Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[2] A Man With Hand Full of Scars / 손에 흉터를 가득한 남자

Udara lembap sehabis hujan masih menggerayangi kota Seoul. Air yang tidak henti menitik dari langit dua hari ini mengurung Song Eun Hyo di rumah tanpa banyak pergerakan. Bermalas-malasan di kasur sambil memutar lagu atau serial drama favorit yang sering dilewatkannya pada jam tayang sesungguhnya jelas lebih menggoda daripada menyusahkan diri untuk berperang melawan derasnya rintik hujan dan angin kencang.

Bahkan di hari ini, setelah hujan usai pun, Eun Hyo masih enggan beranjak. Dengan malas, dia menarik tubuh turun dari tempat tidur dan beranjak menuju kulkas. Perut yang terus meminta jatah memaksanya untuk melakukan ini, padahal yang dia inginkan hanya terus bergelung tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Satu helaan napas lolos dari bibirnya begitu melihat betapa kosong kulkas miliknya.

Persediaan makanannya benar-benar habis, bahkan sampai camilan untuk mengganjal perut pun tidak ditemukan. Dia harus keluar dan membelinya, pikiran itu membuat Eun Hyo enggan, tapi memikirkan Seven Eleven, tempatnya biasa membeli semua kebutuhan itu menimbulkan perlawanan atas keengganan tadi. Entah kenapa ada rasa penasaran yang menyelip secara berlebih kepada kasir lelaki di tempat itu sejak melihatnya dimaki ahjumma aneh dua hari lalu.

Eun Hyo menggeleng kencang, mengenyahkan pikiran berlebih itu. Dia hanya akan ke sana untuk membeli persediaan makanan, karena di rumahnya sudah habis. Hanya itu, tegasnya pada diri sendiri sambil meraih mantel dan memakainya sembarang. Pagar berderit begitu dia mendorong dan mengunci dari luar. Kucing milik tetangga menatapnya dari seberang. Entah apa yang diinginkan makhluk itu, tapi ia selalu ada di sana tiap kali Eun Hyo keluar rumah.

Seluruh orang yang ada di lingkungan ini sepertinya punya pemikiran sama dengan Eun Hyo, melihat bagaimana hanya ada beberapa orang yang berjalan menuju jalan besar depan. Anak-anak muda, baik turis atau pun warga lokal yang biasanya mengunjungi taman Naksan pun tidak terlihat. Padahal biasanya malam hari merupakan waktu yang paling sering dipilih, karena area ini memang sangat cantik dengan lampu yang menerangi sepanjang benteng. Mungkin mereka hanya terlalu malas, atau memanfaatkan cuaca ini untuk tidur. Memang seharusnya seperti itu.

Eun Hyo kembali mendengus karena nasib sialnya yang harus berjalan di malam akhir musim dingin sehabis hujan. Itu sudah pasti bukan pilihan yang bijak, apalagi menyenangkan. Perpaduan komplet itu menghasilkan udara dingin yang lebih dari cukup untuk membuat Eun Hyo mendekap tubuhnya tanpa sedetik pun mengubah gaya. Seharusnya dia ada di bawah selimut tebal sekarang, bersembunyi dan menikmati kehangatannya.

Jalan besar sudah terlihat, dan Eun Hyo berbelok ke kiri. Beberapa toko yang dilewati tampak sepi pengunjung. Eun Hyo memasuki Seven Eleven di ujung jalan dekat perempatan lampu merah, tempat dia biasa membeli persediaan makanan, terutama susu pisang kesukaannya. Bel berdenting saat dia menarik pintu. Eun Hyo masuk sambil menunduk, tanpa memberi salam atau pun menoleh ke kasir di balik konter. Dia tidak boleh banyak berinteraksi dengan lelaki itu dan hanya akan menyelesaikan semuanya secepat mungkin supaya bisa segera kembali pada kamarnya yang hangat tanpa pikiran-pikiran aneh.

Eun Hyo memilih beberapa makanan yang dibutuhkannya. Telur, roti, gula yang sudah habis, snack untuk menemaninya bermalas-malasan, beberapa kopi botolan dan tentunya susu pisang. Selama beberapa saat, Eun Hyo berdiam di depan rak berisi nasi dalam mangkuk yang harus dihangatkan dengan microwave, menimbang apa dia akan membeli karena terlalu malas memasak nasi atau memilih menghemat uangnya.

Pada akhirnya, nasi-nasi itu berakhir tetap di rak. Uangnya sudah menipis dan dia belum mendapat kontrak dengan agensi baru, jadi Eun Hyo sadar kalau dia harus menghemat. Dengan berat hati, rasa malas itu harus dilawan sekeras mungkin. Eun Hyo membekap semua belanjaannya dengan tangan. Lagi-lagi, dia terlalu malas, bahkan sekadar untuk mengambil keranjang belanjaan.

"Ini saja?" tanya kasir yang berdiri di balik konter. Eun Hyo mengangguk, masih sambil menunduk. Namun, ada sesuatu dari lelaki itu yang menarik perhatiannya. Tangan besar lelaki itu penuh luka. Beberapa baret, sisanya lebam. Kebanyakan bukan luka baru, tapi ada beberapa yang merahnya masih terlalu segar.

Eun Hyo mengernyit. Pada akhirnya, hal itu membawa kepalanya yang sejak tadi menunduk terangkat. Pelan, sangat pelan bahkan, sampai rasanya dia bisa mengamati tangan kurus dan panjang lelaki itu tiap incinya. Mata mereka bertemu sebentar, hanya sepersekian detik, sebelum lelaki itu kembali menunduk dan sibuk menghitung belanjaan Eun Hyo.

Lagi-lagi, sesuatu menarik perhatian Eun Hyo. Dia juga menunduk sejak tadi, tapi alasan keduanya melakukan hal serupa jelas berlawanan. Kalau Eun Hyo terus menunduk karena malas melakukan interaksi dengan orang lain, laki-laki ini justru menghindari tatapan karena ... takut? Entahlah, Eun Hyo masih ragu dengan hal itu, tapi jelas hal ini mengusiknya. Apalagi luka di seluruh tangan itu. Lagi-lagi lelaki ini mengusik hatinya padahal dia baru saja memutuskan untuk tidak menumbuhkan segala rasa ingin tahu yang berlebihan dan aneh.

"Butuh plastik?" tanya laki-laki itu pelan, kelewat pelan bahkan, sampai Eun Hyo kesusahan hanya untuk memperjelas apa yang ditanyakannya.

Setelah satu gelengan cepat, Eun Hyo mengeluarkan plastik dari tasnya dan mulai memasukkan barang-barang yang tadi dibelinya. Namun gerakannya jauh lebih lambat dari biasa, karena konsentrasinya terpecah. Otak dan pandangannya terus mengarah pada tangan beserta seluruh bekas luka yang dimiliki lelaki itu.

Makanya kerja jangan pakai sarung tangan terus. Ucapan ahjumma yang waktu itu terdengar aneh di telinga Eun Hyo sekarang terngiang lagi. Sarung tangan dan bekas luka, apa keduanya berhubungan? Jarinya mengetuk-ngetuk pelan di meja kasir, sementara hatinya memperdebatkan dua hal kontras dengan sengit. Dia tidak tahu ini akan terasa aneh atau tidak, tapi rasa ingin tahunya akhirnya menang.

"Itu ... tangan ...," bisik Eun Hyo. Keraguan mencuat secara terang-terangan dalam setiap nada yang dikeluarkannya. Ketika lelaki itu mengangkat wajah dan mata mereka berserobok dalam waktu cukup lama untuk pertama kalinya, Eun Hyo tahu ada sesuatu yang berbeda. Pancaran mata itu, sinar yang tertutup rapat oleh selaput kelam yang menyakitkan. Eun Hyo bisa merasakannya dengan jelas, karena itu pula yang dilihatnya setiap hari di cermin.

***

S

eong Joon tahu ini akhir pekan dan gadis itu tidak akan bepergian seperti biasa, apalagi dua hari ini hujan berturut-turut. Semua orang pasti semakin enggan beranjak dari rumah kalau tidak ada urusan penting. Namun hatinya tetap berkhianat dengan membisikkan harapan-harapan yang semakin membuatnya merasa buruk, dan kepalanya terus melongok keluar, ke jalan sebelah kanan, arah rumah gadis itu berada.

Cahaya temaram dari lampu jalanan yang tidak cukup berhasil melawan gelapnya malam mampu membawa pandangan Seong Joon pada satu titik. Pada wajah oval yang terlihat imut dan tegas dalam waktu bersamaan. Dia mengerjap berkali-kali untuk meyakinkan penglihatannya, kalau benar gadis yang ditunggu-tunggunya yang sedang berjalan dari beberapa blok sebelum tempatnya berada.

Pintu terbuka, bel berdenting dan wajah yang sangat ingin dilihat Seong Joon muncul di hadapannya. Dia bahkan sampai butuh beberapa detik tambahan untuk bersikap normal dan akhirnya mengucapkan selamat datang, tapi seperti biasanya, gadis itu tidak menoleh apalagi menjawab. Namun senyum di wajah Seong Joon tidak luntur karena bisa melihat gadis itu saja sudah mengabulkan keinginannya.

Gadis itu berjalan ke rak makanan dan menyambar beberapa di antaranya tanpa berpikir. Sepertinya dia memang sudah tahu apa saja yang dibutuhkannya. Satu-satunya yang membuat gerakannya melambat hanya nasi. Namun setelah menimbang, yang terlalu cepat untuk ukuran perempuan, gadis itu menghampiri Seong Joon.

Seong Joon mulai menghitung setelah gadis itu menegaskan kalau tidak ada lagi yang ingin dibelinya. Untuk pertama kalinya, gadis itu mengangkat wajah dan mengarahkan pandangannya pada Seong Joon, padahal saat meninggalkan tempat ini setelah memukul mundur pembeli yang marah-marah dua hari lalu saja dia hanya memalingkan wajah sekilas tanpa benar-benar menatap.

Dalam sepersekian detik, pandangan mereka bertemu. Seong Joon merasa berada di percabangan yang rumit. Sebagian dari dalam dirinya ingin berlama-lama menatap gadis itu, tapi sisanya menarik diri begitu cepat, bahkan terlalu cepat sampai Seong Joon bisa melihat kernyitan di dahi gadis itu sebelum kepalanya benar-benar tertunduk.

"Butuh plastik?" Seong Joon mendengar suaranya sendiri hampir tertelan rasa canggung yang menyerebak luas di seluruh ruangan. Pertanyaan itu hanya pertanyaan formalitas yang memang biasa diajukan kasir, tapi Seong Joon merasa benar-benar aneh saat ini. Payah, di hadapan gadis ini dia sama sekali tidak bisa mengontrol diri dan bersikap profesional, bahkan Ji Yeol sempat meledeknya sebagai karyawan baru setelah melihat interaksinya dengan gadis itu dua hari lalu.

Gadis itu menggeleng dan mengeluarkan plastik dari tasnya. Dengan gerakan yang terlalu lambat, dia memasukkan belanjaannya. Pandangannya kosong dan terarah ke tangan Seong Joon, membuatnya merasa semakin gugup. Beberapa kali dia harus menelan ludah untuk meredakan detak jantung yang berlebihan, tapi tetap gagal.

"Itu ... tangan ...."

Gadis itu berbisik dan kerutan dalam tergambar jelas di kening Seong Joon sebagai respons. Ternyata benar perasaannya tadi kalau gadis itu terus memperhatikan tangannya. Namun, apa yang aneh? Akhirnya dia mengikuti arah pandang gadis itu dan membelalak seketika saat menemukan tangannya yang polos tanpa tertutup sarung tangan.

Gelengan terlihat dari gadis itu beberapa detik setelahnya. Mungkin dia akan menarik kata-katanya atau apa, entahlah, tapi Seong Joon sudah telanjur panik. Dengan terburu-buru dia menarik lengan bajunya yang panjang, berusaha menutupi tangannya yang penuh luka. Lalu, setelah menyerahkan belanjaan gadis itu, tingkahnya langsung gelagapan mencari sesuatu di bawah meja kasir. Setelah memastikan gadis itu benar-benar keluar, dia memasang sarung tangan secepat mungkin.

Jantung Seong Joon berpacu cepat, membuatnya merasa seperti sedang diburu. Untuk pertama kalinya tangan itu dilihat oleh orang selain Ji Yeol membuat dirinya panik. Untungnya, tepat di saat itu, Ji Yeol datang, menyelamatkan suasana karena dia tidak harus merasakan atmosfer menegangkan yang tersisa di tempat ini sendirian.

"Oppa, shift-mu sudah habis," ujar Ji Yeol riang saat membuka pintu. Namun, begitu melihat Seong Joon, ekspresinya langsung berubah. Secepat kilat dia tiba di hadapan Seong Joon dan menatap lelaki itu lekat-lekat. "Ada apa? Wajahmu pucat."

Seong Joon menggeleng cepat dan memberi senyum sebagai gantinya, walau dia yakin Ji Yeol pasti tahu betapa dipaksakannya gerakan bibirnya itu. Setelah hatinya merasa cukup tenang, suatu ingatan muncul mendadak di otaknya. Plastik gadis itu. Dia langsung berlari keluar setelah mengambil satu kantong plastik besar dari bawah meja, membuat Ji Yeol berteriak-teriak. Namun pikirannya yang hanya fokus pada gadis itu membuatnya tidak menghiraukan dan terus berlari.

Napas Seong Joon terengah-engah saat dia berhasil menaiki jalan menanjak dan memangkas jarak dari gadis itu. Tepat sebelum dia benar-benar tiba di belakang gadis itu, hal yang dipikirkannya terjadi. Plastik yang dibawa gadis itu robek dan sebagian isinya sudah menggelinding. Seong Joon menghentikannya tepat waktu dan langsung memacu larinya lebih lagi hingga kini dia berjongkok di hadapan gadis itu.

"Maaf," ujar Seong Joon sambil membantu memungut barang-barang gadis itu yang berantakan.

Di bawah pencahayaan minim, Seong Joon bisa melihat bagaimana terkejutnya gadis itu saat menemukan dirinya. Namun ekspresi itu langsung berubah jadi decakan kecil dan raut agak jengkel begitu kata maaf terlontar dari bibir Seong Joon. Yang bisa dilakukan Seong Joon saat ini hanya menunduk sambil tetap memasukkan belanjaan gadis itu ke plastik yang dibawanya.

"Apa lagi yang membuatmu minta maaf kali ini, padahal sudah kubilang jangan terus meminta maaf bila tidak salah?" Suara gadis itu terdengar tegas, tapi tidak membuat Seong Joon tersinggung sama sekali. Sebaliknya, sesuatu yang hangat malah menjalar di hatinya.

"Aku melihat plastik yang kau bawa sobek tadi, tapi tidak sempat menghentikan dan akhirnya ini terjadi. Bukankah itu pantas ditebus dengan maaf?" tanya Seong Joon pelan, ragu dengan jawaban yang akan diberikan gadis itu.

Gadis itu menggeleng. "Itu lebih terlihat sebagai salahku karena tidak memperhatikan plastik yang kubawa sendiri."

Mereka berdiri, dengan belanjaan yang sudah berpindah tempat. Lagi-lagi, ada jeda entah berapa detik yang hanya dilewatkan dalam diam oleh keduanya. Seong Joon menatap gadis itu takut-takut, karena kenyataan bahwa tangannya yang penuh luka terlihat tadi masih membayangi. Bagaimana kalau gadis itu bertanya sekarang? Apa yang harus dikatakannya?

"Terima kasih sudah membantu." Gadis itu yang terlebih dulu memutus keheningan ini dan membuat Seong Joon mengembuskan napas lega karena ketakutannya hanya desakan-desakan berlebihan dari pikirannya sendiri.

Gadis itu sudah berbalik dan bersiap pergi, membuat Seong Joon cepat-cepat memutuskan apa yang diinginkannya. "Aku ... bolehkah membawakan belanjaan itu sampai rumahmu?"

****

Ada apa kira-kira dengan tangan Seong Joon? Ada yang bisa nebak? 🤔

Cerita ini salah satu dari #AddictedSeries. Jangan lupa baca cerita yang lain:

Senin & Kamis: Comedor by YouRa_muriz

Selasa & Jumat: Sexy Secret by IndahHanaco

Rabu & Sabtu: Let Us Be Happy by junabei

Nah kayak yang sebelumnya, ini daftar kata-kata bahasa Koreanya, ya:

손: son artinya tangan

에: e, di sini sebagai keterangan tempat artinya di
Jadi 손에 artinya di tangan
흉터: hyungtheo (eo dibaca cepat jadi kayak o) artinya bekas luka
를: rel, partikel untuk kata kerja
가득한: gadekhan artinya yang dipenuhi
남자: namja artinya lelaki

Ditunggu komen dan votenya ya

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro