Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- Dunia Baru -

“Saya terima nikah dan kawinnya Dahayu Anjani binti Rahmansyah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucap Nuraga dengan lantang dalam  satu tarikan napas.

Ucapan syukur dan doa-doa tulus melebur bersamaan dengan ucapan ‘SAH’ dari kedua orang tua dan para saksi, juga dari para tamu undangan.

Tampak jelas wajah haru dari ayah. Dari atas kursi rodanya, ayah berbisik pada lelaki di hadapannya yang kini telah sah menjadi suami Ayu.

“Barakallah. Selamat menjadi suami ya, Nak. Ayah serahkan tanggung jawab itu pada kamu. Tolong, bimbing Ayu. Jaga dan cintai dia seperti ayah sangat mencintainya.”

“Insya Allah. Saya akan membimbing dan mencintainya dengan tulus, Yah,” sahut Aga yang terlihat sederhana dengan baju akad berwarna putih pilihan Ayu. Atas kesepakatan bersama, akad dilangsungkan secara sederhana di pekarangan rumah milik orang tua Ayu.

Tepat beberapa menit setelah akad, mempelai wanita berjalan lembut menghampiri Aga. Dalam balutan long dress perpaduan brokat dan ceruti berwarna putih, Ayu terlihat begitu anggun dan cantik serupa namanya. Senyum merekah dari bibir merahnya, dengan bulu mata lentik dan tatapan yang berbinar, Ayu tiba di hadapan suaminya.

Aga berdiri, menyambut wanitanya dengan tangan terbuka. Senyum tak henti-henti menghiasi wajah tampannya pagi itu.

“Kamu cantik kalo pake hijab gitu,” bisik Aga, sesaat setelah Ayu berada tepat di sampingnya.

Wanita berlesung pipi itu tersenyum salah tingkah. Akhirnya tiba saat keduanya bisa benar-benar berdampingan secara langsung, sebagai suami istri. Meski sempat melalui berbagai macam godaan, namun keduanya tetap mampu bertahan dan saling meyakinkan.

“Kamu juga,” jawab Ayu semringah.

“Juga cantik?”

“Iya.”

Anggap saja dunia saat itu adalah milik keduanya. Buih-buih cinta yang bermekaran, begitu nampak dari kedua pasangan itu.

Tak jauh dari meja akad pengantin, Dahlia merangkul dan terlihat menenangkan ibu yang sedang menangis, entah karena terharu atau luapan kemarahan yang begitu besar. Di sudut lain, masih di hadapan kedua mempelai, mama Trias tak henti menatap ke arah menantu barunya. Entah tatapan senang atau benci yang tertahan.

Pesta pagi hari itu memang jauh dari kesan mewah. Bahkan, tamu undangan tak lebih dari seratus orang saja. Tentu sangat jauh berbeda dengan kebiasaan pesta mewah yang diadakan oleh keluarga Adhitama.

“Mmm, mama kamu masih marah, Mas?” bisik Ayu yang menyadari tatapan sinis dari mertuanya sejak tadi.

“Tenang. Palingan dia cuma agak BT aja karena acara kita  tertutup, jadi nggak bisa undang wartawan,” jawab Aga yang juga berbisik.

“Mmm, maaf—“

“Santai. Mama baik kok.”

Ayu memang sudah terbiasa dengan sikap Aga yang senang menyela pembicaraan. Meski merasa kesal setelahnya, namun wanita bertubuh ramping itu selalu berusaha memahami. Yang membuatnya tak nyaman kali ini adalah tatapan tajam dari sang mertua yang sejak awal bertemu memang masih sulit untuk ditebak. Terasa sulit untuk didekati.

Meski acara telah selesai digelar, masih ada beberapa tamu undangan yang hadir dan bersikeras menemui kedua mempelai. “Udah dateng jauh-jauh masa nggak nemuin mantennya,” kata salah seorang tamu yang hadir belakangan.

“Bentar lagi siap-siap otw, ya. Ini kok tamunya masih pada banyak yang datang, sih?” sewot Aga, merasa kesal.

Ayu mengangkat kedua bahunya, tak punya ide untuk menjawab.

“Kamu capek?” tanya Aga lagi, melihat paras cantik sang istri yang mulai lesu.

“Lumayan.”

“Ayu, Aga. Kalian istirahat dulu di kamar. Nanti malam kan masih mau ada acara.” Ibu tiba-tiba saja datang bagai malaikat penyelamat. Tentu saja ini yang telah keduanya nantikan sejak tadi.

Tanpa pikir panjang, Aga dengan gaya cueknya yang khas di hadapan banyak orang, langsung menggapai lengan Ayu dan menggandengnya menjauhi keramaian.

“Huh, capek banget jadi pajangan dari pagi,” keluh Ayu yang sudah sibuk di hadapan meja rias dengan setumpuk kapas dan pembersih wajah.

“Masih ada ntar malem, jangan lupa.” Aga melonggarkan kancing kemeja putihnya sembari menghempaskan tubuh ke atas ranjang milik Ayu yang telah dihias sedemikian rupa.

“Ntar malem kira-kira aku harus gimana?” wanita yang telah sah menjadi seorang istri itu kini tengah sibuk melepaskan satu persatu tumpukan jarum di hijabnya.

“Ya nggak gimana-gimana. Emang mau gimana?”

“Maksudnya, aku harus apa? Apa ada hal tertentu yang boleh atau nggak boleh aku lakuin? Kalau ada yang ajak ngobrol aku harus apa? Dan ... ya semacam itu lah,” ujar Ayu frustrasi. Seolah ada sebuah ledakan kecemasan yang datang tiba-tiba menyerangnya.

Wanita itu masih kesulitan melepaskan rangkaian hijab di kepalanya. Entah apa yang membuatnya yakin untuk menolak bantuan MUA-nya tadi untuk melepas hijab.

“Ih ini susah banget, sih, nyopotnya. Berat,” timpalnya masih berusaha mencabut satu persatu jarum dan lapisan kain yang membungkus surai hitam panjangnya.

"Makanya nggak usah pake hijab aneh-aneh gitu, yang simple lebih menarik," sahut Aga.

"Bukan aku yang pilih." Ayu membela diri. Kali ini merasa kesal dengan dirinya sendiri yang selalu mengikuti pilihan ibunya.

“Sini aku bantuin,” sahut Aga lagi, sudah berdiri di belakang Ayu dan mengambil alih kegiatan wanita itu. Jantung wanita itu berdesir kencang. Terkejut dan salah tingkah bergabung menjadi satu.

“Kamu nggak harus lakuin hal yang menurut kamu nggak pantas dilakuin. Jadi dirimu sendiri aja. Nggak perlu ada yang diubah. Oke?” sambung Aga lagi dengan nada suara cuek dan masih dengan kesibukan yang sama.

Aroma wangi maskulin milik Aga berhasil sampai dan mampir cukup lama di indera penciuman Ayu. Membuatnya semakin berdesir, salah tingkah. Hingga membuat gadis itu tak mampu berkata-kata.

“Heh, diajak ngomong malah diem aja kayak patung!” Aga menggetok pelan kepala Ayu yang mulai menampilkan surai hitam lebatnya.

“Aw. Sakit tau!”

“Cuma pelan, kok,” ucap Aga membela diri.

“Ya tapi sakit.”

“Iya-iya, maaf.” Aga berganti mengelus rambut hitam milik istrinya dengan penuh kasih sayang.

Ayu masih memasang raut wajah cemberut.

“Udah, nih. Udah kembali ke setelan pabrik, deh,” sambung Aga meletakkan kain hijab di atas kursi rias.

“Kenapa emangnya? Setelan pabriknya jelek?” Sambil bercermin ia mulai menyisir rambutnya yang sedikit kusut akibat riasan.

“Ya lumayan, sih.”

“Lumayan apa? Lumayan jelek?” timpal Ayu tak terima, langsung berpaling menghadap Aga yang masih menggunakan kemeja dengan dua kancing atas terbuka.

Aga mengangguk pelan seraya tersenyum jahil.

“Mas Agaaa!” pekik Ayu memukul lembut dada lelaki itu dengan sisir. Pukulan sayang.

Nuraga tertawa puas. “Lagian, kenapa sih hijabnya dilepas. Kan lebih cantik pake hijab. Cantik banget.” Dengan cuek, Aga duduk di kursi rias, menghadap ke cermin.

Di belakangnya, Ayu berdiri memandangi pantulan wajah lelaki yang telah resmi menjadi suaminya itu.

Ganteng banget, sih.

Tentu saja Ayu hanya mampu berbicara di dalam hati. Sejak bertemu Aga, Ayu lebih sering terserang demam salah tingkah. Apa pun yang Aga lakukan seolah mampu membuat wanita itu merasa canggung. Tapi, gengsi harus lebih diutamakan, bukan?

“Masa mau mandi pake hijab, gitu?” jawab Ayu berusaha bersikap biasa saja.

Netra lelaki itu masih tajam ke hadapan cermin yang memantulkan wajah istrinya pula.

“Maksudnya, pake hijabnya jangan cuma hari ini doang. Tiap hari aja. Mau nggak?” kali ini Aga telah berbalik menghadap langsung pada Ayu, namun masih dalam posisi duduk.

“O-okay.” Ayu menjawab singkat. Wanita berlesung pipi itu menjauh, duduk di atas kasurnya.

Aga segera mengekor dan mengambil posisi duduk di sebelah wanitanya.

“Kenapa sih kamar kamu aneh gini, alas kasurnya juga kasar gini,” celetuk Aga menekuni setiap sudut kamar yang sengaja dihias sebagai kamar pengantin oleh tim dekor pilihan ibu.

“Udah nggak usah bawel. Ibu yang urus ini semua,” sahut Ayu yang ikut kesal karena sama-sama kurang puas dengan hasil dekorasinya.

“Oh ...,” jawab Aga sembari mulutnya terbuka lebar membentuk huruf o.

“Ya sorry, budget terbatas.”

Aga bungkam seribu bahasa, seingatnya pihak keluarganya telah memberikan uang dan mas kawin dengan nominal yang cukup banyak.

***

Dekorasi pesta pernikahan malam itu sangat jauh berbeda dengan kesederhanaan akad tadi pagi. Pelaminan tampak mewah dengan perpaduan warna emas dan putih gading, serta deretan standing lamp berbentuk bunga-bunga yang menambah kesan manis.

Dahayu dan Nuraga bersanding bagaikan pangeran dan permaisurinya. Gaun panjang menjuntai berbahan tule yang dikenakan Ayu berhasil menarik perhatian banyak orang padanya. Di sudut kiri ruangan, menjulang dengan elegan wedding cake bernuansa nude setinggi empat tingkat.

Jika saat akad berlangsung tak banyak tamu undangan yang hadir, berbeda dengan malam itu. Sebagian besar tamu berasal dari keluarga dan kerabat Nuraga, yang jelas saja belum sepenuhnya Dahayu kenali. Hanya ada kedua orang tua, Dahlia, Fara dan Jenna serta beberapa kawan yang memang ia undang untuk hadir malam itu.

Hampir di setiap sudut telah bersiap deretan wartawan yang meliput acara. Jujur saja membuat Ayu merasa kurang nyaman karena tak siap dengan dunia barunya itu. Namun tak dapat dipungkiri, dirinya kini telah sah bergabung dalam keluarga konglomerat ternama di kota itu.

“Mas, mama kok masih jutek banget sama aku, sih?” bisik Ayu lagi-lagi menangkap sinyal aneh dari sang mertua.

Meskipun beberapa saudara dan kolega Adhitama terlihat begitu ramah padanya, namun berbeda dengan ibu mertua yang masih saja sulit ditebak isi hati dan mood-nya.

“Perasaan kamu aja kali,” sahut Aga.

Ayu terdiam, terlihat berpikir. Entah kenapa Mama Trias masih saja belum bisa bersikap welcome pada menantunya itu. Bahkan hingga malam resepsi berlangsung sesuai keinginan beliau. Dari segala hal dan detailnya, Ayu hanya menurut saja. Tak berani menolak bahkan mengajukan pendapat.

••••••

Part setelah ini, bakalan lebih banyak drama lagi dalam hidup Ayu-Aga, gess.
Jangan sampai di skip, please.

Tetep bantu doa, semangat, vote dan komen yaa, love.
Terima kasih banyak, kalian 🥰🥰

Salam sayang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro