[3] Doesn't Want Sympathy / 동정을 원하지 않다
"Aku ... bolehkah membawakan belanjaan itu sampai rumahmu?"
Pilihan kata yang unik, batin Eun Hyo. Kalau biasanya orang akan bertanya, bolehkah aku mengantar atau mampir ke rumahmu, atau sejenisnya, lelaki itu malah memilih kata belanjaan sebagai inti pertanyaannya. Seolah yang menjadi pusat perhatiannya memang belanjaan Eun Hyo. Atau mungkin dia memang terlalu menghayati pekerjaannya sebagai kasir di Seven Eleven, sehingga merasa memastikan belanjaan itu tiba di rumah pembeli dengan selamat masih jadi bagian dari tugasnya.
Sementara Eun Hyo hanya menatap dengan alis terangkat setengah dan belum merespons, lelaki itu terlihat bergerak-gerak tidak tenang. Jelas sekali salah tingkah karena pertanyaan yang dilontarkannya barusan. Eun Hyo kembali menunggu. Entah kenapa kali ini dia tertarik untuk sedikit mengerjai lelaki di hadapannya, menanti kata-kata apa lagi yang akan dipilihnya untuk menambal kata-kata –yang sepertinya dia sendiri anggap salah-- tadi.
"Itu ... kelihatan berat," ujar lelaki itu akhirnya, sambil terus melihat ke arah plastik belanjaan Eun Hyo.
Kali ini satu tawa kecil lolos dari bibir Eun Hyo. Aneh. Biasanya dia tidak bereaksi seperti ini. Bahkan menunggu dan membiarkan orang berbicara di luar bahasan pekerjaan saja tidak. Ya, karena itu Eun Hyo tidak punya satu pun teman. Baginya, memiliki teman atau apa pun julukannya yang memiliki hubungan dekat hanya membuang waktu. Memberi diri sendiri rasa sakit ketika akhirnya nanti akan terpisah atau lebih menyedihkannya lagi, ditinggalkan.
Hidup sendiri sejak remaja membentuk kepercayaan dan karakter Eun Hyo yang itu. Dia tidak pernah percaya ketika ada yang membahas masalah rasa sayang sepenuh hati, cinta sampai mati yang tidak akan pernah meninggalkan. Semua hanya omong kosong baginya. Nyatanya, di dunia ini banyak sekali orang yang pergi, bahkan ketika mereka seharusnya punya tanggung jawab untuk tetap tinggal. Menurutnya, kalau dengan adanya kewajiban saja rasa sayang itu tidak bisa tumbuh, maka mustahil seseorang akan bertahan dengan senang hati. Selalu bersama bahkan di masa tersulit? Itu hanya bualan yang dilontarkan orang-orang ketika mereka berada di puncak kebahagiaan. Bila sudah bosan, kata-kata itu akan terlupakan dengan mudah.
Eun Hyo tidak menjawab. Dia hanya membalikkan tubuh dan kembali berjalan menapaki tanjakan terjal yang menguras napas. Sedangkan dari belakang, langkah lelaki itu terdengar, dengan jarak besar-besar, sesuai dengan tubuhnya yang jangkung. Eun Hyo merasakan kantong plastik di tangannya diangkat lalu ditarik perlahan dari genggamannya. Saat menemukan lelaki itu tersenyum kikuk di sebelahnya, Eun Hyo akhirnya melepaskan kantong itu. Entahlah, sesuatu dari diri lelaki itu, yang di mata Eun Hyo terlihat benar-benar tulus dan baik membuatnya memberi pengecualian kali ini. Lagi pula tidak akan ada pengaruhnya, ini hanya hal kecil, gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
Setelah belanjaan itu berpindah tangan, Eun Hyo kembali menjejalkan tangannya yang kosong ke saku mantel. Namun pandangannya tanpa sengaja menyenggol tangan besar lelaki itu. Sudah kembali memakai sarung tangan. Sejujurnya, hal itu membuat Eun Hyo semakin penasaran. Seharusnya normal di suhu yang seringnya minus saat musim dingin seperti ini, tapi di dalam ruangan hangat dan tak pernah melepas sarung tangan, itu terlalu aneh, kan? Belum lagi tingkah gelagapan dan paniknya tadi saat Eun Hyo menanyakan dan melihat tangannya.
"Yang tadi ...."
"Aku sudah berutang padamu masalah ahjumma itu dua hari lalu," potong lelaki itu cepat sebelum Eun Hyo menyelesaikan kata-katanya, membuat Eun Hyo hanya menggeleng-geleng. Ada nada menggantung di ujung ucapan lelaki itu. Lalu, dengan raut wajah takut-takut, suaranya kembali terdengar. "Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Agassi." Eun Hyo menjawab dengan nada datar, walau sebenarnya ada tawa di ujung bibirnya ketika melihat ekspresi lelaki itu berubah. Agak kecewa, tapi lebih banyak malu dan ... takut? Entahlah. Eun Hyo tahu, yang dimaksud lelaki itu adalah namanya. Dia hanya ingin mengerjai sedikit.
Eun Hyo sudah benar-benar hampir mengeluarkan tawanya ketika ekspresi lelaki itu masih belum berubah. Namun semuanya ditelan kembali saat lelaki itu kembali berujar, "Maaf."
Kali ini Eun Hyo berhenti lalu berdiri menghadap kiri, memperhatikan lelaki itu lekat-lekat. "Aku cukup penasaran kenapa kau terus mengucapkan maaf. Apa kau tidak punya stok kata-kata lain, atau kata itu hanya menempel di mulutmu? Bahkan aku sudah mulai bosan mendengarnya."
Lelaki itu kembali menunduk, tidak berani membalas tatapan Eun Hyo, persis seperti murid yang sedang dimarahi gurunya. Gumamannya terdengar lagi, kali ini lebih pelan. "Maaf."
Eun Hyo mengembuskan napas kencang-kencang sambil mengibas-ngibaskan tangannya. "Sudahlah, lupakan. Sepertinya sia-sia menyuruhmu berhenti mengucapkan kata itu." Lalu dia kembali berbalik dan melanjutkan perjalanan. "Song Eun Hyo," ujarnya tiba-tiba, diselingi suara napas yang semakin berat karena jalan semakin menanjak.
Suara langkah yang terburu-buru, menyusul di belakang Eun Hyo, membuatnya yakin kalau lelaki itu sengaja mempercepat langkah setelah merasa mendapat satu persetujuan. "Aku Kim Seong Joon." Kini suara lelaki itu sudah jelas di sebelah Eun Hyo.
Eun Hyo hanya mengangguk-angguk, memasang ekspresi seolah tidak peduli, tapi dalam hati mengulang nama itu. Kim Seong Joon, bisiknya sambil mengulum senyum kecil.
***
Walau tidak ada lagi percakapan setelah itu, dan tidak ada yang istimewa dari perjalanannya bersama gadis itu ke rumahnya, tapi Seong Joon merasa lebih dari bahagia saat ini. Song Eun Hyo, akhirnya sekarang dia tahu bagaimana harus menyebut tiap kali memikirkannya, bukan lagi dengan kata ganti gadis itu.
Mereka sudah tiba di depan pagar rumah Eun Hyo. Gadis itu mengulurkan tangan, memberi isyarat agar Seong Joon menyerahkan kantong belanjaannya agar bisa segera masuk, tapi dia masih enggan. Tangannya menggenggam plastik itu semakin kencang walau perasaannya berbanding terbalik dengan keberanian yang dia tunjukkan sekarang.
"Bolehkah aku ... menaruhnya di dalam rumahmu? Barang-barang ini berat," Seong Joon bertanya terbata saat melihat alis bertaut Eun Hyo.
Terdengar dengusan kecil lolos dari bibir Eun Hyo. "Aku biasa melakukan semuanya sendirian. Itu tidak berat, dan jarak dari pagar ke dalam rumah tidak jauh. Tidak usah berlebihan."
Lagi-lagi Seong Joon menunduk. Ibu jarinya bergerak-gerak menggesek telunjuknya dalam genggaman. Dia jelastahu maksud penekanan Eun Hyo pada kata tidak berat dan tidak usah berlebihantadi. Gadis itu ingin menegaskan sesuatu dan mungkin berusaha mengusirnyasecara halus, tapi Eun Hyo harus tahu, bukan itu yang dia maksudkannya.
"Maaf, bukan meremahkanmu. Hanya saja ... kurasa sesuatu memang sebaiknya tidak dikerjakan sendiri bila ada yang bisa berbagi dan mau menanggungnya bersamamu."
Seong Joon berusaha mendongak dan menatap Eun Hyo. Yang dia temukan, gadis itu sedang tersenyum miring, entah apa arti senyum itu. Seong Joon pikir, Eun Hyo sedang memikirkan kata-katanya dan mungkin akan setuju. Namun yang tidak dia tahu, bagi gadis itu, ucapan barusan terdengar persis seperti omong kosong yang tidak akan pernah dia percaya.
"Aku tidak merasa begitu," potong Eun Hyo cepat sambil menarik belanjaannya lalu menutup pagar tanpa melihat ke arah Seong Joon lagi.
Di tempatnya berdiri, Seong Joon bergeming. Sampai beberapa detik dia masih mematung menatap pagar biru rumah Eun Hyo yang sudah tertutup rapat. Apa dia benar-benar salah kali ini? Apa gadis itu barusan marah atau tersinggung? Segala kebahagiaan yang dia rasakan sepanjang perjalanan ke sini tadi menguap begitu saja. Melayang entah ke mana, bersamaan dengan entakan pagar dan nada tegas Eun Hyo barusan.
Seong Joon menghela napas. Lagi-lagi salah. Dia selalu salah. Tepat seperti apa yang pernah orang itu katakan, tidak akan ada hal yang bisa dikerjakannya dengan benar. Apa pun yang dia lakukan, akan selalu berujung kesalahan dan mungkin menyakiti orang lain.
Masih ada beberapa detik sebelum Seong Joon akhirnya beranjak dari pagar rumah Eun Hyo ketika dia mendengar gadis itu mengumpat. "Oh, sial!" erangnya frustrasi. Lalu berikutnya terdengar suara grasah-grusuh dari dalam.
"Oh sial! Ini benar-benar sial!"
Ketika sekali lagi umpatan seperti itu terdengar, Seong Joon segera melangkah lagi ke depan pagar. "Ada apa?" tanyanya cemas sambil mengetuk.
Suara grasah-grusuh tadi belum berubah. Semuanya masih sama dan Seong Joon masih di sana, tidak bergerak seinci pun dari posisinya. Rasa penasaran, yang lebih didominasi cemas menyeruduk hati Seong Joon. Dia berusaha melongok ke dalam, walau tahu itu sia-sia, karena sejangkung apa pun dirinya, pagar itu tidak dibuat agar bisa diintip orang semudah itu.
Sesuatu mendesak di hati Seong Joon kali ini, ketika desah frustrasi kembali terdengar dari Eun Hyo. Sepertinya gadis itu berusaha mengatasi apa pun permasalahan di dalam sendirian, tanpa berniat meminta bantuan sama sekali, dan itu membuat Seong Joon merasa semakin buruk. Ketika ada yang bisa dia bantu, tapi seseorang menolak, rasanya jauh lebih menyakitkan. Namun dia tetap berdiri dan menunggu sampai Eun Hyo berubah pikiran.
Ketika sekali lagi Seong Joon mengetuk, akhirnya pagar terbuka dan Eun Hyo berdiri di hadapannya sambil menghela napas dalam-dalam. Tangannya memegang kepala lalu menyibak poni dengan frustrasi. Ada jeda sekian lama yang hanya diisi keheningan dan suara helaan napas Eun Hyo. Gadis itu menggigit ujung kiri bibir bawahnya, memejam erat lalu menarik napas sekali lagi sebelum menggeser tubuh dan membuka pagar lebih lebar.
"Bisakah kau ... membantuku?"
****
Eun Hyo bukan sok-sokan sih, dia cuma nggak mau dikasihanin, lagian dia emang terbiasa sendiri. Dan ada ceritanya nanti kenapa dia bisa begitu, latar belakang sifatnya. Tapi di ending malah kena batunya 😓
Jadi gimana menurut kalian part ini dan sebelum-belumnya? Ditunggu komen dan votenya ya
Addicted series:
Senin & Kamis: Comedor by YouRa_muriz
Selasa & Jumat: Sexy Secret by IndahHanaco
Rabu & Sabtu: Let Us Be Happy by junabei
Kosa kata bahasa Korea:
동정: dongjeong (eo dibaca cepat) artinya simpati
을: el; partikel kata kerja
원하지: wonhaji, asal katanya 원하다 artinya ingin
지: ji; partikel yang mengikuti kata negatif
않다: antha artinya tidak
junabei ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro