Seven
Terkadang orang yang terlihat sangat ceria dan bahagia, belum tentu tidak memiliki beban yang berat. Krena biasanya orang yang paling ceria dan bahagialah yang bisanya memiliki beban hidup yang sangat berat.
©Letter of Destiny©
🕊🕊🕊🕊
Setelah melaksanakan salat asar secara berjamaah dengan Adira dan juga Hasna--Ummi Adira. Azura pun bersiap-siap untuk pulang ke pesantren sore ini juga. Kebetulan besok sampai satu hari ke depan dia memiliki waktu libur kuliah dan dia akan menggunakan kesempatan itu untuk pulang ke rumah orang tuanya.
Selama kuliah Azura memang tinggal di rumah orang tua Adira, karena jarak dari rumah Adira ke kampus sangat dekat, sementara jarak dari rumahnya ke kampus terbilang jauh. Bahkan, Kia juga tinggal di rumah Adira dan akan pulang ke pesantren saat libur kerja.
"Azura, kamu cari apa, Nak?" tanya Hasna, saat dia memasuki kamar Azura, dan melihat Azura yang sedang mencari-cari sesuatu.
"Eh, Ummi." Azura memberikan senyum pada Hasna. "Aku lagi nyari tasbih digitalnya Kak Kia. Kata Kak Kia, dia naro tasbinya di atas meja belajar, tapi pas aku cari nggak ada. Ummi lihat, nggak? Barangkali aja Kak Kia salah naro," tanya Azura pada Hasna.
"Ummi, nggak lihat. Sini, biar Ummi bantu cariin." Azura mengangguk, lalu kembali mencari tasbih digital milik Kia, begitupun juga dengan Hasna.
"Kalian cari ini, ya?" Adira muncul di depan pintu sembari memperlihatkan tasbih digital berwarna hitam.
"Jadi, kamu yang ambil? Kenapa nggak bilang-bilang dulu, sih? Tahu gitu, aku nggak usah capek-capek cari. Kasihan di Ummi juga, dia bantuin aku cari itu," ujar Azura sembari menatap kesal ke arah Adira, yang justru menyengir lebar ke arahnya.
"Ya, afwan, Ra. Lagian, kan kata Kak Kia, kalau mau minjem barang dia, ya ambil aja nggak usah bilang-bilang." Adira berusaha membela diri. "Lagian, salah kamu juga, sih. Harusnya sebelum kamu nyari ke tempat lain, coba tanyain dulu sama orang rumah, siapa tahu mereka yang ngambil tanpa bilang-bilang ...."
"Kayak kamu, kan?" Adira tertawa setelah mendengar ucapan Azura yang memotong ucapannya.
"Ya udah, sini tasbihnya." Azura mengulurkan tangannya untuk mengambil tasbih digital itu di tangan Adira. "Kalau gitu aku pulang dulu, ya, Mi, Dir. Kasian, Kak Kia kelamaan nunggu di rumah sakit," pamit Azura dan mendapati anggukan dari Adira dan Hasna.
"Kalian hati-hati di jalan, loh, ya!" Azura mengangguk, lalu menyalimi tangan Hasna.
"Abi belum pulang dari kantor?" Hasna menggeleng. "Ya udah, sampein salam Azura aja kalau gitu. Azura pamit, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Adira dan Hasna bersamaan. "Yuk, Ra. Aku anter sampe depan," ajak Adira, lalu merangkul Azura dengan begitu mudah, sebab tubuh Adira terbilang lebih tinggi dari pada tubuh Azura.
••••
Tidak membutuhkan waktu lama motor Scopy biru milik Azura telah sampai di parkiran rumah sakit. Dia lalu melepas helmnya, kemudian memasukkan kunci motor ke dalam tas. Setelah itu, dia berjalan masuk ke rumah sakit menuju ruangan Kia.
Selama perjalanan menuju ruangan Kia, Azura terus menyapa beberapa suster dan dokter yang berpapasan dengannya, karena memang hampir semua suster dan dokter yang akrab dengan Kia mengenal Azura pun Azura yang mengenal mereka.
Saat tiba di depan ruangan Kia, Azura segera mengetuk pintu dan mengucap salam, lalu setelah itu masuk ke ruangan.
"Kak, ayo pulang!" ajak Azura.
Kia beranjak dari duduknya, lalu mengambil tas salempang miliknya. "Ayo! Eh, kamu ambil tasbih digital Kakak, kan?"
"Ada, kok, Kak di tas aku." Kia mengangguk, lalu mengajak Azura keluar dari ruangannya.
"Sebelum pulang, Kakak mau lihat kondisi Ibu Rumaisha dulu. Kamu mau ikut Kakak atau tunggu di parkiran aja?"
"Ikut Kakak aja deh, ayo!" Kia mengangguk, lalu mulai berjalan menyusuri lorong rumah sakit.
"Ayo, masuk!" ajak Kia, setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
"Dokter Kia," sapa seorang remaja berambut sebahu dengan poni tipis yang menutupi sebagian dahinya.
Kemudian netra Haura menatap ke arah Azura dengan mimik wajah yang terlihat bingung. "Dokter, dia siapa?" tanya Haura pada Kia, sembari melihat ke arah Azura.
"Dia adik saya, namanya Azura."
Azura melempar senyumnya pada Haura, lalu mengulurkan tangannya. "Kenalin, aku Azura."
Haura menerima uluran tangan Azura. "Aku Haura, Kak."
"Saya periksa Mama kamu dulu, ya?" Haura mengangguki pertanyaan dari Kia.
"Kak, ini Ibu yang koma itu, kan?" tanya Azura, saat kembali melihat wajah Rumaisha untuk kedua kalinya. "Dia belum sadar juga ternyata," lirih Azura. Kedua netranya menatap iba ke arah Rumaisha.
"Iya, Kak. Mama belum sadar."
Azura menatap Haura yang terlihat sedih sembari menatap Rumaisha. "Jangan berhenti berdoa, itu jalan satu-satunya biar Mama kamu bisa kembali sadar."
"Pasti, Kak," ucap Haura mantap, sembari memberikan senyumnya pada Azura.
"Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu, ya. Assalamualaikum."
Setelah mendapat anggukan dari Haura, Azura dan Kia pun keluar dari ruangan Rumaisha dan berjalan menuju parkiran. Setelah tiba di parkiran Azura hendak memakai helmnya, tetapi terurungkan saat seseorang memanggil namanya.
Kontan, Kia dan Azura berbalik dan mendapati Haidar yang berjalan menuju ke arah mereka. "Kak Haidar."
Haidar tersenyum ke arah Azura dan juga ke arah Kia. "Dokter sama Azura mau ke mana?" tanya Haidar.
"Pulang, Dar," jawab Kia.
Haidar berdeham, lalu menatap Kia dan Azur secara bergantian. "Kalau boleh tahu rumah Dokter di mana?" tanya Haidar.
"Kenapa kamu nanya rumah saya di mana?"
Mendengar pertanyaan Kia, membuat Haidar menggaruk belakang kepalanya lalu tersenyum canggung. "Anu, Dok. Siapa tahu aja nanti Mama tiba-tiba sadar, kan dan Dokter nggak ada di rumah sakit. Jadi, nanti saya bisa langsung panggil Dokter ke rumah."
"Kamu bisa langsung menghubungi saya, kamu, kan punya nomer telepon saya. Lagian, di rumah sakit ini bukan hanya saya dokternya."
"Ah, iya juga, ya." Haidar meringis pelan. Sepertinya, kali ini usahanya gagal untuk mengetahui di mana rumah Azura.
"Ya sudah kami pamit dulu. Assalamualaikum," pamit Kia.
"Duluan, Kak," pamit Azura juga seraya tersenyum tipis.
"Waalaikumsalam." Haidar memegang dadanya yang berdetak cepat, lagi-lagi hanya karena senyuman tipis dari Azura jantungnya bisa seheboh ini, bagaimana jika lebih dari senyuman tipis? Haidar tidak bisa membayangkan keadaan jantungnya kelak akan seperti apa.
Saat Haidar akan berbalik, tidak sengaja netranya menangkap sebuah benda kecil di dekat sepatunya. Dia pun menunduk dan mengambil benda kecil itu. "Tasbih digital," ujarnya, "tapi, ini punya siapa?" tanyanya seraya membolak-balikkan tasbih digital berwarna hitam itu.
"Kia?" tanyanya saat melihat ukiran nama Kia di balik layar tasbih itu. "Apa ini punya Dokter Kia?"
••••
Haidar masuk ke ruangan mamanya sembari menenteng sekantung plastik hitam yang berisi dua bungkus nasi goreng ekstra pedas--yang dia beli tepat di depan rumah sakit. Haidar dan Haura sudah menjadi pelanggan tetap penjual nasi goreng itu selama satu bulan lebih belakangan ini.
"Bawa apa tuh, Bang?" tanya Haura saat melihat Haidar yang baru saja masuk ke ruangan mamanya.
"Biasa, nasi goreng pedas Pak Didit," ucap Haidar lalu meletakkan kantung plastik itu di atas meja.
Seketika mata Haura berbinar saat mendengar kalimat Haidar barusan. Dengan cepat dia menghampiri Haidar yang sedang duduk di sofa. "Buat aku ada, kan, Bang?" tanya Haura tampak senang.
"Oooh, tidak ada!" ucap Haidar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Iiih, kok nggak ada, sih!" Wajah Haura yang tadinya berseri, kini memberenggut dengan mata yang menyorot tajam ke arah Haidar.
"Ya iya, dong. 'Kan Abang belinya pake uang sendiri, jadi kamu nggak ada bagiannya." Haidar menatap Haura dengan mimik wajah yang terlihat serius. Padahal dalam hati dia sedang menahan diri untuk tidak menertawai wajah Haura yang sudah tidak enak dipandang itu. Sebenarnya, Haidar sengaja membeli dua bungkus karena memang nasi goreng itu untuk dia sendiri dan juga Haura, tetapi dia ingin sedikit menjahili adiknya ini.
"Bang Haidar pelit! Kata mama, orang pelit itu nggak ada temennya. Lihat aja, nanti kalau Mama udah sadar aku bakalan ngadu kalau Bang Haidar itu pelit," ucap Haura dengan wajah yang sudah ditekuk juga dengan bibir yang sudah maju beberapa senti.
"Ya udah sana ngadu! Dasar tukang ngadu!" Haidar makin gencar membuat Haura kesal.
Dengan amat kesal Haura berkata, "Nanti kalau Mama udah sadar aku bakalan ngadu, biar Bang Haidar dijewer sekalian. Tapi ...." Pandangan Haura tampak meredup saat beralih menatap Rumaisha di brankarnya. "Kapan Mama sadar?" lirihnya menahan kesedihan.
Haidar jadi kelabakan saat melihat Haura yang akan menangis. "Udah sebulan lebih Mama nggak sadar. Aku takut ...." Haura beralih menatap Haidar dengan mata yang memerah menahan tangis. "Aku takut Bang, takut kalau seandainya Mama nggak akan pernah lagi ngebuka matanya."
Haidar segera menarik Haura ke dalam pelukannya. Dia mengusap surai hitam lebat milik Haura, berusaha menenangkan adiknya ini. Dia jadi merasa bersalah menjahili Haura, karena ulahnya Haura kembali menangis. Haidar paling tidak bisa melihat air mata orang tersayangnya jatuh. Sebab, hal itu juga bisa melukai hatinya.
"Bang, Mama bakalan sadar, kan?" tanya Haura di sela-sela tangisannya.
"Iya! Mama akan sadar. Kita hanya perlu banyak-banyak berdoa sama Allah, biar Mama bisa sadar secepatnya."
Nyatanya bukan hanya Haura yang sangat takut jika Rumaisha tidak akan pernah lagi bangun dari komanya. Haidar pun sama, dia juga sangat takut jika hal itu sampai terjadi, tetapi dia tidak menunjukkan ketakutannya itu pada siapa pun terlebih pada Haura, sebab, jika dia memperlihatkan ketakutannya itu pada Haura, maka siapa yang akan berusaha menguatkan adik kesayangannya itu?
.
.
.
.
.
To be continued.
Haluu, assalamualaikum semuaaa👋.
Seperti biasa jangan lupa tinggalin jejak setelah membaca, ya😉. Caranya gampang, kok kalian cuman perlu pencet gambar bintang yang ada di bagian bawah pojok, abis itu komen juga, hehehe.
Udah itu aja. Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 17, April, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro