Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Padang gurun dan bebatuan adalah habitat aslimu. Jangan sekali-kali meninggalkannya, jika tak ingin semesta mengamuk terhadapmu.

—Hikayat Matahari, Relikui Seribu Abad.

***

Setelah melakukan perjalanan yang entah telah berapa menit ia habiskan, Ruffalo akhirnya berhasil menuntunnya ke sebuah pondok kecil yang begitu sederhana. Agak tersembunyi di antara pepohonan dan semak belukar maupun bayang-bayang yang ada. Sejak percakapan mereka yang terakhir, Ruffalo tidak pernah mengatakan apa-apa lagi selain arah jalan—yang sebenarnya membuat Alaruz lega.

Ruffalo turun terlebih dulu tanpa aba-aba membuat Alaruz sedikit terperanjat. Bisa-bisa kudanya malah berulah. Dilihatnya pria tua itu langsung menuju ke arah pondok tersebut seorang diri, meninggalkan Alaruz seolah-olah lupa tujuannya ke sini adalah mengantarnya. Alaruz tidak mau buang-buang energi untuk memikirkan prilaku anehnya. Masih banyak hal-hal yang harus ia urus.

Dengan mengikatkan kudanya kepada salah satu pohon dan yakin tidak ada yang mengambil barang-barangnya karena ia tidak melihat orang lain sejak tadi, Alaruz meninggalkannya tanpa berpikir dua kali. Pria itu kemudian melewati rumput-rumput tinggi yang tak terurus. Bunga-bunga liar tumbuh di sekitarnya dengan subur. Sejauh matanya memandang, Alaruz tidak melihat rumah lain di dekat sini. Entah karena telah tersembunyi dari semak dan pepohonan atau memang karena tidak ada yang mau mendirikan rumah di dekat sini.

Ruffalo masih berdiri di depan pintu pondok sambil mematung. Alaruz tidak mau menebak apa yang sedang pria itu perkirakan, karena memang tidak bisa ditebak. Pondok tersebut sedikit lebih besar dari rumah-rumah yang tadi sudah terlewati. Bangunannya yang begitu sederhana—pintu kecil, jendela kotor dan halaman yang tidak pernah dirawat—ini pasti tidak ada yang menyangka kalau di dalamnya tersimpan berbagai macam ramalan yang dibutuhkan oleh Relikui Seribu Abad.

Alaruz berjalan mendahului Ruffalo yang masih mematung, tidak repot menegurnya atau menepuk bahunya. Diketuknya pintu pondok yang berdebu tebal itu. Tidak ada jawaban. Bahkan Alaruz yakin tidak ada yang berjaga di dalam sana. Ia mengetuk lebih keras, tetap nihil.

"Apa benar ini pomdok yang kau maksud, Tuan?" Secarik nada tak yakin menghiasi kalimat Alaruz.

Ruffalo menggangguk. Hanya satu kali dengan mata yang belum terlepas dari daun pintu. Alaruz mendengkus kesal, ia mencoba menarik gagang pintu tetapi tidak berhasil. Kemudian ia mundur, mengambil ancang-ancang membuka pintu.

"Adakah urusan penting bagi kalian sehingga butuh sekali mendobrak pintu?" Sebuah suara mengalihkan perhatian Alaruz sekaligus menghancurkan niatnya merusak pintu. Suara itu lebih ringan dari miliknya maupun Dorez.

Seorang pemuda muncul dari belakang Ruffalo sambil membawa keranjang-keranjang air dan tersenyum miring. Sepasang maniknya seolah tengah mencari keseruan, rambutnya yang berwarna cokelat gelap itu berantakan dan bajunya kotor oleh tanah dan lumpur—juga wajahnya. Biasanya, Alaruz tidak suka dengan pemuda macam ini, tetapi bisa saja ia mengetahui sesuatu.

"Dan siapa dirimu, Anak Muda?"

Pemuda itu mendengkus geli saat Alaruz memberikan julukan baginya. "Aku hanya seorang bocah yang sedang mengambil air di sumur belakang. Barusan aku mendengar suara-suara. Aku penasaran dan memilih melewati bagian depan pondok ini, ternyata itu adalah kalian." Ia menatap Alaruz dengan saksama, kemudian menatap Ruffalo lebih lama. Pria tua itu bahkan tidak menoleh ataupun melirik sejak kemunculan si pemuda.

Memang, Alaruz tidak bisa menilai pemuda ini hanya dalam sekali lihat. Namun, sejak tadi tidak ada orang lain yang ia temukan selain Ruffalo dan pemuda baru ini. "Kau sering berkelana ke tempat ini?" tanya Alaruz kemudian.

Si Pemuda menggangguk. "Cukup sering," katanya berusaha meyakinkan. "Di belakang pondok ini terdapat sumur besar, aku biasa mengambil air di sana untuk kebutuhanku sehari-hari."

"Di mana kau tinggal?" Kini tubuh Alaruz sepenuhnya menghadap ke si pemuda.

"Tidak jauh dari sini." Si Pemuda menoleh ke kiri, matanya memicing seolah menembus dedaunan yang ada. Lalu ia menoleh lagi kepada Alaruz. "Dan siapa dirimu?"

Alaruz dapat melihat si Pemuda menitinya dengan saksama, sama seperti Ruffalo, maniknya berlama-lama pada breastplate yang memaparkan ukiran lambang kerajaan. Tetapi pemuda ini tidak terpukau layaknya Ruffalo ketika mengetahui bahwa Alaruz adalah seseorang dari istana.

"Aku dikirim dari istana untuk mengumpulkan ramalan-ramalan dari desamu," jawab Alaruz.

Si Pemuda mengernyit. "Bartius." Sadar bahwa Alaruz tidak menyebut namanya karena ia tidak memberi tahu namanya lebih dulu. Prajurit itu rupanya sedang membalasnya.

"Alaruz." Ia menyurai rambutnya dengan frustasi apalagi setelah melihat Ruffalo belum bergerak dari tempatnya. "Sekarang, apa kau tahu siapa yang menjaga tempat ini? Atau bagaimana caraku untuk masuk ke dalamnya tanpa merusak engsel pintu?"

"Tidak ada yang menjaganya." Bartius menjawab. "Kalau kau mendobrak paksa pintunya juga tidak akan ada yang peduli, tetapi pintu itu selalu terkunci. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah mencoba membukanya, nihil. Dan sayangnya, aku tidak begitu penasaran sehingga tidak ada niat untuk mendobraknya. Namun, di belakang sana ada tempat yang bisa kutunjukkan dan mungkin berguna untukmu."

Alaruz menaikkan satu alis mata, memperhitungkan satu dari berbagai kemungkinan dari tempat yang akan pemuda itu tunjukkan padanya.

"Setidaknya bisa kau coba sebelum dirimu benar-benar akan mendobrak pintu itu. Sayang kalau dirusak," kata Bartius. "Pondok ini termasuk bangunan peninggalan dari masa lalu."

Setelah beberapa detik, akhirnya Alaruz setuju. Bartius menuntunnya menjelajahi sisi belakang pondok yang dipenuhi semak belukar yang mana menghalangi cahaya matahari. Dari belakang, Alaruz mengamati lekat-lekat sosok pemuda misterius itu. Keranjang airnya sudah ditinggalkan di tempat tadi, baju dan tubuhnya yang penuh noda tidak memberi pencerahan apa-apa sama sekali bagi Alaruz karena begitu ia menemukan sumur yang dikatakan Bartius tadi, ia tidak melihat tanah ataupun lumpur di sekitarnya seperti yang terlukis pada diri Bartius.

Kecuali pemuda itu berguling-guling di tanah, Alaruz tak tahu.

Ruffalo hanya mengekor tanpa suara kecuali sepatunya yang menjejak tanah. Alaruz sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih dan mempersilakannya pergi, tetapi mimik wajah Ruffalo tidak terlihat ingin pegi. Meski pria tua itu memasang tampang masam, ada air muka yang bersikukuh untuk tidak pergi. Tentu saja Alaruz merasa tidak punya hak untuk menyuruhnya pergi karena bantuan yang telah Ruffalo lakukan. Bartius juga sama sekali tidak ambil pusing dengan kehadiran Ruffalo. Lagipula pria tua itu tidak menimbulkan kerusuhan atau menyulitkannya.

Bartius membawa Alaruz dan Ruffalo ke belakang pondok. Di luar dugaan, pondok itu lebih besar dari yang sebelumnya Alaruz perkirakan. Setengah dari pekarangan belakang yang dikuasai oleh tumbuhan liar itu dipakai oleh pondok tersebut. Bartius menoleh sambil memimpin perjalanan. Melihat ekspresi Alaruz yang terpana meskipun pria itu berusaha menyembunyikannya, Bartius akhirnya membuka mulut. "Sedikit mengejutkan, bukan? Dari luar tampaknya pondok ini bukanlah apa-apa, layaknya sebuah gubuk tua yang terbengkalai. Mengingatkan sebuah pepatah yang menyuruh kita untuk tidak menilai dari wujudnya saja."

Alaruz hanya menajamkan pandangannya pada si pemuda, tidak membalas dengan sepatah kalimat pun. Rambut pendeknya yang berwarna cokelat gelap itu hampir menyerupai warna dahan pepohonan di sekitar mereka. Sejurus kemudian, Bartius berhenti. Lalu ia menunjuk ke salah satu pintu usang—yang sebenarnya tidak terlihat seperti pintu karena banyak sekali kerusakan terpampang pada benda itu—yang terletak di sisi belakang pondok. Beberapa bilah kayu dipasung dari ujung ke ujung sisi pintu sebagai tanda bahwa pada suatu hari jalan itu memang tidak boleh digunakan.

Ketika mendekat, Alaruz bisa melihat jejak debu yang sudah menumpuk, kotoran dan segala macamnya karena benda ini terlihat hampir tidak pernah dirawat. Dua bilah kayu yang belum halus dipaku membentuk tanda silang, menghalangi pintu yang hampir rusak dan penuh lubang. Pria itu memicingkan mata, mencoba mengintip dari salah satu lubang yang ada, tetapi hanya gelap yang ia dapat. Aroma apak mengitari penciumannya.

"Dan apa yang bisa kudapatkan dengan ini, Anak Muda?" Alaruz mengernyit kepada Bartius. Jelas saja ia tetap tidak dapat memasuki pondok dengan pintu yang dihalangi dua bilah kayu seperti ini.

Sembari menghela napas panjang, Bartius melangkah maju menyamai kaki Alaruz. Pertama-tama, pemuda itu menggoyangkan sedikit dua bilah kayu yang menyilang itu, kemudian dengan mudahnya ia angkat dan lempar ke tanah. Bartius menoleh kepada Alaruz dengan pandangan acuh tak acuh. "Ini tidak sama kuatnya seperti apa yang kau pikirkan." Manik Bartius jatuh pada ukiran lambang istana di baju perang Alaruz. "Mungkin orang-orang istana seperti dirimu selalu membuat sulit setiap keadaan."

Jika tadi ia tidak punya hak untuk mengusir Ruffalo, kini ia juga tidak punya hak untuk meninju Bartius. Alaruz harus terus berlatih agar bisa mengontrol emosinya yang sering meledak-ledak.

Bartius membuka pintu jelek itu yang tidak dikunci dengan mudah. Serta-merta aroma apak yang begitu kuat langsung menyergap udara di luar. Debu-debu yang bertebaran akhirnya bermandikan cahaya matahari, meski hanya sedkit yang lolos dari ceruk dedaunan yang tisak banyak. Hidung Alaruz mengernyit—lagi-lagi—dan ia mengibaskan tangannya di depan wajah guna mengusir debu.

Bagian dalam pondok tersebut masih gelap. Alaruz tidak bisa melihat apa-apa dari luar kecuali deratan rak-rak kayu yang lapuk dan berselimut debu maupun jaring laba-laba. Ia menoleh kepada Bartius. "Mengapa kau bisa tahu kalau pintu ini dapat dibuka dengan mudah?" Seingatnya, ia tidak pernah mendengar Bartius berkata bahwa dirinya pernah memasuki tempat ini satu kali pun. Juga, tempat ini tidak terlihat sering dikunjungi.

Yang ditanya hanya bisa angkat bahu. "Hanya tahu saja," jawabnya. "Di desa ini kau akan menemukan banyak sekali pintu-pintu yang tidak diberikan pengamanan ketat." Bartius lalu membalas tatapan Alaruz. "Di sini kami tidak mempunyai sesuatu yang berharga dan berkilauan seperti di istana, atau harta benda dan sumber daya lainnya yang dimiliki oleh desa-desa lain."

Tidak ada mengejek dalam kalimat Bartius, tetapi Alaruz tetap merasa ingin meninju pemuda ini. Sesuatu dalam energi kata-katanya seolah mengirimkan sinyal penuh ejekan. Namun Alaruz tidak mau ambil pusing. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan misi ini, kembali secepatnya ke istana dan bergumul kembali dengan kesehariannya. Berkunjung ke rumah bordil juga termasuk, selain berlatih adu pedang dengan perwira istana atau mengurung diri di bar.

Sambil dipersilakan masuk oleh Bartius, Alaruz menjejakkan kakinya dalam pondok tersebut diikuti oleh Ruffalo yang masih diam seribu kata.

Jemari panjang nan lentik milik Lanya Iaderic terus-menerus menggeletuk di atas meja kecilnya. Udara pagi menjelang siang di Navka tidak begitu buruk, meskipun sang Putri lebih menyukai udara senja atau fajar. Kuku-kukunya yang seolah dipoles setiap saat itu bergantian menghunjam kayu meja, suaranya tidak begitu besar tetapi mampu membungkam kalimat kakak lelakinya, sang Putra Mahkota.

Tanpa memedulikan sosok orang lain di kamarnya, Lanya terus bertopang dagu dengan tangan satunya yang tidak sibuk menyerang permukaan meja. Ia menatap lurus ke arah pemandangan di luar sana—pemukiman rakyatnya yang rapi di satu sisi dan semrawut di satu sisinya. Kadang-kadang, ia suka bersyukur tidak dilahirkan sebagai seorang Putra Mahkota. Dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana caranya mengatur Navka yang memiliki berbagai macam keberagaman.

"Adikku," ucap suara sang kakak dengan nada memelas, tetapi anehnya justru begitu penuh dengan paksaan. Ini sudah beberapa kali pria itu bicara, tak satu pun yang adiknya pedulikan. "Ini dilakukan untuk kebaikan kerajaan kita sendiri." Ia memulai lagi. "Aku tidak akan mungkin memberikanmu kepada mereka hanya untuk keperluanku semata."

Berkali-kali telinga Lanya mendengar ucapan tersebut, berkali-kali juga hatinya terlubangi sekaligus ingin meledak. Wanita itu sudah lama menggigit lidahnya sendiri agar teringat untuk tidak mengatakan hal-hal bodoh kepada Putra Mahkota—sekalipun pria itu adalah kakak kandungnya sendiri. Gemeletuk jemari Lanya berubah menjadi sebuah kepalan kuat. Ia menelan ludah, masih membelakangi kakaknya tanpa muncul sedikit pun niat untuk menggeser kursinya.

"Kau tidak bisa terus-menerus mengurung diri di istana ini. Banyak seluk-beluk Navka yang belum pernah kau—"

"Kau menjualku." Akhirnya beberapa kata meluncur dari bibir Lanya. Ia masih belum berbalik, tetapi kepalan tangannya semakin kencang. Dan manik mata birunya yang tajam itu tampak bergetar memandangi atap-atap rumah di bawah sana, belum jelas antara ingin menangis tersedu-sedu atau justru meledakkan diri.

"Apa?" Nada bicara sang Putra Mahkota meninggi. "Itu sama sekali salah! Niat kotor seperti itu tidak pernah terbesit dalam—"

Decit kaki kursi yang bergesekkan dengan lantai kamar membuat Putra Mahkota diam. Sebenarnya bukan suara decit itu yang menghentikan kalimatnya, melainkan Lanya yang berbalik menghadapnya dengan wajah datar yang menyembunyikan ribuan emosi dengan baik. Ia bisa melihat kedua tangan Lanya terkepal dan bergetar, matanya serasa ingin membakar dengan api biru, tetapi raut wajahnya tidak menyiratkan apa-apa.

"Kau menjualku. Demi sebuah pasukan, demi aksi yang tidak pernah kusetujui, dan sekarang kau masih tidak ingin mengaku bahwa menurutmu aku adalah harga yang pantas untuk membayar mereka?" Setiap kata Lanya lontarkan dengan penuh penekanan. Amukan dalam hatinya telah menggebu-gebu. Tetapi pelajaran etika aristokratnya sejak dini masih melekat pada dirinya.

"Rangdon Leuwiz adalah temanku!" Sang Putra Mahkota maju satu langkah seiring dengan intonasi yang meninggi. Jubah panjangnya menyapu debu-debu lantai kamar Lanya. Sebuah mahkota di atas kepalanya bergoyang sedikit.

"Dan kau menjual adikmu sendiri kepada salah seorang temanmu!" Satu tangan Lanya mencengkeram pinggiran kursinya. Wanita itu hampir meledakkan amarahnya.

"Lalu apa lagi yang ingin kau lakukan dengan hidupmu?" sang Putra Mahkota membalas. "Kau mau menjadi perawan tua yang terus-terusan mendekam di ruangan sempitmu ini? Hanya bangun, duduk di dalam kamar sembari mengamati keadaan di luar jendela hingga malam, lalu tidur lagi?"

Lanya masih menahan dirinya untuk tidak berdiri, alhasil dua kepalan tangannya makin kencang. Kuku-kukunya serasa menembus kulit telapak tangan, bahkan Lanya tidak peduli jika ia melukai tangannya sendiri karena terlalu kencang mengepal. "Begitu caramu bicara kepada adik perempuanmu?"

Sebuah kilat menggelap pada sepasang manik Putra Mahkota. Ia menyeringai dengan hati-hati dan tidak ada maksud mengejek. Diam-diam Lanya dapat melihat kedua tangan kakaknya ikut mengepal di dalam jubah satinnya yang mengilap. "Dan begitukah caramu bicara kepada calon rajamu?"

Bibir Lanya tertarik dan membentuk sebuah senyum miring mendengar jawaban kakaknya. Lantas ia mendengkus dan berkata, "Gelar dan rasa haus akan kekuasaan memang telah mengendalikan dirimu, Kak. Aku harap kewarasanmu belum hilang sepenuhnya." Tanpa melanjutkan Lanya kembali berbalik dan memutar kursinya. Wanita itu kembali bertopang dagu dan melayangkan pandangannya ke luar.

Sang Putra Mahkota mendecak, merasa urusannya telah selesai namun belum tuntas. "Persiapan pernikahanmu akan dilakukan beberapa minggu lagi," ujarnya sambil berlalu ke arah pintu. "Aku mengatakan ini jauh-jauh hari agar kau bisa menyesuaikan dirimu." Setelahnya, pria itu keluar dari kamar Lanya, menutup pintu kamar dan meninggalkan adiknya yang berusaha mati-matian membendung air matanya merebak sendirian di kamar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro