[4] Does Someday Really Exist? / 언젠가는 정말 존재하는가요?
Song Eun Hyo menatap kesal pada leding wastafel di rumahnya yang membuat masalah pada waktu yang sangat tidak tepat. Dia tidak pernah merasa dipermainkan seperti ini sebelumnya. Bagaimana bisa ketika dia baru saja menolak tawaran bantuan dengan tegas, lalu keadaan membuatnya meminta bantuan seketika itu juga. Benar-benar menyebalkan. Dan memalukan.
Memperbaiki leding yang bocor adalah hal terakhir yang ada dalam bayangan Eun Hyo. Selama ini pipa itu baik-baik saja, tapi kenapa harus mendadak bermasalah di hari ini, di jam ini. Dia memang terbiasa melakukan semuanya sendiri. Mengganti bohlam tinggi, menangani saluran yang mampet, sampai menyambung kembali kabel yang putus dan menyebabkan korsleting. Namun untuk masalah leding bocor, pengalamannya nol.
Sebelum akhirnya menyerah dan meminta bantuan Seong Joon, Eun Hyo sudah berusaha sebisanya untuk menangani masalah itu. Memakai apa pun yang ada di rumahnya untuk menjadi tambalan pipa yang bocor, tapi sudah pasti, hasilnya nihil. Air itu tetap menyembur dalam jumlah yang banyak dan mengagetkan, membuat sekelilingnya basah.
Seong Joon terperangah begitu membuka pintu rumah Eun Hyo. Keadaan rumah itu kacau seketika hanya karena satu titik, yang hingga saat ini masih menambah jumlah air yang menggenang. Seong Joon langsung berjongkok dan menahan pipa yang menyemburkan air, sementara Eun Hyo melihat sekeliling untuk mengambil apa saja yang bisa membantu.
"Kau punya ban bekas?" tanya Seong Joon membuat Eun Hyo kebingungan.
"Ban bekas?" ulangnya. Eun Hyo mengernyit lalu melihat sekitar. Dengan ragu dia berkata, "Sepertinya ... tidak ada."
"Atau bal ... ah!" Kerutan di kening Eun Hyo semakin bertambah ketika mendapati Seong Joon seakan bermonolog. Ucapannya belum selesai tapi ekspresinya sudah berubah lagi. "Sepertinya aku hanya butuh kunci pipa. Ada?"
Eun Hyo mengangguk dan langsung membuka lemari di sebelah pintu, yang memang sengaja digunakannya untuk menyimpan segala macam perkakas. Dari mulai alat pemanggang, sampai peralatan berat, semuanya ada di sana. Dengan sigap dia menyerahkannya pada Seong Joon lalu mundur lagi, mengambil jarak yang cukup untuk membuat lelaki itu leluasa melakukan pekerjaannya.
Dalam sekejap, rumah Eun Hyo kembali terisi kebisingan dari kegiatan Seong Joon. Tidak ada yang bisa Eun Hyo lakukan saat ini, ketika lelaki itu sedang fokus berkutat pada kunci pipa dan melakukan entah apa dari salurannya. Jadi dia memilih berdiri diam dekat pintu. Sambil bersedekap, diperhatikannya Seong Joon lekat-lekat.
Kalau dilihat sekilas, tidak ada yang aneh dengan lelaki itu. Bahkan Seong Joon tergolong cukup sempurna dengan tinggi di atas rata-rata, kulit putih bersih, dan hidung mancung. Badannya memang tidak terlalu berisi, tapi juga tidak terlalu kurus hingga patut dikasihani. Lekuk wajahnya juga pas, tidak runcing tapi juga tidak kotak. Satu-satunya yang menjadi pusat masalah dan perhatian Eun Hyo hanya tangannya. Bahkan sampai saat ini, dia masih belum bisa mengenyahkan rasa ingin tahu tentang hal itu dari pikirannya.
"Nah, selesai."
Seruan Seong Joon barusan menarik Eun Hyo kembali dari pikirannya yang berkelana entah ke mana. Dia sedikit tergagap saat membenarkan posisi berdirinya dan berusaha memalingkan wajah, supaya tidak tertangkap basah sedang memperhatikan lelaki itu. Untung saja Seong Joon masih fokus membereskan sisanya sehingga tidak melihat sikap aneh Eun Hyo barusan.
"Lebih baik kau membeli saringan yang lebih kecil supaya sisa-sisa makanan tidak masuk dan membuat pipa tersumbat," ujar Seong Joon sambil berdiri. Dia berjalan pelan ke arah Eun Hyo dan mengembalikan kunci pipa yang dipakainya tadi.
Eun Hyo mengangguk perlahan dan segera memasukkan peralatan itu ke lemari untuk mengalihkan perhatian. Otaknya masih tidak bisa diajak kerja sama dengan baik saat ini. "Terima kasih," bisiknya pelan, agak malu ketika mengingat betapa ketusnya dia saat menolak tawaran bantuan dari Seong Joon sebelumnya.
Kembali ada jeda hening di antara mereka. Eun Hyo sedang mempertimbangkan sesuatu, sedangkan Seong Joon sibuk meneliti raut wajah gadis itu barusan. Dia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Baru kali ini dia berada di hadapan perempuan yang menyita perhatiannya, jadi rasanya sangat canggung. Salah bicara sedikit saja mungkin bisa fatal akibatnya nanti.
"Kalau begitu aku pulang dulu." Akhirnya Seong Joon memutus keheningan itu. Pamit rasanya merupakan hal paling wajar dan aman untuk dilakukan saat ini.
Eun Hyo terkesiap. Dia masih berkutat dengan pikirannya sendiri saat menemukan Seong Joon sudah bersiap mengenakan sepatunya. Sambil menggigit bibir bawah sebelah kiri, dia bertanya terbata, "Apa kau mau ... ramyeon?"
***
Tentu saja! Seong Joon hampir meneriakkan jawaban itu, tapi beruntung sel-sel saraf dalam otaknya masih bisa diatur supaya terkendali. Dia sudah melakukan hal yang benar dan kesempatan untuk bisa lebih lama dengan Eun Hyo baru saja datang, tidak seharusnya dirusak dengan kebodohan akibat kegirangannya.
Dengan mencoba santai, Seong Joon mengangguk pelan. "Bila tidak merepotkanmu," tambahnya, berharap itu terdengar cukup natural.
Eun Hyo mengangguk-angguk dan melangkah menuju lemari untuk mengambil ramyeon dan mulai menyalakan kompor. Aneh, batin Seong Joon. Gadis itu tidak mempersilakannya masuk dan menunggu di dalam. Jadi yang bisa dilakukannya sekarang hanya berdiri di depan pintu sambil merapatkan mantel untuk menghalau udara yang semakin menggigit tulang.
Karena tak kunjung mendapat izin masuk dari Eun Hyo, akhirnya Seong Joon hanya memanfaatkan waktu yang ada untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah gadis itu. Untuk ukuran seorang perempuan, rumah ini tergolong sepi. Bahkan terlalu sepi. Hanya ada peralatan seadanya, yang benar-benar penting. Tidak ada hiasan, foto berbingkai, bahkan televisi. Seong Joon mencoba melongok ke atas, sepertinya di sana kamar Eun Hyo. Sejauh matanya bisa memandang, kamar itu juga terlihat sepi. Melihat boneka atau bantal berbentuk lucu yang biasa disukai dan dikoleksi perempuan mungkin hanya hayalan bagi Seong Joon.
"Aku tahu ini terdengar aneh, tapi apa tidak masalah kalau kita makan di luar?" Eun Hyo yang baru selesai memasak berdiri menghadap Seong Joon sambil mengedikkan dagunya ke arah teras yang cukup luas dengan dua bangku di pojok.
Walau merasa aneh, Seong Joon mengangguk dan membantu Eun Hyo mengangkat panci panas berisi ramyeon itu ke luar. Mereka duduk di dua kursi yang ada sambil menghadap pagar biru yang tertutup rapat. Eun Hyo memberi jarak agak besar pada dua kursi itu, lagi-lagi membuat Seong Joon merasa aneh.
"Selamat makan," ujar Seong Joon sambil mulai menyumpit mi dari pancinya. Namun tidak terdengar jawaban sedikit pun dari Eun Hyo. Gadis itu hanya terus menatap ke depan sambil memakan ramyeon-nya, seolah dia sedang sendirian, menikmati mi panas di sela udara dingin dengan pemandangan langit gelap.
"Kau tidak punya televisi?" tanya Seong Joon ketika mulai merasa kecanggungan di antara mereka menariknya ke jurang. Mematikan. Tidak pernah ada situasi hening yang lebih seram daripada berada di sebelah Eun Hyo. Gadis itu seolah menelan semua orang yang ada di sampingnya ke dalam dunia yang dia ciptakan dengan tembok tinggi tak tertembus.
"Tidak berguna. Aku tidak pernah menontonnya," jawab Eun Hyo datar, sambil tetap melahap ramyeon-nya tanpa berpaling.
Hening lagi. Di sela makannya, Seong Joon menelan ludah. Sepertinya akan sangat sulit menembus pertahanan gadis ini. "Kau juga tidak memajang foto?"
"Aku tidak suka foto."
Seong Joon mencuri waktu untuk menoleh ke kiri dan mengembuskan napasnya perlahan. Entah apa alasan Eun Hyo menawarinya makan ramyeon tadi, kalau nyatanya gadis itu tidak berniat banyak bicara. Apa yang dimaksud makan ramyeon benar-benar hanya makan tanpa obrolan? Gadis itu tidak melakukannya hanya karena kesepian tanpa teman makan bersama, kan?
"Kau tidak berniat mengobrol denganku?" tanya Seong Joon ragu. Jujur saja, pertanyaan itu terdengar amat sangat aneh, tapi dia tidak punya pilihan lain setelah mengajukan beberapa pertanyaan yang hanya dijawab seadanya.
Kali ini Eun Hyo menoleh. Sebentar. Lalu menerawang ke arah langit yang terlalu gelap malam ini. "Aku punya pertanyaan, tapi entah kau mau menjawabnya atau tidak."
"Akan kujawab. Apa pun itu." Terdengar keyakinan dalam jawaban Seong Joon.
Tapi justru Eun Hyo yang ragu ketika mendengar jawaban itu dan melihat ke arah Seong Joon. Cukup lama, yang dilakukannya hanya menatap lelaki itu, tanpa berpaling, tanpa berkedip. Tatapannya biasa, datar tapi menusuk. Membuat Seong Joon gelagapan dan hampir menyerah. Namun dia tahu dia tidak boleh berpaling, karena sepertinya memang begitu diri Eun Hyo. Jika ingin bersama gadis ini dalam jangka waktu lama, dia harus bisa menerima semuanya, termasuk tatapan datar dan mematikan itu.
"Luka di tanganmu itu, dari mana asalnya?" tanya Eun Hyo akhirnya. Suaranya terdengar bulat, tidak lagi ragu-ragu.
Seong Joon terdiam. Pertanyaan itu memukulnya mundur. Eun Hyo benar-benar menanyakan itu dan dia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Bisa saja dia mengatakan luka-luka itu didapatnya saat bekerja, tapi dia tidak ingin membohongi gadis itu. Namun untuk jujur dan terbuka, dia merasa belum siap.
"Akan kuberitahu ... suatu saat nanti," bisik Seong Joon lemah, seolah membisikkan harapan pada dirinya sendiri.
Diam-diam, keduanya bertanya dalam hati, apakah suatu saat nanti itu benar-benar ada, bukan hanya bualan atau impian yang terlalu jauh untuk digapai?
****
Suatu hari nanti yang entah kapan~
Gimana part ini? Nyari masalah leding susah juga, pusing, makanya jadinya gitu doang 😂
Ikutin Addicted Series ya:
Comedor: Senin dan Kamis by YouRa_muriz
Sexy Secret: Selasa dan Jumat by IndahHanaco
Let Us Be Happy: Rabu dan Sabtu by junabei
Kosa kata Korea:
언젠가: eonjenga (eo dibaca cepat) artinya suatu hari
는: neun (eu dibaca cepat), partikel untuk subjek
정말: jeongmal (eo dibaca cepat) artinya benar-benar
존재하는가요: jonjaehaneungayo (ae dibaca cepat) asal katanya 존재하다 artinya eksistensi
Ditunggu komen dan votenya yaaa
junabei ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro