Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilogue

Nyatanya tidak ada manusia yang benar-benar bisa tegar menghadapi sesuatu yang begitu menyakitkan.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

"Wow, rame banget."

Azura yang tadinya fokus menatap gedung yang berada lima meter di hadapannya, kini menoleh ke samping melihat Adira yang juga sedang menatap gedung yang ramai akan orang-orang berjas dan bergaun mahal. Azura kembali menatap gedung itu dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Yakin nih, mau masuk? Kalau nggak yakin mending kita pulang sekarang aja, mumpung kita belum masuk ke sana." Kini bergantian Adira yang menatap Azura, karena sepupunya itu terus saja membisu sembari menatap gedung yang ada di hadapan mereka.

"Yuk masuk!" ajak Azura pada akhirnya setelah menimbang-nimbang ucapan Adira.

"Yakin nih?" tanya Adira sekali lagi dan mendapat anggukan mantap serta senyuman tipis dari Azura. "Ya udah, yuk!"

Adira menarik tangan Azura untuk masuk ke dalam gedung, tetapi sebelum itu mereka di tahan di pintu gedung oleh dua orang bertubuh kekar dengan pakaian serba hitam. Tentu saja tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke dalam gedung itu. Harus ada bukti berupa undangan yang tamu tunjukkan sebelum pada akhirnya mereka dipersilakan untuk masuk. Karena Azura dan Adira memiliki undangan itu tentu saja mereka bisa masuk ke dalam tanpa adanya drama usiran.

Adira berdecak kagum saat melihat dekorasi dalam gedung yang begitu mewah. Adira sebenarnya tidak terlalu terkejut akan kemewahan acara ini, karena dia tahu sebagaimana berduuitnya keluarga yang memiliki acara ini. Namun, yang membuat Adira berdecak kagum yaitu, karena untuk pertama kalinya dia melihat acara super duper mewah ini secara langsung.

Di saat Adira yang terkagum-kagum sembari menyapu keseluruhan tempat ini dengan netra cokelatnya, lain halnya dengan Azura yang justru terpaku pada dua sosok insan yang sedang berpose di atas panggung, tepat enam meter di hadapannya.

Kedua netra hazel miliknya terus saja menatap pemandangan yang kembali berhasil menambah luka di dalam hatinya. Sebenarnya Azura tidak ingin melihat pemandangan yang menyakitkan itu, tetapi hati dan pikirannya sama sekali tidak bisa bekerja sama. Sungguh, jika dalam lima sepuluh menit Azura masih saja menatap ke arah dua orang berbeda jenis di atas panggung sana, sudah dipastikan air matanya akan jatuh.

Tak terasa lima menit telah berlalu, Adira yang tadi izin sebentar ke toilet telah kembali, tetapi Azura sama sekali belum mengubah posisinya juga pandangannya yang tidak bisa lepas dari atas panggung sana. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, sekali kedip maka pertahannya akan benar-benar roboh.

Namun di menit ke delapan, sebuah tangan terulur untuk menutup mata Azura yang sudah sangat memerah. Azura hanya diam, tidak merespons apa pun setelah matanya ditutup oleh Adira.

"Udah tahu sakit, malah ngeliatin mereka mulu. Aku tahu, hati kamu nggak sekuat itu bisa nahan rasa cemburu ngeliat mereka berdua," cibir Adira tanpa melepaskan sebelah tangannya yang menutupi pandangan Azura. "Udah, nggak usah diliatin lagi!"

Di saat Adira ingin melepaskan tangannya, Azura justru menahannya. Adira membuka mulut, hendak protes, tetapi saat merasakan telapak tangan bawahnya yang basah, dia kembali mengatupkan bibirnya, lalu menatap Azura dengan iba.

"Aku kasih kamu waktu tiga menit untuk nangis, setelah lewat tiga menit kamu nggak boleh nangis lagi." Azura mengangguk samar mendengar ucapan Adira.

Tak terasa waktu berlalu begitu saja, waktu tiga menit yang Adira berikan kepada Azura sudah lewat. Dia pun menarik tangannya, lalu Azura menunduk. Dia tidak ingin menjadi sorotan perhatian orang-orang di sini karena melihat matanya yang memerah.

"Untung aja, aku selalu sedia payung sebelum hujan," ujar Adira pelan sembari membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar tisu, lalu menyodorkannya kepada Azura. "Nih, ambil."

Azura mengambil tisu yang diberikan oleh Adira. Sembari menunggu Azura  selesai menghapus air matanya, Adira pun menghela napas panjang.

"Ra, seharusnya kamu nggak boleh gini, kamu nggak boleh kelihatan sedih di acara ini, karena ini pilihanmu. Kamu sendiri, kan yang menolak lamaran Kak Haidar dan menyuruhnya menikah dengan perempuan itu. Lalu, untuk apa kamu menangis?" tanya Adira setengah berbisik. "Kan aku dulu pernah bilang sama kamu, jadi orang jangan terlalu baik, jangan jadi orang yang nggak enakan. Kamu juga berhak bahagia. Kalau sifat nggak enakan kamu itu nggak bisa dikondisiin yang ada kamu akan kesiksa sendiri."

Azura terdiam mendengar ucapan Adira. Sama sekali tidak ada tanda-tanda jika dia ingin mengeluarkan suara.

"Jadi, plis. Aku mohon sama kamu, ini terakhir kalinya kamu ngorbanin kebahagiaan kamu untuk orang lain. Coba kamu lihat di atas sana ...." Adira menunjuk sesosok laki-laki--Haidar yang terlihat melempar senyum terpaksa pada beberapa tamu yang bersalaman dengannya. "Apa kamu pikir Kak Haidar benar-benar bahagia sama dia? Nggak, kan? Terus waktu kamu lihat Kak Haidar nikah sama perempuan itu apa kamu juga bahagia?"

"Ak ...." Belum sempat Azura menjawab pertanyaan Adira, sepupunya itu sudah lebih dulu memotongnya.

"Jelas nggak! Karena seandainya kamu bahagia, kamu nggak akan nangis kayak tadi waktu ngeliat Kak Haidar difoto sambil meluk perempuan itu." Adira menghela napas panjang saat Azura kembali menunduk. "Lihat, karena sikap tidak enakan dan karena sifat terlalu baikmu itu ada dua orang yang terluka. Coba kamu pikir, seandainya kamu terima lamaran Kak Haidar waktu itu, setidaknya cuman ada satu orang yang terluka, kan?"

"Udahlah, nggak ada gunanya juga aku sadarin kamu kayak gini, soalnya udah kejadian juga. Udah telat, Ra." Adira menggandeng tangan Azura sembari tersenyum lebar. Raut serius yang tadi dia tunjukkan sirna begitu saja dalam beberapa detik. "Yuklah, kita langsung ke atas sana aja. Buat ucapin selamat ke mereka berdua. Habis itu kita makan, terus pulang. Karena kalau lama-lama di sini aku takut hati kamu jadi meleleh karena udah terlalu panas ngeliat mereka berdua di atas sana," canda Adira, tetapi sama sekali tidak direspons oleh Azura.

"Yuk!" Baru selangkah kaki mereka menuju panggung itu, Adira kembali menghentikan langkahnya begitupun juga dengan Azura. Netra hazel itu menatap bingung ke arah Adira. "Aku cuman mau bilang, nanti di atas sana kamu nggak boleh sedih apalagi nangis. Kamu harus tunjukin wajah bahagia kamu. Okke?"

Azura mengangguk paham, lalu tersenyum tipis. Mungkin memang berat harus bersikap biasa saja dan berekting sebahagia mungkin di saat hati sedang merasa sakit, tetapi tidak ada pilihan lain, sebab Azura juga malu jika harus terlihat sedih dan menangis di hadapan seorang lelaki yang sudah dia tolak niat baiknya.

Saat tiba di atas panggung, tangan Azura mulai berkeringat, juga jantungnya yang kian berdetak cepat, ditambah lagi tangan dan kakinya yang terasa bergetar saat pandangannya sempat bertemu beberapa saat dengan Haidar, tetapi Azura lebih dulu mengalihkan pandangan. Dia tidak berani menatap netra lelaki itu, karena pertahannya bisa saja runtuh saat ini.

Azura dan Adira berjalan menghampiri sepasang pasutri itu. Azura menampilkan senyum tipisnya setelah tiba di hadapan mempelai wanita.

"Barakallahu laka wabaraka 'alayka wa jamaa' baynakumaa fii khayr, Mbak Olaf dan Kak Haidar," ucap Azura sembari menatap Olaf dan Haidar secara bergantian.

"Selamat, ya Mbak Olaf dan Kak Haidar. Semoga sakinah, mawadah, dan warahmah," ucap Adira sembari ikut menyalimi tangan Olaf setelah tadi Azura duluan yang menyalimi tangan perempuan itu.

"Aamiin, terima kasih banyak," balas Olaf dengan senyum semringahnya.

Azura dan Adira dengan kompak mengangguk. "Iya, sama-sama, Mbak." Adira dan Azura kembali kompak menjawab.

"Ya udah, kita pamit dulu, ya," ucap Azura lalu beralih menatap Haidar masih dengan senyum tipisnya. "Sekali lagi, selamat ya, Kak. Semoga Kak Haidar dan Mbak Olaf bahagia," lanjut Azura sembari menangkupkan tangannya di depan dada.

Jujur saja pertahanan Azura rasanya sebentar lagi akan runtuh saat Haidar terus saja menatapnya dengan tatapan yang Azura sendiri tidak bisa mengartikannya, akan tetapi tatapan itu benar-benar ingin membuatnya menangis saat ini juga.

Adira yang mengerti situasi segera berdeham, lalu kembali menggandeng tangan Azura. "Kak kita pamit dulu, ya. Assalamualaikum."

Setelah itu Adira segera menarik tangan Azura untuk meninggalkan panggung, tetapi di saat mereka sudah setengah meter meninggalkan kedua mempelai itu, suara Haidar yang memanggil Azura berhasil membuat langkah keduanya terhenti dan Olaf yang langsung menatap suaminya.

Azura menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara pelan. Setelah itu, dia pun berbalik menatap Haidar. "Ada apa, Kak?"

"Lo juga. Semoga lo bahagia dan bisa nemuin calon suami yang lebih baik ...." Dari gue, lanjut Haidar dalam hati.

Azura terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Haidar, tetapi detik berikutnya dia kembali tersenyum lalu mengangguk. Setelah itu kembali berbalik dan melanjutkan langkah menuruni panggung.

Ya, semoga aku bisa nemuin laki-laki yang bisa buat aku jatuh cinta lebih dari perasaan yang aku miliki buat Kak Haidar saat ini, batin Azura lalu kembali menunduk dan memejamkan mata. Hingga, air mata kembali turun membasahi pipinya.

.
.
.
.
.

END.

Assalamualaikum, selamat pagiiii semuaaa!

Apa kabar nih? Baik-baik aja, kan?

Aku cuman mau ngasih tahu kalau cerita ini bakalan selesai sampai di epilog. Nggak akan ada bonus part, extra part, apalagi sequel. Hehehe. Kalau ada yang penasaran, kenapa aku nggak bust extra part dan lain sebagainya, itu karena ada banyak ide yang harus aku eksekusi buat lahirin karya baru lagi, mwehehehe.

Oh iya, aku mau ngucapin makasih banyak buat kalian semua. Pembaca setia Letter of Destiny. Makasih, ya karena udah luangin waktu buat baca cerita aku yang masih jauh dari kata sempurna ini, hehehe.

Udah itu aja ... Ehh nggak. Aku juga mau bilang jangan lupa promosiin cerita aku ini ke teman-teman, keluarga, sahabat, dan ke semua orang-orang terdekat ataupun terjauh kalian. Okke😉

Sampai jumpa di cerita terbaru aku, yang insya Allah bakalan publish bulan ini, atau nggak bulan depan. Hehehe.

Bay bay, see huuu semua.

Salam hangat dari aku💚.

Wassalamualaikum.


Ay.

Pinrang, 01, Juli, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro