Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fourteen.

Jangan pernah berburuk sangka dengan rencana yang telah disusun matang-matang oleh Allah. Sebab, Ia-lah sebaik-baiknya pembuat rencana di muka bumi ini.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

Di sabtu pagi ini Azura dan Adira tengah bersiap-siap ke rumah sakit untuk menjenguk Rumaisha. Selain itu mereka juga ingin membawakan sarapan untuk Kia. Pasalnya wanita itu tidak sempat sarapan karena tiba-tiba saja dia mendapat panggilan dari rumah sakit bakda subuh tadi.

"Ra, udah siap belum?" Adira menyembulkan kepalanya setelah membuka pintu kamar Azura.

"Udah, nih. Yuk!" Azura mengambil tas salempang dan ponselnya, lalu menghampiri Adira yang berada di mulut pintu.

Setelah menutup pintu kamar, keduanya berjalan beriringan menuruni anak tangga seraya mengobrol ringan. Hingga teguran dari Hasna membuat keduanya bersamaan menoleh.

"Itu rantang nasinya Kia udah Ummi siapin. Gih, ambil di atas meja makan. Ummi mau jemur pakaian dulu. Nanti kalau kalian berangkat hati-hati, ya bawa motornya. Jangan ngebut!" Saat Hasna mengatakan kalimat terakhir, wanita itu menatap Adira dengan tatapan tajam, sementara yang ditatap seperti itu hanya pura-pura menyibukkan diri dengan memperbaiki tatanan jilbabnya.

"Iya, Ummi. Insya Allah. Ya udah aku ambil rantangnya dulu," pamit Azura seraya tersenyum dan menyalimi tangan Hasna. Setelah itu wanita bertubuh mungil itu berjalan menuju dapur.

Adira juga ikut menyalimi tangan umminya, tetapi saat dia ingin melepaskan tangannya, Hasna justru menahan dan menatap putri semata wayangnya itu dengan tatapan mengintimidasi.

"Inget, ya pesan Ummi. Kalau bawa motor jangan ngebut-ngebut. Kamu nggak mau, kan luka di jidat kamu itu bertambah," peringat Hasna sembari menunjuk bekas jahitan di jidat Adira.

Adira meringis pelan sembari memegang jidatnya. Luka itu dia dapatkan saat dia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama. Saat itu, Adira mengalami kecelakaan karena mengendarai motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

"Iya, Ummi. Nggak lagi," ujar Adira dengan nada yang benar-benar meyakinkan.

"Ya sudah. Ummi mau ke belakang dulu. Kalian hati-hati di jalan, ya." Adira mengangguk, lalu setelah itu Hasna pergi ke belekang.

••••

Sebelum ke rumah sakit Azura dan Adira menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah toko bunga. Mereka ingin membeli bunga untuk ditaruh di ruangan Rumaisha. Sembari menenteng rantang makanan, Azura dan Adira berjalan bersama masuk ke toko bunga.

Keduanya tidak menghabiskan waktu lama untuk memilih bunga apa yang akan mereka beli. Sebab, Azura sudah tahu bunga apa yang sering dia lihat di  ruangan Rumaisha tiap kali dia berkunjung ke sana.

Setelah membayar bunga Lily yang mereka beli. Azura dan Adira kembali berjalan menuju motor yang diparkirkan di depan toko bunga ini. Namun, saat Adira akan menaiki motor, lantas terurungkan saat tiba-tiba saja dia merasa ingin membuang air kecil.

"Ra, tunggu bentar. Aku mau pipis dulu," izin Adira dan mendapat anggukan dari Azura.

"Jangan lama, ya," pesan Azura dan mendapat acungan jempol dari Adira.

Sembari menunggu Adira. Azura setengah mendudukkan dirinya di atas motor sambil memainkan ponsel. Saat dia mendengar ada sebuah motor yang berhenti tepat di depan motornya, Azura mendongak dan tatapannya langsung bertubrukan dengan sepasang netra gelap yang terlihat sangat tajam. Namun, Azura kembali menunduk sembari memainkan ponselnya. Seseorang yang sempat bersitatap dengan Azura, berlalu menuju toko bunga dan hal itu disadari oleh Azura.

Saat sedang asyik memainkan ponselnya, Azura seketika dibuat terkejut saat ada sebuah tangan yang merampas ponselnya. Sontak Azura berdiri dan berteriak. "Rampok!"

Beberapa orang yang ada di sekitar sana terkejut dan mulai mengejar si pencuri. Bahkan, seseorang yang tadi sempat bersitatap dengannya pun ikut mengejar pencuri itu. Azura berjalan cepat ke pinggir jalan dan memerhatikan beberapa orang yang berusaha mengejar pencuri itu.

Saat netranya sudah tidak melihat pencuri dan beberapa orang yang membantunya. Azura pun berjalan lemas menuju motornya. Ia sangat merasa sedih karena ponselnya dicuri.

Bertepatan saat Azura tiba di motor, Adira juga baru saja tiba dari toilet. Saat dia melihat wajah murung Azura dengan segera Adira bertanya. "Ra, abis dari mana? Terus muka kamu kenapa sedih kayak gitu?"

Azura menghela napas berat, lalu memandang Adira. "HP aku dicuri," ucapnya.

"Loh, kok bisa?"

Azura menggeleng. " Aku nggak tahu, tiba-tiba aja dia ngerampas HP aku ... dan kayaknya nggak bakalan balik lagi deh."

"Nih, HP lo." Sebuah tangan terulur dengan ponsel Azura di genggamannya.

Azura dan Adira dengan kompak menoleh. Kedua netra mereka menangkap sesosok lelaki berperawakan tinggi dengan netra gelap yang terlihat tajam dan menusuk.

Namun, Adira dan Azura segera sadar dan melihat ke arah ponsel Azura yang masih berada di genggaman lelaki itu. "Makasih, Mas." Azura mengambil ponselnya dan saat dia membalikkan ponsel itu terpampanglah layar ponselnya yang retak, tetapi masih menyala.

Lelaki itu--lelaki yang sempat bersitatap dengan Azura sebelum kejadian tadi hanya mengangguk singkat, lalu berlalu dari depan kedua perempuan itu.

"Dingin banget. Auranya juga kayak gimana gitu," ucap Adira setelah lelaki itu pergi.

"Kamu ini! Nggak inget janjimu beberapa hari yang lalu sama Ummi? Yang katanya kamu nggak bakalan ceritain orang dari belakang lagi." Sontak Adira menyengir ke arah Azura.

"Ya udah yuk, berangkat sekarang," ajak Azura dan mendapat anggukan dari Adira.

••••

"Assalamualaikum." Azura dan Adira masuk ke ruangan Rumaisha setelah mendapat jawaban dari dalam.

"Kak Zura," panggil Haura.

"Pagi, Hau," sapa Azura seraya berjalan menghampiri Haura yang sedang berdiri di samping brankar Rumaisha.

"Pagi, Kak," sapa balik Haura. Lalu netranya menatap ke arah Adira. "Dia siapa, Kak?" tanyanya pada Azura.

Dengan senyum ramahnya Adira mengulurkan tangan ke hadapan Haura. "Kenalin, nama aku Adira. Sepupu sekaligus sahabat Azura."

Haura membalas uluran tangan Adira seraya tersenyum. "Salam kenal, Kak. Nama aku Haura."

"Kamu adiknya Kak Haidar?" tanya Adira dan mendapat anggukan dari Haura.

"Terus Kak Haidarnya mana?" tanya Adira lagi.

Haura tidak langsung menjawab, sebab telunjuknya sudah menunjuk ke arah sofa, di mana Haidar sedang tertidur dengan kedua tangan yang terlipat di dada. "Bang Haidar masih tidur, Kak."

"Oh iya, ini tadi kita mampir di toko bunga dan kita beli bunga yang ini, karena setiap aku masuk ke ruangan ini pasti bunga Lily selalu ada di atas nakas," ujar Azura seraya menyerahkan bunga lilynya pada Haura.

"Iya, Kak. Mama emang suka bunga Lily. Makanya aku atau Bang Haidar selalu beliin Mama bunga Lily setiap hari."

Azura dan Adira mengangguk paham. Lalu keduanya berjalan lebih dekat ke brankar Rumaisha. Ketiga perempuan itu menatap Rumaisha dengan tatapan yang sendu.

"Udah berapa lama mama kamu koma, Hau?" tanya Adira. Pasalnya dia belum tahu, sebab Azura belum menceritakannya.

"Tepat tanggal dua puluh empat nanti udah genap dua bulan Mama koma, Kak," ucap Haura dengan pelan.

"Besok tanggal dua puluh empat." Haura mengangguk sembari tersenyum tipis.

"Aku sangat berharap Mama segera sadar. Aku benar-benar rindu, Kak sama Mama. Rindu pelukan Mama, rindu masakan Mama, rindu kalau Mama udah omelin aku atau Bang Haidar kalau kita lagi berantem. Pokoknya semua yang selalu Mama lakuin buat aku dan Bang Haidar, semuanya aku rinduin," lirih Haura dengan mata yang sudah mulai memerah.

Azura yang memang berdiri di samping Haura segera mendekati remaja itu. Setelah itu, Azura memeluk Haura dari samping. Haura yang memang membutuhkan pelukan untuk menyalurkan kesedihannya dengan segera memeluk Azura dan membenamkan wajahnya di bahu Azura.

Di dalam pelukan Azura, Haura bergumam, tetapi masih bisa di dengar jelas oleh Azura. Remaja yang berusia tujuh belas tahun itu lagi-lagi menanyakan hal yang kerap kali dia tanyakan pada Haidar, yaitu 'mama akan segera sadar, kan ,Kak? Mama nggak akan ninggalin kita, kan, Kak?'

Demi apa pun. Mendengar pertanyaan Haura itu membuat mata Azura ikut memerah dan berkaca-kaca. Bahkan jika dia berkedip maka air mata perempuan itu akan mengalir, saking perasanya. Dia bisa merasakan kesedihan Haura, dan jika dia yang berada di posisi Haura, mungkin pertanyaan itu akan kerap kali juga dia tanyakan.

"Insya Allah. Mama kamu bakalan sadar. Positif thinking aja sama Allah. Insya Allah, Allah nggak akan buat kamu kecewa kalau kamu berharap kepada-Nya. Dan yang paling penting, jangan pernah absen berdoa untuk kesadaran mama kamu," nasehat Azura sembari mengusap punggung Haura dengan lembut.

"La tahzan, Ukhti. Innallaha ma'ana," bisik Azura tepat di telinga Haura.

Mendengar bisikan pelan dari Azura,  berhasil membuat Haura merinding, jantungnya juga seketika berdetak cepat. Itu hanyalah kalimat yang sering dia baca, tetapi entah mengapa saat Azura menyampaikannya dengan nada lembut dan pelan seperti tadi membuat Haura merinding dan seketika kembali yakin jika mamanya memang akan segera sadar.

Tanpa mereka bertiga sadari. Sepasang mata cokelat terus menatap ke arah mereka, tetapi fokusnya benar-benar hanya tertuju pada Haura dan Azura yang sedang berpelukan. Hatinya terasa menghangat melihat pemandangan itu.

Gue nggak salah dan nggak nyessel  udah jatuh cinta sama wanita kayak lo, Ra.

.
.
.
.
.

To be continued.

Haluu, assalamualaikum semua👋.

Betewe aku mau minta maaf, karena kemarin nggak update kelanjutan cerita ini. Maaf banget.

Sebenarnya semalam bagian ini udah selesai kutulis. Tapi karena udah malem banget dan aku nggak mungkin langsung publish setelah nulis, ya karena udah pasti mata kalian bakalan burem pas baca cerita aku yang baaaanyaaak banget typonya. Aku aja yang sebelum dipublish kadang baca dua kali dulu baru update. Pas udah diupdate eee, tetap aja typonya nyempil😢.

Woaaah, jatuhnya curhat ya aku? Wkwkwk. Ndk apalah, yang penting aku bahagia.

Seperti biasa jangan lupa vote, komen dan follow yah. Plis jadilah pembaca yang penuh dengan keestetikan.

Sekian dari aku, sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 4, Mei, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro