Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Thirty

Serapi apa pun kamu menyembunyikan sesuatu, pasti akan terlihat juga. Layaknya tikus yang mati, lambat laun akan tercium juga.

©Letter of Destiny©

🕊️🕊️🕊️🕊️

Hari yang dinanti-nanti beberapa bulan belakangan oleh mahasiswa semester akhir, akhirnya tiba juga. Perjuangan yang mereka lalui dengan penuh emosi dan air mata akhirnya terbayarkan dengan mereka yang sudah sampai pada tahap ini. Di mana, mereka sudah bisa menyandang gelar yang selama ini mereka perjuangkan dan inginkan.

Rasa bahagia dan haru juga tengah dirasakan oleh Haidar, Gavin, dan juga Nizam. Ketiganya dengan begitu percaya diri keluar dari ruangan yang begitu membahagiakan. Senyum yang sedari pagi mereka tunjukkan belum luntur juga, saking bahagianya. Terutama Nizam, dia juga sangat bersyukur akhirnya impiannya bisa terwujud karena bisa diwisuda bareng-bareng dengan Haidar dan juga Gavin.

"Aaa, congratulation Abangnya aku!" pekik Haura seraya memeluk Haidar saat mereka berjalan menghampirinya.

Haidar mengangguk, lalu membalas pelukan sang adik. "Makasih, Ra."

Haura pun melepas pelukannya, lalu memberikan buket yang sedari tadi dia pegang. "Ini untuk Bang Haidar," ujar Haura seraya tersenyum lebar.

Haidar mendengkus, saat melihat buket yang diberikan oleh adiknya. "Kamu kasih buket yang ikhlas dikit, dong, Ra. Masa isinya uang mainan lima puluh ribuan, sih? Kenapa bukan uang beneran coba?"

Haura menampilkan cengirannya, sembari mengangkat sebelah tangannya dan menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Ya maaf, Bang. Aku mana ada uang sebanyak itu. Lagian, buket dari aku lemitid edition tau, nggak ada tuh aku lihat orang-orang di sini yang bawa buket kayak aku."

Haidar hanya mengerling, tetapi dia tetap mengambil buket dari Haura.

"Nggak mau ucapin selamat juga nih, Hau sama kita berdua?" sindir Nizam.

Haura lantas maju mendekati Nizam dan juga Gavin yang sedari tadi hanya diam sembari menyaksikan perdebatan kecil antara dirinya dan Haidar.

"Selamat, Kak Nizam!" ujar Haura seraya menyalimi tangan Nizam dan menaik turunkannya beberapa kali dengan begitu semangat.

"Makasih. Buket buat gue mana?" tanya Nizam seraya menengadahkan sebelah tangannya ke hadapan Haura.

Haura menggeleng seraya menyengir. "Buket buat Kak Nizam sama Kak Gavin nggak ada. Soalnya buat buket untuk Bang Haidar makan waktu yang lama, soalnya aku harus ngumpulin uang mainannya dulu, hehehe."

"Lo nggak asik, ah! Pilih kasih! Katanya kita berdua juga Kakak lo, tapi lo cuman ngasih buket ke Haidar," protes Nizam tidak terima.

"Kalau gitu untuk hari ini kalian berdua bukan Kakak aku dulu, besok baru jadi Kakak aku lagi, ya," ujar Haura lalu tertawa. Kemudian beralih menyalimi tangan Gavin. "Congratulation, Kak Gavin. Yakin, deh nanti Kak Gavin kalau udah kerja di kantornya Om Andre bakalan jadi idola." Setelah mengucapkan kalimatnya, Haura kembali tertawa dan ucapannya barusan mendapat sentilan pelan dari Gavin.

"Makasih, Hau. Dan Lo jadi salah satu penggemar gue, right?" Haura mengangguk semangat, lalu kembali tertawa.

"Selamat buat kalian bertiga. Ayah bangga," ujar Andre--ayah Gavin yang baru saja tiba di antara mereka.

"Makasih, Yah." Haidar dan Nizam menyalimi tangan Andre, setelah itu Gavin memeluk ayahnya.

"Ayah yakin. Pasti Bunda kamu juga senang di atas sana," ujar Andre seraya penepuk-nepuk punggung Gavin beberapa kali.

"Iya, Yah."

"Haura juga yakin, pasti Tante Nindi bangga punya anak kayak Kak Gavin," timpal Haura seraya tersenyum ke arah Gavin.

"Selamaaat buat anak-anak Papi!" Seruan itu berhasil membuat semuanya menoleh ke belakang. Manik mereka menangkap sepasang wanita dan pria paruh baya yang berjalan menghampiri dengan senyum semringahnya.

"Papiii. Coba lihat anakmu ini, jago, kan? Walaupun diduluin sidang sama mereka, anak Papi ini tetep bisa sama-sama diwisudanya," ujar Nizam berbangga diri setelah pria dan wanita paruh baya itu tiba di hadapan mereka.

"Tentu saja, Zam." Pria itu--Deril--papi Nizam menepuk pelan pundak putranya. Namun, detik berikutnya tepukan itu berubah menjadi jeweran yang membuat Nizam meringis, menahan sakit. "Tapi, tetep aja kalau kamu merhatiin skripsimu dan nggak sibuk main game, kamu bisa aja disidang berbarengan sama Gavin dan Haidar!"

"Aduuuh, Pi ... ini telinga Nizam bukan slime yang kalau ditarik bakalan lentur. Sakit, Pi," protes Nizam sembari memegang tangan Deril yang menjewer telinganya.

Bukannya prihatin dengan Nizam yang sedang dijewer oleh papinya, mereka justru tertawa, apalagi Haidar dan Haura tawa merekalah yang paling dominan terdengar, hingga membuat beberapa atensi yang ada di sekitar sana memerhatikan kejadian nahas itu.

"Pi, ayo dong lepasin! Malu tahu diliatin banyak orang," ujar Nizam seraya memelas. "Mi, tolongin napa!" Nizam beralih menatap Sonia--Maminya yang justru menatap datar ke arahnya.

"Nggak, ah! Mami masih ngambek sama kamu. Gara-gara kerjaan kamu semalam Silsila kesayangan Mami harus dirawat di klinik." Sonia membuang wajahnya seraya melipat tangan di dada.

Nizam memasang wajah cengo setelah mendengar ucapan maminya yang luar biasa itu. "Jadi, mami lebih sayang sama Silsilah kelinci piaraan Mami itu dari pada aku? Yang jelas-jelas anak kandung Mami?" tanya Nizam tidak percaya.

"Iyalah!" Sontak jawaban pasti yang keluar dari mulut Sonia kembali mengundang gelak tawa mereka kecuali Nizam yang menatap miris ke arah maminya.

Ya Allah tolong sadarkan Mami aku.

••••

"Selamat, Haidar. Akhirnya kamu selesai juga dan sebentar lagi akan mengambil alih perusahaan papamu." Damarion menepuk pundak Haidar beberapa kali seraya tersenyum.

"Terima kasih, Om. Tapi, aku nggak akan kerja di perusahaan papa. Aku akan melamar di perusahaan lain." Sontak saja ucapan Haidar itu berhasil membuat, Damarion, Abrisam, Olaf, dan juga Haura mengernyit bingung. Namun, beda halnya dengan Rumaisha yang biasa saja, karena Haidar sudah lebih dulu menceritakan padanya.

"Kenapa begitu?" Pertanyaan Abrisam mewakili semuanya kecuali Rumaisha.

"Aku nggak mau diistimewain sama semua karyawan di kantor Papa, walaupun nantinya aku udah ngasih tahu mereka untuk nggak ngeistimewain aku, tapi pasti mereka akan segan karena semua karyawan Papa tau kalau aku anak dari boss mereka." Penjelasan Haidar itu berhasil membuat semuanya tersenyum bangga kecuali Abrisam.

"Mantap! Ini baru Abang aku," ujar Haura seraya menunjukkan kedua jempolnya.

"Om bangga sama kamu, Dar." Haidar hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Damarion.

"Congratulation, Kak Haidar. Selamat atas gelarnya," ujar Olaf seraya tersenyum lebar. Kedua netra ambernya berbinar cerah.

"Terima kasih," ujar Haidar seraya tersenyum tipis. Senyum yang sering Azura berikan kepadanya. Tiba-tiba saja perempuan bernetra hazel itu muncul di fikirannya. Sedari tadi Haidar belum melihat keberadaan Azura, padahal Haidar sudah memberitahu kalau hari ini dia diwisuda dan dia meminta Azura dan Adira untuk datang ke kampus dan mereka mengiakan. Namun, mereka belum juga datang, tetapi di sisi lain Haidar bersyukur karena Azura tidak akan melihat Olaf di sini. Dia tidak ada niatan untuk memberitahu Azura masalah perjodohannya, karena dia yakin perjodohan ini akan batal sebelum dia kembali melamar perempuan itu.

Jantung Olaf seketika berdetak cepat saat mendapat senyuman dari Haidar, walaupun terkesan tipis. Namun, bagi Olaf itu sudah sangat luar biasa, karena selama ini lelaki itu belum pernah tersenyum ke arahnya. Jika bukan mimik wajah datar yang lelaki itu tunjukkan padanya, maka raut marahlah yang Olaf lihat.

Namun sayangnya, Olaf tidak tahu jika senyuman yang Haidar berikan bukan senyuman tulus, melainkan senyuman untuk menghargai keberadaan Damarion yang ada di sana. Jika Olaf tahu hal itu, apakah perempuan itu akan kembali sakit hati? Tentu saja jawabannya adalah ... iya.

"Jadi, karena kamu sudah diwisuda dan seperti rencana awal kita semua. Dua minggu lagi kamu akan melamar Olaf."

Perkataan Abrisam itu bagai petir di siang bolong yang menyambar tepat ke hati Haidar. Namun, beda halnya dengan Olaf yang justru merasa sangat senang dan juga tersipu karena sebentar lagi dia akan dilamar oleh lelaki yang selama ini dia cintai.

"Pa!" Haidar menatap Abrisam dengan sorot tajamnya. Suasana di sekitar mereka juga mulai terasa memanas.

"Papa nggak terima penolakan, Haidar! Mau tidak mau, suka tidak suka kamu harus menikah dengan Olaf. Kalian sudah lama dijodohkan, harusnya kamu gunakan kesempatan itu untuk belajar menerima dan mencintai Olaf."

"Papa nggak bisa gini, dong! Udah berapa kali aku bilang ke Papa, kalau aku nggak cinta sama Olaf," ujar Haidar tanpa memikirkan perasaan Olaf yang kini menatapnya dengan tatapan sendu.

"Haidar! Bisa tidak kamu menjaga perasaan Olaf? Lihat! Karena ucapanmu barusan, dia terlihat sedih."

Olaf mengalihkan pandangannya, lalu menghapus kasar air matanya saat Haidar melirik ke arahnya. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan lelaki itu. Namun, dia bisa apa? Saat air matanya tidak bisa dibendung karena hatinya begitu sakit dengan ucapan lelaki yang dicintainya itu.

"Jangan menyalahkan, Haidar!" pungkas Rumaisha setelah lama terdiam. " Ini karena kesalahan dan keegoisanmu sendiri. Jika saja perjodohan ini tidak terjadi, tidak akan ada hati yang tersakiti."

Abrisam menatap nyalang ke arah Rumaisha. Dia tidak terima disalahkan. "Diam kamu! Saya tidak berbicara dengan kamu," ujar Abrisam dengan nada rendah, tetapi setiap perkataannya penuh dengan tekanan.

"Jika saja perjodohan ini tidak ada, Olaf tidak akan jatuh cinta dengan Haidar. Kalaupun dia jatuh cinta, dia pasti bisa menahan perasaannya karena dia tahu, Haidar tidak memiliki perasaan apa pun sama dia. Tapi, karena perjodohan ini, Olaf jadi bisa berharap jika kelak Haidar bisa membalas perasaannya."

Perkataan Rumaisha bagai godam yang memukul telak tepat ke jantung Abrisam. Pria paruh baya itu termangu beberapa saat, tetapi kemudian kembali memberikan tatapan tajamnya pada Rumaisha. "Saya tidak perduli. Pokoknya pernikahan Olaf dan Haidar harus segera terlaksanakan!" final Abrisam yang begitu keras kepala.

Haidar sendiri sudah berusaha menahan emosi yang ingin meledak. Jika saja, dia tidak tahu tempat dan tidak punya malu, juga rasa hormat, mungkin dia sudah membentak papanya saat ini juga. "Pokoknya aku nggak akan mau ...." Perkataan Haidar seketika terhenti saat mendengar jelas ucapan Haura. Lelaki itu melihat ke arah adiknya yang saat ini menatap lurus ke arah belakangnya.

"Kak Azura ...."

Dengan cepat Haidar berbalik dan tubuhnya seketika membeku saat melihat Azura dan juga Adira berdiri satu meter di belakangnya, tetapi bukan hanya itu yang membuat Haidar membeku, netra hazel Azura yang berkaca-kacalah yang Haidar tangkap sebelum perempuan itu menunduk, hingga membuat tubuh Haidar seketika mati rasa.

Azura dan Adira maju beberapa langkah mendekati Haidar. "Assalamualaikum. Barakallah, Kak Haidar. Maaf kita telat, dan ini dari kami," ujar Azura dengan nada pelan seraya memberikan paper bag kepada Haidar.

Haidar tidak menjawab, kedua netranya sibuk memandangi Azura yang saat ini menunduk, tetapi Haidar bisa melihat jika tangan Haura bergetar, terbukti dengan paper bag yang sedang dipegangnya juga terlihat bergetar.

"Ini, Kak." Azura mendekatkan paper bag itu di tangan Haidar. Saat Haidar mengambilnya, Azura segera menarik tangan lalu meremas sisi bajunya dengan kuat.

"Lo ... denger semuanya?" tanya Haidar nyaris tidak terdengar, tetapi Azura masih bisa mendengarnya walau samar.

Azura mendongak, lalu memberikan senyuman tipis kepada Haidar sebagai jawaban dari pertanyaan lelaki itu.

Deg!

Haidar kembali membeku, dia tahu maksud dari senyuman itu. Ya ... Azura mendengar semuanya.

.
.
.
.
.

To be continued.

Assalamualaikum, semuaaa. Selamat malam!

Nahh, Haidar udah wisuda tuh. Yuk buket atau Hadiah buat Haidar, Gavin, atau Nizam ada nggak? Kalau nggak ada, fix kalian pelit, wkwkwk.

Seperti biasa, ya jangan lupa, vote, komen, dan follow. Biasain tinggalin jejak sebelum atau sesudah membaca ,yah!

Jangan lupa juga follow akun ;
Ig : - @ayuniswy.story
      - @ayuniswy_

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamu'alaikum, semua.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 12, Juni, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro