Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- Love Hate Relationship 2 -

Meski rasa sakitnya serupa 20 tulang di tubuhku dipatahkan dalam waktu bersamaan, namun semua kesakitan itu sirna ketika mendengar tangisanmu di dunia.
– ibumu.

***
 

Dahayu segera menyadari bahwa sebentar lagi dirinya akan seutuhnya menjadi seorang ibu. Ditandai dengan pecahnya ketuban, pembukaan jalan lahir yang semakin meningkat pun diiringi dengan kontraksi yang semakin menjadi-jadi pula. Sudah hampir tiba saatnya ia berjuang.

Namun lelaki tampan yang ditunggu dan diharap-harapkan kehadirannya untuk mendampingi, tak jua menunjukkan batang hidungnya. Dahayu berusaha pasrah dan berbesar hati atas keadaan itu.

Saat ini Dahayu telah berbaring lemah di atas ranjang bersalin dengan alas berwarna pink cerah. Dokter dan para perawat pun tengah bersiap membantunya. Hanya ibu yang kini berada di sisi wanita berlesung pipi itu. Menaruh cemas, bertabur kerinduan yang selama ini terpendam pada anak sulungnya.

Proses persalinan berjalan cukup mudah dan cepat. Setelah mengikuti arahan dari dokter dan pendamping, pada menit kesekian Ayu berhasil mengantarkan makhluk kecil bernyawa itu dengan selamat lahir ke dunia.

Dirinya terbaring lemah dan kehabisan tenaga, namun begitu antusias saat mendengar jerit tangis anak pertamanya itu.

“Bayi laki-laki, normal. Semua organ fisik lengkap. Insya Allah sehat. Selamat, sudah menjadi seorang ibu,” ucap dokter Arini yang membantu persalinan Ayu hari itu.

Ayu mengangguk lemah di sela-sela derai air matanya, bibirnya kering akibat suhu dingin di ruang bersalin, tak henti merapal kalimat syukur atas segala kemudahan dan anugerah di hadapannya. Ayu tersenyum tulus saat diberi kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan bayi laki-laki yang baru saja ia lahirkan.

“Masya Allah. Alhamdulillah, anakku,” ucapnya lirih.

Bayi laki-laki itu masih menjerit dengan tangisannya yang begitu lantang. Terlihat pula ibu yang menangis terharu melihat perjuangan anaknya.

Ayu bahkan merasa tak rela saat bayinya harus segera diangkat dari atas dadanya untuk dibersihkan. Rasa cinta itu kini benar-benar ada, pada seorang makhluk kecil bernyawa yang Allah titipkan untuk ia jaga.

“Nuraga sudah datang, nak. Biar dia urus anak kamu dulu, ya. Kamu istirahat,” ucap ibu, semakin memberikan hawa segar pada Dahayu yang masih terlihat lemah dan pucat.

***

“Sayang, maafin aku nggak bisa menemani proses kelahiran anak kita. Maaf,” ucap Nuraga ketika Ayu baru saja membuka mata. Wanita itu tak sadarkan diri tepat setelah anak laki-lakinya di bawa ke ruang perawatan bayi untuk proses selanjutnya setelah dilahirkan.

Ayu berusaha tersenyum, meski terasa perih di bibirnya yang masih terasa kering.

“Tolong ambilin minum, haus,” pinta Ayu, berusaha untuk duduk. Dengan bantuan suaminya, Ayu berhasil duduk menyandar di atas ranjangnya.

Setelah meloloskan air minum ke dalam kerongkongannya, Ayu segera menengok ke sekitar ruangan.

“Di mana ibu? Dahlia? Anak kita?”

“Ada di luar, sayang. Anak kita di ruang bayi. Nanti juga dibawa ke sini lagi, kok. Sabar ya!"

Ayu mengangguk lega.

“Kenapa kamu nggak bisa dihubungi dari kemarin?” tanya Ayu dengan nada bicara sedikit merengek.

“Susah sinyal di sana, sayang. Setelah dapat kabar dari Lia kalau kamu mulai ngerasain kontraksi, aku juga langsung berangkat ke bandara.”

“Mmm, sampai kapan kamu mau pergi-pergi terus gitu? Aku pikir kita bakal berjuang sama-sama di Surabaya.”

“Iya sayang, maaf ya.”

“Aku nggak mau sendirian.”

Nuraga memeluk Ayu perlahan, lalu membenahi letak bergo istrinya yang sedikit berantakan.

“Setelah ini, aku bakalan lebih sering di Surabaya kok. Sama-sama kamu dan anak kita. Oke?”

Ayu mengangguk penuh harap. Sudah lama ia menahan diri untuk bersabar atas perjuangan suaminya mencari rezeki. Hampir 10 bulan lamanya Nuraga berkali-kali pamit pergi mengurusi bisnisnya di Kalimantan.

“Oh ya, anak kita ganteng ya, mirip aku.”

“Hmm, oh ya?”

“Iya dong. Jadi dikasih nama Diaz?” Aga bertanya balik. Masih menggenggam lengan istrinya yang mulai bersemangat kembali.

Ayu mengangguk antusias, “Diaz Batara Adhitama,” ujarnya tersenyum, menampilkan wajah ceria dengan lesung pipinya.

Pasangan suami istri itu mulai mengobrol dan saling bercanda satu sama lain. Tepat di balik pintu kamar di belakangnya, seorang wanita dengan tubuh renta mengintip penuh haru pada pasangan tersebut. Pandangan matanya sayu, tersamarkan oleh sebingkai kaca bening di atasnya.

“Ibu baik-baik aja?” tanya Dahlia menyadari tingkah ibunya yang seolah memendam sebuah luka.

Ibu berjalan perlahan menuju kursi ruang tunggu di depan kamar. Dengan cekatan Dahlia mengikuti dan segera menggenggam lengan ibunya.

“Waktu ibu melahirkan kakakmu, ayah juga sedang sibuk dengan pekerjaannya seperti Aga. Ayah buru-buru pulang sampai kecelakaan kerja itu terjadi ....”

Dahlia yang belum tahu-menahu mengenai kejadian kecelakaan ayahnya itu hanya mampu mendengarkan, tanpa berani berkomentar.

“Bertepatan dengan dilahirkannya Ayu, ibu dikabari juga kalau ayah mengalami kecelakaan kerja yang cukup parah. Bahkan dalam keadaan yang kritis saat itu,” sambung ibu dengan mata berkaca-kaca. Tak ada lagi kacamata yang menghalangi netra senjanya kala itu. Hingga Dahlia dapat dengan jelas melihat gambaran kesedihan sang ibu dari sorot matanya.

“Ibu senang, karena ibu telah berhasil melahirkan seorang anak yang cantik. Ayu. Tapi ibu juga marah. Marah, karena akibat terburu-buru ingin mendampingi kelahirannya, ayah justru mendapatkan kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawanya,” ungkap ibu dengan raut wajah penuh amarah, namun dengan nada bicara yang penuh kelegaan. Entah bagaimana perasaan wanita itu sebenarnya.

“Lalu, Bu?” Dahlia akhirnya menanggapi, penasaran. Selama ini, ia hanya mengetahui bahwa ayahnya telah mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan. Tak pernah tahu kisah sebenar-benarnya.

“Hampir seminggu lamanya, ibu nggak bersedia menyusui Ayu. Bahkan, ibu enggan menggendong kakakmu itu, nak. Ibu marah setiap kali melihat atau mendengar tangisannya.”

“Meskipun ayah berhasil melalui masa-masa kritisnya, tapi ayah harus kehilangan kedua kakinya. Ayah jadi lumpuh untuk selama-lamanya. Semua karena Ayu!” teriak ibu mulai terbawa emosi.

Dahlia berinisiatif merangkul ibunya.

“Jadi itu sebabnya ibu lebih sering marah sama kak Ayu selama ini?”

Ibu mengangguk keras, seperti menyesali perbuatannya.

“Tapi bukan karena kak Ayu, Bu. Semua ini terjadi karena emang sudah jalan dari Allah, kan?” timpal Dahlia spontan.

“Ibu tahu. Ibu paham. Tapi sulit untuk ibu bisa menerimanya. Seperti ada seseorang yang lain di dalam pikiran ibu, yang sampai hari ini belum mampu menerima kenyataan itu. Yang masih saja marah atas kejadian itu.” Suara ibu bergetar.

Dahlia ingin mencoba memaklumi, namun akal sehatnya seolah menolak pemakluman itu. Kini ia tahu bahwa jiwa kakaknya telah terluka, bahkan sejak hari pertama ia dilahirkan.

“Ibu sangat menyayangkan, kenapa Nuraga bisa seabai itu pada Ayu. Melewatkan kehadirannya saat Ayu berjuang melahirkan anak mereka. Sendirian,” ujar ibu, kini melirik kesal ke arah ruang tertutup di depannya.

Bukan sebab kebetulan jika ibu akhirnya menceritakan masa lalunya yang cukup kelam itu pada Dahlia. Melainkan karena tidak hadirnya Nuraga dalam proses persalinan yang anaknya hadapi, seolah menjadi pemicu luka lama yang berusaha wanita itu lupakan, kini justru menyembul kembali tanpa rasa malu.

Dahlia sadar betul bahwa ibunya juga memiliki rasa cinta yang besar pada Ayu. Hanya saja, sebuah luka tak kasat mata membuat ibu seolah memiliki jarak untuk sekadar mengungkapkan rasa sayang itu pada kakaknya.

“Yang penting sekarang kak Ayu udah ketemu mas Aga, Bu. Anak mereka udah lahir dengan selamat, sehat, sempurna.” Dahlia berusaha menutup obrolan yang memicu kembali trauma masa lalu ibunya itu.

“Untung saja Aga masih bisa pulang dengan selamat. Kalau tidak, mungkin Ayu  juga akan bersikap seperti ibu pada anaknya itu,” seringai ibu dengan senyum tipis. Dahlia menjadi merasa takut pada ibunya sendiri saat melihat hal tersebut. Namun ia berusaha menepis perubahan sikap ibu yang sangat tak menentu itu.

“Bu ...,” sahut Dahlia, tak mampu berkata apa-apa lagi.

Ibu tiba-tiba saja menggeleng keras sembari mengerjap-ngerjapkan mata. Seolah sedang berusaha keras untuk menolak perintah dari otaknya, entah untuk apa.

“Ayu tidak boleh jadi seperti ibu,” pungkas ibu, seraya membenahi letak khimar biru tuanya, lantas mengenakan kembali kacamatanya.

•••••

Tentang keresahan itu, mungkin emang nggak semua orang bisa mengerti. Yang dianggap remeh sama orang lain, bisa jadi justru memicu luka dan trauma bagi seseorang.

Selamat menikmati kisah Ayu-Aga-Diaz ya temen-temen. Tolong semangatin terus yaa. 🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro