Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eleven

"Jangan pernah liatin kalau lo khawatir dengan kondisi gue, karena itu ngebuat gue percaya kalau lo juga suka sama gue."

~Haidar Zhafran Abrisam~

🕊🕊🕊🕊

Haidar masuk begitu saja ke ruangan mamanya, tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Hingga membuat ketiga perempuan di dalam sana menatap ke arahnya dengan pandangan yang terlihat terkejut.

Haura yang sadar terlebih dahulu dengan segera menghampiri Haidar dan mencecar beberapa pertanyaan mengenai wajah Haidar yang tampak babak belur. "Astaga, Abang! Ini mukanya kenapa bisa bonyok kayak gini? Abang abis dari mana, sih? Abis berantem sama siapa? Jangan bilang Bang Haidar abis dipalakin sama preman, tapi Abang nggak mau ngasih, makanya digebukin kayak gini."

Haidar menutup matanya rapat-rapat, telinganya seketika terasa panas setelah mendengar pertanyaan Haura yang lumayan panjang itu. Tanpa menjawab pertanyaan Haura, lelaki itu justru memberikan Haura kantong plastik yang berisi tiga buah es krim yang Haura inginkan.

"Aish, Bang! Aku minta jawaban Abang. Kenapa malah dikasih es krim, sih?" omel Haura sembari mengikuti langkah Haidar menuju sofa. Lelaki itu belum menyadari jika di dalam ruangan mamanya bukan hanya ada Haura dan Rumaisha saja. Kia dan Azura pun ada juga di sana, dan mereka tengah menyaksikan interaksi kakak beradik itu.

"Bisa diem dulu nggak? Abang, tuh lagi bad mood. Jangan sampai Abang nggak bisa nahan emosi dan ngelampiasin ke kamu." Hidar berusaha memberi pengertian pada Haura dengan selembut mungkin.

"Tapi, Bang ...." Belum sempat Haura menyelesaikan ucapannya, Kia sudah memanggilnya, hingga Haura menatap ke arah Kia.

"Biarkan Abang kamu tenang dulu. Jangan kamu ganggu, ya."

Haidar sontak mengangkat kepalanya yang tertunduk dan segera melihat ke arah sumber suara yang baru saja didengarnya. Untuk sejenak dia terpaku pada Azura yang sedang menatapnya dengan raut terlihat ... khawatir? Namun, hal itu tidaklah bertahan lama, sebab seperti biasanya Azura kembali mengalihkan pandangannya.

"Kalian di sini?"

"Seperti yang kamu lihat," ucap Kia, "Ra, kamu tunggu Kakak di sini, ya. Kakak mau ke ruangan dulu ambil obat buat Haidar."

Azura mengangguk dan berjalan ke arah sofa dan mengambil tempat duduk di samping Haura. Jadi poisisnya, Haura berada di tengah antara Haidar dan Azura.

"Lo kenapa bisa ada di sini?" tanya Haidar pada Azura. Bahkan, dia sampai memiringkan sedikit tubuhnya agar bisa melihat Azura yang berada di sebelah kanan Haura.

"Tadinya mau jemput Kak Kia, tapi kita mampir ke sini dulu karena Haura manggil Kak Kia buat periksa kondisi Tante Rumaisha," jelas Azura.

"Mama kenapa?" Kali ini Haidar beralih menatap Haura. Ada raut khawatir dari mimik wajahnya.

"Tadi tangan Mama sempat gerak. Jadi, aku langsung panggil Dokter Kia. Tadinya aku pikir Mama bakalan sadar, tapi ternyata nggak." Haura tersenyun tipis, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Namun, Haidar mengetahui hal itu, sebab dia tahu betul bagaimana adiknya ini.

Haidar menghela napas panjang, lalu menarik Haura ke dalam pelukannya setelah melihat lagi-lagi mata Haura yang terlihat memerah. "Udah nggak apa-apa. Kayaknya Mama masih capek dan butuh tidur, makanya dia nggak bangun."

Azura yang melihat interaksi kakak beradik itu, merasa sangat terharu. Dia juga tidak menyangka jika Haidar sangat menyayangi adiknya. Mau tidak mau, senyum Azura terbit dengan mata yang terlihat berkaca-kaca dengan masih memandang ke arah Haidar dan Haura. Azura bukannya cengeng, dia hanya terlalu perasa. Makanya setiap melihat momen seperti ini pasti dia rasanya mau menangis.

Saat Haidar mengangkat kepalanya, dia kembali terdiam saat melihat Azura tersenyum ke arahnya. Namun, senyum itu bukan senyum yang tipis, yang sering perempuan itu tunjukkan. Untuk kesekian kalinya Haidar dibuat terpesona dan jantungnya juga kembali berdetak cepat.

Azura kembali menunduk, dan membuat Haidar melepas pelukannya pada Haura. "Ra, lo kenapa?" tanya Haidar, saat tadi dia melihat mata Azura yang berkaca-kaca.

"Hah? Aku?" tanya Azura bingung. "Aku kenapa?"

Haura ikut melihat ke arah Azura lalu detik berikutnya berkata, "Kakak kayak mau nangis."

"Ho'oh. Mata lo berkaca-kaca. Kenapa? Ada yang ngebuat lo sedih?"

"Ah ...." Azura menunduk, lalu memejamkan matanya dan kemudian mengusapnya pelan. "Maaf, tadi aku ikut terharu aja pas liat kalian," jelas Azura seraya tersenyum kecil.

"Oh, gue kirain ada yang ngebuat lo sedih." Azura menggelang dengan senyum yang masih terpampang di wajahnya.

"Emang kenapa kalau ada yang ngebuat Kak Azura sedih?" tanya Haura seraya memandang bingung ke arah Haidar. " Eh, bentar ...." Haura menatap Haidar dan Azura secara bergantian. "Kalian udah saling kenal?"

"Sudah, kebetulan Kak Haidar ini senior aku di kampus. Kita juga satu fakultas, tapi beda jurusan." Haura mengangguk paham setelah mendengar jawaban Azura.

Tak berselang lama, Kia kembali masuk ke ruangan sembari membawa obat untuk mengobati luka Haidar. Awalnya Haidar menolak diobati, tetapi karena paksaan dan bujukan dari Haura dan Azura akhirnya dia pasrah lukanya diobati oleh Kia.

••••

"Dora, Abang mau nanya deh."

Haura mendengkus saat kembali mendengar Haidar memanggilnya dengan panggilan Dora. "Please, call me Haura!"

Haidar mengabaikan protesan adiknya itu. Dia justru memberikan pertanyaan pada Haura. "Kalau kamu liat Abang luka khawatir nggak?"

"Iyalah! Nggak lihat tadi, aku khawatir banget sama Abang," jawab Haura tidak santai.

"Khawatirnya kamu itu, tandanya kamu sayang sama Abang, kan?"

"Iyalah! Pake nanya lagi." Kembali Haura menjawab pertanyaan Haidar tidak santai. "Lagian, kenapa, sih nanya-nanya kayak gitu? Aneh banget."

"Berarti tatapan khawatir dari dia tadi, nandain kalau dia sayang sama gue?" gumam Haidar dengan pandangan lurus ke depan. Namun, ucapannya itu masih bisa didengar oleh Haura.

"Hah? Siapa, Bang?" Haura menatap penasaran ke arah Haidar. "Kak Olaf, ya?"

Bertepatan setelah Haura menyebut nama Olaf, wanita itu muncul setelah membuka pintu ruangan Rumaisha. Setelah menutup pintu, dengan cepat dia melangkah menghampiri Haidar yang masih bergelung dengan pertanyaan yang ada di kepalanya.

"Kak Olaf."

Olaf mengabaikan ucapan Haura yang menyebut namanya, pasalnya saat ini tujuannya hanya satu, yaitu mengetahui kondisi Haidar setelah tadi berantem dengan Dean di restoran. "Kak Haidar nggak apa-apa?"

Olaf mengambil duduk tepat di samping Haidar sembari menyentuh lengan kanan lelaki itu. Raut khawatirnya tidak bisa dia sembunyikan. "Kak, kenapa melamun?" Olaf kembali bertanya saat Haidar tidak menggubrisnya sedikitpun.

"Bang, itu ada Kak Olaf. Ngelamunin apa, sih?" tegur Haura seraya mendorong pelan bahu Haidar.

"Hah?" Haidar menatap bingung ke arah Haura. Dia belum menyadari jika Olaf berada di samping kanannya.

"Itu, Kak Olaf nanyain. Malah ngelamun." Haidar mengikuti lirikan mata Haura. Seketika raut wajahnya dibuat sedatar mungkin saat mendapati Olaf yang menatapnya dengan raut khawatir. Anehnya, Haidar sama sekali merasa biasa saja ditatap seperti itu oleh Olaf. Namun, beda halnya saat Azura yang menatapnya seperti itu.

"Ngapain lo ke sini?"

"Kak Haidar nggak apa-apa, kan? Lukanya udah diobatin belum? Kalau belum aku panggilin dokter, ya?" Olaf mengabaikan pertanyaan Haidar dan malah mencecar lelaki itu dengan beberapa pertanyaan.

"Nggak usah sok peduli lo!"

Olaf menggeleng keras. "Nggak, aku nggak sok peduli. Aku beneran khawatir sama kondisi Kakak."

Haidar tersenyum remeh, kemudian menatap lurus ke arah depan. Enggan melihat wajah Olaf yang mulai memerah. "Kenapa, sih di saat aku benar-benar peduli sama Kakak, Kakak selalu bilang kalau aku itu sok peduli? Coba deh, sekali aja Kakak ngertiin perasaan aku." Olaf berucap dengan lirih.

"Gimana gue mau ngertiin perasaan lo. Kalau lo sendiri nggak bisa ngertiin perasaan gue?" Haidar kembali melirik ke arah Olaf. "Gue udah bilang, kan sama lo. Kalau gue itu nggak suka dan nggak akan pernah suka sama lo. Jadi, tolong bilang sama bokap lo untuk batalin perjodohan ini. Untuk kesekian kalinya gue mohon sama lo."

"Kak Haidar!" Olaf menatap Haidar dengan mata yang memerah dan berkaca-kaca. "Kita udah pernah bahas ini dan sampai kapan pun aku nggak akan mau perjodohan kita batal. Kakak harus ngerti, dong kalau akutuh cinta sama Kakak, sayang sama Kakak."

Haidar menatap tajam ke arah Olaf. Haidar lupa, jika perempuan yang sedang ada di hadapannya ini adalah seorang perempuan yang begitu egois yang pernah dia kenal. Dia juga tidak habis pikir dengan Olaf, bagaimana bisa perempuan itu bisa bertahan dengan dirinya, yang bahkan lebih sering menyakitinya dengan perkataan yang pedas.

Entahlah, Haidar bingung dengan perempuan yang ada di hadapannya ini dan untuk kesekian kalinya juga Haidar bertanya pada hatinya. Apakah Olaf benar-benar cinta padanya, ataukah perasaan dia hanya obsesi saja?

.
.
.
.
.

To be continued.

Haluuu, assalamualaikum dan selamaat malam semua.

Seperti biasa jangan lupa vote, komen dan follow, yah. Jangan lupa juga follow ig aku @ayuniswy.story

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 26, April, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro