Four
"Akhirnya hari ini tiba, di mana aku bisa mengetahui namamu, pun kamu yang mengetahui namaku."
~Haidar Zhafran Abrisam~
🕊🕊🕊🕊
Di bawah terik mentari yang seolah menyengat permukaan kulit, juga di tengah ingar bingar kota Suarabaya, tampak Azura yang sedang berjongkok di pinggir jalan, tepat di samping motor matic birunya. Hanya sekedar berjongkok dan memperhatikan motornya yang tiba-tiba saja mogok saat dia akan pulang ke rumah.
Walau jarak motornya mogok tidak terlalu jauh dari area kampus, tetap saja dia tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Sebab, dia hanyalah mahasiswa baru yang baru pertama kali masuk kampus setelah melaksanakan ospek selama lima hari. Tadinya, dia akan pulang bersama Adira, tetapi sepupunya itu malah menyuruhnya untuk pulang lebih dulu, sebab ada sesuatu yang harus dia urus.
Azura mengembuskan napasnya dengan berat, entah dosa apa yang telah dia perbuat hari ini, sampai Allah memberikan ujian ini kepadanya. Setelah tadi pagi dia telat masuk ke kelas pertamanya, kini motornya juga harus mogok di tengah jalan yang sangat ramai dengan kendaraan.
Gadis yang sedang mengenakan gamis mocca juga jilbab lebar yang senada itu menengok ke arah kiri dan kanan, siapa tahu saja ada seseorang yang bisa dia mintai tolong. Namun tidak ada, semua orang terlihat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bahkan beberapa orang yang berjalan kaki melewatinya begitu saja tanpa mau membantunya.
Apakah hidup di luar memang seperti ini? batin Azura bertanya-tanya.
Padahal, jelas-jelas Allah sudah memerintahkan kepada seluruh hambanya untuk saling tolong menolong tanpa memandang suku, ras, ataupun agama. Seperti yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat dua yang artinya, 'dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya'.
Azura menggeleng pelan, entah pada siapa dia harus meminta tolong. Ingin menghubungi Adira pun tidak bisa dia lakukan, sebab ponselnya kehabisan baterai, dia juga tidak melihat adanya bengkel di sekitar sini.
"Ya Allah, bagaimana ini?" gumamnya, lalu kembali berjongkok di samping motor.
"Motornya kenapa?" Pertanyaan itu berhasil membuat Azura terlonjak kaget dan refleks berdiri, tetapi karena tidak hati-hati kepalanya justru terbentur di stir motor.
"Astaga ... hati-hati, dong," ucap seseorang itu, hendak mendekati Azura, tetapi Azura justru melangkah mundur sembari meringis dan memegangi kepalanya yang baru saja terbentur.
"Lo, nggak apa-apa? Atau perlu gue bawa ke rumah sakit? Ayo, gue anter!" Pria itu hendak menarik tangan Azura, tetapi tidak jadi saat Azura manjauhkan tangannya.
"Saya nggak apa-apa, Mas," ucap Azura cepat seraya tersenyum tipis agar pria di hadapannya ini percaya.
"Syukur deh, kalau lo nggak apa-apa." Azura hanya mengangguk. "Betewe, ini motor lo kenapa?" tanya pria bertubuh tinggi itu.
"Ah, ini Mas. Tadi, tiba-tiba saja mogok, saya nggak ngerti kenapa," jelas Azura sambil memandang motornya.
"Boleh gue periksa?" tanya pria itu dan mendapati anggukan dari Azura.
Azura tidak mengerti apa yang dilakukan pria itu pada motornya. Namun, setelah beberapa saat pria itu kembali berdiri, lalu berkacak pinggang sembari memandangi motor matic-nya.
"Mesin sama businya nggak ada masalah, kok. Mungkin motor lo kehabisan bensin. Makanya mati tiba-tiba," ucap pria itu, lalu beralih memandang Azura.
"Kok bisa, Mas? Padahal, sebelum ke kampus, tadi saya isi bensin dulu." Azura memandang motornya dengan bingung.
"Iya, kah?" Azura menjawabnya dengan anggukan. "Oh, atau mungkin masalahnya ada di aki motornya. Sebentar saya periksa dulu."
Lelaki itu berusaha menahan senyumnya sesaat setelah membuka bagasi motor Azura. Dia menggeleng pelan. Ceroboh, batinnya.
"Bensinnya memang habis karena ternyata lo lupa tutup tangki motornya setelah isi bensin," ucap lelaki itu sambil tersenyum geli.
Azura mendekat dan melihat sendiri tangki motornya yang memang tidak tertutup. "Astagfirullah, bisa-bisanya aku lupa tutup tangkinya," ucap Azura dengan pelan.
"Makanya. Lain kali kalau ada apa-apa diperhatiin," peringat lelaki itu sembari menutup tangki motor Azura, lalu menutup bagasinya juga. "Ayo gue anter ke pom bensin!" ajaknya pada Azura.
"Eh, nggak usah, Mas. Saya bisa sendiri, Mas tinggal bilang pom-nya ada di mana."
"Nggak apa-apa, biar gue yang anter. Ayo buruan!"
"Eh ... tapi, Mas. Itu motor Mas gimana?" tahan Azura saat lelaki itu sudah bersiap mendorong motornya.
"Gampang, nanti gue telepon teman buat ambil nih motor." Azura mengangguk, lalu mulai mengikuti langkah lelaki berbadan tinggi itu dari belakang.
••••
"Permisi, Pak. Saya boleh numpang duduk di sini? Soalnya saya lagi nungguin teman saya yang lagi isi bensin," izin Azura pada penjual cilok.
"Silakan, Neng." Penjual cilok itu mengangguk seraya tersenyum.
"Terima kasih, Pak." Penjual cilok yang berusia sekitar empat puluh tujuh tahun itu kembali mengangguk. Kemudian kembali melayani pembelinya.
Setelah menunggu beberapa menit, sebuah suara yang terdengar tiba-tiba kembali membuat Azura terkejut. Lantas, dia mendongak dan detik berikutnya berdiri saat dia menemukan sosok lelaki yang tadi menolongnya.
"Nih." Lelaki itu menyerahkan kunci motor pada Azura. "Udah gue isiin bensin."
"Terima kasih banyak, Mas. Sudah mau menolong saya." Lelaki itu hanya mengangguk sembari tersenyum.
"Maaf, karena sudah saya repotkan," ucap Azura lagi seraya tersenyum tidak enak.
"Nggak apa-apa lagi. Bukannya sesama manusia memang sudah seharusnya saling tolong menolong?" Azura mengangguk cepat.
"Betewe, lo nggak kenal sama gue?"
Pertanyaan itu sontak membuat Azura terkejut, lantas memandang lelaki di hadapannya dengan bingung, tetapi detik berikutnya dia mengalihkan pandangan. "Mas, kenal sama saya?"
Lelaki itu tertawa kecil mendengar pertanyaan Azura. "Gue nanya, kok malah lo balik nanya, sih?"
Namun, Azura mengabaikan ucapan lelaki itu. "Jadi, Mas kenal sama saya?"
"Nggak. Gue sekedar tahu aja, tapi nggak tahu nama lo siapa," jelas Haidar, "Lo masih ingat, kejadian di depan perpustakaan tadi pagi yang lo nggak sengaja ditabrak sama cowok?"
"Cowok itu gue."
Azura tampak terkejut. "Oh ... maaf, Kak. Saya nggak tahu."
"Kenapa harus lo yang minta maaf? Seharusnya, kan gue yang minta maaf. Maaf ya, gue nggak senagaja tadi pagi nabrak lo." Azura hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Kenalin." Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Gue Haidar dari fakultas ekonomi dan bisnis."
Azura menangkupkan tangannya di depan dada. "Maaf, saya Azura mahasiswa baru dari fakultas ekonomi dan bisnis juga."
Haidar menarik uluran tangannya, lalu mengusap rambutnya ke belakang. Seharusnya dia sudah bisa mengerti jika wanita yang berpakaian lebar seperti Azura ini tidak akan mau bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Seharusnya juga Haidar sudah paham sedari mereka pertama kali bertemu, di mana wanita di hadapannya ini tidak mau menatapnya dalam kurun waktu yang lama.
"Kalau begitu saya pulang dulu, Kak. Sekali lagi terima kasih sudah menolong saya," ucap Azura, "permisi."
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum dan selamat siaaang semua👋.
Yaps, seperti biasa jangan lupa tinggalin jejak setelah membaca ya. Inget, kalian harus jadi pembaca yang penuh dengan keestetikan. Kritik dan saran dari kalian bakalan aku terima, soo silakan komen sebanyak-banyaknya. Dan satu lagi bantuin aku cari kata yang typo, ya. Biar nanti kalau aku revisi cerita ini jdi gampang nemuinnya, hehehe.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 10, April, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro