Nine
Ketika mulut tak lagi punya kuasa untuk menegur sesuatu yang tidak disukai. Maka diam adalah cara terbaik yang harus dilakukan.
©Letter of Destiny©
🕊🕊🕊🕊
Setelah memarkirkan motor kesayangannya di tempat parkir yang sangat luas dan ramai akan kendaraan beroda empat itu. Haidar segera turun dari motor setelah melepas helm miliknya. Kedua netra coklatnya menyorot sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapannya.
Haidar segera melangkahkan sepasang tungkainya memasuki lobi kantor bertingkat itu sembari tangan kanannya yang memegang sebuah dokumen. Beberapa orang yang berpapasan dengannya tersenyum seraya menyapanya dan tentu saja sapaan mereka dibalas oleh Haidar.
Siapa yang tidak mengenal Haidar di kantor ini? Tidak ada. Sebab, dia adalah putra satu-satu dari pemilik kantor yang mereka tempati untuk mencari nafkah. Putra dari seorang pengusaha tambang batu bara, manufaktur, dan properti yang sukses. Belum lagi, cabang dari usahanya itu tersebar di beberapa kota yang ada di Indonesia.
Setelah masuk ke lift, Haidar segera memencet tombol yang berangka empat belas, di mana ruangan direktur utama--papanya--berada. Tak berselang lama, pintu lift terbuka saat tiba di lantai empat belas. Haidar segera keluar dan menghampiri seorang pria yang terlihat sibuk dengan komputer di hadapannya.
"Permisi, Pak Nasir." Pria paruh baya itu mendongak, lalu detik berikutnya berdiri sembari mengulas senyum.
"Haidar. Mau bertemu dengan papamu?" tanyanya dengan ramah.
Haidar mengangguk. "Iya, Pak. Papa saya ada di dalam ruangannya nggak?"
Pak Nasir tampak mengangguk, lalu hendak mengantar Haidar untuk bertemu dengan papanya, akan tetapi Haidar melarangnya dan menyuruh Pak Nasir untuk melanjutkan pekerjaannya saja.
Setelah mengetuk pintu, Haidar segera membuka pintu dan masuk ke ruangan Abrisam. Namun, raut wajahnya seketika terlihat datar, saat netranya menangkap pemandangan yang benar-benar membuatnya muak.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Haidar segera melewati sofa, di mana Abrisam dan Dania sedang duduk sembari makan siang bersama dengan cara suap-suapan. Setelah meletakkan dokumen itu di atas meja kerja Abrisam, Haidar kembali melihat ke arah dua pasangan yang asik dengan dunianya sendiri.
"Dokumennya aku taruh di atas meja. Aku pamit," ucap Haidar tiba-tiba yang membuat kedua orang itu menatap ke arahnya.
"Haidar, sejak kapan kamu masuk?" tanya Abrisam seraya menatap Haidar.
"Baru saja," jawab Haidar sekenannya.
"Haidar. Ayo makan bareng kami. Tadi, Tante bawa banyak makanan. Sini, Nak," ucap Dania dengan senyumannya.
"Terima kasih. Saya sudah kenyang," ujar Haidar, "dan maaf, saya bukan anak anda." Setelah mengatakan hal itu, Haidar segera keluar dan mengabaikan teriakan Abrisam yang memanggil namanya.
Wanita itu belum menjadi ibunya, tetapi sudah berani memanggilnya dengan sebutan 'nak'. Bagaimana jika papanya berniat menikahi wanita itu? Itu berarti dia akan memiliki dua ibu. Nggak, sampai kapan pun, gue hanya punya satu ibu, yaitu Mama Rumaisha, batinnya seraya menggeleng pelan.
••••
Haidar menghentikan motornya di parkiran minimarket. Setelah menstandar motor dan melepas helm dia segera turun dan hendak berjalan masuk ke minimarket. Namun, seolah tersadar akan sesuatu, dia kembali melangkah mundur dan memperhatikan sebuah motor matic biru yang terparkir tepat di samping motornya.
"Kayak kenal," pikirnya seraya mengusap dagu dengan kening yang terlihat berkerut.
Namun, tidak lama kemudian senyumnya terbit begitu saja setelah mengingat siapa pemilik motor matic itu. "Emang mood booster gue banget," gumamnya sembari menggeleng pelan dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.
Tanpa berlama-lama lagi, dengan segera Haidar melangkah masuk ke minimarket dan mengabaikan sapaan pegawai, karena netra coklatnya begitu fokus menelisik seluruh penjuru minimarket hanya untuk mencari seseorang yang dia klaim sebagai 'mood booster-nya' itu.
"Nah, itu dia." Senyumnya semakin merekah dan dengan segera menghampiri seseorang itu.
"Ra," panggil Haidar dengan senyum lebarnya.
"Kak Haidar." Lain halnya dengan Azura yang begitu terkejut bertemu dengan Haidar.
"Feeling gue bener ternyata, kalau motor di luar itu punya lo," ucap Haidar.
"Sehafal itu ya, Kak sama motor aku? Padahal motor aku itu ada banyak di kota ini," ujar Azura seperti biasa yang diiringi dengan senyum tipisnya. Padahal Haidar sangat ingin melihat bagaimana jika wanita di hadapannya ini tersenyum lebar, mungkin akan sangat manis lagi dan parahnya akan membuat dia diabetes tiba-tiba.
"Hafal, dong. Kan, gue hafal nomor pelatnya."
Azura mengangguk-angguk paham. "Aku sendiri aja nggak hafal, Kak sama nomor pelat motorku."
Wajah Haidar tampak terkejut setelah mendengar ucapan Azura. Kenapa bisa ada orang yang tidak hafal angka pelat motornya? "Waaah. Parah, sih ...." Namun, detik berikutnya Haidar tersenyum jail. "Tapi nggak apa-apa, ada gue yang bisa ingetin lo," ujar Haidar sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
Azura kembali tersenyum, tetapi lebih tipis dari sebelumnya. "Saya duluan ke kasir, ya, Kak," pamit Azura, "assalamualaikum."
Haidar terpaku, dia tidak merespons ucapan bahkan salam dari Azura, sebab dia merasa jika Azura terganggu atau mungkin merasa tidak nyaman dengan ucapannya tadi. Padahal, 'kan tadi gue cuman becanda, batin Haidar tanpa mengalihkan tatapannya dari punggung Azura yang sedang mengantri untuk membayar belanjaannya.
Setelah tersadar dari keterpakuannya dengan secepat kilat Haidar berjalan menghampiri lemari es krim dan mengambil asal beberapa es krim. Setelah itu dia juga ke kasir untuk membayar es krim pesanan Haura. Baru saja Haidar ingin mengajak Azura berbicara yang sedang membayar belanjaannya, terurungkan saat Azura sudah berlalu pergi.
"Mbak cepet, totalin semua ini!" ujar Haidar tanpa menatap penjaga kasir di hadapannya, sebab kedua netra coklatnya sibuk memperhatikan Azura.
"Nggak sekalian beli Oreo ini, Kak? Mumpung diskon, sepuluh ribu dapat dua." Haidar langsung memusatkan perhatiannya pada penjaga kasir di hadapannya.
"Nggak usah, Mbak!" ucap Haidar cepat.
"Kalau Molto ini juga lagi diskon, Kak. Nggak mau sekalian di ...."
"Aduuh, Mbak buruan ditotalin ini es krimnya. Saya nggak perlu Molto, Mbak." Haidar menatap gemas penjaga kasir di depannya itu.
"Baik, Mas." Penjaga kasir itu menurut, lalu menyebutkan total biaya es krim milik Haidar. Setelah membayar es krimnya. Haidar segera melongos keluar dengan sedikit berlari, berharap jika Azura masih ada di depan.
Namun, harapannya berakhir sia-sia. Kedua bahunya merosot, dengan tatapan yang terlihat kecewa saat melihat motor Azura sudah pergi bertepatan saat dia baru saja keluar dari minimarket. "Ini semua gara-gara Mbak-mbak itu! Ngapain coba nawarin Molto ke gue? Dikira gue yang nyuci baju di rumah gitu? Buat apa ada asisten rumah tangga kalau gue sendiri yang nyuci? Ah, kessal gue!" dumelnya seraya berjalan menghampiri motornya.
.
.
.
.
.
To be contunied.
Haluuu, assalamualaikum semua👋.
Gimana puasanya di siang hari ini? Masih semangat, kan? Harus, dong! Nah, karena lagi rajin, aku updatenya siang, wkwkw. Biar kalian nggak gabut setelah ngaji, ya kan? Iya dong!
Seperti biasa jangan lupa vote, komen, dan follow yaaw! Inget kalian harus jadi pembaca yang estetik😉.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 22, April, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro