[15] Would You Tell Me? / 나에게 말해줄래?
Mereka menutup toko pada jam yang sama seperti biasanya. Seong Joon menutup pintu toko seperti yang biasa dilakukannya selama ini. Sementara Ji Yeol dan Eun Hyo berdiri di belakangnya, memperhatikan, karena tidak ada yang bisa mereka lakukan. Pintu toko itu terlalu tinggi dan berat untuk diraih.
"Sugohaessoyo (kau telah bekerja keras), Ji Yeol-a, Eun Hyo-ssi." Seong Joon berputar menghadap kedua gadis itu lalu mengangguk pelan sebagai salam.
"Eng, sugohaessoyo, Oppa," balas Ji Yeol. Dia sengaja menyingkirkan nama Eun Hyo, bahkan memandang gadis itu pun enggan dilakukannya mengingat kejadian tadi.
Seong Joon terdiam, tidak tahu harus merespons apa ucapan Ji Yeol tadi, walau gadis itu mengucapkannya dengan senyum ceria seperti biasa. Dia melirik Eun Hyo, tapi gadis itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. Khas Eun Hyo sekali. Sepertinya dia memang tidak akan peduli apa pun yang diucapkan orang lain. Mungkin dia bahkan tidak menyadari sikap sinis Ji Yeol barusan, karena nyatanya sapaan Seong Joon pun tidak berbalas.
Lalu tanpa bicara apa-apa lagi, Eun Hyo berbalik dan meninggalkan Seong Joon juga Ji Yeol. Hal terakhir yang dilakukannya sebelum benar-benar pergi hanya mengangguk yang terlalu pelan hingga hampir tidak terlihat.
Seong Joon menoleh ke arah Ji Yeol yang tampak berusaha menahan diri untuk tidak membicarakan kepergian Eun Hyo yang pasti terasa menyebalkan baginya. "Bagaimana kalau kita makan?"
"Eng, aku suka ide itu! Mau makan di mana kita?" tanya Ji Yeol penuh semangat. Dia memang paling suka sesi makan malam sehabis menutup toko bersama Seong Joon. Setelah sekian lama absen, akhirnya dia bisa mendengar ajakan itu lagi.
"Rumah ... Eun Hyo?"
Ada keraguan saat Seong Joon mengungkapkan idenya barusan. Sejak tadi sebenarnya dia sudah memperhatikan bagaimana Eun Hyo selalu memegang dan terkadang mengelus-elus perutnya. Mungkin gadis itu tidak tahu, tapi beberapa kali suara perutnya lolos dan terdengar oleh Seong Joon. Bahkan sebelum berbalik dan pergi tadi pun, dia masih melihat kejadian yang sama. Hanya satu hal yang diyakininya, Eun Hyo belum makan dan mungkin kesempatan ini bisa diambilnya untuk membuat kedua gadis itu jadi lebih akrab.
"Ini terdengar gila. Bagaimana kau bisa berpikir aku akan menyetujui ide itu, Oppa? Dia benar-benar merusak hariku. Sejak tadi aku bahkan tidak bisa berhenti menunggu waktu tutup, dan sekarang kau mau aku duduk bersamanya lagi untuk makan? Lebih baik tidak usah, lagi pula aku tidak akan berselera makan dengan melihat wajah kusutnya."
Ji Yeol terus mengoceh sambil menggerak-gerakkan tangannya. Seong Joon tahu, kalau sudah begini berarti gadis itu benar-benar tidak senang. Membujuknya hanya akan menimbulkan masalah baru. Padahal awalnya Seong Joon berniat membuat kedua gadis itu lebih akrab, tapi sepertinya sekarang bukan saat yang tepat.
"Kau tidak lapar?" tanya Seong Joon membuat Ji Yeol kembali fokus padanya.
"Tentu saja lapar, tapi kalau harus dengannya, lebih baik aku makan di rumah saja," jawab Ji Yeol dengan suara jengkel. Dia sengaja melakukannya, siapa tahu Seong Joon akan berubah pikiran dan mereka bisa makan bersama malam ini.
Seong Joon menghela napas. Keadaan ini benar-benar membuatnya bingung. Sejak dulu dia selalu makan dengan Ji Yeol, ini pasti cukup membuat gadis itu terbiasa. Namun mengingat Eun Hyo yang hidup sendiri, apalagi baru kehilangan pekerjaan membuatnya tidak bisa berhenti mencemaskan gadis itu.
"Ayo ikut, kubelikan makanan, tapi aku tidak bisa menemani," putus Seong Joon. Ada nada sesal dalam ucapannya.
Kali ini Ji Yeol mendengus keras. "Kau tidak perlu bersikap baik pada semua orang, Oppa. Kalau memang tidak bisa makan denganku, tidak usah membelikan. Kau punya kehidupan sendiri yang harus diurus, jangan jadi pahlawan untuk semua orang."
Selesai mengucapkan itu, Ji Yeol langsung berbalik dan pergi. Kakinya mengentak kencang-kencang di setiap langkah. Bahkan ekspresi yang terakhir Seong Joon lihat terasa mengerikan. Sepanjang berteman dengan Ji Yeol, Seong Joon tidak pernah melihat raut wajahnya yang seperti itu. Tampaknya kali ini dia benar-benar kesal. Tapi harus Seong Joon akui, tidak ada yang salah dalam ucapannya. Adik kecilnya itu benar-benar sudah dewasa sekarang.
***
Perjalanan menuju rumahnya kali ini membuat Eun Hyo harus berhenti berkali-kali, sekadar untuk menarik napas dan mengumpulkan tenaga. Makan hanya satu kali di siang hari memang memiliki efek yang luar biasa, dia jadi merasa sama sekali tidak berenergi.
"Kau harus tahan, supaya kita semua tidak mati kedinginan," bisik Eun Hyo sambil menepuk-nepuk perutnya. Kita semua yang dimaksudnya adalah seluruh anggota tubuh. Kalau tidak mengurangi pengeluaran untuk makan, uangnya tidak akan cukup untuk membayar sewa rumah. Tidak ada jalan lain, dia memang harus kelaparan supaya tidak menjadi gelandangan.
Eun Hyo merebahkan tubuh di meja luar begitu membuka pagar. Tubuhnya terasa remuk, mungkin karena dia tidak biasa bergerak sebanyak hari ini. Perutnya yang rata berbunyi, membuatnya kembali mengutuk.
"Perut sialan!" rutuk Eun Hyo sambil memukul perut itu sekali lagi. Kali ini cukup kencang.
Lalu dengan lemas, Eun Hyo menarik langkahnya memasuki pintu dan langsung menyambar kulkas di depan sana. Kulkas yang tidak berisi itu membuatnya mengerang. Kenapa dia tidak punya cadangan makanan saat benar-benar membutuhkannya? Kemudian dia beralih ke rak. Sial! Mi instan yang biasa selalu ada stok pun absen dari tempatnya. Sepertinya nasib sial tidak mau menyingkir dari hidupnya.
Di saat itulah, suara ketukan terdengar dari pagarnya. Eun Hyo mengernyit. Tidak seharusnya ada tamu yang datang ke rumahnya, apalagi di malam hari seperti ini. Dengan langkah malas, dia kembali ke luar dan membuka pagar. Wajah Seong Joon yang tersenyum lebar sambil mengacungkan plastik di tangan kanan menyambut pandangannya.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Eun Hyo tanpa bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Aroma yang menguar dari plastik yang diacungkan Seong Joon membuat perutnya kembali bergejolak.
Seong Joon menunjuk perut Eun Hyo sambil tersenyum kecil. "Untuk menghilangkan bunyi-bunyi itu."
Mata Eun Hyo mengerling-ngerling, merasa salah tingkah dengan keadaan perutnya yang tidak tahu diri. Lalu dia cepat-cepat berbalik. "Kalau begitu cepat masuk," ujarnya untuk menutupi rasa malu.
Dalam sekejap, Eun Hyo sudah melupakan rasa malunya dan dengan santai melahap ayam goreng yang dibawa Seong Joon. Entah karena lapar atau memang enak, tapi setiap potong ayam yang dilahapnya terasa begitu nikmat.
"Hari pertama memang selalu sulit, bertahanlah," ujar Seong Joon tiba-tiba sambil menatap Eun Hyo lekat-lekat.
Sejak tadi, Seong Joon tidak terlalu banyak makan. Yang dilakukannya hanya menikmati beberapa potong ayam dengan santai, sambil terus memperhatikan Eun Hyo. Baginya, bisa melihat gadis itu makan dengan lahap adalah hal baru yang tidak boleh dilewatkan. Dia bisa membayangkan betapa berat hidup Eun Hyo saat melihatnya makan sekarang ini. Dia pasti kelaparan dan kesusahan karena kehilangan pekerjaan. Apalagi pekerjaan itu terlihat sangat cocok dan dinikmatinya.
"Ji Yeol tidak jahat, dia hanya suka canggung dengan orang yang tidak banyak bicara sepertimu," tambah Seong Joon ketika Eun Hyo tak kunjung merespons.
Mendengar Seong Joon menyebut nama Ji Yeol entah kenapa membuat Eun Hyo merasakan sesuatu yang entah bagaimana harus dijelaskan. Dilihat dari mana pun, keadaan tadi tidak sesuai dengan yang Seong Joon katakan. Dia yakin Ji Yeol sama sekali tidak canggung, dia hanya tidak menyukai Eun Hyo. Itu saja. Tapi dia memilih tidak mau menanggapi. Bukan urusannya. Lagi pula dia tidak berniat punya hubungan baik dengan gadis itu.
Sambil tetap melahap ayam-ayam di hadapannya, Eun Hyo mengangguk-angguk, seolah setuju dengan ucapan Seong Joon. Padahal isi di dalam hatinya berseberangan. Namun di saat itu, dia menyadari sesuatu. Seong Joon masih menggunakan sarung tangan yang sejak tadi dipakainya di toko. Dia bahkan meminta Eun Hyo meminjamkan sumpit untuk makan ayam tadi. Kalau dipikir-pikir, dia juga tidak melihat lelaki itu melepaskan sarung tangannya di toko tadi, bahkan untuk waktu yang sebentar sekalipun.
"Kau masih tidak mau memberi tahu ada apa dengan tanganmu itu?" tanya Eun Hyo sambil menunjuk tangan Seong Joon dengan matanya. "Sarung tangan itu tidak akan membuat kulupa kalau aku pernah melihat luka-luka di dalamnya."
Seketika Seong Joon tercekat. Dia tidak menyangka Eun Hyo akan kembali menanyakan hal itu. Gadis itu terlihat tidak pernah peduli pada apa pun di sekitarnya, bagaimana dia bisa terus mengingat tangan Seong Joon yang penuh luka? Apa itu benar-benar mengganggu pikirannya, atau dia hanya tidak suka kalau ada yang tidak diketahuinya? Seong Joon bahkan tidak bisa menebak sama sekali.
"Menurutmu?" Seong Joon tidak pernah menyangka akan berani bertanya balik pada Eun Hyo. Namun setelah dipikir-pikir, sikapnya selama ini tidak pernah berhasil membuat gadis itu membuka diri. Mungkin dia harus mencoba cara lain, yang lebih berani.
"Kau akan memberitahuku. Sekarang. Bagaimana?" tantang Eun Hyo. Dia sangat jarang merasa terusik akan sesuatu hal, dan tangan Seong Joon yang penuh luka adalah satu kali di antara sekian banyak kemungkinan.
Dia tidak mungkin melewatkan masa ketika rasa ingin tahunya dibakar seseorang, walau entah apa yang akan terjadi nanti. Apa orang itu akan kembali meninggalkannya atau tidak.
****
Updatean datang lagi hehehe
Kali ini Seong Joon dipalak cerita sama Eun Hyo
Hayo kira2 bakal cerita ga tuh si Seong Joon? Kalau cerita, apa ya yang bener? Kenapa tuh si Seong Joon?
Komen2 yak hehehe
Kosa kata Korea:
나: na artinya aku
에게: e-ge, partikel artinya kepada, sama kayak 한테
말해줄래: mal-hae-jul-lae artinya memberi tahu. Asal kata dari 말하다 (mal-ha-da) yang artinya bicara, ditambah 줄래 yang asalnya dari 주다 (ju-da): memberi ditambah partikel ~ㄹ 래 yang dipake buat meminta izin atau mengajak
See you on the next post
junabei ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro