Eight
Don't judge a book by its cover.
🕊🕊🕊🕊
Haura baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di dalam ruangan mamanya. Saat dia akan menuju sofa, keningnya seketika berkerut saat mendapati Haidar yang sedang duduk di sofa sembari memandangi sebuah kertas kecil yang Haura tidak ketahui apa isinya. Belum lagi Haidar terlihat senyum-senyum tidak jelas dan hal itu membuat Haura bergidik ngeri. Jangan-jangan abang aku keserupan, batin Haura, lalu menghampiri Haidar.
"Abang!" Namun, panggilan Haura justru diabaikan oleh Haidar. Lelaki itu masih sibuk dengan senyum yang membuat Haura mulai yakin jika abangnya itu sedang keserupan.
"Abang!" Haura sedikit menaikkan nada suaranya sembari menarik telinga Haidar dengan cukup kuat.
Haidar mengaduh, lalu berusaha melepaskan tangan Haura yang masih menarik telinganya. "Lepas, Ra! Astagaaa, punya adek, kok galak banget." Haidar menatap Haura dengan kesal sembari mengusap telinganya yang terasa panas.
Haura berkacak pinggang. "Ya habis, Abang, sih! Senyum-senyum nggak jelas gitu, buat aku takut aja. Aku pikir Bang Haidar keserupan tadi," ujar Haura, "lagian kenapa, sih Abang senyum-senyum kayak gitu? Udah kayak orang gila aja."
"Sembarangan!" tukas Haidar, "udah, ah! Abang mau pergi, kalau di sini dianiaya mulu sama kamu. Abang udah beliin kamu nasi goreng, tuh." Haidar menunjuk plastik hitam yang berisi nasi goreng di atas meja.
Haura mendelik. "Tumben, baik," ujar Haura lalu mulai mamakan nasi gorengnya.
"Abang memang baik, nggak kayak kamu galak."
Haura yang akan kembali memukuli Haidar, terurungkan saat lelaki itu sudah beranjak pergi dari sampingnya. Haidar menghampiri brankar mamanya.
"Ma, Haidar berangkat ke rumah calon istri dulu, ya. Doain, semoga keluarganya welcome sama Haidar," ujar Haidar lalu menyempatkan untuk mengecup kening sang mama terlebih dahulu sebelum keluar.
"Abang pergi dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Abang aja." Setelah itu Haidar keluar.
••••
Selama di perjalanan menuju rumah Azura, tidak henti-hentinya Haidar terus tersenyum dan membayangkan Azura yang menyambutnya dengan senyuman manis yang entah sejak kapan menjadi candu baginya. Sebelumnya, Haidar mendapat alamat Azura dari Dokter Mariya teman dekat Kia, juga Dokter yang biasa menangani Rumaisha ketika Kia cuti.
Untung saja, Haidar menemui tasbih digital Kia kemarin. Jadi, dia punya alasan yang kuat agar Mariya mau memberikan alamat rumah Azura dan juga Kia padanya. Tak berselang lama, Haidar telah sampai di depan pagar yang menjulang tinggi, yang di atasnya terdapat tulisan besar 'Pondok Pesantren Al-Ikhlas'.
Haidar kemudian turun dari motornya, lalu menghampiri beberapa santri yang sedang mengecat tembok yang warnanya mulai pudar itu. "Permisi," ujar Haidar yang membuat beberapa santri itu menoleh ke arahnya.
"Iya, ada apa, Mas?" tanya salah satu dari santri itu.
"Gue mau ketemu sama Azura atau nggak Dokter Kia. Boleh tolong panggilin mereka?"
Pertanyaan Haidar tidak langsung dijawab oleh beberapa santri itu. Mereka justru saling pandang dengan raut wajah yang terlihat bingung. Belum lagi pandangan mereka yang seolah menilai Haidar dari ujung kaki sampai ujung kepala berhasil membuat Haidar memutar bola matanya malas.
"Mas, gue orang baik, kok. Tenang aja, gua nggak ada niat jahat buat dateng ke sini." Haidar berusaha memberi pengertian pada santri itu.
"Afwan, Mas. Kalau begitu Mas bisa tunggu di sini, saya akan memanggilkan Mbak Kia ke sini," ucap santri yang hampir sama tinggi dengan Haidar. "Tapi, nama Masnya siapa?"
"Nama gue Haidar." Santri itu mengangguk, lalu pergi menemui Kia.
Tak membutuhkan waktu lama, santri bertubuh tinggi tadi kembali dan dia sendirian.
"Dokter Kianya mana?" tanya Haidar.
"Mas disuruh masuk sama Mbak Kia."
Haidar mengangguk paham, lalu memberikan kunci motornya pada santri itu. "Tolong jagain motor gue, ya," ujar Haidar seraya tersenyum dan menepuk pundak santri itu beberapa kali.
Dengan percaya dirinya Haidar masuk ke area pesantren dan mengabaikan beberapa tatapan dari santri, serta lirikan sekilas dari santriwati. Haidar melempar senyum pada semua orang yang menatapnya, sama sekali tidak risih ditatap penasaran oleh seluruh santri.
"Bay the way, ini Mbak Kia di mana, ya? Azura juga di mana?" tanya Haidar sembari menghentikan langkahnya.
Lelaki ber-hoodie hitam itu mengedarkan pandangan ke seluruh area pesantren yang tampak luas. Namun, senyumnya seketika merekah saat mendapati sosok yang sedari tadi dicarinya. Tanpa malu Haidar segera memanggil orang itu dengan suara yang berhasil membuat semua orang menatapnya tidak percaya.
"Azura!"
Merasa namanya dipanggil, Azura segera berbalik begitupun dengan dua orang perempuan di sampingnya, Maya dan Nania. Di saat Azura menatap Haidar dengan keterkejutan, lain halnya dengan Maya dan Nania yang menatap penasaran ke arah Haidar.
"Kak Haidar," ujar Azura pelan. Namun, masih bisa didengar oleh Maya dan Nania.
"Mbak kenal sama lelaki itu?" tanya Nania yang tidak bisa memendam kepengen tahuannya.
Azura memandang Nania, lalu mengangguk. "Aku ke sana dulu, kalian duluan aja," ujar Azura, "assalamualaikum." Setelah itu Azura berjalan menghampiri Haidar.
"Dia siapa?" tanya Nania pada Maya. "Jangan bilang lelaki itu pacarnya Mbak Zura?" tanya Nania dan mendapat sebuah cubitan kecil di lengannya.
"Ssst, kamu ini! Mbak Zura nggak pacaran, ya. Jangan suuzan, Nan. Dosa," tegur Maya.
"Astagfirullah. Maaf, Mbak," ucap Nania, "terus dia siapanya Mbak Zura?" tanya Nania lagi yang berhasil membuat Mbak Maya beristighfar.
"Udah, ayo! Nggak usah banyak nanya!" ucap Maya, lalu menarik tangan Nania untuk pergi.
••••
"Assalamualaikum," salam Azura, "Kak Haidar kenapa bisa ada di sini? Tahu alamat pesantren ini dari mana, Kak?" tanya Azura dengan satu tarikan napas.
"Waalaikumsalam." Haidar tertawa pelan mendapat dua pertanyaan dari Azura dengan satu tarikan napas. "Gue dapat alamat ini dari Dokter Maria, temannya Dokter Kia," jawab Haidar.
Azura tampak mengangguk, lalu bertanya, "Terus, Kak Haidar ke sini buat apa?"
"Mau ketemu sama calon mertua," ucap Haidar dengan sunggingan senyum.
"Apa, Kak? Calon mertua?" tanya Azura dengan raut bingungnya.
Haidar kembali tertawa, lalu menggeleng pelan. "Nggak, gue ke sini karena mau balikin barangnya Dokter Kia. Lo bisa anter gue ketemu sama dia?"
"Oh, ya udah ikut aku, Kak!" Haidar mengangguk, lalu berjalan berdampingan dengan Azura, tetapi tetap Azura membuat jarak di antara dia dan Haidar.
"Assalamualaikum," salam Azura setelah mengetuk pintu bercat hijau daun itu.
"Kakak tunggu di sini dulu, ya. Aku mau cek apa di dalam ada orang atau nggak." Haidar mengangguk seraya tersenyum.
Sembari menunggu Azura, Haidar kembali mengedarkan pandangannya. Entah mengapa melihat beberapa santri ataupun santriwati yang saling membantu satu sama lain, berhasil membuat hati Haidar merasa damai. Pantas saja Azura terlihat begitu saleha dan sopan, karena ternyata dia tinggal di lingkungan yang yang dihuni oleh orang saleh juga saleha.
"Kak, ayo masuk!" Haidar kembali mengangguk, dan mengikuti Azura masuk ke rumah itu.
Haidar tersenyum ramah pada dua orang paruh baya dan juga pada Kia. Setelah disuruh duduk, Haidar segera mengambil tempat duduk di kursi singgel yang berhadapan langsung dengan pria paruh baya yang terlihat sangat ramah itu.
"Assalamualaikum, Ustaz, Ustazah, dan Dokter Kia," salam Haidar seraya mengangguk hormat pada ketiga orang itu.
"Waalaikumsalam." Ketiganya menjawab dengan serentak.
"Maaf sebelumnya, kamu ini siapa, ya? Dan ada keperluan apa menemui putri saya?" tanya pria paruh baya yang tengah mengenakan baju jubah putih dengan peci dan sorban yang terlilit di atas kepalanya. Pria paruh baya itu adalah Abrar--Buya Azura dan juga Kia.
Baru saja Haidar akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Abrar, terurungkan saat Azura datang sembari memabawa secangkir teh dan meletakkannya di atas meja--di depan Haidar.
"Silakan diminum, Kak."
Haidar mengangguk. "Terima kasih."
"Perkenalkan Ustaz. Saya Haidar dan Dokter Kia ini, yang sering memeriksa keadaan mama saya yang sedang koma di rumah sakit. Saya ke sini, karena ingin mengembalikan tasbih Dokter Kia yang jatuh di parkiran rumah sakit kemarin." Haidar mengeluarkan tasbih milik Kia dari kantong hoodie miliknya, lalu memberikannya pada Kia. "Ini, Dok."
"Loh, kok tasbihnya bisa sama Kak Haidar? Perasaan kemarin ada di dalam tasku."
"Zura, kamu kenal juga Nak sama Haidar?" Haidar beralih menatap wanita paruh baya yang wajahnya begitu mirip dengan Azura, dan sudah Haidar pastikan jika wanita itu adalah ibunya Azura.
"Kenal, Umma. Kak Haidar ini senior di kampusnya Azura, dia juga satu fakultas sama Azura." Wanita paruh baya itu--Ruqayyah mengangguk paham.
"Terima kasih, Haidar. Padahal, kamu tidak perlu repot-repot membawa tasbih saya ke sini. Kamu bisa memberikan tasbih ini saat saya di rumah sakit," ucap Kia merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa, Dok," ucap Haidar seraya tersenyum. Haidar beralih menatap Azura dan ternyata Azura juga menatap ke arahnya. Namun, dengan cepat Azura menunduk, hingga membuat Haidar tersenyum tipis. "Kalau begitu saya pulang dulu, ya. Kasihan Haura sendirian di rumah sakit."
"Haura?" tanya Azura bingung.
"Iya Haura. Adek gu ... maksudnya adek saya. Kamu kenal?"
Azura tidak langsung menjawab sebab dia menatap Kia dengan kebingungan. "Kak Ki, bukannya perempuan yang di rumah sakit kemarin itu namanya Haura juga, ya? Yang mamanya juga koma."
Kia mengangguk seraya tersenyum. "Iya, dia Haura adiknya Haidar. Dan Ibu Rumaisha itu mamanya Haidar."
.
.
.
.
.
To be continued.
Haluu, assalamualaikum semuaa👋.
Yokk, yang habis tarwih angkat tangannya, hehehe.
Seperti biasa, jangan lupa vote, komen dan follow, ya. Jadilah pembaca yang penuh dengan keestetikan😉.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 19, April, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro