Six
Sampai kapan sikap kamu akan terus seperti itu padaku? Tidak bisakah kamu lihat, betapa aku mencintaimu?
~Olaf Zabrina Delwyn~
🕊🕊🕊🕊
Seorang gadis berperawakan tinggi dan juga agak kurus keluar dari sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap. Gadis yang memiliki rambut sepunggung dan berwarna kecokelatan itu sedikit menundukkan tubuhnya di samping mobil.
"Hati-hati di jalan, Dad." Gadis itu tersenyum pada seorang pria paruh baya di dalam mobil mewah.
Setelah mobil Dady-nya tidak terlihat lagi di pelupuk mata, gadis yang tengah mengenakan dress berwarna kuning selutut itu berbalik, lalu berjalan ke arah gerbang yang berdiri kokoh tidak jauh di depan. Setelah tepat berada di depan gerbang mewah berwarna hitam itu, dengan segera kedua jari lentik nan putihnya memencet bel yang melekat pada tembok--tepat di samping gerbang.
Tak lama kemudian pagar pun terbuka, hingga menampakkan wajah pria paruh baya dengan seragam satpam yang dikenakannya. "Non Olaf!" serunya dengan semringah.
Wanita yang memiliki netra amber itu tersenyum manis pada satpam di hadapannya. "Selamat pagi, Pak Yuda."
"Pagi, Non. Tumben, baru muncul lagi," ucap Pak Yuda, tanpa menghilangkan senyumannya.
"Aku baru pulang dari London kemarin, Pak. Makanya nggak pernah ke sini lagi," ucap Olaf.
"Ah, saya sampai lupa nyuruh Non Olaf masuk. Ayo masuk, Non! Pasti mau ketemu sama Den Haidar, kan?"
Mendengar ucapan Pak Yuda, berhasil membuat kedua pipi tembam Olaf seketika bersemu. "Kak Haidarnya ada di dalam, kan, Pak?"
"Ada dong, Non. Den Haidar baru pulang dari rumah sakit, subuh tadi. Ayo masuk, Non!"
Olaf mengangguk, lalu masuk ke pelataran rumah Haidar. Setelah pamit pada Pak Yuda, Olaf berjalan menuju pintu utama rumah Haidar. Dia memencet bel yang terletak di samping pintu besar berwarna cokelat itu. Sembari menunggu dibukakan pintu oleh pemilik rumah, Olaf sedikit memperbaiki tatanan rambut juga dress-nya. Dia memegang dadanya dan merasakan jantungnya yang berdegup cukup kencang hanya karena akan bertemu dengan Haidar setelah dua minggu tidak bertemu dengan pria bernetra cokelat itu.
"Non Olaf." Olaf tersenyum pada wanita paruh baya di hadapannya--Bi Yumi--asisten rumah tangga di rumah Haidar.
"Pagi, Bi Yumi," sapa Olaf seraya tersenyum.
"Ayo masuk, Non!" Olaf mengangguk, kemudian mengikuti langkah Bi Yumi, yang menggiringnya menuju ruang tamu.
"Silakan duduk, Non." Olaf kembali mengangguk. "Mau saya panggilin Den Haidar atau Tuan Abrisam, Non?" tanya Bi Yumi.
Olaf menggeleng. "Nggak perlu, Bi. Nanti mereka akan turun juga, kan?" Bi Yumi mengangguk. Setelah itu pamit ke dapur untuk membuatkan minuman untuk Olaf.
"Olaf." Olaf menoleh ke arah tangga dan seketika senyumnya mengembang, dengan segera dia bangkit dari duduknya dan berlari kecil menghampiri seseorang yang baru saja memanggil namanya.
Setelah tiba di hadapan seseorang yang memanggil namanya tadi, Olaf segera memeluknya dengan erat. "Om Sam! Apa kabar?" tanyanya setelah melepas pelukan singkatnya pada Sam atau Abrisam--papa Haidar.
"Kabar Om baik. Kamu sendiri gimana?"
"Seperti yang Om lihat. Aku baik-baik aja, malah sangat baik," ucap Olaf seraya tertawa pelan dan Abrisam juga ikut tertawa melihat tingkah Olaf.
"Kamu ke sini sama siapa?"
"Sama Dady, tapi dia udah ke kantor. Lagi buru-buru katanya." Abrisam mengangguk paham.
"Kak Haidar!" seru Olaf dengan begitu semangat saat netra ambernya melihat sosok Haidar yang berdiri di tangga, tepat di belakang Abrisam.
"Nggak kenal!" Senyum Olaf seketika lenyap setelah mendengar ucapan dari Haidar.
Namun, detik berikutnya Olaf kembali merekahkan senyumnya. "Om, aku bisa ikut sarapan di sini nggak?" tanyanya pada Abrisam.
"Tentu saja. Ayo!" Olaf mengangguk antusias, lalu menyusul langkah Abrisam menuju meja makan.
Saat Olaf dan Abrisam sampai di meja makan. Haidar melirik sekilas ke arah keduanya, setelah itu menyantap makanannya dalam diam. Mengabaikan percakapan Olaf dan papanya.
"Kak Haidar, nanti aku bisa nebeng nggak ke kampus? Lagian kampus aku searah sama kampusnya Kak Haidar. Aku ke sini nggak bawa mobil, tadi dianterin Dady soalnya."
"Nggak bisa!" ucap Haidar tanpa melirik ke arah Olaf.
"Haidar!" tegur Abrisam, "apa susahnya kamu mengantar Olaf? Lagian kalau kamu mau ke kampus, kamu ngelewatin kampusnya Olaf. Jadi, biarkan Olaf ikut denganmu," ucap Abrisam dengan tegas.
"Kalau begitu kenapa bukan Papa aja yang nganterin dia? Bukannya kalau Papa mau ke kantor, Papa juga ngelewatin kampusnya dia?" ucap Haidar dengan santainya.
"Haidar!" bentakan dari Abrisam membuat Haidar meletakkan sendoknya dengan kasar.
"Aku sudah kenyang." Haidar bangkit dari duduknya, lalu melirik sekilas ke arah Olaf yang tampak menunduk.
"Ayo, Olaf. Kamu berangkat bareng Haidar," ucap Abrisam pada Olaf.
"Hm ... nggak usah, Om. Aku berangkatnya naik ...." Belum sempat Olaf menyelesaikan ucapannya, Haidar sudah lebih dulu memotongnya.
"Buruan, gue tunggu lo di luar." Senyum Olaf kembali merekah setelah mendengar ucapan Haidar.
"Heran gue, orang kaya tapi sukanya dianter sama gue. Padahal gue bukan supirnya, dibayar aja nggak. Apa ini definisi orang kaya yang sesungguhnya?"
Olaf hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Haidar yang ditujukan untuknya. Aku kayak gini, biar bisa dekat terus sama kamu, Kak, batin Olaf berkata.
••••
Haidar memarkirkan motornya tepat di depan penjual batagor--tepat berada di depan masjid. Dia lalu membuka helmnya dan menghampiri abang-abang penjual batagor. "Pak, batagornya. Yang paling pedas ya, Pak." Penjual batagor itu mengangguk, lalu menyuruh Haidar untuk menunggu.
Sembari menunggu batagornya disiapkan, Haidar duduk di bangku panjang yang sudah disiapkan, sembari memainkan ponselnya. Namun, suara yang tidak asing masuk ke rungunya, hingga membuat Haidar menatap ke arah depan.
"Pak batagornya dua, ya. Yang satu nggak pedas, yang satunya pedas."
Senyum Haidar seketika merekah, kedua netranya juga tampak berbinar saat mendapati seorang gadis yang belakangan ini selalu masuk ke dalam pikirannya tanpa permisi. "Azura!"
Azura yang merasa namanya dipanggil pun berbalik, lalu tersenyum tipis dan menghampiri Haidar. "Kak Haidar," sapanya.
"Pesan batagor juga?" Azura mengangguk pelan.
"Iyalah, Mas. Masa pesen bakso, kan Bapak ini cuman jual batagor." Ucapan gadis yang berada di samping Azura membuat Haidar menggaruk belakang kepalanya, seraya tersenyum canggung ke arah kedua wanita di hadapannya.
"Adira," teguran dari Azura membuat Adira cengengesan.
"Maaf, Mas. Saya cuma becanda tadi," ucap Adira, "tapi Azura, kamu kenal sama Mas ini dari mana?" tanya Adira penasaran seraya menatap Haidar dan Azura secara bergantian.
"Adira, kenalin dia ini Kak Haidar, satu fakultas sama kita di kampus. Dia juga yang udah nolongin aku waktu motorku kehabisan bensin."
"Eh, maaf, Kak. Tadi saya cuma bercanda," ucap Adira seraya tersenyum tidak enak pada Haidar.
Haidar tampak tertawa kecil, lalu mengangguk. "Nggak masalah. Nama lo Adira, kan? Salam kenal," ucap Haidar tanpa mengulurkan tangannya seperti saat dia mengajak Azura berkenalan.
"Salam kenal juga, Kak."
"Ayo duduk!" Haidar mempersilahkan keduanya untuk duduk. Haidar duduk di ujung bangku hingga ada jarak antara dia, Azura dan Adira.
"Makasih, Kak." Haidar mengangguk singkat pada Azura.
"Betewe, Kak Haidar udah semester berapa?" tanya Adira memecah keheningan di antara mereka bertiga.
"Semester akhir, udah nyusun skripsi," jawab Haidar.
Tak lama setelah itu pesanan batagor mereka pun, siap. Ketiganya makan dalam diam sebab mereka fokus pada batagor yang sedang mereka santap. Terlebih Haidar, dia terlihat begitu lahap memakan batagornya, walau rasa pedas seperti membakar lidah dan mulutnya, tetapi dia masih sangat menikmati makanannya.
Hingga beberapa menit berlalu, batagor mereka akhirnya habis, bertepatan setelah mereka membayar batagornya, azan asar terdengar. Azura melirik Adira lalu berkata, "Kita salat asar di sini aja, ya?" Adira mengangguk setuju.
"Hm ... Kak, kita duluan, ya. Kita mau ke dalam dulu," ucap Azura pada Haidar seraya menunjuk Masjid di belakangnya.
"Iya," jawab Haidar dengan senyumnya.
"Em ...." Azura menatap Haidar sekilas. "Kakak nggak mau sekalian ke dalam? Salat asar dulu, biar nanti kalau sampai rumah bisa santai," tawar Azura dan mendapat anggukan setuju dari Adira.
Haidar menggaruk belakang kepalanya, lalu tersenyum canggung ke arah Azura. "Gue nggak salat."
"Eh ... maaf, Kak. Saya nggak tahu," ujar Azura dengan cepat, seraya menatap Haidar dengan mimik wajah tidak enak.
"Ngapain minta maaf?" tanya Haidar seraya tertawa geli.
"Karena udah ngajak Kakak buat masuk, padahal Kakak bukan ...." Belum sempat Azura menyelesaikan ucapannya. Haidar sudah lebih dulu memotongnya.
"Gue Islam, kok. Cuman, nggak lagi salat aja," ucap Haidar, "apa tampang gue kelihatan non muslim, ya?" tanya Haidar pada Azura dan Adira.
Azura menggigit bibir bawahnya dengan gugup, lalu melirik sekilah ke arah Haidar. Dia merasa tidak enak karena ucapannya tadi. "Ma ... maaf, Kak. Bu ... bukan gitu, maksud aku ...." Lagi-lagi Haidar memotong ucapannya.
"Iya, iya. Gue ngerti, kok." Haidar tertawa kecil melihat kelakuan Azura yang menggemaskan di matanya. "Sana, kalian masuk! Gue duluan."
Setelah Haidar pergi dengan motornya, barulah Azura dan Adira masuk ke masjid untuk menunaikan salat asar. Dari kecil Azura dan Adira selalu diajarkan untuk salat tepat waktu. Terlebih lagi jika ingin bepergian.
Buya Azura pernah berkata pada Azura dan Adira. "Jika sudah masuk waktu salat dan kalian akan bepergian, sebaiknya salatlah dulu. Sebab, kita tidak tahu kapan ajal akan menghampiri. Takutnya, kita menunda salat dan bilang salatnya nanti saja pas pulang, tapi nahasnya pulang-pulang kita sudah tidak bernyawa dan kita nggak bisa lagi melaksanakan salat yang kita tunda itu."
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum dan selamaat malam semuaaa👋.
Hampir aja aku lupa update hari ini, wkwkw. Tapi alhamdulillah pas sore tadi langsung keinget kalau ternyata hari ini hari kamis dan jadwal aku untuk update, wkwkw.
Seperti biasa, jangan lupa vote, komen, dan follow. Bantu aku juga, ya cari kata-kata yang typo, biar kalau pas mau revisi kadi gampang wkwkw.
Sampai ketemu di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 15, April, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro