[13] Hardly Living / 힘들게 살다
Sudah seminggu, atau mungkin lebih, Eun Hyo tidak keluar rumah. Yang dilakukannya hanya bergelung di bawah selimut, mendengarkan atau kembali menulis lagu-lagu yang melintas di kepalanya. Walau sekarang dia tidak tahu harus disalurkan ke mana lagi lagu-lagu yang dibuatnya itu, dia tetap tidak bisa berhenti. Otaknya hanya bekerja seperti mesin pembuat lagu yang akan terus bekerja kecuali dimatikan.
Dari luar sana, Eun Hyo sering mendengar ketukan-ketukan, atau mungkin lebih tepat disebut gedoran karena suaranya yang terlalu kencang. Terkadang, terdengar suara kerikil-kerikil yang dilempar dan mengenai pintu pagar besi. Kalau sudah begitu, Eun Hyo akan memakai earphone dan mendengarkan lagu yang diatur dengan volume paling besar. Rasanya terlalu malas mendengar kegaduhan di luar. Juga terlalu menyesakkan, mengingat semua itu hanya fitnahan baginya. Entah kenapa, dunia tak pernah bersahabat dengannya, bahkan sejak kecil.
Suara ponsel berdenting mengalihkan perhatian Eun Hyo dari pikirannya barusan. Cepat-cepat dia meraih ponsel yang tergeletak di bawah selimut, teringat pesan singkat yang dikirimkannya pada Yong Suk tadi sore.
Aku sudah membuat banyak lagu baru. Kau bisa ambil untuk artis-artismu tanpa mencantumkan namaku. Beri saja uangnya seperti biasa.
Pesan itu dikirimkannya setelah berulang kali berpikir. Jumlah saldo di tabungannya yang sudah menipis semakin menambahkan alasan untuk akhirnya mulai meneror pemimpin agensinya itu. Dia tahu kemungkinan dibalas oleh Yong Suk sangat kecil sekarang, apalagi orang-orang belum belum melupakan berita sialan itu. Namun dia tetap berharap, semoga bunyi pesan tadi benar balasan dari Yong Suk, walau akhirnya hanya berujung kekecewaan karena isinya hanya pesan promosi tidak penting.
Sekali lagi Eun Hyo mengecek tabungan lewat ponselnya. Jumlah yang tertera membuatnya kembali menghela napas. Kalau terus begini, bagaimana dia akan menjalani hidup ke depannya? Dia bahkan tidak pernah menyangka hal seperti ini akan menjadi kekhawatirannya. Dulu dia kira, kalau memang sudah tidak bisa bertahan hidup, dia akan dengan senang hati menyambut datangnya kematian. Namun ternyata manusia memang aneh. Selalu ingin mati, tapi tetap berusaha bertahan hidup.
Cahaya dari luar meredup. Suara-suara juga sudah tidak ada yang terdengar. Sepertinya orang-orang itu sudah pergi. Eun Hyo melirik jam di sudut atas tempat tidur. Pukul 22.00. Memang sudah jadwalnya perusuh di depan sana pulang, pantas saja. Di malam seperti ini, baru Eun Hyo akan keluar dan mengecek keadaan rumah terutama pagarnya. Biasanya keadaan akan jadi sangat kacau, tapi selalu ada bantuan di saat seperti itu.
Begitu juga dengan malam ini. Ketika keluar, Eun Hyo menemukan Seong Joon yang sedang berjongkok sambil membawa kain lap untuk membersihkan telur-telur yang dilempar ke pagar. Di sisi tubuhnya, ada amplas yang nantinya akan digunakan untuk membersihkan tulisan-tulisan yang dicoret di dinding rumah Eun Hyo.
Dasar jalang! Penggoda suami orang!
Berani-beraninya kau menggoda ayahku!
Pikirmu kau siapa? Mengharapkan pemilik Blossom Entertainment!
Jalang tak tahu malu, enyah kau!
Tulisan-tulisan seperti itu yang tiap hari ada di dinding rumah Eun Hyo. Heran juga bagaimana anak-anak itu begitu rajin menulis ulang, padahal tiap malam dibersihkan oleh Seong Joon.
Dari dalam Eun Hyo mengamati Seong Joon yang dengan setia menaik-turunkan kain lapnya, berusaha membersihkan semuanya tanpa jejak. Lelaki itu tiap malam melakukan hal yang sama tanpa bicara, begitu pula kali ini. Tapi anehnya, wajahnya terlihat sedih, tidak seperti biasa. Eun Hyo benar-benar tidak terbiasa dengan hal ini. Yang diserang dirinya, kenapa yang terlihat sedih justru Seong Joon?
Setelah kejadian penyerangan telur itu, mereka belum berbicara lagi. Pertanyaan lirih yang dilontarkan Eun Hyo tanpa sengaja pun tak menghasilkan jawaban. Yang mereka lakukan hanya tiap malam berjongkok berdua, berusaha membersihkan bagian rumah ini hingga kembali seperti semula, walau cukup mustahil, mengingat anak-anak itu terus kembali.
Ada suatu kali, tangan Seong Joon tidak terus bergerak untuk membersihkan dinding seperti biasa. Dia berhenti sesaat. Kain lap di tangan kanannya terkulai lemas sedangkan tubuhnya dihadapkan ke arah yang berlawanan dengan Eun Hyo. Kemudian tangan yang tadi memegang lap bergerak pelan, mengusap wajah lalu kelamaan semakin kencang. Di sela-sela itu, isakan mulai terdengar.
"Kenapa kau harus menjalani hidup sesulit ini?"
Eun Hyo tidak yakin dengan pertanyaan lirih serta isakan yang didengarnya malam itu. Sebagian dari dirinya merasa hanya berhalusinasi, apalagi setelah itu Seong Joon hanya berpaling dan melanjutkan kegiatan bersih-bersih. Lalu tak lama kemudian lelaki itu meninggalkan rumahnya tanpa berpaling. Benar-benar membuat Eun Hyo kebingungan.
Seketika Eun Hyo teringat sesuatu saat melihat Seong Joon. Bukankah lelaki itu punya dua pekerjaan paruh waktu? Bukankah dia bisa meminta salah satunya? Dulu juga dia melakukan pekerjaan semacam itu untuk bertahan hidup, jadi sepertinya tidak ada salahnya mengulang lagi, selagi menunggu masalah reda dan Yong Suk menerima lagu-lagunya lagi.
Eun Hyo kemudian berdiri di depan Seong Joon dan menatapnya sungguh-sungguh. "Bisakah kau membantuku?"
***
"Itu gila, Oppa! Aku tidak akan pernah menyetujuinya!" seru Ji Yeol begitu mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan Seong Joon.
Setelah mendengar permintaan Eun Hyo semalam, Seong Joon langsung mengajukannya pada Ji Yeol pagi ini. Toko ini milik keluarga Ji Yeol, jadi seharusnya bukan masalah besar untuk meminta tolong dari gadis itu. Lagi pula, kalau mereka tidak bisa menambah karyawan, Seong Joon bisa merelakan shift-nya untuk digantikan Eun Hyo. Dia masih punya pekerjaan paruh waktu satu lagi, tapi dia tahu bagaimana sulitnya gadis itu bertahan hidup saat satu-satunya pekerjaan yang dimilikinya terpaksa harus ditinggalkan gara-gara berita tak bertanggung jawab itu.
Seong Joon memasang tampang memelas dan menghadap Ji Yeol. "Ini bukan hal sulit untukmu. Kumohon, sekali saja."
"Memang bukan hal sulit, tapi bukan urusanku. Untuk apa aku harus ikut campur," jawab Ji Yeol acuh tak acuh. Dia tidak mau berurusan sama sekali dengan Eun Hyo, apalagi mengingat peringat menyebalkan gadis itu.
"Aku yang meminta, masihkah itu tidak termasuk urusanmu, Ji Yeol? Kumohon, kau tahu bagaimana keadaannya saat ini, jadi tolong bantulah dia," pinta Seong Joon sekali lagi. Kali ini sambil mengusap kedua telapak tangan di depan dada.
Ji Yeol menghela napas dalam-dalam. Seong Joon sangat sulit dilawan kalau urusan seperti ini. Begitu mendapatkan orang yang ingin dilindungi, dia akan selalu melakukan yang terbaik untuk orang itu, meski artinya harus mengorbankan diri sendiri. Dia tak pernah masalah dengan hal itu, dan sebenarnya itulah yang paling dibenci Ji Yeol. Lelaki itu tidak pernah memikirkan bagaimana orang lain menyia-nyiakan kebaikan hatinya tanpa peduli sedikit pun.
"Untuk kali ini aku benar-benar tidak bisa, Oppa. Dia bahkan tidak pernah mengucapkan terima kasih satu kali pun atas semua yang telah kau lakukan untuknya. Bagaimana bisa aku membantu orang seperti itu? Aku tidak mau." Ji Yeol teguh pada keputusannya. Kali ini dia berniat melawan Seong Joon sampai akhir. Kalau lelaki itu tidak bisa melindungi diri dan perasaannya sendiri, dia yang akan mengambil alih untuk melakukan itu.
Seong Joon terdiam sesaat, memikirkan ucapan Ji Yeol, juga cara untuk membujuk gadis itu. Memang benar kalau Eun Hyo tidak mengucapkan terima kasih sesering yang orang lain lakukan, tapi bukan berarti dia tidak menghargai apa yang orang lain lakukan untuknya. Setiap kali merasa berterima kasih, gadis itu akan memelankan suaranya. Mungkin orang lain tidak tahu itu, tapi Seong Joon paham. Dan baginya, itu sudah lebih dari cukup untuk orang dengan kepribadian seperti Eun Hyo. Pergerakan untuk membuka dirinya harus dilakukan perlahan, tidak bisa sekaligus.
"Anggap aku yang kau bantu. Bisa, kan? Kali ini saja dan aku tidak akan meminta apa-apa lagi setelah ini. Kumohon."
Demi apa pun, sudah berapa kali Seong Joon mengucapkan kata kumohon sejak tadi? Bahkan untuk dirinya saja, dia tidak pernah memohon seperti ini, tapi sekarang dia melakukannya untuk Eun Hyo, si gadis tidak tahu diri. Ji Yeol benar-benar kesal dibuatnya. Kapan gadis itu baru akan keluar dari kehidupan Seong Joon, sih?!
"Dia bahkan tidak tahu cara tersenyum, bagaimana bisa mempekerjakannya di toko yang sering didatangi pengunjung seperti ini?" Ji Yeol masih berusaha mencari alasan. Setidaknya ini pertahanan terakhir yang dimilikinya. Ini fakta tak terbantahkan, yang seharusnya cukup kuat untuk membuat Seong Joon mengerti kalau keinginannya kali ini agak keterlaluan.
Seong Joon tampak berpikir keras. Dia tahu yang dikatakan Ji Yeol memang benar, dan sebenarnya itu yang jadi salah satu kekhawatirannya. Namun, dia harus bisa membuat Ji Yeol yakin sehingga Eun Hyo bisa mendapat pekerjaan ini. Akhirnya sesuatu melintas di otaknya, rasanya cukup adil untuk dua gadis itu.
"Beri dia masa percobaan. Satu bulan? Kalau gagal menghadapi pelanggan, kau bisa menyuruhnya mencari pekerjaan lain. Bagaimana?" tawar Seong Joon setelah mempertimbangkan idenya barusan matang-matang.
Ji Yeol hampir mengumpat saat Seong Joon berhasil menemukan jalan tengah yang cukup baik. Dia kira alasan tadi sudah cukup kuat, tapi kalau menolak saat ini juga, lelaki itu mungkin akan memandangnya dan bersikap padanya dengan cara yang berbeda mulai sekarang. Dan Ji Yeol benci itu. Mau tidak mau, dia harus mengalah. Sedikit.
"Dua minggu. Tidak lebih. Kalau dia tidak tersenyum apalagi ketus pada pelanggan, aku tidak akan mau membantu lagi."
Jawaban itu membangkitkan senyum di wajah Seong Joon. Ada harapan, bisiknya dalam hati sambil mengangguk mantap.
****
Yeaayy bisa update lagi 😄😄 beneran liburan pembawa berkah nih hehehe
Coba tebak selanjutnya gimana 😆 komen2 dong hehehe
Kosa kata Korea:
힘들게 : him-deul-ge artinya dengan berat atau susah
Asal kata dari 힘들다 yang artinya berat atau susah ditambah partikel 게 yang artinya dengan
살다 : sal-da artinya hidup
Ditunggu komen2nya yaaa 😄
Sampai ketemu di updatean selanjutnya
junabei ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro