itu adalah perbuatan papanya. Mungkin ucapan Adira memang benar, bahwa kecelakaan ini termasuk ujian Allah untuk Azura dan juga Adira.

.
.
.
.
.

To be Continued.

Assalamualaikum semuaa. Selamaat sore menjelang malam!

Hayolohhh, supir mobil itu sengaja apa nggak? Menurut kalian gimana?

Seperti biasa ya jangan lupa tinggalin jejak setelah atau sebelum membaca.

Jangan lupa follow Ig aku @ayuniswy.story

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 21, Juni, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro