8.1
Isak tangis itu mengguncang indera pendengarannya, langkahnya cepat-cepat menghampiri sumber suara dan betapa mengejutkannya kala ia menemukan seorang anak laki-laki duduk dengan tangan tertelungkup di atas lutut, bahunya naik-turun, senggukan demi senggukan terus meluncur. Netranya menelusuri busana yang dikenakan selagi anak itu tak menyadari kehadirannya. Kain-kain halus dengan warna senadayang terjahit rapi. Sulaman yang merekat, sepatu licin dan mengilat, semua tak luput dari pengamatannya. Putra orang berada.
"Hei, nak. Apa yang kau lakukan di sini?"
Linangan air mata tercetak jelas di pipi manakala anak itu mengangkat kepala, "Aku, aku tersesat." Isaknya.
"Oh, kau tersesat. Kemarilah, akan kuantar kau menuju tepi hutan." Ucapnya sembari mengulurkan tangan kanan.
"Tapi ibu bilang aku harus berhati-hati dengan orang asing."
Sebelah alisnya terangkat, "Kau mau pulang tidak? Hari mulai gelap asal kau tahu." Tunjuknya pada langit yang tertutup dahan-dahan, gumpalan putih berarakan seakan berlomba, berkumpul menjadi mendung. Anak itu menyambut uluran tangannya ragu-ragu.
"Aku tidak akan bernasib sama seperti Hansel dan Gretel 'kan?"
Ketukan sepatu miliknya tak berhenti barang sedetikpun, jengkal demi jengkal tanah ia susuri dengan hati-hati. Telapak tangannya yang semula kosong kini mengenggam tangan yang lebih kecil. Kalimat itu berdengung dalam telinganya, bersama dengan derak batang-batang cokelat berkerak dan juga embusan angin petang.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Karena bisa saja kau aslinya bukan manusia tapi penyihir."
Genggamannya sempat terlepas saat anak itu mengambil lompatan besar melewati tanah berlubang, alih-alih berjalan menghindar di pinggiran. Ia sedikit tercengang pada ucapan yang tepat sasaran, jika percakapan ini adalah sebuah laga maka ia sudah kalah telak.
"Apa buktinya kalau aku penyihir atau bukan?"
"Emm, aku tidak punya bukti. Tapi sepertinya kau bukan penyihir, hidungmu tidak besar dan berjerawat. Tidak ada keriput juga punggung yang bungkuk."
Ia mendengus geli, "Memangnya ciri-ciri penyihir seperti itu?"
Mata anak itu berkilat, "Tentu saja! Aku membacanya di buku-buku."
"Yang kau baca pasti buku-buku dongeng, buku jenis itu tidak akurat. Cobalah membaca yang lebih berat, jurnal ilmiah misalnya."
Tangannya bersidekap di depan dada, "Aku tidak suka buku-buku seperti itu, menambah pusing kepala saja."
"Bukankah sudah waktunya kau berhenti membaca dongeng? Berapa umurmu sekarang? Sebelas? Dua belas? Kau tidak bisa terus bermain-main, bocah." Ia tak tahan untuk menarik segaris senyum.
"Sebelas, huh? Dan kenapa kau terdengar seperti guruku?" rajuknya.
Senyumnya semakin lebar saat sadar akan suatu hal, "Ohoho, apakah itu sebabnya kau tersesat di hutan ini sendirian? Melarikan diri, heh?"
"Aku tidak melarikan diri! Aku hanya ingin menghirup udara segar." Sanggahnya.
"Ya, ya. Menghirup udara segar sampai lupa jalan pulang lalu menangis seperti bayi."
Oh, betapa ia menikmati kerutan yang semakin bertumpuk pada keningnya itu. Alis-alisnya yang menukik tajam dan sepasang manik biru yang menatap nyalang. Helaian-helaian seputih salju berayun saat kakinya menghentak murka. Jari-jemari itu merogoh saku, mengeluarkan benda yang meninggalkan serbuk putih di sela-sela buku jari.
"Lihat ini! Aku menandai pohon-pohon yang telah kulewati dengan kapur, tapi saat aku menoleh ke belakang tak ada satu batangpun pohon yang tergores. Mereka seperti bertukar tempat satu sama lain. Aku mencari-cari batang bertanda hingga kelelahan dan apa yang aku dapat? Kemanapun aku melangkah akan selalu dibawa ke tempat semula, berputar-putar tiada akhir!"
Kemana perginya bocah penakut yang menangis tersengguk-sengguk tadi? Setiap detik yang mereka habiskan sepertinya semakin menambah keberaniannya saja. Ia tertawa dalam hati. Semua itu ulahnya, benar, semua memang ulahnya. Sihir yang ia pasang menyesatkan arah anak laki-laki di hadapannya. Berlaku untuk segenap makhluk pada puncak rantai makanan yang disebut sebagai manusia, tanpa satupun pengecualian baik dalam hal umur atau kedudukan sosial.
"Baiklah, baiklah, tuan muda. Tak usah marah-marah, lihat, kita hampir sampai."
Kepala anak itu menoleh ke samping kanan mengikuti arah lirikan netra cokelatnya, pada angin yang membawa debu-debu halus itu ia menyipitkan mata. Air mukanya berubah begitu cepat, gurat-gurat amarah sirna dalam sekejap, harapannya terkabul saat dilihatnya jalan keluar membentang tanpa rintangan. Kaki-kakinya melompat-lompat kegirangan, tangan sang penyelamatpun ditariknya menuju tanah lapang.
Ia kembali menenggelamkan diri dalam gelapnya bayangan pepohonan sesaat setelah berpamitan dengan sang anak laki-laki. Ditatapnya lamat-lamat punggung kecil yang mulai menghilang dari pandangan. Tangannya kemudian terulur menyentuh isi dari kantong yang terikat pada pinggang, diusapnya pelan permukaan licin yang menyapa indra peraba, tabung bersumbat kayu diangkatnya sebatas dada, cairan kehijauan tanpa gelembung udara terlihat dari balik kaca tembus pandang. Ia memutar-mutarnya sejenak sebelum kembali memasukkannya.
"Kuharap kau tidak kembali lagi, bocah."
•••
"Jadi pondok kecil itu rumahmu?"
Tak pernah disangkanya jika hari-hari yang seharusnya damai dan tenteram berteman suara-suara alam juga binatang akan berakhir sedemikian cepat. Anak laki-laki yang pernah ia selamatkan kembali lagi padanya, anak itu kini berubah menjadi remaja tanggung. Berapa tahun berlalu semenjak pertemuan pertama mereka? Tiga tahun? Empat tahun? Ia tidak begitu ingat, sepertinya ia perlu membeli kalender selepas pemuda itu pergi.
"Yang kau sebut sebagai pondok itu cukup besar untuk ditempati olehku seorang, asal kau tahu."
Ia bangkit dari duduk bersilanya di depan sekumpulan hyacinth yang tumbuh subur, bergoyang-goyang tatkala tertiup angin. "Kenapa kau datang kemari?"
Langkahnya tertuju pada pintu ganda yang terbuka, ia masuk diikuti sang pemuda.
"Aku mencarimu." tukasnya.
"Kenapa mencariku? Apa benda-benda berkilau di istanamu sudah membuatmu bosan?"
Pemuda itu berhenti di ambang pintu, "Anggap saja begitu."
Diletakkannya sekeranjang penuh apel merah merekah di atas meja bundar, tepat di sebelah toples yang menyimpan kue kering. Ia menghela napas, "Duduklah." Ucapnya sembari menarik kursi, mempersilakannya duduk.
Usai menghempaskan bagian tubuh yang berisi bantalan lemak, sang pemuda lantas menyapukan penglihatan pada seisi ruangan. Ubin pucat itu ditatapnya lama, memikirkan alangkah sejuk telapak kakinya bila memijak permukaannya yang dingin saat hawa panas mendera, ia sedikit menyayangkan sepatu berdebunya akan menyebabkan noda pada permukaan tak bercela.
Marmer-marmer putih itu sukses mengalihkan perhatiannnya hingga ia tak sadar bila sang pemilik rumah datang menghampiri dengan nampan yang di atasnya tertata teko dan juga cangkir-cangkir kembar.
"Tahun ini musim panasmu yang keberapa?"
Ia selesai menyesap teh dari bibir cangkir saat pertanyaan itu terlontar, "Empat belas."
Tiga tahun berlalu dan banyak perubahan yang ia lihat dari sosok di hadapannya. Tingginya bertambah, suaranya memberat, helai-helai sewarna kapas yang dulunya cepak itu juga bertambah panjang, tidak sampai sebahu dan di sisir rapi ke belakang.
"Oh, iya. Siapa namamu? Aneh sekali aku datang berkunjung tapi tak tahu namamu."
"Aku tidak punya nama."
Apalah arti sebuah nama kalau tiada yang mengingatnya dalam waktu lama. Tak peduli siapa namanya, semua hanya akan tergerus oleh jaman, terlupakan.
"Kalau begitu biarkan aku memberimu sebuah nama." Ucapnya girang.
Satu hal yang tidak berubah darinya. Bola mata yang memancarkan binar-binar keceriaan, berpendar dalam guyuran berkas cahaya. Mata yang selalu mampu mengingatkannya akan luasnya angkasa.
"Terserah kau saja." Jawabnya tak acuh.
" (y/n), mulai sekarang namamu (y/n)."
•••
Bulir-bulir asin itu merembes melalui kelopak-kelopak matanya, mengalir melaui pipi dan menetes, takluk pada gaya tarik bumi. Kepulan-kepulan putih dari cairan berbuih memenuhi sepetak ruangan penuh kuali-kuali dan botol-botol kaca. Ia tersedak, terbatuk-batuk sembari mengibaskan tangan. Dimatikannya api dan diseretnya kaki pada ubin-ubin putih, menghamburkan diri pada belaian angin siang hari saat pupilnya mengecil tatkala intensitas cahaya bertambah tinggi.
"Bau busuk apa ini? Dan kenapa kau menangis? Mukamu jadi tambah jelek asal kau tahu."
Sabar.
Tahan.
Tarik napas.
Embuskan.
Ia harus ingat, ia wanita dewasa, tidak ada gunanya melampiaskan amarah pada bocah yang baru saja menginjak remaja. Manusia minim tata krama itu bahkan tak turun dari dahan tempatnya bersandar sambil menggantungkan salah satu kaki. Mulutnya sibuk menggilas daging-daging buah apel ranum yang sudah masak. Kemudian melempar sisanya ke sembarang arah dan memetik lagi sebuah.
"Oh, begitukah ajaran dari guru-guru terbaik yang dikirimkan padamu, anak muda? Sepertinya pisau-pisau di dapurku lebih tumpul dari pada lidahmu." Sindirnya.
Kalimatnya dibalas tatapan jengah, "Ayolah, aku tak mau diingatkan tentang hal semacam itu di sini, biarkan aku melakukan apa yang ku mau walau sejenak. Dan memangnya kau setua apa, sampai memanggilku anak muda?"
Dia bagaikan bayi jika dibandingkan dengan jumlah tahun yang telah ia habiskan di muka bumi. Tapi tak ia katakan, biarlah pemuda itu tidak mengetahuinya, ia tak perlu tahu. Diamnya adalah sebuah jawaban, pemuda itu mengerti, dan hanya mengikuti gerak langkahnya lewat bola mata. Diambilnya sekuntum bunga sewarna jubah-jubah ungu para pangeran yang bahannya diambil dari laut pedalaman.
"Apa yang akan kau lakukan dengan bunga itu?"
Kilatan penasaran itu datang lagi, dan ia tahu harus menjawab apa, "Mencocokkan warna."
"Mencocokkan warna? Kau membuat pewarna sendiri? Kenapa tidak membelinya saja?"
Tidak, membeli memanglah lebih cepat dan efisien, tapi jusru akan membuat waktu senggangnya bertambah berkali-kali lipat. Ia tidak tahan kalau hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun. Kegiatan-kegiatan itulah yang mengusir rasa bosan walaupun merepotkan. Beberapa waktu yang lalu ia baru saja kembali dari lautan, mengumpulkan kerang-kerang. Serangga-serangga kermes merah yang ia tangkap kemarin sekarang tinggal wadahnya. Ia berniat merampungkannya hari ini.
"Diamlah, aku bukan seseorang yang punya banyak uang sepertimu." Tukasnya.
"Hey, tunggu! Perlihatkan padaku caranya!" ucapnya tergesa.
Ia tak acuh saat mendengar debuman dari kaki-kaki yang mendarat di atas gundukan tanah. Biarlah dia mengejar, pikirnya.
•••
Sungguh, mulutnya tak tahan lagi ingin mengumpat, merecokinya dengan kata-kata pedas yang tiada habisnya. Ia tak habis pikir apa yang sebenarnya pemuda itu lakukan hingga tampilannya carut-marut seperti ini. Lihat saja, percikan merah mengenai lekukan-lekukan kemeja putih dan juga celana halus yang tersayat, bahkan robek di beberapa bagian. Wajahnya coreng-moreng oleh tanah basah. Rambutnya? Oh, jangan ditanya, sudah seperti di terpa badai.
Napasnya terengah, mata birunya tengah memandang lelah dirinya, ia menangkap pancaran kengerian yang teramat jelas terlihat. Jemarinya bergetar dengan sebuah lembing tergenggam. Lembing itu miliknya, kayu ash yang terpoles dikenalnya dalam sekejap. Ia menghela napas mengambil alih lembing yang ujungnya berlumuran darah.
"A-aku, aku-"
"Masuk dan bersihkan dirimu, kita bicarakan itu nanti." Potongnya. Pundak layu itu ditepuknya pelan.
Ia menyiapkan pakaian bersih, tak ada pakaian lelaki di rumahnya. Sebagai ganti, hanya ada lembaran-lembaran kain putih yang terbentang lebar. Tak apa, ia akan melilitkannya seperti chiton. Tidak perlu pakaian berjahit, akan lebih memudahkan baginya untuk memeriksa luka pada tubuh sang pemuda, sebab sedari tadi teriakan kesakitan di antara kucuran air kerap menjumpai telinganya.
"Pakaian kotormu sudah kau masukkan dalam keranjang?"
"Sudah, akh."
Lagi dan lagi, pekikan sakit itu terdengar berulang kali. Ia menatap nanar pada luka di bahu kanan, satu sayatan yang cukup dalam.
"Tutup matamu, dan jangan berani-berani membukanya kalau ingin lukamu cepat sembuh."
"Baiklah."
Tak ada sanggahan maupun bantahan, ia tersenyum senang melihat tanda kepatuhan.
Luka-lukanya tertutup sempurna saat membuka mata. Sungguh keajaiban melihat sayatan sirna sekejap mata, ia menatap sang wanita ketika hendak melontarkan sebuah kalimat tanya, namun sayang ia kalah cepat.
"Sekarang katakan padaku, apa saja yang kau perbuat selagi aku tidur tadi?"
Pemuda itu terdiam menimang-nimang jawaban, "Aku penasaran apakah ada seorang driad yang menghuni hutan ini. Aku ragu ingin menanyakannya padamu, jadi kuputuskan untuk mencarinya sendiri berbekal lembing yang bersandar di samping alat tenun."
"Lalu? Sudahkah kau temukan apa yang kau cari?"
"Tidak, tidak ada satupun driad yang kutemukan, tapi aku mendengar suara tawa gadis di kejauhan. Aku menghampirinya dan saat aku berbalik seekor babi hutan raksasa berdiri tak jauh dariku. Makhluk itu sangat gesit dan lincah, aku tersandung akar pohon saat babi itu mengejar."
Ia menjeda, menghirup udara kemudian berkata, "Jalan-jalan setapak yang tadi ku lalui seolah berganti arah, padahal aku sudah mengingat-ingatnya dalam kepala. Aku menembus semak-semak belukar hingga akhirnya terpojok di bebatuan terjal. Saat itu tak ada pilihan lain selain membunuh babi hutan itu. Aku melempar lembing sambil mengharapkan keberuntungan agar lemparanku tidak meleset, dan aku berhasil."
"Saat aku mencabut lembing, darahnya terciprat pada tubuhku dan aku mendengar langkah-langkah cepat dari arah yang sama ketika babi itu datang. Aku membunuh seekor lagi lalu seekor lagi. Ketika aku berteduh di salah satu pohon besar karena kelelahan, aku mendengar tawa-tawa itu lagi, hilang sudah niatanku untuk mencari mereka. Bukannya senang tapi yang kudapatkan adalah ketakutan, tawa-tawa mereka semakin jelas terdengar di balik pepohonan. Aku berlari secepat yang aku bisa untuk sampai ke sini. Tolong maafkan aku karena meminjam lembing tanpa seizinmu dan pergi tanpa sepengetahuanmu. Kau boleh memarahiku sepuasmu sekarang, aku tahu kau sudah menahannya sedari tadi."
Penjelasan itu diakhirinya dengan tundukan lesu, lekukan-lekukan pada kain yang tersampir tiba-tiba terasa lebih menarik daripada bertemu pandang dengan netra cokelat miliknya. Ia gundah, tak sampai hati memarahi setelah mendengar pengakuan sang pemuda.
Ia mengusap pelan punggung sang pemuda, lalu menarik salah satu kursi dan mendudukkan diri di sebelahnya.
"Kau tahu jika driad adalah nymph yang hidup di hutan 'kan?"
Lawan bicaranya mengangguk.
"Apakah kau tahu arti dari nymph itu sendiri?" tanyanya lagi. "Nymph berarti mempelai perempuan, mereka sering dicari-cari untuk, yah, kau pasti tau apa yang kumaksud. Bahkan dewa-dewa olympus sekalipun tertarik pada mereka. Mereka pasti mempermainkanmu dengan kuasa mereka."
Pemuda itu mulai mengangkat wajah, ia meniliik netra biru itu dengan tatapan mencari, "Dan apa tujuanmu mencari mereka? Apa yang akan kau perbuat seandainya kau mendapatkan salah satu di antaranya?"
Ia tidak berkedip, sang pemuda tersentak mundur saat ia tak kunjung menarik tubuh. Sepertinya ia tak sadar manakala suhu ruangan mendadak turun, sihirnya sedikit tumpah tanpa persetujuan, semata-mata karena spontan pada pikiran-pikiran buruk yang melintas di kepala. Ia akan sangat-sangat kecewa jika memang itu kebenarannya.
"Apa kau ingin membawa mereka ke pelaminan? Atau hanya untuk menghasilkan keturunan? Darah dewata memang lebih unggul dari manusia biasa." Ia memalingkan kepala, menatapi abah-abah di sudut ruangan yang biasa digunakannnya untuk menenun. Tiba-tiba jemarinya gatal ingin menyentuh permukaan yang terbuat dari kayu aras dengan segera.
Ah, ia lupa. Driad tidak bisa meninggalkan pohon ataupun hutan tempat mereka bernaung. Mana bisa pemuda itu membawa salah seorang di antaranya untuk pulang, nymph itu akan semakin melemah dan mati. Mereka sering dijadikan incaran oleh para satir untuk memuaskan berahi.
"Aku sama sekali tidak berpikiran seperti itu, aku hanya ingin melihatnya saja." Jujurnya.
Kebanyakan juga begitu, berawal dari mata kemudian yang tersisa hanya nafsu belaka. Ia meninggalkan sang pemuda dalam keheningan, tumpukan pakaian yang selesai ia perbaiki dibawanya menuju ruang depan.
"Hari mulai gelap, sebaiknya kau segera pulang." Ucapnya pada sosok yang tengah hanyut dalam lamunan, menariknya kembali pada kenyataan. Disodorkonnya pakaian itu kepada si pemilik yang lagi-lagi memandangnya penuh keingintahuan.
"Bagaimana bisa-"
"Cepat pakai lalu aku akan mengantarmu pulang."
•••
"Kau tahu, anak muda itu tampan juga."
Suara itu membuatnya terkesiap, seorang wanita jelita bersandar pada salah satu pohon besar di sebelahnya. Rambutnya panjang, cokelat terang sepinggang, bergoyang indah saat angin sepoi menyapa. Lehernya dilingkari batu-batu ambar, ia bertaruh jika kalung itu hadiah dari salah satu dewa sungai yang terjerat oleh daya pikatnya. Kulitnya mulus, mengilat kehijauan. Gaun hijau lumutnya menyapu tanah saat melangkah.
"Diamlah, kalian para driad tak seharusnya berbuat seperti itu padanya. Ia hampir celaka karena ulah kalian." Ucapnya sambil lalu. Bau pepohonan semerbak tercium dengan sedikit percikan wangi mawar saat ia melintas melewati si driad.
"Oh, ayolah. Hanya dia satu-satunya manusia yang ada di tempat ini. Kau sudah mengusir kebanyakan dari mereka, ingat? Kau dan sihirmu, tentu saja." Driad itu memutar bola mata hijau cemerlangnya.
Ia tak menjawab pada mulanya, tapi bau dari driad itu membuatnya muak.
"Bukannya kalian menyukai manusia? Kenapa kali ini kalian malah berusaha mencelakainya?"
"Hmm, tidak ada alasan pastinya. Tapi melihatmu memperlakukan pemuda itu dengan istimewa membuat kami ingin melakukan sedikit trik-trik kecil padanya. Kau kan tidak pernah meloloskan satu manusiapun dari cengkraman sihirmu."
Jawaban itu membungkamnya, tak sedikitpun ia berniat untuk menampik segala fakta yang termuntah dari bibir kemerahan itu. Sang driad yang melihatnya lantas menyeringai, masuk dalam celah kelalaiannya dengan lincah.
"Dengan apa pemuda itu memanggilmu akir-akhir ini? (y/n)? Oh, jadi sekarang namamu (y/n)?"
"Hey, berjalanlah perlahan, jalanan terjal ini sungguh menyiksa kaki, tahu!"
Ditapakinya bebatuan paling tinggi di ujung jalan, kemudian melirik tajam sosok yang berjalan lamban. Tiba-tiba ia merasa tak bertenaga mendengar rengekan dan gerutuan yang semakin sering terlontar.
"Tutup mulutmu, driad."
"Kenapa? Kau tak mau aku membicarakan pemuda itu lagi? Apa kau takut bila salah satu kaumku menaruh hati padanya? Apa kau menyukainya?"
Ia dibombardir dengan kalimat tanya, dan untuk yang terakhir itu sungguh tepat sasaran.
"Ah, sepertinya aku benar, bukan begitu?" tawanya pecah, menggema di sela-sela batang cokelat.
"Tapi sepertiya kau harus berhati-hati, wahai makhluk setengah dewa. Saudariku yang menghuni perkebunan apel di sekitar rumahmu mulai menaruh mata padanya."
Ucapannya terngiang dalam kepala dan saat ia menoleh sang driad sudah tak ada.
•••
Pemuda itu datang lagi keesokan harinya, esoknya lagi, dua hari sekali atau tiga hari sekali. Tangannya tak pernah kosong, sesuatu selalu ada dalam genggamannya. Papan catur dan bidaknya, biola, boneka kayu pemecah kacang, dan lain-lain.
"Aku tidak tahu kalau kau itu ternyata seorang pencuri." Ia tak bermaksud menuduhnya melakukan tindakan tercela itu, tapi ia juga kesal jika setiap bertanya 'darimana asalnya?' selalu dibalas dengan seringai jahil dan jawaban 'hadiah'. Kalau seperti itu ia pantas mencurigainya 'kan?
"Aku tidak mencuri, aku hanya tak mau barang-barang yang tidak pernah ku sentuh berakhir di pembuangan. Aku masih punya banyak yang seperti ini di rumah, satu saja sudah cukup bagiku untuk kumainkan sendiri." Jawabnya sambil mengulas senyum.
Lagi dan lagi, tak jemu-jemunya ia datang bertandang. Dan ia juga tak pernah lupa untuk memeringatinya agar menjauh dari pohon-pohon apel. Pada penghujung musim panas itu sang pemuda kembali datang, kali ini bersama dengan kotak berpita, wajahnya berseri seolah tak pernah kepayahan.
Kotak itu berisi kain-kain yang dijahit dan dicelup dalam warna merah darah, manik-maniknya berkilauan saat ditimpa cahaya. Sejenak ia terpesona akan keindahannya. Saat ia tanya untuk apa gaun itu diberikan kepadanya, beginilah jawabnya.
"Kau akan memakainya saat aku datang lagi." ucapnya.
Kenapa? Apa dia tidak akan datang lagi besok atau besoknya lagi?
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro