Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ten

Entah sampai kapan dia akan keluar dari zona yang begitu membuatnya tersiksa. Ingin melakukan apa pun yang dia sukai, tetapi dia lupa jika remot kendalinya dipegang oleh sesosok pemaksa yang sialnya adalah papanya sendiri.

©Letter of Destiny©


🕊🕊🕊🕊

"Ra, charger HP kamu mana? Abang mau pinjem." Haidar menatap Haura yang sedang duduk membelakanginya sembari membaca novel yang beberapa hari lalu dia belikan.

"Nggak tahu!" Jawaban ketus yang keluar dari lisan Haura, membuat Haidar menghela napas panjang.

"Ra, Abang minta maaf. Tadi di minimarket ada insiden kecil yang buat Abang asal ambil es krimnya." Haidar masih menatap punggung kecil milik adiknya itu. "Lagian apa bedanya, sih es krim yang tadi Abang beliin sama yang kamu suruhin ke Abang? Kan, sama-sama es krim, sama-sama dingin, terus sama-sama manis juga. Kenapa kamu harus ngambek kayak gini coba?"

Kontan Haura membalikkan badan, dengan pandangan yang super tajam menatap Haidar. Kedua keningnya berkerut dengan bibir yang sudah maju beberapa senti, dan hal itu menandakan jika dia sedang marah. Mampus! kayaknya gue salah bicara, batin Haidar.

"Abang kalau nggak niat beliin aku es krim, bilang dong! Tahu gitu aku nggak akan tungguin Abang berjam-jam, mending aku pergi beli sendiri," dumel Haura tanpa melepas pandangannya dari Haidar.

"Beliin adeknya aja pelitnya nauzubillah, pas temennya ditraktir royal banget. Sebenarnya Abang, beneran Abangnya aku apa bukan, sih? Jahat banget!" Haura masih menatap Haidar yang terlihat tidak terima dengan ucapannya barusan. Namun, Haura tidak memperdulikan itu.

"Aku cuma minta dibeliin es krim Corneto yang rasa baru itu, malah dibeliin es krim yang harga tiga ribuan. Emang pelit banget!" ujar Haura sembari mendelik. "Nyessel aku punya Abang kaya, Bang Haidar. Mending Abang aku Kak Gavin aja, soalnya dia nggak pelit. Setiap aku suruh beliin sesuatu pasti dibeliin persis apa yang aku minta."

Haidar yang tidak suka mendengar ucapan Haura, dengan segera menyentil pelan jidat adiknya itu. "Heh! Enak aja. Itu mulut kalau bicara difilter-filter dulu. Masa cuma gara-gara es krim, kamu ragu kalau Abang ini Abang kandung kamu."

"Ya habis ...."

Haidar segera memotong ucapan Haura. "Habis apa? Udah! Nggak usah ngomong yang nggak jelas kayak tadi. Besok Abang ajak kamu ke minimarket buat beli es krim yang kamu mau. Kalau bisa ambil sekalian sama kulkasnya, biar sakit sekalian. Punya adek kok, mulutnya lenes banget, nggak bisa jaga perasaan Abangnya," ujar Haidar dengan kesal.

"Tuh! Tuh! Emang Bang Haidar jahat banget, ya!" ujar Haura dengan jengkel.

"Jahat apa lagi? Ya Allah punya adek, kok suka suuzan," ujar Haidar sambil mengeratkan giginya karena gemas dengan sikap Haura.

"Itu ... Bang Haidar tadi nyumpahin aku sakit. Kalau nggak ikhlas mau ngajak aku mending nggak usah!" ucap Haura lalu beranjak dari duduknya. Dia benar-benar kesal dengan abangnya itu.

"Terserah lah!" ucap Haidar, lalu membaringkan tubuhnya di sofa. Dia tidak mau lagi membujuk Haura yang sama keras kepalanya dengan dia. Namun, baru saja dia akan memejamkan mata, ponselnya tiba-tiba saja berbunyi.

Tanpa melihat nama si pemanggil, Haidar dengan segera mengangkat dan menempelkannya di daun telinga. "Ya, halo." Haidar berucap dengan mata yang tertutup.

"...."

Setelah mendengar suara dari seberang sana, Haidar menjauhkan ponselnya dan melihat nama si pemanggil. 'Papa', nama itulah yang tertera di layar ponselnya.

"Di rumah sakit. Kenapa?" tanya Haidar malas.

"...."

"Makan malam sama siapa?" tanya Haidar.

"Oh, tapi aku sibuk dan di sini Haura juga sendiri."

Haura yang merasa namanya disebut, melirik ke arah Haidar dengan kening berkerut.

"...."

"Nggak bisa. Nizam sama Gavin sibuk. Udah, deh. Kalau kalian mau makan malam, ya udah makan malam. Aku nggak ada pun, acara makan malam kalian akan tetap jadi, kan?" Haidar bangkit dari tidurnya, kerutan di dahinya menandakan jika dia sedang kesal.

"...."

"Oke, aku pulang sekarang!" putus Haidar lalu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Mendengar ancaman dari papanya mau tidak mau membuat Haidar terpaksa menuruti ucapan Abrisam.

"Gue manusia tapi serasa robot, miris." Haidar bergumam seraya mengusap wajahnya dengan gusar. Entah sampai kapan dia akan terus berada dalam kendali papanya. Dia ingin bebas, ingin melakukan sesuatu yang benar-benar keinginannya, tetapi sekali lagi tidak bisa karena remot kontrolnya dipegang oleh papanya.

Semua yang dilakukan Haidar tadi tak luput dari pandangan Haura. Dia juga bisa mendengar gumaman dari abangnya itu. Seketika rasa iba muncul dalam hati Haura pada Haidar. Walau bagamaina mengesalkan abangnya itu, tetap saja Haura tidak suka jika melihat abangnya terlihat tertekan.

••••

Di sinilah Haidar sekarang berada. Di sebuah restoran Bintang Lima yang begitu terkenal di kota Surabaya. Saat ini dia sedang menunggu kedatangan kekasih papanya--Dania. Namun, dia tidak sendiri, melainkan ada Abrisam dan juga Olaf yang sedang asik mengobrol.

Sudah dua puluh lima menit lamanya mereka menunggu kedatangan Dania, tetapi wanita itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Untuk ketiga kalinya Haidar menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Lama banget! Dia mau siap-siap seperti apa, sih? Orang ini cuman makan malam biasa." Gerutuan pelan yang keluar dari lisan Haidar berhasil membuat Olaf dan Abrisam menatap ke arahnya.

"Tunggu sebentar lagi, dia sudah ada di jalan. Mungkin lagi kejebak macet." Haidar memutar bola mata malas setelah mendengar ucapan papanya.

"Kasian, si macet. Selalu dijadiin alasan telat," cetus Haidar sembari memainkan ponselnya.

"Kak Haidar, sabar. Mungkin Tante Dania ...."

Belum sempat Olaf menyelesaikan ucapannya, Haidar sudah lebih dulu memotong tanpa menatapnya. "Diem! Gue nggak ngomong sama lo!"

Olaf segera mengatupkan bibirnya setelah mendengar ucapan ketus Haidar barusan.

"Haidar!" tegur Abrisam tegas. "Bisa tidak ...."

"Maaf, Mas. Aku telat, tadi di jalan macet banget." Perkataan dari Dania yang baru saja tiba, membuat Abrisam mengurungkan niatnya untuk memarahi Haidar.

"Ah, tidak apa." Abrisam bangkit dari duduknya, lalu menarik satu kursi di sampingnya. "Ayo duduk!"

Dania mengangguk seraya tersenyum. "Terima kasih, Mas."

Haidar yang melihat perlakuan papanya kepada wanita lain merasa sangat muak dan tanpa dia sadari sebuah kalimat keluar dari mulutnya. "Sok manis."

Lagi-lagi ucapan Haidar yang terkesan pelan, membuat ketiga orang itu menatapnya. Dania dan Olaf hanya tersenyum tipis, memaklumi sikap Haidar yang memang terang-terangan tidak menyukai Dania. Namun, lain halnya dengan Abrisan yang sudah menatap tajam putranya itu.

"Kamu ke sini sama siapa?" tanya Abrisam pada Dania.

"Sama Dean, Mas."

Bertepatan setelah Dania menyebut nama Dean, lelaki itu pun datang. Tidak ada sama sekali senyum yang terpampang di wajahnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dean segera mengambil tempat duduk di samping Haidar.

"Mas, dia siapa?" tanya Dania sembari melihat Olaf.

"Ah, iya. Sampai lupa aku. Kenalin, dia Olaf anaknya Damarion."

Olaf melempar senyum ramahnya pada Dania seraya mengangguk sopan. "Salam kenal, Tan."

"Oh ... yang ini anaknya Damar. Cantik." Olaf tersipu mendengar pujian Dania.

"Ini kita duduk aja gitu? Nggak pesen makanan?" tanya Haidar menyindir sembari memainkan ponselnya.

"Ah, iya. Maaf, Papa lupa." Haidar memutar bola matanya malas.

Setelah itu, Abrisam memanggil salah satu pelayan yang lewat di dekatnya. Kemudian menyuruh semua orang untuk menyebutkan pesanannya, lalu setelah selesai, pelayan itu pun pergi setelah mencatat makanan yang mereka pesan.

"Kalau boleh Olaf tahu, Tante sama Om sudah bersama berapa lama?" tanya Olaf memecah keheningan.

"Sudah mau satu tahun, Laf," jawab Dania seraya tersenyum.

Olaf juga ikut tersenyum, lalu berkata, "Wah udah lama berarti. Om sama Tante gak ada niat nih, buat ke jenjang yang lebih serius?" Pertanyaan Olaf itu berhasil membuat Dean dan Haidar menatap horor ke arahnya, tetapi hal itu tidak disadari oleh perempuan itu.

"Ada pasti," jawab Abrisam dengan mantap. "Jadi, maksud sebenarnya saya mengumpulkan kalian di sini itu, karena saya mau melamar Dania malam ini juga."

Seketika mata Haidar dan Dean melotot. Mereka berdua tidak menyangka jika hubungan kedua orang tuanya jadi seserius ini dan tentu saja kedua lelaki itu tidak setuju dengan niat Abrisam.

Haidar bangkit dari duduknya, lalu menatap Abrisan dan Dania secara bergantian. "Aku nggak setuju, kalau Papa nikah sama dia," ucap Haidar seraya menunjuk Dania dengan matanya.

Dean menggebrak meja, lalu menghadap Haidar. "Lo yang sopan dong sama Nyokap gue!" Dean mendorong bahu Haidar dengan kuat.

"Lo diem! Gue nggak ngomong sama lo!" ucap Haidar sangat tajam sembari membalas dorongan Dean.

Dean mengepalkan kedua tangannya dan tanpa basa-basi lagi, dia langsung melayangkan pukulan telak di wajah Haidar. Hal itu membuat Dania dan Olaf memekik, sontak semua pengunjung restoran melihat ke arah mereka.

Abrisam berusaha untuk memisahkan keduanya, dengan cara menarik Haidar, tetapi Haidar memberontak dan saat terlepas dari kungkungan papanya, dia langsung membalas pukulan Dean tadi tepat di pipi sebelah kanannya.

"Stooop! Astaga, Dean Mama mohon berhenti, Nak!" Teriakan dari Dania tidak diindahkan oleh Dean, sebab lelaki itu kembali melayangkan pukulannya pada Haidar. Tentu saja Haidar tidak tinggal diam, dia juga memukul Dean dengan kuat. Bahkan, Abrisam mundur dan menyuruh pelayan untuk memanggil beberapa pihak security untuk memisahkan kedua orang itu.

.
.
.
.
.

To be continued.

Yeyy, Assalamualaikum semua. Selamaaat malaaam👋. Yang habis dari tarwih siapa aja nih? Yok unjuk tangan, wkwkwk.

Sebenanrnya tadi siang aku udah spoiler quote di bagian sepuluh ini di Ig. Mungkin, kalian nggak ada yang liat ya? Pastilah yah, orang kita nggak saling follow-followan, wkwkw. Insya Allah setiap hari sabtu aku bakalan kasi spoiler untuk bagian yang akan aku publish malemnya. Soo, kalau kalian mau lihat, yuk follow Ig @ayuniswy.story (Maap sekalian promo akun ig, wkwkw)

Seperti biasa jangan lupa vote, komen dan follow akun wp ini, ya. Mohon jadilah pembaca yang penuh dengan keestetikan😉.

Sekian dari aku, sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 24, April, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro