Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- Overthinking -

“Harusnya gue yang ada di posisi ini, bukan Meita,” gumam Ayu. Tatapannya tak dapat berpindah dari layar ponsel pintar di genggamannya.

“Coba aja kalo gue masih kerja di sini. Hidup gue bakalan enak. Nggak bakal kesepian kayak sekarang,” sambungnya.

Jemarinya terus menggulir layar ponsel di halaman sosial medianya. Satu persatu gambar tak hentinya membuat hati Ayu mencelus. Sedih dan membuat perasaannya kacau.

“Harusnya  di umur segini gue masih bisa lanjutin kuliah. Bukannya malah nikah dan cuma ngurus anak di rumah.” Dahayu merengut, membuang napasnya dengan kasar.

“Cantik, keren, punya uang sendiri, bisa bebas main ke mana aja. Huh ..., kenapa gue nyesel gini, sih?”

Wanita dengan lesung pipi itu segera mengunci layar ponselnya. Tak ingin semakin berpikir buruk pada dirinya akibat pemandangan dunia maya yang ia jelajahi. Sungguh hatinya merasa kacau kala itu.

Dahayu beranjak menuju box bayi beberapa langkah di hadapannya. Bayi laki-laki berambut tebal itu terlihat nyaman dalam balutan selimut hasil rajutan tangan neneknya. Wajahnya bulat, dengan kulit putih agak kemerahan. Dahayu seakan tengah memandangi perpaduan dirinya sendiri dengan gambaran Nuraga saat kecil.

“Bayi kecil ini nggak berdosa, Yu. Bukan salahnya dia, kamu berakhir jadi ibu rumah tangga,” ujar Ayu lagi, masih sibuk berswacakap dengan dirinya sendiri.

“Harusnya tuh kamu bersyukur, punya bayi selucu Diaz. Ganteng, sehat. Kamu baru 22 tahun, tapi udah dikasih kesempatan sama Allah buat melahirkan seorang anak dari rahimmu sendiri, Yu!”

Berganti-gantian pandangannya tertuju pada Diaz dan perutnya yang masih terlihat buncit. Ia merasa tak nyaman saat harus mengenakan korset setiap hari, alhasil wejangan dari sang mertua ia abaikan begitu saja.

“Tapi gara-gara dia juga kan, kamu nggak bisa punya dunia sendiri. Nggak bisa lagi merawat dirimu sendiri. Liat tuh, jelek, gendut, nggak terawat!” kali ini Ayu telah menghadap ke arah kaca oval di samping kanannya. Memandangi pantulan dirinya yang terbungkus piyama khusus menyusui berwarna hijau mint dengan motif bunga-bunga merah muda.

“Rambut kusut, jerawat di mana-mana! Ini Dahayu?” tanyanya seakan tak mengenali dirinya sendiri lagi dengan keadaannya sekarang. Berbanding terbalik dengan sosoknya yang dulu. Cantik, menawan dan selalu ceria.

“Huffff ....” ia mengembuskan napas kencang sembari menggaruk-garuk rambut kusutnya yang tak beraturan.

“Pantesan aja Aga udah nggak pernah nyentuh kamu lagi, Yu. Bahkan buat deket-deket aja udah males kali.” Dirinya masih saja berbicara seorang diri. Tak mampu menguasai pikirannya untuk merutuki diri sendiri.

Dipandanginya sebuah rak kecil berbahan akrilik di atas meja rias. Penuh dengan peralatan make up dan skin care miliknya yang telah tak tersentuh semenjak kehamilannya memasuki usia 5 bulan. Sesaat kemudian, tawa lantang keluar dari bibirnya selama beberapa detik, beralih menjadi sedu tangisan di detik selanjutnya. Begitu berulang-ulang.

Ayu merasa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Ia butuh teman yang mau mendengarkan keresahan di hatinya saat itu. Ingin sekali ia mengadu pada kedua sahabatnya, andai saja keduanya tidak sedang disibukkan dengan karier masing-masing yang memang sedang melejit. Ayu sangat takut jika kehadirannya akan mengganggu kedua sahabat karibnya itu. Bahkan, Ayu merasa sudah tidak pantas berada di tengah-tengah Jenna dan Fara yang sukses dengan kariernya masing-masing. Dahayu tengah merasa rendah diri atas segala hal dalam hidupnya saat ini.

Wanita itu kembali teringat konsultasi terakhirnya dengan terapis seminggu yang lalu dan terpikir untuk mengatur jadwal konsultasi kembali. Sebelumnya, tentu saja ia harus meminta pendapat dan izin dari suaminya terlebih dahulu.

Baru saja ia akan menyentuh tombol panggil, layar ponselnya lebih dulu menampilkan nama ‘Mama Trias’ yang tengah memanggil. Mau tak mau, Ayu menjawab panggilan dari mertuanya terlebih dahulu.

“Assalamualaikum,” jawabnya singkat, mengusahakan nada bicaranya tetap terdengar normal.

“Waalaikumussalam. Yu, Diaz apa kabar?”

“Mmm, lagi tidur, Ma. Mama gimana?”

“Baik sayang. Oh iya, kemarin mama udah aturin jadwal kamu ketemu sama dokter Arini. Pasang IUD segera, ya! Biar aman.”

“Hah? M-maksud mama?”

“Iya. Kamu belum boleh hamil dulu sampai Diaz seenggaknya dua tahunan deh. Buruan KB pokoknya, udah mama atur semuanya.”

“Tapi ma, aku belum siap—“

“Kamu belum siap apa lagi? Sampai kapan suamimu kamu suruh puasa?”

“Maksudnya?” sekali lagi Ayu bertanya, nampak polos namun ia benar-benar tak mengerti maksud ucapan dari mertuanya yang tiba-tiba sekali.

“Nuraga nggak mama izinin buat nyentuh kamu! Bahaya. Kalian masih muda, masih produktif. Mama nggak mau kalo sampai kamu kebobolan. Kasian Diaz.”

Dahayu seperti terjatuh dari ketinggian beribu-ribu meter. Ia bahkan tak pernah mengira jika mertuanya sudah ikut mengurusi rumah tangganya sampai sejauh itu. Pantas saja ia merasa bahwa Nuraga sengaja menjauh dari dirinya. Bahkan setelah Ayu bebas dari masa nifas, Nuraga masih terasa begitu dingin pada istrinya sendiri.

Tapi, apa mungkin Aga mau menuruti kemauan ibunya dalam hal yang sangat pribadi seperti itu?

“Asi kamu juga masih suka seret? Kamu minum ramuan yang mama kasih nggak, sih?” seolah tak punya kesalahan, Mama Trias terus meracau sesuka hatinya.

“Mi-minum kadang-kadang, Ma.”

“Ya ampun Ayu, kamu nurut aja kenapa, sih. Buat anakmu juga, kan?”

“I-iya," ja
wab ayu gagap. Sedih bercampur kesal namun terpendam begitu saja di dalam hatinya.

“Ya udah, sekarang siap-siap berangkat deh ke rumah sakit!” perintah mama dari seberang panggilan.

“Ta-tapi, Diaz sama siapa, Ma?”

“Aga belum pulang? Ya ampun itu anak. Padahal udah mama telepon tadi suruh pulang buat jagain Diaz dulu sementara kamu pergi.”

Dahayu tak pernah menyangka sebelumnya jika sikap mertuanya akan begitu berbeda setelah kelahiran Diaz. Sedikit banyaknya, Ayu juga semakin menyalahkan Diaz akan segala penderitaan yang ia alami kini.

“Belum, Ma.”

“Kamu tunggu aja, mama yang telepon Aga sekarang.”

“Ma, Ma. Aku aja yang telepon ya," pinta Ayu.

“Ya sudah. Segera ya kamu selesaikan urusan sama dokter Arini. Jangan kelamaan ninggalin anak juga. Nggak baik.”

“O-oke," jawab Ayu dengan berat hati, lalu segera memutuskan panggilan tanpa berpamitan.

Ayu beralih pada panggilan suara kepada Nuraga yang segera disambut dengan sapaan cuek khas Nuraga.

“Halo.”

“Mas, mama udah ngabarin soal IUD?” tanya Ayu segera memastikan.

“Oh, iya. Aku udah di jalan ni mau pulang.”

“Kok kamu nggak diskusi dulu sama aku sih?”

“Harus gimana lagi? Kan udah bagus didaftarin sama mama. Kita nggak perlu repot-repot antri lagi.”

“Bukan soal itu, Mas. Kamu tau IUD, kan? Di pasang di rahimku! Tubuhku!” bentak Ayu tak tahan lagi.

“Iya maaf, aku cuma nurutin mama kok. Nggak salah kan?”

“Iya, nggak salah kok. Justru sebagai anak laki-laki yang sudah beristri, kamu masih berkewajiban berbakti sama ibumu. Tapi, setidaknya kamu bisa kan tanya pendapat aku dulu soal IUD-nya,” jelas Ayu perlahan merendahkan nada suaranya pada sang suami.

“Iyaaa. Maafin aku, ya!" sahut Aga terdengar malas-malasan.

“Di depan belok kanan ya, Ga!” suara seorang perempuan dengan jelas terdengar di seberang panggilan. Terdengar begitu akrab dengan Nuraga, berhasil membuat Dahayu heran.

“Kamu lagi sama siapa, Mas?”

••••••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro