- Nuraga Semena-mena -
Satu tahun silam ...
“Maaf, Pak, pelayanan kami sudah tutup. Silakan kembali lagi besok!” ucap seorang satpam yang bertugas sore itu.
“Wah, nggak bisa dilayani sebentar, Pak? Bos saya butuh saat ini juga,” sahut seorang lelaki paruh baya dengan seragam hitam rapi dari ujung kepala hingga kakinya.
“Mohon maaf tidak bisa, Pak. Teller kami sudah tutup sejak jam tiga tadi.”
Lelaki berperawakan tambun dengan beberapa sisi rambutnya yang terlihat mulai memutih itu nampak kebingungan. Ia menggaruk-garuk punggung tangannya berkali-kali, seolah berusaha menenangkan diri sendiri atas kecemasannya kala itu.
Tak berapa lama, seorang lelaki yang lebih muda menyusul masuk dan menghampiri keduanya.
“Belum bisa, Pak?” tanya lelaki itu pada pak tua yang kebingungan.
“Be-belum, Mas, sudah tutup katanya.”
“Oh ya? Pak, saya mau ada urusan mengenai asetnya Jaya Adhitama, papa saya. Coba tolong panggilin Pak Rustam!” perintah lelaki muda dengan tampilan semi formal itu segera beralih pada satpam jaga. Wajahnya dingin terkesan angkuh.
“Oh, Pak Jaya Adhitama? Baik-baik, mohon ditunggu. Silakan duduk!” Dengan terburu-buru satpam tersebut berlalu. Disambut dengan senyum kemenangan si lelaki muda ke arah pak tua.
Lelaki muda berjalan santai menuju tempat duduk terdekat.
“Sini, Pak! Duduk dulu aja. Nggak usah tegang gitu.”
“Iya, Mas.”
Tak butuh waktu lama, seorang petugas wanita datang menghampiri keduanya.
“Selamat sore, mohon maaf menunggu cukup lama. Mmm, dengan bapak Nuraga Adhitama, benar?” tanya Ayu, seorang customer service yang ditugaskan untuk menemui tamu istimewa tersebut.
“Loh, mana Pak Rustam?”
“Mohon maaf, Pak, saat ini beliau sedang ada tugas di luar. Beliau bilang, bapak belum membuat janji untuk bertemu hari ini. Jadi, beliau menugaskan saya untuk—“
“Siapa kamu?”
“Saya Dahayu Anjani, Customer service. Mmm, mungkin kita bisa masuk ke ruangan—“
“Nggak perlu. Saya butuh personal banking saya buat urus ini semua. Bukan CS. Gimana, sih,” protes lelaki muda dengan jas berwarna hitam dan kaus oblong putih polos di dalamnya.
“Tapi bapak tidak membuat janji—“
“Saya kan nasabah prioritas di sini. Apa masih harus bikin janji?” Lelaki yang diketahui bernama Aga itu menyamankan posisi duduknya lalu menyilangkan sebelah kakinya ke atas kaki yang satu lagi, sehingga terpampang jelas sneakers berwarna putih dengan merek kenamaan.
“Baik. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kalau untuk bertemu Pak Rustam saat ini sangat disayangkan, beliau sedang tidak di tempat.”
Lelaki muda itu terlihat berpikir, lalu memandangi Ayu dari atas hingga ke bawah. Gadis yang masih dalam posisi berdiri itu jelas saja merasa risih.
“Mmm, jadi, masih ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Ayu dengan tatapan kesal, namun masih berusaha bersikap sopan.
“Siapa tadi nama kamu?”
“Dahayu Anjani. Panggil saja Ayu.”
“Oke. Ayu. Saya tunggu kamu jam tujuh malam nanti, di Backstage Coffee. Nggak jauh dari sini,” ujar Aga sembari berdiri di hadapan Ayu. Wajahnya agak menunduk agar dapat menatap Ayu lebih dekat.
Gadis itu refleks mundur beberapa senti akibat serangan yang tiba-tiba.
“Maaf, untuk urusan aset bisa kita laksanakan di kantor saja, Pak. Kalau boleh tau, apa yang anda—”
“Udah lah. Ntar malem aja. Penting! Saya harap, kamu bisa datang tepat waktu!” lagi-lagi lelaki tampan di hadapannya itu memotong ucapan Ayu. Membuat gadis berlesung pipi itu benar-benar merasa kesal namun tak kuasa membalas.
“Oke, saya pamit dulu. Selamat sore,” sambung Aga. Dengan angkuh, ia berlalu meninggalkan Ayu yang masih terpaku, hingga menghilang dari balik pintu masuk. Menyisakan aroma Woody yang menyiratkan kesan hangat namun juga misterius.
***
Demi keberlangsungan kariernya, mau tak mau Ayu memenuhi undangan Aga untuk bertemu di sebuah coffee shop di dekat kantornya malam itu. Masih dengan seragam kerja lengkap, dan bau keringat yang berusaha ia samarkan dengan beberapa semprotan parfum isi ulang dengan aroma segar favoritnya.
Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja setelah seharian dicepol rapi. High heels lima sentinya telah berubah menjadi sandal jepit sederhana yang ia beli di warung depan rumah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berjalan santai memasuki kafe.
Pandangannya menekuni setiap sudut ruangan, mencari sosok lelaki bernama Nuraga yang baru pertama kali ia temui tadi sore. Di menit ke sekian, tatapan keduanya bersirobok.
Ayu segera berjalan menghampiri lelaki tersebut. Aga hadir dengan setelan tak jauh berbeda dari sebelumnya. Masih terlihat kasual dengan sneakers putih yang sama. Jelas terlihat tampan dan cukup menawan bagi Ayu sejak pertama kali bertemu tadi. Ia yakin, semua wanita yang bertemu dengan Aga pasti akan setuju dengan hal itu.
“Serius kamu nemuin nasabah prioritas dengan tampilan kayak gini?” tanya Aga sesaat setelah Ayu berada tepat di hadapannya.
“Mmm, maaf, Pak. Udah nggak kuat pakai heels. Lagi pula, yang jadi nasabah kami di sini adalah almarhum pak Jaya Adhitama. Emm, mak-sud saya ... Kalau ... bapak keberatan—“
Aga menepiskan sebelah tangannya.
“Panggil Aga aja. Aku belum jadi bapak-bapak.” Sepertinya memotong ucapan seseorang sudah menjadi tabiat Aga sejak dahulu kala. Entah lah.
“O-oke, Pak Aga—“
“Ayu. Duduk dulu, deh!”
“Baik.” Ayu mengambil posisi duduk di hadapan Aga.
“Mau pesen apa?”
“Mmm, apa aja, Pak, eh, Mas Aga.”
“Nah, gitu lebih baik. Oke, makan sekalian, ya. Laper,” sahut lelaki itu jauh lebih ramah dibandingkan tadi sore saat di kantor.
Ayu mengangguk heran.
Sesaat setelah pesanan mereka tersaji di hadapan, Aga kembali berbicara dengan sedikit gugup. Berbeda dengan di awal tadi.
“Mm, jadi, kamu udah lama kerja di bank itu?” tanya Aga ragu-ragu.
“Udah tahun ketiga, Mas. Oh iya, jadinya ada yang mau dibahas soal aset Pak Jaya Adhitama?”
“Oh itu, makan dulu aja. Udah laper banget,” jawabnya semena-mena.
Jika bukan berurusan dengan nasabah prioritas, Ayu sudah pasti akan menolak ajakan makan malam yang aneh ini. Apalah daya, dirinya masih butuh pekerjaan demi kelangsungan hidup dan masa depannya.
“O-oke.”
“Umur kamu berapa?” tanya Aga random, dengan mulut penuh dengan makanan. Sungguh jauh berbeda dengan kesan angkuh yang tadi sore ia tampilkan.
“Eh, em, 21, Mas.”
“Waw. Masih muda. Kuliah?”
“Kuliah pas weekend,” sahut Ayu benar-benar dibuat heran dengan lelaki yang baru dikenalnya itu.
“Oh ya? Kapan istirahatnya dong kalo gitu? Sibuk banget.”
Ayu hanya tersenyum, melanjutkan makannya dengan saksama. Kapan lagi ia bisa makan enak di luar saat tanggal gajian masih jauh dari genggaman.
“Berarti mulai kerja di bank setelah lulus SMA?” tebak Aga.
Ayu mengangguk.
“Keren. Bisa langsung dapet posisi lumayan, ya.”
“Cuma CS kok, Mas. Belum jadi bos,” canda Ayu sekenanya, namun justru mengundang gelak tawa dari lawan bicaranya.
“CS juga lumayan, kan?”
“Yaa, alhamdulillah. Cukup buat nabung.”
“Bagus dong. Kalau aku minta berhenti kerja di sana, bersedia nggak?”
“Eh? Ma-maksudnya, Mas?”
“Iya. Ikut aku aja ke Surabaya. Tahun depan. Gimana?”
Ini orang semaunya banget. Siapa sih namanya tadi? Nuraga Semena-mena?
Ayu menggeleng pelan sebelum meneguk segelas air untuk menetralkan kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering, lalu kembali menanggapi ucapan Aga barusan.
“Ikut Mas Aga, kerja di perusahaannya, gitu? Sebagai apa kalau boleh tau?” Ayu berusaha berpikiran positif dan menanggapi dengan nada suara lembut.
Aga mengangguk pelan sembari tersenyum. Tatapannya kali itu berhasil mengundang kembali degup di dada Ayu yang semakin tak menentu. Di saat bersamaan, Ayu dibuat salah tingkah oleh tatapan Aga. Baru ia sadari bahwa dari jarak sedekat ini, Aga benar-benar memiliki senyuman yang begitu menawan. Manis sekali.
“Nggak perlu kerja. Ikut jadi istriku aja.”
•••••
Halo ...
Gimana bab selanjutnya ini? Masih aman kan? Bapernya disisain buat bab selanjutnya lagi, ya ! 😅
Sabar ya, alur dari cerita ini akan sering maju mundur perlahan. Semoga mudah dipahami. Kawal terus sampai ending, please!
Dan aku masih minta dukungan vote dan komen dari kalian ya, readers. Boleh di share juga biar aku makin semangat kelarin kisah Ayu-Aga ini.
Terima kasih, love 🥰
Jangan lupa tandain typo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro