Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sixteen

Tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini selain ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh seseorang yang begitu berarti di hidup kita.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

Haidar dan Haura keluar dari mobil yang baru saja mengantarnya sampai di depan pintu utama sebuah gedung yang disewa papanya untuk melangsungkan acara lamarannya.

Abang beradik itu tampak gagah dan cantik. Keduanya dibaluti dengan jas dan gaun yang mahal, tentu saja pakaian yang mereka kenakan dipesankan langsung oleh Abrisam. Walau gaun yang dikenakan Haura tampak begitu elegan, tetap saja wajah murungnya tidak dapat dia sembunyikan, tetapi beda halnya dengan Haidar yang hanya memasang wajah datarnya.

"Ayo masuk!" Haura mendengkus saat Pak Nasir mengajak mereka untuk masuk.

Rasanya Haura begitu berat menginjakkan kaki ke dalam gedung yang akan menjadi saksi bisu kebahagiaan papanya dan akan menjadi saksi bisu kekecewaannya. Jujur saja, Haura masih berharap kelak papa dan mamanya akan rujuk dan kembali hidup bersama. Namun, melihat keadaan saat ini, Haura hanya bisa mengubur dalam-dalam harapannya itu. Nyatanya, papanya memang sudah benar-benar melupakan mamanya.

"Kalian sudah datang ternyata." Seruan itu berhasil membuat Haura kembali ke alam sadarnya.

Kedua netranya manatap Abrisam yang menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. Namun, Haura masih tetap menunjukkan wajah murungnya. Enggan membalas senyuman yang diberikan oleh Abrisam. Haidar yang berada di samping Haura hanya menggenggam erat tangan Haura yang ada di gandengannya.

"Kenapa wajah kamu murung seperti itu? Kamu tidak merindukan Papa?" tanya Abrisam sembari menatap lekat wajah Haura.

Saat tidak juga mendapat respons dari Haura, Abrisam maju mendekata Haura lalu memeluk putri semata wayangnya itu. Demi apa pun, kerinduannya pada Haura begitu berat sampai rasanya dia ingin menangis, tetapi sebisa mungkin Abrisam menahannya.

"Papa kangen banget sama putri satu-satunya Papa ini," ucap Abrisam seraya memeluk erat Haura. "Kamu benar-benar tidak kangen sama Papa?" tanya Abrisam lagi tanpa melepas pelukannya.

"Tadinya aku memang kangen sama Papa. Tapi mendengar ancaman Papa dari Pak Nasir dan melihat Papa akan menikah dengan wanita lain, ngebuat aku nggak bisa lagi ngerasain kangen itu," ucap Haura tanpa membalas pelukan Abrisam. Kedua tangannya dia kepalkan di sisi tubuhnya. Dia berusaha menguatkan dirinya untuk tidak mengeluarkan air mata.

Abrisam mengurai pelukannya. Dia menangkup pipi Haura yang agak tembab itu, lalu menatap intens kedua netra Haura yang begitu mirip dengan netra mantan istrinya--Rumaisha.

"Kenapa Papa jahat banget sama Mama dan aku? Denger ancaman Papa melalui Pak Nasir, ngebuat aku berfikir untuk berhenti sekolah. Rasanya aku ingin kerja aja, biar bisa dapat uang dan bisa biayain perawatan Mama," ucap Haura dengan mata yang sudah memerah.

Haidar dibuat terkejut dengan ucapan Haura itu. Dia benar-benar tidak menyangka kalimat seperti itu bisa keluar dari lisan adiknya.

"Kamu bicara apa, Hau? Jangan bicara sembarangan, Papa nggak suka!" tegur Abrisam.

"Aku nggak bicara sembarangan. Aku cuman ngungkapin apa yang sempat ada di dalam pikiran aku," balas Haura lalu menunduk saat dia tidak kuat lagi membendung air matanya.

"Pa ...." Haura kembali mendongak menatap netra Abrisam. " Aku boleh ngomong harapan aku nggak sama Papa? Mungkin ... untuk terakhir kalinya aku ungkapin harapan aku ini, sebelum aku menuburnya dalam-dalam," ujar Haura dengan nada bergetar.

"Apa itu?" tanya Abrisam hendak menghapus air mata Haura, tetapi Haura mengelak.

"Sebenarnya aku masih berharap mama dan Papa bisa rujuk lagi, tapi sepertinya harapanku itu hanya tinggal harapan. Karena Papa udah nemuin wanita lain. Bodohnya, kemarin-kemarin aku selalu meyakinkan diri kalau suatu saat nanti mama sama Papa pasti bakalan rujuk lagi ... tapi ternyata nggak," ucap Haura diiringi dengan senyum tipis yang memaknai rasa sakitnya.

"Kecewa? Jangan ditanya, Pa. Aku kecewa banget sama Papa," lanjutnya, "seharusnya Papa nggak maksa aku dan Bang Haidar untuk dateng ke acara bahagia Papa ini. Karena di hari kebahagiaan Papa kali ini menjadi luka buat aku dan Bang Haidar." Haura kembali menunduk saat pandangannya kembali memburam karena air mata.

"Haura ...."

"Awalnya aku pikir Papa ikhlas biayain semua perawatan dan keperluan mama selama di rumah sakit. Tapi, ternyata nggak. Papa sengaja mau biayain perawatan mama karena dengan begitu Papa bisa mengancam Bang Haidar kalau keinginan Papa nggak dikabulin sama Bang Haidar, kan?"

Lagi, Haidar dibuat terkejut dengan ucapan adiknya itu. Pertanyaan dari mana Haura mengetahui hal itu berputar di kepalanya.

"Jadi, nggak salah, kan kalau aku bilang kalau Papa itu ... jahat?" setelah mengatakan hal itu Haura berlalu dari hadapan Abrisam yang tampak terdiam setelah mendengar kata terakhir yang keluar dari mulutnya.

••••

"Kenapa lo nggak gagalin rencana mereka sebelum semuanya terlambat?" pertanyaan yang terdengar datar itu masuk ke indra pendengar Haidar.

"Kenapa harus gue? Kenapa bukan lo?" tanya balik Haidar tanpa menatap sang lawan bicara.

"Jadi, lo akan ngebiarin mereka menikah dan kita akan jadi saudara tiri?"

Haidar menatap lawan bicaranya--Dean dengan tatapan yang tak kalah tajam dari tatapan Dean. "Gue nggak mau punya saudara tiri kayak lo! Walaupun nanti mereka menikah, gue tetep nggak punya saudara selain adik gue!"

"Lo pikir gue sudi punya sodara kayak lo?" Dean tersenyum sinis. "Nggak sama sekali!"

Setelah mengatakan hal itu, Dean segera pergi dari hadapan Haidar. Sebelum dia lepas kendali dan menonjok wajah Haidar, lebih baik dia memisahkan diri. Dia juga masih menghormati mamanya dan tidak ingin membuat mamanya malu karena perbuatannya.

"Kak Haidar!" Seruan semangat itu membuat Haidar memutar bola matanya malas. Kenapa hidup gue harus dikelilingi pengganggu kayak mereka, sih?

Haidar tetap diam, tak menanggapi sama sekali panggilan dari perempuan cantik yang kini sudah berdiri di sampingnya.

"Kak Haidar ke sini sama siapa?" tanya perempuan itu--Olaf. Namun, Haidar tetap diam, enggan menjawab pertanyaan dari Olaf.

"Kak Haidar ...," panggil Olaf, "Kak Haidar!" panggilnya lagi  tetapi masih diabaikan oleh lelaki yang bertubuh tinggi itu.

"Kak Haidar!" Kali ini Olaf sedikit menaikkan nada suaranya sembari menggoyangkan lengan Haidar.

"Apa, sih?" desis Haidar, sembari memutar kedua bola matanya malas.

"Tadi aku nanya, Kakak ke sininya sama siapa?"

"Sama aku, Kak," jawab Haura yang baru saja kembali dari toilet.

"Kamu juga dateng, Hau?" Haura mengangguk seraya tersenyum tipis.

Baru saja Olaf ingin membuka obrolan, terurungkan saat sura MC terdengar mengiterupsi semua perhatian para tamu.

Di saat semua orang maju untuk lebih dekat dengan panggung di depan sana, Haidar dan Haura justru hanya terdiam di tempat. Enggan mendekat ke kerumunan orang-orang itu. Olaf sendiri sudah pergi ke depan bersama dengan dady-nya.

Abang beradik itu terlihat fokus menatap Abrisam dan Dania yang saling berhadapan di atas panggung sana. Senyum lebar keduanya menandakan jika mereka benar-benar bahagia. Melihat pandangan itu membuat hati Haidar seolah diremas oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Atensinya dia alihkan pada Haura. Bertepatan dengan itu Haura menghapus air matanya yang tiba-tiba saja menetes. Karena tidak ingin adiknya terus menangis. Haidar, lantas menarik tangan Haura untuk keluar dari gedung itu.

Haura yang mendapat tarikan tiba-tiba dari Haidar terkejut, tetapi dia tetap pasrah, karena jika terus berada di dalam gedung itu, dia pastikan air matanya akan lebih banyak yang akan keluar.

"Kita mau ke mana, Bang?" tanya Haura saat mereka sudah berada di luar gedung.

"Kamu mau ke mana?" tanya balik Haidar, seraya menghapus air mata Haura.

"Ke tempat yang bisa buat aku tenang," jawab Haura.

Haidar mengangguk, lalu merangkul Haura untuk ke pinggir jalan di depan sana. Sebab, saat ke sini, Haidar tidak membawa kendaraan. Jadi, mereka harus menunggu taksi. Tak lama setelah tiba di pinggir jalan, sebuah taksi terlihat di pelupuk mata Haidar, dengan segera dia melambaikan tangan.

"Ayo masuk!" Haidar membuka pintu, dan menyuruh Haura untuk masuk lebih dulu.

Sebelum Haidar mengatakan tujuannya pada supir taksi, dia lebih dulu mengangkat telepon yang masuk dari Azura.

"...."

"Waalaikumsalam, Ra. Ada apa?"

"...."

"Ini gue lagi di jalan," jawab Haidar.

"...."

"Ap ... Apa? Mama kejang-kejang?" Raut wajah Haidar seketika khawatir saat Azura menjawab pertanyaannya dengan kata 'iya'.

"Pak, ke Rumah Sakit Cinta Kasih sekarang!" titah Haidar. Dia lalu melirik ke arah Haura yang tampak termenung, tetapi air mata mulai membasahi kedua pipinya.

••••

Saat tiba di rumah sakit, Haura dan Haidar langsung berlari menuju ruangan Rumaisha. Tak lama kemudian langkah keduanya terhenti saat melihat Azura dan Adira yang tampak mondar-mandir di depan ruangan mamanya.

Tanpa berlama-lama lagi, keduanya menghampiri Azura dan Adira. "Kak, Mama gimana? Dia baik-baik aja, kan? Nggak terjadi sesuatu yang buruk, kan ,Kak?" tanya Haura dengan berlinang air mata.

Azura memegang kedua bahu Haura, dan menyuruhnya untuk tenang. Dia juga mengatakan jika dokter masih ada di dalam sana untuk memeriksa keadaan Rumaisha.

Tak lama setelah itu, Kia keluar dari ruangan Rumaisha. Langsung saja, keempat orang itu menghampiri Kia.

"Dok gimana? Mama baik-baik aja, kan?" tanya Haura cepat.

Kia tidak langsung menjawab. Dia justru menatap Haidar dan Haura dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Namun, detik berikutnya Kia menggeleng lemah. "Maaf, Ibu Rumaisha tidak bisa kami selamatkan."

Deg!

.
.
.
.
.

To be continued.

Haluu, assalamualaikum semua.

Maaf, ya kemarin aku nggak bisa update, karena kemarin aku belum selesai nulisnya. Hehehe.

Okey, seperti biasa jangan lupa tinggalin jejak setelah membaca, ya. Mohon hargai usaha author😉. Setidaknya kalau kalian ngerasa berat untuk berkomentar, kalian bisa kok tinggalin jejak dengan cara pencet gambar bintang yang ada di bagian bawah pojok sebelah kiri.

Follow juga Ig @ayuniswy.story.

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 9, Mei, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro