Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1] The Girl Who Ring a Bell In My Heart / 내 마음에 종을 울리는 여자

Kalau berkeliaran di luar tanpa punya urusan penting di akhir musim salju yang dinginnya sampai ke tulang disebut gila, maka tidak salah kalau menganggap Seong Joon sebagai bosnya. Di saat semua orang mempercepat langkah supaya tidak terlalu lama terpapar udara dingin, Seong Joon malah berdiri di depan Seven Eleven, ketika nyatanya dia bisa saja masuk dan menunggu sambil menghangatkan diri.

Bukan pertama kali, Seong Joon selalu melakukan ini setiap hari, kecuali kalau gadis itu tidak bepergian. Dia akan berdiri menghadap pintu keluar nomor 3 stasiun Hansung yang berjarak beberapa meter saja dari Seven Eleven tempatnya bekerja.

"Oppa, masuklah. Suhu sangat rendah hari ini," seru Ji Yeol sambil menyembulkan kepala dari balik pintu.

"Sebentar lagi," jawab Seong Jun tanpa memalingkan wajah sedikit pun.

Terdengar embusan napas kencang dari Ji Yeol. "Selalu begitu," gerutunya sambil menutup pintu. Agak keras, tapi tetap tidak berpengaruh bagi Seong Joon.

Lima menit. Sepuluh menit. Masih tidak ada tanda-tanda kemunculan gadis itu. Apa dia terlalu cepat? Seong Joon berpikir. Tapi rasanya tidak. Dia keluar rumah seperti biasa, dan harusnya selang waktunya tidak terlalu lama. Apa terjadi sesuatu? Seong Joon mulai khawatir. Namun, tepat saat itu, gadis yang ditunggu-tunggunya muncul dari tangga paling bawah. Sebersit senyum langsung timbul di wajah Seong Joon.

Di pertengahan tangga, tiba-tiba seorang perempuan berteriak. Matanya menyalang sambil menunjuk-nunjuk seorang lelaki yang cukup berumur. Sepertinya lelaki itu barusan menyentuhnya, entah sengaja atau tidak. Semua orang berhenti dan menyaksikan pertengkaran itu. Namun seperti biasa, gadis itu tidak terpengaruh. Dengan tangan yang bersembunyi di dalam saku mantel dan pandangan yang tetap lurus, dia melanjutkan perjalanan.

Kali ini Seong Joon tertawa kecil. Gadis itu memang luar biasa, bisiknya. Dalam hati dia berhitung. Sampai angka sepuluh, gadis itu sudah sampai di tangga teratas, dan dengan berat hati, dia harus menyudahi kegiatan ini dan masuk ke tempat kerjanya.

"Aku tidak mengerti dengan yang kau lakukan tiap hari, Oppa," ujar Ji Yeol begitu melihat Seong Joon muncul dari balik pintu.

Melihat Seong Joon menunggu di depan selama beberapa saat sebelum menggantikan shift-nya memang sudah menjadi kebiasaan sejak ... entahlah. Ji Yeol tidak begitu ingat kebiasaan itu dimulai sejak kapan, yang jelas sudah cukup lama. Namun, setelah beberapa waktu pun, dia masih tidak bisa mengerti kenapa lelaki itu harus melakukannya.

Sambil tersenyum kecil, Seong Joon melangkah ke balik meja kasir. "Tidak semua hal di dunia bisa kau mengerti, Yeol. Shift-mu sudah habis, jadi pulanglah."

Ji Yeol menggeleng. "Masih sepuluh menit lagi."

Sambil menunjukkan jamnya yang sengaja diatur lebih cepat, Seong Joon berkata, "Sudah habis. Pulanglah."

"Hanya jam milikmu yang menunjukkan pukul segitu. Jadi berhenti menipuku, Oppa. Kau selalu memangkas shift-ku tanpa alasan yang jelas dan hari ini aku ingin tahu kenapa," tegas Ji Yeol.

Lagi, senyum kecil terlihat di wajah Seong Joon. Memang, dia biasa melakukan ini dan Ji Yeol akan masuk ke ruangan khusus karyawan untuk mengambil tasnya. Di saat itulah biasanya gadis yang ditunggu Seong Joon muncul, mengambil susu pisang lalu menuju kursi pojok dan menikmati waktunya di sana setelah membayar. Dan setelahnya, Ji Yeol baru akan keluar. Makanya dia tidak pernah tahu atau menaruh curiga akan alasan Seong Joon melakukan kebiasaan-kebiasaan itu.

Namun sepertinya hari ini siklus itu akan berubah dan mungkin Ji Yeol akan mulai curiga. Pintu terbuka, membuat bel di atasnya berdenting, sama seperti pertama kali gadis itu membunyikan bel di hati Seong Joon.

"Selamat datang," sapa Ji Yeol. Namun seperti biasa, gadis itu tidak menjawab, bahkan tidak melihat ke arah mereka. Pandangannya tetap lurus. Langkahnya terjaga stabil ke rak pendingin di sebelah kasir untuk mengambil susu pisang yang biasa dibelinya.

"Hah, Op ...." Ji Yeol baru ingin menagih penjelasan yang dituntutnya sebelum ini, tapi apa yang dia lihat sepertinya sudah menjelaskan semuanya. Mata Seong Joon terus tertuju pada gadis itu. Terganggu sedikit pun tidak oleh panggilannya barusan. Baru kali ini Ji Yeol melihat Seong Joon seperti itu.

Gadis itu tiba di depan kasir dan menyerahkan kartu untuk membayar. Ji Yeol terus memperhatikan interaksi dua orang di hadapannya. Seong Joon benar-benar kelihatan gugup, seolah baru hari pertama kerja, padahal mereka sudah lama menjadi karyawan di sini. Sedangkan gadis itu tampak tidak peduli. Dia hanya mengambil sedotan di ujung meja sambil terlihat menikmati lagu yang mengalun lewat earphone-nya.

"Jadi karena ... dia?" tanya Ji Yeol cepat, begitu gadis itu berjalan menuju kursi pojok.

Masih sambil menatap gadis itu, lagi-lagi yang bisa diberikan Seong Joon sebagai jawaban hanya senyum kecil.

***

Buruk sepertinya tidak cukup untuk menggambarkan bagaimana keadaan hari ini bagi Eun Hyo. Kontraknya dengan agensi tempatnya bekerja sebagai komponis habis dan mereka tidak berniat memperpanjang dengan alasan yang tidak jelas, jadi dia harus segera mencari agensi baru. Lalu saat hendak pulang, entah kenapa kereta begitu ramai hari ini. Penuh sesak, bahkan hanya untuk menambah satu atau dua orang.

Semua orang hanya mengantre untuk masuk tanpa ada yang keluar. Berdesak-desakan sampai menggerakkan tangan pun sulit. Dan Eun Hyo benci keadaan itu. Dia benci harus berdempetan tanpa ada ruang gerak. Dia memang tidak pernah suka dibatasi. Karena itu, dia harus menunggu. Seingatnya empat kali kereta terlewatkan dan keadaan tetap sama, akhirnya Eun Hyo menyerah dan memilih lewat jalur lain. Lebih jauh dan harus beberapa kali transfer, tapi setidaknya, dia masih bisa bergerak bahkan duduk.

Lagu bertempo lambat mengalun dari earphone-nya. Melodinya terdengar sendu, tapi yang seperti inilah yang disukai Eun Hyo. Dia sendiri tidak mengerti kenapa lagu seperti ini yang selalu menemani harinya dan membuatnya lebih tenang. Terkadang dia terbawa suasana dan ikut sedih karena mendengar lagu-lagu itu, tapi apa pun keadaannya, dia hanya tidak bisa berhenti.

Kadang dia mencoba lompat ke musik yang sedikit up-beat. Walau kadang berhasil menikmati lagu-lagu yang dijadikan pengalihan itu, tapi Eun Hyo tidak pernah benar-benar bertahan di sana. Paling lama hanya seminggu, lalu dia akan kembali mendengarkan lagu-lagu bertempo lambat dengan melodi sendu. Hingga akhirnya dia menyerah mencoba dan menikmati saja kenyataan ini.

Susu pisang yang baru saja diseruputnya memberi kesegaran dan energi tambahan bagi Eun Hyo. Kalau ada satu lagi yang tidak bisa dilepasnya, maka itu adalah minuman ini. Tiap hari tanpa absen, susu pisang ini akan menemaninya. Entah sejak kapan minuman seperti ini jadi sangat adiktif.

Sambil menyeruput lamat-lamat, Eun Hyo bersenandung. Dari earphone-nya memang mengalun sebuah lagu, tapi otaknya tiba-tiba memutar musik lain, yang belum ada di mana pun. Cepat-cepat Eun Hyo mematikan lagu di ponselnya dan segera mencari aplikasi rekam. Nada-nada itu sudah terekam dan sekarang dia mengeluarkan buku untuk menyalinnya dalam partitur.

"Kau itu bisa kerja atau tidak?!" Terdengar teriakan dari sebelah kiri Eun Hyo, sepertinya dari arah kasir. Dari suaranya, sepertinya seorang wanita yang sudah cukup berumur.

Eun Hyo tidak menoleh dan hanya bisa mengembuskan napas karena konsentrasinya harus terganggu. Terutama di saat seperti ini, saat sebuah nada baru saja memenuhi kepalanya dan earphone tidak bisa dipakai untuk menyelamatkan. Dia berusaha tetap fokus pada nada yang sudah direkamnya, tapi suara ahjumma itu terlalu menggelegar.

"Bisa-bisanya kalian menjual produk tidak segar seperti ini!" teriak ahjumma itu lagi. Nada suaranya masih tidak diturunkan. Eun Hyo sendiri sedang berpikir, apa tenggorokannya tidak sakit teriak seperti itu terus-menerus.

"Maaf. Maaf." Ini sudah kali kedua Eun Hyo mendengar kasir lelaki itu mengucapkan maaf.

"Makanya kerja jangan pakai sarung tangan terus, jadi tidak bisa tahu mana produk bagus dan tidak, kan! Pokoknya kembalikan uangku!"

Kasir lelaki itu lagi-lagi meminta maaf. Kali ini Eun Hyo menggeleng, tidak tahan dengan apa yang didengarnya. Dengan mantap, dia berdiri, hingga menimbulkan derit karena kursi terdorong keras. Ahjumma dan kasir lelaki itu sama-sama melihat ke arahnya karena itu. Eun Hyo mulai berjalan, hingga tiba di depan meja kasir. Biasanya dia tidak mau ikut campur urusan orang lain, tapi kali ini sudah keterlaluan. Ahjumma itu dari tadi terus saja marah-marah, sedangkan lelaki itu terus minta maaf, padahal menurut Eun Hyo, dia tidak salah.

"Ahjumma, bukankah ini sudah keterlaluan? Anda terus memaki-maki seolah dia tidak pantas dihargai." Bau asam yang menguar kuat dari sepotong tahu dalam kotak plastik yang sudah terbuka, membuat pandangan Eun Hyo teralih dan keningnya sedikit mengernyit. Namun setelahnya, matanya kembali menatap nyalang pada ahjumma itu. "Tahu itu sudah Anda buka, jadi bisa saja bau karena terlalu lama Anda simpan."

"Kau siapa? Kenapa ikut campur? Dan asal kau tahu, aku baru membelinya tadi," sahut ahjumma itu tidak mau kalah.

"Berarti itu juga salah Anda, kenapa tidak memperhatikan saat membeli." Eun Hyo terlihat santai, tapi nada bicaranya tegas.

Terlihat gurat-gurat amarah di wajah ahjumma itu karena terus-menerus disalahkan. "Mana aku tahu akan seperti ini, biasanya baik-baik saja."

"Maka dia juga sama. Bagaimana dia bisa tahu, sedangkan Anda juga tidak. Dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan memakai sarung tangan. Anda tidak pakai, kan? Tapi Anda juga tidak tahu kenyataan itu." Mudah saja bagi Eun Hyo membalikkan semua ucapan ahjumma itu, membuat wajahnya semakin masam.

"Aku tidak peduli! Pokoknya aku ingin uangku kembali!" teriak ahjumma itu lagi, sepertinya kehilangan bahan untuk mendebat.

"Kalau begitu minta saja pada produsennya, kan mereka yang membuat. Lagi pula, apa kehidupan Anda sesulit itu, sampai harus meminta kembali uang seribu won?" Jelas kali ini Eun Hyo sudah melempar bom ke lawan bicaranya.

Wajah ahjumma itu memerah, kepalanya seperti sudah mau meledak. "Aku ingin lihat sekaya apa dirimu sampai berani bicara seperti itu."

Eun Hyo mengangkat bahu lalu menjawab dengan santai. "Saya tidak bilang saya kaya. Tapi kalau kaya yang Anda maksud itu tidak membuat keributan demi uang seribu won, maka ya, saya kaya. Dan mungkin 99% orang di dunia ini kaya."

Ahjumma itu menggeram. Sambil menggerutu dan melangkah keras-keras, dia keluar dari Seven Eleven itu. Eun Hyo hanya mendengus melihatnya. Masih ada saja manusia seperti itu di zaman semaju ini. Miris. Dia kemudian memalingkan wajah ke arah kasir lelaki itu, yang sedang menatapnya dengan takjub.

"Jangan minta maaf terus kalau tidak salah," ujarnya santai lalu ikut meninggalkan tempat itu.

Sekali lagi gadis itu berhasil membunyikan bel di hati Seong Joon, dan kali ini dentingnya bahkan jauh lebih kencang dari yang sebelumnya.

****

Haiii aku datang lagi dengan cerita baru hihihi semoga nggak bosan, ya. Kali ini ceritanya seri bareng penulis lain dengan tema #AddictedSeries. Ada 2 penulis lain dengan jadwal berikut:

Senin & Kamis: Comedor by YouRa_muriz

Selasa & Jumat: Sexy Secret by IndahHanaco

Rabu & Sabtu: Let Us Be Happy by junabei

Jadi punya bacaan seminggu kalau diikutin semua, lumayan ya hihihi

Untuk cerita ini, aku mau sekalian bagi-bagi ilmu bahasa Korea 😆 Di tiap part nanti ada judul Koreanya dan akan aku bahas arti dan cara pengucapannya. Untuk part ini:

내: nae (a dan e dibaca cepat jadi kayak e) artinya milikku
마음: maem artinya hati
에: e, di sini sebagai keterangan tempat artinya di
Jadi 마음에 artinya di hati
종: jong artinya bel
을: el (partikel untuk pengiring kata kerja)
울리는: ullinen artinya yang membunyikan, dari kata dasar 울리다 (ullida)
여자: yeoja (e dan o dibaca cepat jadi kayak o) artinya perempuan

Nah, segitu aja dulu. Udah panjang sih sebenarnya hahaha ditunggu komen dan votenya ya

junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro