Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[10] If You're All Alone, Don't You Feel Lonely? / 혼자 있다면 안 외롭다?

"Bagaimana menurutmu?"

Orang itu mendelik demi melihat deretan foto yang memenuhi layar laptop di hadapannya. Setidaknya ada lebih dari dua puluh foto yang menghiasi satu folder penuh, yang tengah dibuka pemiliknya. Matanya berpindah dari satu foto ke foto lainnya. Ada beberapa foto yang hanya memuat sedikit perbedaan bila dibandingkan dengan yang lain, tapi tetap saja semua itu akan membawa siapa pun pada satu kesimpulan. Orang-orang di foto itu punya hubungan dekat.

Sekali lagi dia bergidik. Kali ini bukan karena foto di hadapannya, tapi karena senyum bengis si pemilik. Yang tadinya mendelik, matanya jadi memicing cepat, menatap tajam apalagi ketika orang di hadapannya tertawa puas, seolah sudah menguasai dunia dan tidak ada yang bisa melawannya. Melihat itu membuatnya muak.

Dengan cepat dia maju, ingin meraih laptop itu dan menghapus semua foto yang dilihatnya barusan. Atau bahkan, melempar laptop itu sekalian, supaya pemiliknya tidak lagi punya sesuatu untuk dibanggakan dan dijadikan ancaman seperti saat ini. Namun, orang di hadapannya jauh lebih licik dan gesit daripada yang dia duga. Dalam sekejap laptop itu sudah aman di bawah meja, disambung tawa yang kembali menggelegar ke seluruh ruangan.

"Kau pasti setuju kalau ini akan jadi berita hebat, kan?" ujar orang itu sambil mengutak-atik laptopnya dengan senyum miring. "Sayang kalau dilewatkan begitu saja. Bukan begitu?"

Dia menggeram. Emosi yang ditimbulkan orang di hadapannya sudah mencapai ubun-ubun. Dia tidak bisa lagi berdiam diri dan membiarkan orang itu bertingkah seenaknya. "Berikan padaku!" serunya sambil kembali merangsek maju dan akhirnya kini berhasil memonopoli laptop itu ketika pemiliknya lengah.

Tawanya yang kini terdengar. Tidak menggelegar, tapi terdengar puas karena sudah memiliki barang bukti di tangan. Namun, di luar dugaan, orang itu malah terbahak. Tawanya tidak bisa dihentikan dan terdengar berlebihan, bahkan kini lebih persis seperti melihat orang gila di hadapannya. Tangannya menepuk-nepuk paha, lalu beralih ke meja, benar-benar persis seperti orang kesetanan. Dia mengernyit, tidak mengerti dengan sikap orang itu. Di lain sisi, ketakutan agak menyelip dalam dirinya.

"Kau pikir aku menunjukkannya padamu tanpa punya cadangan? Aku punya banyak. BANYAK. Bahkan cukup untuk menempelkannya di seluruh dinding kota ini, kalau kau mau. Ah tapi, di zaman seperti sekarang, hanya butuh satu unggahan di web dan namamu akan menjadi sorotan dunia. Bukan begitu? Ini menyenangkan, mengerjai orang yang otaknya terlalu sering diistirahatkan."

Tangannya mengepal kencang. Semakin dibiarkan, orang di hadapannya benar-benar semakin membuatnya hilang kesabaran. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada tajam.

Orang itu mengangkat bahu. "Tentu saja keuntungan. Apa otakmu itu benar-benar tidak bisa dipakai untuk berpikir?"

"Keuntungan apa yang kau dapat dengan berita ini dan memanggilku kemari? Kelihatannya kau yang bodoh."

Lagi, orang itu tertawa. "Sudah kubilang, kerja otakmu sangat buruk. Tentu keuntungannya tidak akan seberapa kalau aku langsung menyebarkannya. Maka itu, berita ini masih kutahan. Setidaknya penawaran yang kuberikan membuat kita sama-sama untung." Melihat lawan bicaranya masih mengernyit, dia tertawa lalu menggumam, "Bodoh. Begini, aku akan merahasiakannya saat ini karena kau sedang ada di puncak karier, dan baru akan kukeluarkan kalau ... sinarmu sudah mulai meredup. Kalau cukup beruntung, skandal ini justru akan membawa namamu kembali terngiang di pasaran. Tapi selama itu, kau harus memberi sokongan dana untuk perusahaan ini. Menarik, kan?"

"Aku tidak punya uang sebanyak itu," jawabnya cepat, acuh tak acuh.

Orang itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu akan kuwujudkan ucapanmu. Kau tidak akan punya uang sebanyak itu, karena namamu akan berada di dasar jurang besok pagi. Ah, atau mungkin nanti malam, kalau aku mood-ku sedang bagus."

Satu helaan napas berat terdengar. Lawan bicaranya mendengus berkali-kali, sedangkan dia tertawa dalam hati. Posisinya memang di atas angin. Apa pun keputusan orang itu, dia tidak akan rugi, hanya tidak bisa mendapat tangkapan lebih besar. Itu saja. Namun entah bagaimana, dia yakin, orang di hadapannya akan ikut dalam permainan yang dia anjurkan. Sudah dibilang kan, orang itu terlalu tidak memanfaatkan otaknya.

Tiba-tiba saja, orang itu menjentikkan jari. Wajahnya yang sebelumnya bagai menghadapi akhir dunia, kini kembali berseri-seri. "Bagaimana kalau kubawakan padamu tangkapan yang lebih besar? Keuntungan yang bisa kau raih pasti juga berkali-kali lipat."

Demi mendengar itu, alisnya terangkat setengah. "Bagaimana kau bisa menjamin kalau tangkapan ini lebih besar?"

Lawan bicaranya maju dan membisikkan sesuatu yang membuat senyumnya semakin melebar. "Sangat besar, kan? Akan kupastikan untuk membawa mangsa itu ke hadapanmu."

Dia mengangguk-angguk. "Waktumu dua minggu. Kalau mangsa itu tidak benar-benar ada, kau yang akan menggantikannya." Orang itu menyunggingkan senyum, memberi isyarat dengan ibu jari dan telunjuk yang bersatu lalu segera meninggalkan ruangan.

***

"Ji Yeol," panggil Seong Joon pelan, yang membuat Ji Yeol menoleh saat mereka sedang menyusun barang-barang di toko.

Demi mendapatkan wajah Seong Joon yang terlihat begitu penuh pikirannya, Ji Yeol menghentikan aktivitas dan menggeser tubuh untuk menghadap lelaki itu sepenuhnya. "Apa yang mengganggu pikiranmu, Oppa?"

Kali ini Seong Joon menoleh dan senyum mengembang di wajahnya. Dia dan Ji Yeol memang terlalu lama dan sering bersama hingga gadis itu bisa membaca dirinya tanpa perlu banyak kata yang terucap. "Menurutmu, apa seseorang benar-benar bisa hidup sendirian, tanpa siapa pun, bahkan seorang teman?"

Ingatan Seong Joon kembali terbang pada Eun Hyo yang diikutinya beberapa hari lalu. Setelah mendapat panggilan, gadis itu menghilang. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dan sudah telanjur meminta jatah libur, akhirnya Seong Joon memutuskan untuk mengikuti Eun Hyo seharian itu. Tentu dengan jarak yang cukup jauh, hingga gadis itu tidak sadar sedang diikuti.

Mulai dari masuk stasiun, di dalam kereta, masuk ke gedung agensi tempatnya bekerja, hingga keluar lagi dan kembali ke rumah, Eun Hyo selalu seorang diri. Di kereta, yang dilakukannya hanya mendengar lagu melalui earphone, bahkan bermain game atau membalas pesan atau terlibat dalam obrolan telepon seperti orang kebanyakan pun tidak. Ponsel itu berada tenang dalam sakunya, tidak pernah dikeluarkan, barang sekali pun.

Di kantor agensinya juga sama. Eun Hyo keluar dalam hitungan waktu yang sangat cepat, yang menandakan dia tidak punya interaksi dengan banyak orang. Waktu itu juga Seong Joon pernah menanyainya masalah makan bersama teman, dan sepertinya memang begitu, Eun Hyo tidak pernah makan dengan siapa pun, tidak seperti orang kantoran lain yang hampir selalu punya agenda makan siang bersama.

Begitu pula ketika tiba di rumah. Tempat kediamannya sepi. Sangat sepi sampai bahkan suara televisi pun tidak ada. Mungkin dia mendengarkan semuanya melalui earphone dan berprinsip tidak mau mengganggu tetangga. Namun dilihat dari sudut mana pun, kehidupan Eun Hyo terlalu tenang, bahkan cenderung hampa. Seolah dia mengurung dirinya dalam kesendirian dan tidak ada satu orang pun yang bisa menembus gelombang yang dibuatnya.

Namun dari sekian banyak hal itu, pertanyaan tadi yang paling banyak menyita pikiran Seong Joon. Bagaimana gadis itu bisa hidup benar-benar seorang diri, tanpa keluarga dan teman. Bahkan dirinya saja masih memiliki keluarga di rumah, terlepas bagaimanapun keadaan keluarganya itu. Juga ada Ji Yeol, yang bisa diajaknya bicara dan bertukar pendapat kapan pun dan tentang apa pun, seperti sekarang ini.

"Mungkin dia memang tipe orang yang tidak suka berinteraksi dengan orang lain." Jawaban Ji Yeol kembali menarik Seong Joon ke dunia nyata.

"Tapi bukankah orang yang begitu pun setidaknya pernah satu dua kali bersinggungan dengan orang lain, dan tetap punya teman, walau tidak akrab?" Seong Joon mendebat. Karena dia juga bukan tipe orang yang suka berinteraksi dengan banyak orang, tapi setidaknya masih ada orang-orang di sekitarnya.

Ji Yeol mengangguk-angguk. "Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin ada sesuatu dalam dirinya yang menolak interaksi dengan banyak orang. Mungkin sejak dulu dia terbiasa seorang diri, jadi menganggap adanya orang lain hanya akan merepotkan dan melelahkan. Dia hanya akan berinteraksi seperlunya, dengan orang-orang yang memang mewajibkannya untuk berinteraksi. Dalam urusan pekerjaan atau dengan guru semasa sekolah, misalnya. Atau mungkin juga dia punya kejadian masa lalu yang membuatnya benci berinteraksi dengan orang lain. Mungkin orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya terlalu menyakiti hatinya dan membuatnya kecewa. Tapi itu hanya kemungkinan, aku bukan psikolog, Oppa."

Uraian Ji Yeol membuat benang kusut di pikiran Seong Joon semakin bertambah. Dari kemungkinan yang disebutkan tadi, kira-kira mana yang membuat Eun Hyo jadi penyendiri dan seolah mengisolasi diri sebegitu erat? Atau bahkan, ada alasan lain yang membuat dirinya jadi seperti itu? Entahlah, tapi sejak awal melihat Eun Hyo, Seong Joon tahu ada sesuatu yang berbeda dengan gadis itu. Tatapan matanya terlalu kelam. Ketidak peduliannya terhadap sekitar memang di luar batas normal.

Lalu bel di pintu tiba-tiba berdenting. Pintu barusaja terbuka dan Eun Hyo muncul dari baliknya. Seperti biasa, seorang diri, dengan tatapan tajam, datar, dan dingin. Juga ketidak pedulian terhadap apa pun yang ada di sekitarnya. Pertanyaan itu terngiang lagi di otak Seong Joon, dan dia menegaskan pada diri sendiri. Mulai saat ini, dia harus mendekati Eun Hyo, dan mengetahui kenapa gadis itu selalu menyendiri.

****

Ada yang suka sendiri kayak Eun Hyo? Aku suka sendiri, tapi nggak bener-bener sendiri kayak dia juga sih. Masih ada keluarga, temen juga. Terus gimana rasanya kalau jadi Eun Hyo?

Terus yang di bagian awal itu percakapan siapa sama siapa hayo? 😅

Addicted Series:

Senin & Kamis: Comedor by YouRa_muriz

Selasa & Jumat: Sexy Secret by IndahHanaco

Rabu & Sabtu: Let Us Be Happy by junabei

Kosa kata korea:

혼자: hon-ja artinya sendiri
있다: it-da artinya ada
면: myeon, yang di sini sebagai partikel artinya kalau
안: an artinya tidak
외롭다: we-rob-da artinya kesepian

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro