Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Thirteen.

Semuanya memang terasa berat, jika kita melakukan banyak hal yang bukan menjadi keinginan kita sendiri.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

Suara monitor dan jam dinding saling beradu di ruangan yang yang tampak sunyi. Ruangan itu sunyi, bukan karena tidak berpenghuni. Melainkan karena salah seorang di ruangan itu masih betah dengan tidur panjangnya, sementara seseorang lainnya hanya duduk dan diam sembari kedua netranya menatap sendu pada sosok yang sedang terbaring di atas brankar.

"Ma, mau sampai kapan Mama tidur panjang kayak gini?" Pria itu--Haidar menggenggam erat tangan Rumaisha yang bebas dari infusan.

"Mama nggak kasihan sama aku? Aku udah kayak robot berwujud manusia selama tinggal sama orang yang aku anggap sebagai papa. Kenapa dulu waktu kalian berpisah, Mama tidak sekalian membawaku?" Haidar mulai menceritakan semua keluh kesahnya. Dia tidak kuat lagi membendungnya seorang diri.

"Percuma aku hidup dengan harta yang berlimpah kalau di balik semua itu aku nggak bisa ngelakuin dan memutuskan hal apa aja yang aku suka dan tidak aku suka. Seandainya, waktu itu hak asuh aku juga di tangan Mama, mungkin aku nggak akan ngerasa tertekan kayak sekarang." Haidar menatap wajah Rumaisha yang tampak pucat dengan lamat-lamat.

Perhatian Haidar seketika teralihkan saat mendengar ponselnya berbunyi. Dia melirik ponselnya yang berada di atas brankar. Sebuah pesan dari papanya masuk, setelah membaca pesan itu Haidar mengembuskan napas dengan kuat, lalu kembali menatap Rumaisha.

"Semuanya juga makin berat saat Papa ngejodohin aku sama anaknya Om Damar. Dia itu sebenarnya baik, Ma. Cuman sifat egoisnya yang ngebuat aku nggak suka dan benci sama dia." Netra Haidar sedetik pun tidak teralihkan dari wajah pucat Rumaisha. Dia bercerita seolah Rumaisha telah membuka mata.

"Aku selalu tunjukin sikap buruk aku sama dia, aku juga selalu ketus kalau ngomong sama dia, tapi bukannya mundur karena sikap aku itu, dia malah makin kekeh ngedeketin aku. Walaupun aku udah banyak nyakitin dia. Sebenarnya aku juga nggak mau kayak gini, tapi karena dia keras kepala juga aku yang keras kepala terpaksa aku ngelakuin ini ke dia."

Haidar menghela napas panjang. Dia lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan tatapan lurus ke jendela yang tepat berada beberapa meter di hadapannya. "Awalnya aku selalu nolak kalau papa nyuruh aku buat temenin dia, tapi sekuat apa pun aku tolak, aku tetap luluh kalau udah ngeliat dia sedih sambil nundukkin kepala ...."

Di sisi Lain Haura yang baru saja pulang dari sekolah dan akan masuk ke ruangan mamanya terurungkan saat mendengar ucapan Haidar. Dia mundur selangkah dan kembali menutup pintu, tetapi tidak rapat hingga dia bisa kembali mendengar ucapan Haidar.

"Soalnya aku langsung keinget sama Haura dan ucapan Mama 'yang katanya aku nggak boleh buat perempuan sedih kalau aku nggak mau Haura dibuat sedih juga sama laki-laki'."

"Tapi ... apa peraturan itu berlaku ke perempuan egois kayak dia? Jujur, Ma sedikit pun aku nggak ada perasaan sama dia. Justru, sekarang ini perasaanku tertuju pada sosok perempuan saleha yang aku sendiri nggak nyangka bisa ketemu sama dia ...." Haidar kembali menatap Rumaisha.

"Aku janji akan kenalin perempuan itu sama Mama, kalau Mama udah bangun," ucap Haidar sembari menggenggam tangan Rumaisha dengan erat. Kedua netranya menatap Rumaisha dengan sangat dalam. "Ma, kalau Mama udah capek tidur ... bangun, ya. Di sini aku sama Haura selalu nungguin Mama." Tiba-tiba saja suara Haidar terdengar serak. Kedua netranya juga terlihat memerah.

Sementara itu--di luar ruangan Haura menyandarkan tubuhnya di tembok sembari membekap mulutnya agar isakannya tidak terdengar. Air mata begitu deras membanjiri pipinya. Dadanya juga benar-benar terasa begitu sesak.

Ya Allah, aku mohon sadarkan mama.

••••

Setelah salat magrib secara berjamaah di musala rumah, Azura segera naik ke kamarnya untuk melanjutkan bacaan Al-Qur'annya yang sempat tertunda sebelum melaksanakan salat magrib tadi. Dia mengambil mushafnya di nakas samping tempat tidur dan duduk bersila di atas tempat tidur.

Setelah membaca ta'awuz dan bismillah lantunan surah Al-Mulk langsung terdengar merdu dan lembut di dalam ruangan yang bercat putih itu. Bacaannya juga terdengar jelas dan fasih. Setelah membaca tiga puluh ayat, Azura mengusaikan kegiatan mengajinya. Bertepatan setelah dia meletakkan mushaf di tempat semula, ponselnya berbunyi.

Dengan segera Azura beranjak dari duduknya dan mengambil ponselnya yang sedang di-charger di atas meja belajar. Keningnya tampak berkerut saat melihat hanya deretan angka yang muncul di layar ponselnya. Nomor baru, siapa? batinnya bertanya.

Walau ada keraguan di dalam hati, dia tetap mengangkat telepon itu, lalu menempelkan ponselnya di telinga yang masih terlapisi mukena.

"Ha--halo. Assalamualaikum," salam Azura.

"Waalaikumsalam."

"Maaf, ini siapa, ya?" tanya Azura pelan.

"Ya ampun, Sayang! Kamu nggak tahu aku?"

Azura seketika menjauhkan ponselnya dan kembali memperhatikan deretan angka di layar benda pipih itu. Siapa tahu dia mengetahui siapa yang sedang mengobrol bersamanya di telepon saat ini. Namun, nomor itu tampak asing. Azura kembali menempelkan ponselnya ke telinga.

"Maaf, Mas. Masnya salah sambung ...."

"Salah sambung gimana, sih, Sayang? Udah deh, kamu nggak usah becanda kayak gini. Ayo buruan keluar, aku udah ada di depan rumah kamu nih."

Kening Azura makin berkerut. "Maaf, Mas. Salah sambung. Assalamualaikum." Setelah mengatakan hal itu Azura segera mematikan sambungannya.

"Ya Allah, ada-ada aja orang itu." Azura menggeleng pelan, lalu kembali meletakkan ponselnya.

Namun, baru saja dia berbalik ponselnya kembali berbunyi. Nomor yang sama dengan yang menelponnya barusan tertera di layar ponsel Azura. Awalnya Azura mengabaikan telepon itu, tetapi ponselnya selalu saja berbunyi. Akhirnya dengan terpaksa Azura mengangkat teleponnya.

"Assalamualaikum, maaf, Mas. Saya bukan pacarnya Mas dan Mas salah sambung." Azura mengucapkan dua kalimat itu dengan sedikit cepat agar dia bisa mematikan teleponnya dengan cepat.

Namun, baru saja dia akan mematikan sambungannya, sebuah suara dan kekehan kecil terdengar dari seberang sana. Dahi Azura berkerut, pasalnya dia seperti mengenal suara itu.

"Ra ... Azura."

Kebingungan Azura makin terlihat saat orang di seberang sana menyebut namanya. "Maaf, Masnya siapa, ya? Kenapa bisa tahu nama saya?"

"Lo nggak ngenalin suara gue, Ra?"

Azura tidak langsung menjawab. Sebab, dia sedang memikirkan dan berusaha mengingat siapa pemilik suara yang terdengar tidak asing di indera pendengarnya. Ra? batin Azura bertanya. Setahunya hanya orang- orang terdekatlah yang selalu memanggilnya dengan panggilan 'Ra' ....

"Kak Haidar," tebak Azura. Pasalnya tidak mungkin Farhan--kakaknya yang menelponnya saat ini.

"Yaps, seratus buat lo."

Azura menghela napas setelah mendengar Haidar tertawa puas di seberang sana. Dia juga merasa sedikit kesal karena lelaki itu mengerjainya.

"Ada apa ya, Kak?" tanya Azura to the point.

"Gue mau ngasih tahu kalau motor lo udah dibenerin."

"Alhamdulillah," ucap Azura seraya tersenyum.

"Ya udah gue anter ke rumah lo, ya?"

"Eh ... nggak usah, Kak. Biar aku aja yang ambil. Motornya masih di bengkel, kan?"

"Jangan! Ini udah malem. Biar gue aja yang ke rumah lo."

"Hm ... bentar, Kak. Aku kasih tahu Abi dulu," ucap Azura. Dia tidak mungkin mengizinkan Haidar ke rumah abi dan umminya tanpa meminta izin pada mereka berdua.

••••

Haidar menatap rumah berlantai dua di hadapannya. Dia berusaha mencocokkan alamat yang Azura berikan dengan alamat rumah yang ada di hadapannya saat ini, dan ya alamatnya sudah cocok.

"Mau sampai kapan lo bengong di situ?" Pertanyaan yang terdengar datar itu menyapa indra pendengar Haidar. Sontak lelaki itu berbalik menatap sahabatnya--Gavin yang sedang berada di atas motornya, sementara dia berada di atas motor Azura.

"Gue nggak bengong. Gue tuh lagi cocokin alamatnya. Suuzon banget lo jadi tuman."

Saat tidak mendapat tanggapan lagi dari Gavin. Haidar pun turun dari motor, lalu berjalan menuju pagar yang tertutup itu.

"Permisi. Assalamualaikum," teriak Haidar.

Tak lama kemudian sesosok pria paruh baya muncul setelah pagar itu dibuka. "Ada apa, ya, Mas?" tanya pria yang kepalanya sudah hampir memutih karena uban.

"Saya Haidar, Pak. Boleh tolong panggilin Azura?" pinta Haidar.

"Boleh, Mas. Tunggu sebentar, saya panggilkan Azura-nya."

Setelah mendapat anggukan dari Haidar pria paruh baya itu pun berlalu untuk memanggil Azura. Tak berselang lama dia kembali dan menyuruh Haidar dan Gavin untuk masuk.

Setelah memarkirkan motor Azura di depan garasi, Haidar dan Gavin menghampiri Azura, Adira, dan Aziz yang sedang berdiri di teras rumah sembari menatap ke arahnya.

"Assalamualaikum, Ra, Dir, dan Om," salam Haidar sembari mengangguk sopan pada Aziz.

"Waalaikumsalam." Ketiganya menjawab dengan serentak.

"Kamu yang namanya Haidar?" tanya Aziz pada Haidar.

"Iya, Om."

"Terima kasih, ya kamu sudah membantu anak saya kemarin," ucap Aziz dengan senyumnya.

"Iya, Om. Sama-sama," ucap Haidar, "Tadi, Om bilang anak, kan ya? Loh saya pikir Ustaz Abrar adalah ayahnya Azura." Kening Haidar tampak berkerut, pertanda dia sedang bingung.

"Abi, biar aku yang jelasin," timpal Azura dan mendapat anggukan dari Aziz.

"Jadi, Kak. Ini namanya Abi Aziz. Abi Aziz ini bukan Abi kandung aku, tapi Abi kandungnya Adira. Aku manggil beliau Abi karena beliau ini adiknya buya aku," jelas Azura dan mendapat anggukan beberapa kali dari Haidar.

"Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu, ya. Soalnya temen saya ini lagi buru-buru," ucap Haidar seraya melirik Gavin yg berdiri bak patung di sampingnya.

"Kalian nggak masuk dulu? Biar dibuatin minum sama istri saya," tawar Aziz.

"Nggak usah, Om. Lain kali aja. Kalu gitu kami berdua pamit. Assalamualaikum," pamit Haidar seraya tersenyum dan mengangguk, sementara Gavin hanya mengangguk sopan dengan senyum tipisnya.

"Waalaikumsalam," jawab ketiganya kembali berbarengan.

"Eh, kamu liat nggak cowok di samping Kak Haidar tadi?" tanya Adira pada Azura.

"Lihat, kenapa memang?"

"Dia dari tadi diam aja senyum enggak, bicara apalagi. Belum lagi muka dia flat banget kayak tembok," ujar Adira. Tanpa dia ketahui jika di samping kanannya, Aziz sudah menatapnya dalam diam.

"Terus ... awww, aduuuh ... Ummi, sakit." Adira meringis sembari menatap Hasna yang menjewer telinganya.

"Ummi sama Abi nggak pernah ajarin kamu bicarain orang di belakang kayak gini lo, Dir," tegur Hasna tampa melepas jewerannya.

"Iya, Ummi. Adira minta maaf, insya Allah nggak akan gini lagi," ucap Adira seraya menahan kesakitan.

.
.
.
.
.

To be continued.


Haluu, assalamualaikum semua.

Seperti biasa jangan lupa vote, komen dan follow yah. Kalian harus bisa ngehargain author, siapa pun itu yang kalian baca karyanya. Soalnya buat kayak gini tuh nggak mudah. Soo, tetap jadi pembaca yang estetik ya semua.

Babay, sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 1, Mei, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro