Seventeen
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sebab, jika Allah sudah mengatakan kalimat 'kun fayakun' maka terjadilah.
©Letter of Destiny.©
🕊🕊🕊🕊
Haidar menyusul Haura ke dalam ruangan Rumaisha setelah terdiam beberapa saat. Kedua netranya memerah. Kembali, rasa sesak itu hadir. Seolah-olah ada benda tak kasat mata yang menghantam tepat ke ulu hatinya.
Kaki Haidar terasa lemas seketika, saat atensinya tertuju pada Haura yang melarang suster untuk melepas semua alat medis di tubuh Rumaisha. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Haidar berjalan pelan menghampiri brankar mamanya.
"Suster, jangan lepasin alat-alat itu! Mama masih hidup! Pasti Dokter Kia berbohong!" teriak Haura dengan suara paraunya.
"Tapi, Dek dokter nggak bohong. Ibu Rumaisha memang sudah me ...."
"NGGAK! MAMA BELUM MENINGGAL! MAMA BELUM MENINGGAL, SUSTER!" Kembali Haura berteriak dengan mata memerah sembari menahan suster yang masih berusaha melepas alat medis yang berada di tubuh mamanya.
"Bang! Bilang sama suster ini, kalau Mama belum meninggal, Mama pasti masih tidur dan akan bangun lagi." Kali ini Haura beralih pada Haidar yang hanya terdiam dengan tatapan lurus ke arah Rumaisha.
"Bang! Ayo Bang, bilang sama Suster ini!" gertak Haura saat Haidar tidak meresponsnya sama sekali. "ABANG!" bentak Haura sambil menggoyangkan tangan Haidar dengan kasar.
Haidar kini beralih menatap Haura dengan air mata yang terlihat menggenang di pelupuk matanya. "Haura ... ikhlasin Ma ...."
"ABANG!" teriak Haura dengan suaranya yang sangat parau. "ABANG KENAPA JAHAT BANGET, HAH? MAMA BELUM MENINGGAL, BANG! KENAPA NGGAK ADA YANG PERCAYA SAMA AKU, SIH?"
Haura memundurkan langkahnya dengan perlahan sembari menjambak rambutnya dengan kuat. Dia terus menggelengkan kepala sembari mengatakan, "Mama belum meninggal! Mama cuman lagi tidur aja. Kenapa kalian nggak bisa mengerti?"
"Ya Allah, Haura." Azura dan Adira menghampiri Haura yang tampak kacau.
"Jangan seperti ini, kamu bisa melukai diri kamu sendiri, Hau," tegur Azura seraya melepaskan kedua tangan Haura yang masih menjambak rambutnya sendiri.
"Kak," lirih Haura seraya mendongak memandangi Azura. "Tolong bilang sama mereka, kalau Mama masih hidup. Mama belum meninggal, Mama cuman lagi tidur aja, Kak. Ayo bilang sama mereka, Kak!" gumam Haura dengan sesegukan. Dia tidak kuat lagi untuk berteriak, rasanya seperti ada sebuah tangan yang tak kasat mata mencekik lehernya. Tubuhnya juga sudah sangat lemas. Untung saja Azura dan Adira menahan tubuhnya saat ini.
"Aku tahu, pasti berat buat kamu untuk nerima semua ini, Hau. Tapi, memang sudah seperti ini jalan yang ditentukan Allah untuk mama kamu. Yang sabar, ikhlas, Hau." Azura berusaha sepelan mungkin untuk memberi pengertian pada Haura.
"Ja ... jadi Mama udah bener-bener pergi, Kak? Mama udah bener-bener ninggalin aku sendirian?" Azura mengangguk pelan dan hal itu membuat air mata Haura semakin banyak keluar.
"Ta ... tapi kenapa secepat ini? Aku bahkan belum bisa bahagiain Mama, tapi dia udah pergi ninggalin aku. Aku harus gimana, Kak? Ak ... Aku ...."
"HAURA!" Teriakan Azura dan Adira terdengar secara bersamaan saat Haura tiba-tiba tidak sadarkan diri.
Haidar segera menghampiri Haura dan akan menggendongnya. Namun, kegiatannya itu tertahan saat dua orang perawat datang menghampiri Haura dan menawarkan diri untuk membawa Haura ke ruangan lain. Haidar hanya mengangguk dan membiarkan Haura dibawa pergi oleh kedua perawat itu yang juga diikuti oleh Adira.
Azura menghampiri Haidar yang sudah kembali berdiri di samping brankar Rumaisha. Memang tidak ada air mata yang keluar dari netra lelaki itu, tetapi raut kesedihan tidak bisa dia sembunyikan dan Azura menyadari hal itu.
"Yang sabar, Kak. Allah lebih sayang Tante Rumaisha dan Allah juga tidak ingin jika Tante Rumaisha terus ngerasa sakit, makanya Allah manggil beliau dengan cepat," ujar Azura dengan nada pelan.
Haidar terdiam beberapa saat, kemudian berkata, "Sekarang gue harus gimana, Ra? Rasanya gue nggak bisa ikhlasin Mama. Gue juga belum ngebuat Mama bahagia, belum lagi ngeliat keadaan Haura tadi makin ngebuat gue berat untuk ngejalanin semuanya," cerita Haidar tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah Rumaisha yang tampak damai.
"Aku tahu, Kak. Mengikhlaskan sesuatu memang terasa berat, tapi belajar untuk mengikhlaskan itu yang harus Kakak lakuin sekarang. Kakak harus ikhlas biar Tante Rumaisha bisa tenang di sisi Allah."
"Mas, saya lepas, ya alat medisnya?" tanya seorang suster yang sedari tadi dilarang Haura untuk melepas alat medis Rumaisha.
Haidar tidak langsung mengangguk ataupun mengiyakan pertanyaan suster tersebut, sebab kedua netranya masih menatap intens ke arah Rumaisha. Namun, detik berikutnya Haidar mengangguk. Walau saat mengangguk tadi kepalanya terasa sangat berat.
Haidar dan Azura hanya terdiam saat suster itu mulai melepas satu per satu alat medis yang menempel di tubuh Rumaisha. Azura tidak menyadari jika air matanya kini menetes, dia benar-benar tidak menyangka jika Rumaisha pergi secepat ini. Namun, mau bagaimana lagi jika Allah telah mengatakan kalimat 'kun fayakun' maka terjadilah, pikir Azura.
"Tunggu sebentar suster!" tahan Haidar saat suster itu akan menutup seluruh tubuh Rumaisha dengan selimut.
Suster itu mundur tiga langkah saat Haidar melangkah lebih dekat dengan kepala Rumaisha. Sebelum dia melakukan hal yang ada di dalam pikirannya saat ini, dia lebih dulu menatap Rumaisha dalam-dalam. Seolah merekam wajah sang mama. Setelah itu, Haidar sedikit membungkuk, hingga kini wajahnya berada tepat di atas wajah Rumaisha.
"Tenang di alam sana, ya, Ma. Haidar janji akan jagain Haura dengan sangat baik. Jadi, Mama nggak perlu khawatir," gumam Haidar. Setelah itu dia memberikan kecupan terakhir pada kening Rumaisha dengan mata tertutup. Tanpa Haidar sadari air matanya kini jatuh menetesi mata Rumaisha yang tertutup.
Setelah itu, Haidar kembali berdiri tegak dan menyuruh suster untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. "Silakan, Sus."
Suster mengangguk. Baru saja suster itu akan menutupi seluruh tubuh Rumaisha dengan selimut, lagi-lagi terurungkan saat mendengar seruan Azura. "Suster, jari tangan Tante Rumaisha gerak!"
Haidar dan suster itu menoleh ke arah tangan Rumaisha, dan benar saja jari tangan Rumaisha tampak bergerak. Suster itu segera mengambil tangan Rumaisha dan memeriksa denyut nadinya, dan dia bisa merasakan denyut nadi Rumaisha walau terasa samar.
"Ada apa ini?" tanya Kia yang baru saja memasuki ruangan.
"Tadi, jari tangan Mama bergerak, Dok!" jawab Haidar.
"Benar, Dok. Saya juga bisa merasakan denyut nadi Bu Rumaisha, tetapi samar," ujar suster itu dan mendapat anggukan dari Kia.
"Biar saya periksa." Semua orang mengangguk. Mereka membiarkan Kia memeriksa Rumaisha.
Harapan akan kehidupan mamanya seketika membuncah di dalam dada Haidar. Dalam hati dia terus merapalkan doa agar mamanya masih bisa diselamatkan.
"Masya Allah. Jantung Bu Rumaisha kembali berdetak. Sus, tolong pasang kembali alat medisnya," ucap Kia dan mendapat anggukan patuh dari suster.
"Masya Allah," gumam Azura.
Mata Haidar kembali berkaca-kaca. Dia benar-benar merasa terharu. Sebab, sang mama tidak jadi meninggalkan dia dan Haura. Dengan segera Haidar kembali mendekati Rumaisha dan memeluknya dengan erat. "Makasih, Ma. Makasih udah bertahan," gumam Haidar.
.
.
.
.
.
To be continued.
Haluu, assalamualaikum semuaaa.
Seperti biasa jangan lupa vote, komen, dan follow, ya. Mohon jadilah pembaca yang budiman, hehehe.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 10, Mei, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro