Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- Penerimaan Diri -

“Bantu aku buat keluar dari keadaan ini. Aku udah capek.”

“Tenang dulu, Sayang, minum dulu!” jawab Mama lantas menyodorkan segelas air putih pada Ayu.

Wanita itu menurut, membiarkan air putih hangat itu mengalir perlahan membasahi kerongkongannya. Selepasnya, Ayu seperti berusaha mengatur napas. Meresapi belaian udara pagi yang menyentuh lembut pipinya.

Mama membiarkannya terjeda, dengan sabar menunggu menantunya sampai benar-benar siap untuk kembali berbicara.

Ayu mengembuskan napas seperti menandakan sebuah kelegaan.

“Sudah baikan?” tanya mama, membelai sayang punggung menantunya itu sejak tadi.

Wanita itu mengangguk.

“Apa yang kamu mau sekarang, Nak?”

“Ayu mau, Diaz bisa tersenyum bahagia dan bangga setiap ngeliat Ayu sebagai ibunya,” ucapnya. Nada bicaranya sedikit tercekat, seperti menahan perih.

Mama mengangguk, dengan sorot matanya yang tajam dan penuh keyakinan. Membuat lawan bicaranya lega dan merasa dipercaya.

“Tapi ada yang salah sama diri Ayu, Ma. Tolong Ayu!” pintanya jujur.

“Bantu Ayu apa pun itu caranya. Ayu pengin sembuh.”

Mama hanya meraih tubuh Ayu, lalu disandarkannya dalam pelukan hangat seorang ibu. Ayu yang mendapat perlakuan seperti itu semakin tersedu.

Tak ayal, wanita 23 tahun itu kembali menghamburkan tangisannya. Dadanya semakin berguncang naik turun akibat isak tangis. Namun ada yang berbeda. Tangisan Ayu kali ini membuat sesak di dadanya berangsur longgar.

***

Udara panas kota Jakarta kembali menyapa lembut seluruh wajah Ayu dan keluarganya. Aga dengan siaga menggenggam lengan istrinya seolah tak ingin wanita itu menjauh sedikit pun darinya.

Sementara Diaz seperti sedang beradaptasi dengan lingkungan barunya. Namun tak mengurungkan niatnya untuk memamerkan kemampuan barunya sejak kemarin, yaitu menggapai benda-benda apa pun yang berada di dekatnya.

“Kamu udah siap, sayang?” tutur Aga meyakinkan.

Dahayu menghela napas, menatap langit biru jernih tepat di atasnya beberapa saat,  lantas memejamkan mata.

Sedetik kemudian ia kembali membuka mata, “Insya Allah. Ini harus berakhir, Mas,” sambutnya yakin.

Aga tersenyum penuh keyakinan. Berharap akan ada titik terang untuk permasalahan keluarga kecilnya itu.

“Mau masuk sekarang?” tawarnya.

Ayu memandang ke arah mama yang menyambutnya dengan anggukan, lalu beralih pada sosok kecil di dalam stroller yang mulai bosan untuk tidur seharian.

“Oke,” jawab Ayu mantap.

Sebelum melangkah maju memasuki rumah penuh kenangan, Ayu terlihat menekuni sekitarnya. Pekarangan rumah yang luas, tanaman-tanaman hias yang tumbuh subur itu ia yakini karena tangan terampil ayahnya.

Ada perasaan haru ketika kembali ke rumah itu. Pun dengan perasaan marah dan kecewa, sebab ia pun tumbuh di dalamnya.

Ayu berusaha menarik napas dan mengeluarkannya perlahan, menghindari trauma yang kemungkinan besar masih akan terus menghantuinya.

Ditatapnya sekali lagi langit biru cerah di atas sana, seraya meremas genggaman tangan Nuraga padanya, “yuk!” ajaknya.

Ketukan pada pintu disertai ucapan salamnya kali ini terasa berbeda. Ada sebuah ketakutan tersendiri yang berusaha ia pendam. Baru beberapa langkah mendekat saja, wajah ayunya berubah cemas.

Aga yang mendapati hal tersebut berusaha menenangkannya.

“Kamu pasti bisa. Ada Allah yang bantu kita,” tutur Aga dengan tatapan tulus.

Terlihat mama Trias mengusap pundak kanan menantunya, menyemangati.

“Waalaikumussalam, Nak. Ayo masuk!” sambut ibu dengan raut wajah semringah.

Di luar dugaan Ayu, kali ini ibu langsung merangkulnya penuh kehangatan.

“Sini duduk, Diaz sehat, Nak?” ibu segera menuntunnya untuk duduk di kursi tamu, sesaat setelah menyambut menantu dan besannya.

Dari kursi rodanya, ayah tersenyum tenang, menatap kedatangan putri sulungnya yang kini telah menjadi ibu. Pun dengan cucu pertamanya.

Tentu saja Aga sudah mengatur kedatangan ini semua dan menjelaskan keadaan yang dialami Ayu melalui Dahlia. Adiknya itu lalu menyampaikan pada ayah dan ibu, yang segera menimbulkan rasa penyesalan di benak sang ibu.

Sejak kehamilan Ayu dan kelahiran cucu pertamanya, sikap ibu memang berangsur melunak pada Dahayu.

“Sehat, Bu. Tapi ...,” Ayu urung melanjutkan kalimatnya. Matanya menatap dalam-dalam raut wajah keriput di hadapannya.

Ada perasaan rindu di sana, namun pengabaian-pengabaian di masa lalu oleh ibu berhasil membangun sebuah benteng bagi Ayu. Ia merasa sangat asing oleh ibu kandungnya sendiri.

“Ibu sudah dengar ceritanya dari Dahlia,” cetus ibu dengan pandangan  lurus ke arah wajah sendu anaknya.

Dahayu menegang. Seluruh tubuhnya memberi sinyal untuk menegakkan benteng tinggi itu lagi, sebagai pertahanan rasa sakit dari penolakan sang ibu.

Ia mundur setengah senti dengan posisi duduk. Lantas tubuhnya segera menabrak tubuh Aga yang duduk tepat di belakangnya.

Aga seolah mengerti dan segera merangkul pundaknya. Seluruh orang di ruangan yang sama seolah dapat merasakan ketegangan yang dirasakan Ayu. Khawatir akan emosi Ayu yang akan kembali meledak-ledak.

Aga melirik ke arah Mbok Mirah, memberi tanda untuk menjauh sejenak demi menjaga Diaz dari rasa trauma.

“Oh, em, gimana kalau kita keluar ajak Diaz cari angin, Mbok?” usul Dahlia mengerti.

“Ma-mari, sudah waktunya Diaz minum susu juga ya, Nak,” sahut Mbok Mirah yang langsung sigap mengerti.

Keduanya lalu mendorong stroller Diaz untuk keluar dengan dalih mencari udara segar.

Tubuh Ayu bergetar panik. Iris matanya melukiskan sebuah ketakutan. Kedua jemarinya sibuk memilin kain gamis berwarna biru tua yang dikenakannya.

“Silakan diminum dulu,” sela Ayah berusaha memecah ketegangan.

“Nak, minumlah dulu. Cicipi juga permen kapas kesukaanmu. Ibu yang sempatkan beli di pasar, di sebelah sekolahmu dulu,” ujar Ayah lagi, membuat tubuh Dahayu berhenti menegang. Ada napas kelegaan di sana.

“Ibu yang beli?” tanya Ayu tak yakin. Mengingat sejak dahulu ibu selalu jadi orang pertama yang memarahinya setiap membeli permen kapas sepulang sekolah.

Ibu mengangguk bersemangat, “ibu juga sudah masak sup ayam telur kesukaanmu, Nak. Kamu mau makan dulu?” sahut ibu dengan senyum mengembang.

Tak berapa lama, terdengar suara tangisan Diaz dari arah luar. Tanpa basa-basi, Mama Trias segera pamit untuk menengok cucunya. Sengaja memberi ruang untuk besan dan menantunya itu berbicara.

Hanya tersisa Ayah, ibu, Ayu dan Nuraga di dalam sana. Ayu menggenggam lengan suaminya kuat-kuat. Tak ingin ditinggalkan sendirian.

“Mmmm, aku ....” kalimat Ayu kembali menggantung di udara.

“Dahayu, maafkan ibu. Selama ini, ibu selalu menuntut kamu untuk jadi sempurna. Tanpa peduli kamu lelah atau kecewa. Maafkan ibu,” sesal wanita tua itu. Wajahnya menunduk penuh penyesalan.

Ayu tak langsung menanggapi. Butuh waktu bagi dirinya untuk mencerna kalimat dan sikap ibunya kali ini.

“Sejak kelahiran kamu, ibu merasakan begitu banyak perubahan dalam hidup ibu. Apalagi, kecelakaan yang menimpa ayah harus menambah beban pikiran ibu saat itu. Ibu tidak siap, Nak,” tutur ibu tercekat, sulit bagi dirinya untuk mengungkit masa lalu yang begitu membuatnya tertekan.

Kali ini, Ayu mengepal lengannya dengan kencang. Seolah dapat merasakan apa yang ibunya juga telah rasakan.

“Maaf, jika kamu harus jadi pelampiasan amarah ibu, Nak. Maaf, tanpa sengaja ibu telah memahatkan luka dalam jiwamu. Maaf," ujar Ibu tak kuasa menahan air matanya.

Ayah yang sejak tadi berusaha menguatkan kini merengkuh tubuh lemah wanita itu untuk dibelainya.

“Ibu yang bersalah. Membuat Diaz harus merasakan hal yang sama seperti itu sekarang. Maafkan ibu.” Tangisnya pecah, membasahi hijab putih gading yang dikenakannya.

“Sudah, Bu. Qadarullah Wa Ma Sya’a Fa’al. Semua sudah menjadi ketentuan Allah,” imbuh Ayah, memandang lembut pada istri dan anaknya secara bergantian.

“Bu ...,” panggil Ayu perlahan.

“Maafin Ayu juga, ya, Bu. Ayu sering ngecewain ibu. Sering ngelawan maunya ibu,” sambung Ayu dengan besar hati.

Keduanya saling menatap satu sama lain dalam tangisan. Lantas berpelukan dan meluapkan kerinduan masing-masing.

Suasana rumah kecil milik keluarga Dahayu menghangat.

Untuk pertama kalinya, rumah bisa menjadi tempat Ayu pulang dengan penuh sukacita. Wajah ayu dengan kedua lesung di pipinya itu kembali mengembangkan senyum cerianya. Merasa nyaman dalam pelukan ayah dan ibunya.

••••••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro