1
Mentari bagai nyala api yang membara, ketika para satiris sedang beraksi. Ada yang terlelap selamanya, ada yang terjun ke medan perang penuh bayang-bayang.
—Hikayat Matahari, Relikui Seribu Abad.
***
Dini hari ketika Alaruz tidak ingin fajar menampakkan parasnya, pria itu tetap mengikat karung-karung bawaanya berupa perbekalan dan beberapa perlengkapan lain kepada tali penghubung di tubuh kuda cokelatnya. Berbungkus-bungkus, tersimpan di sisi kiri dan kanan kudanya di bagian belakang. Siapapun yang melihat Alaruz Berin berkelana ke seluruh penjuru Navka pasti mengira bahwa ia hanyalah seorang pengembara yang berpindah-pindah rumah tanpa pekerjaan tetap dan menggantungkan nasib pada cenayang-cenayang di pinggir jalan yang sering kali membuka jasa pembacaan masa depan.
Memang begitulah warga Navka, ramalan para cenayang bagaikan hikayat-hikayat kuno untuk mereka—hanya saja yang ini berisi celoteh tentang masa depan milik para cenayang yang bersedia dibayar lima nave untuk setiap permintaan ramalan yang diajukan. Orang-orang percaya bahwa para cenayang memang hebat, bahkan mengetahui apa-apa yang tersimpan di dalam diri orang-orang. Tetapi, Alaruz adalah salah satu dari sedikit orang yang tidak memercayai cenayang jalanan. Baginya, ramalan adalah omong kosong.
Kalimat-kalimat yang tidak masuk akal baginya itu adalah sebuah bentuk kebodohan lain yang tidak bisa otaknya terima. Dari mana pula seseorang bisa tahu akan kematian salah satu pelangganya akibat gigitan ular berbisa satu bulan lagi?
Meski begitu, ia hidup di tempat di mana ramalan sudah seperti surat kabar. Tiap pagi kabar demi kabar selalu bermunculan. Para wanita cekikikan membicarakan ramalan-ramalan mereka tentang di bulan apa mereka akan menikah atau pria tampan seperti apa yang meminang mereka. Tak jarang, ramalan-ramalan tersebut kadang kala dipakai untuk menjatuhkan seseorang, menimbulkan pertikaian sengit tanpa ujung berisi adu otot.
Hingga kini, Alaruz masih tidak bisa percaya mengapa ia ditakdirkan untuk dilahirkan di masa seperti ini, tetapi ia telah bersumpah untuk tidak menanyakan hal tersebut kepada cenayang-cenayang jalanan yang mengemis lima nave dari kantung uangnya. Lagi pula, misinya kali ini juga ia lakukan demi beberapa ramalan yang dikumpulkan menjadi tulisan padu. Nantinya akan menjadi sebuah hikayat baru—yang akan menghabiskan sepanjang waktu hidupnya untuk bertengger di rak perpustakaan besar di pusat Navka.
Penampilannya memang terlihat seperti pengembara lusuh yang tidak tahu ke mana tujuan pelesirannya. Namun, Alaruz lebih dari itu. Semua orang di Navka tahu bahwa dirinya ialah sang tangan kanan raja. Sejak dahulu kala, keluarga Berin telah turun-temurun diangkat menjadi tangan kanan raja. Saat dini mereka dilatih dan dibimbing untuk melayani raja sebagai tangan kanannya dengan konsekuensi apapun. Entah itu mendampingi raja saat bertugas, menggantikannya saat raja berhalangan hadir, membantu pengambilan keputusan atau bahkan melakukan misi membosankan seperti ini.
Ketika pertama kali tahu sang raja menugaskan misi ini kepadanya, ia mengumpat dalam hati. Misi cetek seperti ini akan bisa dilakukan oleh siapapun. Para pesuruh yang biasa mengambilkan air dari sumur-sumur maupun mengurusi istal juga bisa melakukan misi ini dengan cepat. Mengumpulkan bahan-bahan dari sebuah desa di ujung Navka, membawannya ke perpustakaan besar, lalu kembali dengan selamat ke istana. Alaruz bahkan berani bersumpah bahwa bilah pedang yang ia bawa tidak akan mengenai darah apapun—kecuali beberapa kelinci atau ikan yang ia buru sebagai makanannya.
Tetapi titah raja adalah perisai yang tidak mampu pedangnya tembus. Menentang perintah rajanya sama saja dengan berkhianat dan membelot. Alaruz harus pintar-pintar menjaga lidahnya jika tidak ingin kepalanya berakhir di tempat penjagalan. Seorang Berin berakhir dengan kepala yang dipancung adalah sebuah aib keluarga. Dan akan menjadi yang pertama kali jika Alaruz tidak benar-benar membatasi tingkahnya.
Fajar sudah hampir meraih seluruh penjuru Navka ketika Alaruz membasuh wajahnya dengan persediaan air minumnya yang kian hari makin menipis. Pria itu tidak pernah berpikir akan kehabisan air minum, padahal ini baru setengah dari perjalanannya. Ia bahkan belum mengumpulkan ramalan-ramalan tersebut, hanya memasuki gerbang desa saja. Lima belas hari sudah ia habiskan untuk menempuh perjalanan dari istana hingga sampai pada desa yang disebutkan oleh sang raja.
Alaruz bahkan tidak tahu langkah apa yang harus ia lakukan sehabis ini. Ia tidak tahu dari mana saja semua bahan akan ia dapatkan atau orang-orang macam apa yang bisa membantunya. Rajanya yang selalu ia berikan sebutan 'bajingan angkuh' di dalam hatinya itu tidak memberikan keterangan yang jelas—dan memang selalu begitu—mengenai misi ini. Ia hanya menugasi Alaruz untuk mengumpulkan bahan yang nantinya akan diubah menjadi Hikayat Teluk Banar. Dari mana nama hikayat tersebut diambil saja Alaruz tidak tahu. Setahunya, di Navka tidak ada teluk yang bernama Banar. Kadang, ia bertanya-tanya apakah rajanya yang terlalu tidak kompeten atau dirinya yang memang keterlaluan. Lebih dari itu, Alaruz tidak mau mengetahui jawabannya.
Pada suatu malam suntuk ketika dirinya tidak bisa tidur, sambil terus telentang di atas ranjang ia pernah memikirkan untuk membunuh sang raja diam-diam, dan membiarkan keturunan raja yang masih belia itu untuk duduk di atas kursi takhta. Baginya, orang-orang muda memang lebih susah dikekang, tetapi mereka masih begitu bodoh dibanding dengan Alaruz sehingga akan lebih mudah baginya untuk menyetir mereka.
Kembali pada kenyataan yang memuakkan, Alaruz duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Kepalanya ditundukkan, mengamati rerumputan hijau yang tumbuh subur di dekat kakinya. Baju zirahnya memantulkan sinar mentari yang perlahan merangkak naik ke peradaban. Matanya memicing kala ia sudah benar-benar melihat pucuk matahari yang mengintip.
Sudah selama empat puluh lima tahun dirinya hidup dan menggenggam takdir sebagai tangan kanan raja, selama itu pula ia tahu bahwa fajar lebih indah daripada senja. Ratusan bulan, ribuan hari ia menyaksikan senja yang berbeda. Dari semuanya, hanya satu atau dua yang keindahannya melebihi fajar yang ia sukai. Yang pertama, pada hari di mana ayahnya menghilang dan pergi meninggalkannya—melemparkan gelar tangan kanan raja begitu saja. Kedua, di hari saat ia mendengar kabar burung bahwa ayahnya telah meninggal dunia.
Ironis, memang. Di usianya yang sudah mendekati pertengahan abad ini Alaruz bahkan masih bujang. Memang banyak bordil yang sudah ia kunjungi beberapa kali, tetapi hal tersebut tidak akan mengubah statusnya. Ketika pria seusianya telah memiliki anak-anak yang bisa dibanggakan, ia hanya terus-menerus mengasah pedangnya menjadi bilah paling bengis kepercayaan raja.
Pengisap Darah, adalah sebutan orang-orang bagi pedangnya—yang lama-kelamaan istilah tersebut dipakai oleh Alaruz sendiri. Nyatanya, tugas pedangnya itu hanya mengirimkan para pengkhianat kerajaan atau orang-orang yang dianggap raja mengganggu kepada kematian mereka. Sang Eksekutor, adalah sebutan orang-orang bagi Alaruz yang sdah menyebar di semua kalangan. Dibanding dengan gelarnya sebagai tangan kanan raja, Alaruz merasa sisa hidupnya dihabiskan untuk mematuhi murka sang raja.
Alaruz berdiri. Ia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Kemudian, setelah merasa lebih baik ia mengambil pedangnya dari sarung. Denting yang tercipta begitu bilah pedangnya menyentuh bibir sarung terdengar begitu merdu. Bergetar di udara dan memasuki daun telingnya. Membangunkan beberapa sisi di dalam diri Alaruz yang masih terlelap. Setelah genggaman pada gagang pedangnya terasa mantap, perlahan demi perlahan ia mulai menggerakkan pedangnya menebas udara kosong.
Serangan demi serangan, bertubi-tubi ia berikan kepada angin yang berembus. Gerakan menebas dan menangkis, menerjang dan menghindar ia praktikan seorang diri. Pengisap Darah. Nama itu terus bergema di benak Alaruz. Menghantui pikirannya selama beberapa malam. Sang Ekseskutor, sebutan itu justru mengganggunya lebih lagi. Menggentayanginya tanpa ampun layak arwah penasaran, seakan Alaruz telah membunuh sebutan dirinya sendiri.
Suara pedangnya yang membelah angin sudah bersahabat dengan dirinya. Getarannya dan semuanya telah ia rasakan. Maka, ketika ada langkah kaki yang mendekatinya, telinga Alaruz begitu peka dan ia langsung menghentikan gerakannya. Belum sempat berbalik, suara dari sang pemilik langkah memulai lebih dulu.
"Gerakan yang bagus," ujar seorang pria tua. Ketika Alaruz berbalik, ia tengah berhadapan dengan pria tua yang mengenakan kaos lusuh dari linen berwarna pucat dan penuh oleh noda. Dibandingkan dengan Alaruz, tubuh pria tua itu jauh lebih kecil, kurus, dan loyo. Kulitnya yang terbakar matahari itu tersibak dari pakaiannya yang telah berlubang di beberapa sisi.
Pria itu mengamati Alaruz yang masih membatu di tempatnya berdiri dari ujung kaki hingga kepala. Agak lama manik pria tua itu berhenti pada bagian breastplate dari baju zirah Alaruz yang memaparkan ukiran sebuah mahkota dengan detail yang rumit. Alaruz dapat memperhatikan matanya yang merunut tiap-tiap garis dari lambang kerajaan bahkan detail terkecil dari ukiran tersebut. Setelahnya, barulah ia menatap wajah Alaruz lekat-lekat dengan sedikit melongo. "Kau pasti berasal dari istana."
Kalau saja Alaruz tidak tahu caranya bersikap sopan terhadap pria tua asing, ia sudah terbahak begitu lantang dengan maksud mengejek dan mengatakan, "Memangnya kau ini hidup di zaman purbakala? Aku ini tangan kanan raja! Ah, tapi orang udik macam kau ini akan tahu apa?"
Alhasil, Alaruz memilih untuk menyarungkan pedangnya kembali dan merapikan barang bawaannya yang tersimpan di kudanya. Ia tidak menyalahkan bahwa pria ini tidak tahu siapa dirinya. Maklum, ini adalah desa terjauh dari jangkauan kerajaan Navka. Sang Raja jarang sekali berkunjung ke tempat ini, bahkan seingat Alaruz semasa hidupnya sang Raja memang sengaja tidak pernah menjadikan desa nun jauh ini sebagai tempat tujuannya. Meskipun begitu, potret raja mereka telah tersebar ke seluruh penjuru sehingga orang-orang akan hapal dengan wajah raja mereka.
Tidak dengan Alaruz. Dia bukanlah raja yang memerintah Navka, bukan raja yang menguasai sepetak daratan di muka bumi, sehingga potret dirinya tidak layak untuk disebarluaskan—itu juga kalau ada pelukis yang betah berlama-lama melukis wajah garangnya. Paling-paling hanya warga desa dekat istana yang tahu bagaimana perawakannya.
"Kau benar," balas Alaruz singkat. Ia mengencangkan ikatan barang-barang bawaannya agar tidak jatuh di tengah perjalanan dan menambah pekerjaannya.
"Istana di ujung sana?" Sang pria tua kembali bertanya. "Istana di mana atap-atap menaranya dipahat dari emas bercampur berlian? Yang mana berbinar dengan indah tiap sinar bulan menyinarinya?"
Mendengar pertanyaannya, Alaruz menaikkan satu alis mata. Pria itu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Masalahnya, tidak ada seorang pun yang pernah ia dengar yang melebih-lebihkan bagaimana penampakan istana. Atap menara-menara istana tidak sepenuhnya dipahat dari emas. Akhirnya Alaruz berbalik dan bertemu dengan sorot mata si pria tua yang masih berbinar-binar melihatnya.
"Siapa namamu, Tuan?" Alaruz berjalan mendekat sambil merasa heran karena sebelum-sebelumnya ia jarang bersikap sopan dengan orang asing.
Si pria tua itu masih melongo ketika melihat Alaruz mendekat. Begitu Alaruz berdeham, ia gelagapan membetulkan sikap dan langsung mengimpitkan kedua telapak tangan. Kemudian ia menaruhnya tepat di atas kepala sebelum membungkukkan badannya. "Maaf—maaf. Maafkan aku—"
Tangan Alaruz yang mencengkeram satu pundaknya menghentikan kalimat tersebut. Ia menengadah, pandangan keduanya berserobok. Yang satu bergetar penuh dengan kegetiran, satunya lagi keras bagaikan intan. Alaruz sendiri cukup terkejut melihat perubahan reaksi yang dikeluarkan pria itu, seolah-olah ia tengah memohon ampun dan ketakutan. "Tidak, Tuan. Kau tidak bersalah atas apapun," ujar Alaruz berusaha menyakinkan. "Sekarang, siapa namamu?"
Bagai tersentak karena badai yang menampar benaknya, pria tua itu mengedipkan kedua mata berulang-ulang. Ia melongo ke arah kanan, lalu ke kiri dan kembali pada Alaruz. "Ruffalo," jawabnya dengan lirih.
Alaruz belum melepas pandangannya dari sepasang manik Ruffalo. Ia belum sepenuhnya tahu siapa Ruffalo ini, atau apa yang hendak dilakukannya. Namun, setelah lama berurusan dengan orang lain ia dapat melihat secarik kejujuran pada manik Ruffalo ketika meyebutkan namanya. Yah, setidaknya Alaruz bisa percaya pada satu hal tersebut dari pria di hadapannya ini.
"Baik, Tuan Ruffalo," Alaruz menyapukan pandangannya ke sekeliling yang sudah terang. Dahinya bekerut mempertimbangkan berbagai macam tindakan yang harus ia lakukan. Kemudian tangannya menepuk bahu Ruffalo. "Aku dikirim dari istana untuk mengumpulkan beberapa ramalan dari desa. Karena aku baru tiba di tempat ini, dan ini adalah kali pertama aku berkunjung ke sini, apakah kau bisa menunjukkan padamu tempat yang cocok untuk memulai bagi diriku?"
"Oh!" Ruffalo terlihat kembali bersemangat. "Sang pengumpul ramalan!" Ia kembali mengamati Alaruz dari bawah ke atas. Namun kali ini bukan dengan pandangan ingin tahu, melainkan kagum. "Ikuti aku! Ikuti aku!" Tanpa basa-basi, Ruffalo beranjak dari tempatnya dan segera menghambur ke salah satu jalan setapak, tidak mengecek kembali apakah Alaruz mengikutinya atau tidak.
Alaruz—yang masih diam di tempat—menghela napas dengan pasrah. Keraguan mulai merangkak keluar dari dirinya. Apakah pria tua unik ini benar-benar akan membantunya atau tidak, ia tidak bisa memastikannya. Namun, akan lebih membosankan baginya jika ia berjalan tanpa panduan sedikit pun di desa asing ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro