Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Rumah Dedalu


Matahari sudah condong ke peraduan saat Musa akhirnya keluar dari kelas hari ini dengan sakit kepala akibat terlambat makan siang. Sambil membawa kotak berisi sepotong piza margherita dari kantin, ia berjalan menuju aula Fakultas Arkeologi dekat dengan Taman Budaya di mana beberapa mahasiswa tengah melakukan praktikum simulasi penggalian.

Tiap Kamis sore mahasiswa mulai dari tingkat awal hingga senior sering berkumpul hanya untuk berbincang ataupun berbagi gosip terkini seputar angkatan mereka, termasuk senior yang paling dihormati, Pablo Salim.

Musa yang baru selesai konsultasi mengenai konsentrasi apa yang akan diambilnya semester depan langsung rebah di pinggir aula, merasa harinya terlalu panjang.

"Wah, mahasiswa populer kita capek banget keliatannya," ledek Pablo yang datang membawakan gelas kertas berisi soda dingin untuk Musa. "Diomongin di X bikin capek, ya?"

Musa sudah bisa menebak apa yang menjadi bahan pembicaraan di-X meski seharian ia belum mengecek ponsel apalagi media sosial. "Tranding ya, Bang?" ia duduk dan meneguk setengah isi gelas soda untuk menyumpah setelahnya lantaran sensasi menyengat di sepanjang kerongkongan serta lambungnya yang bergejolak.

"Beuh, bukan main. Tapi jangan liat sih kalau lo nggak kuat mental."

Wajahnya mendadak meringis saat memeriksa ponsel yang diubah dalam mode senyap selama perkuliahan. Ada dua pesan masuk dari Embun, satu pesan dari Nea yang bertanya pukul berapa harus ke rumah, serta tiga pesan dari ayahnya namun dengan 21 panggilan tak terjawab.

Bagi Mahawira, yang membuat tulang-tulang mereka bergeletuk bukanlah hujatan dari netizen tetapi panggilan dari nomor Janu Averroes Mahawira alias ayahnya sendiri.

"By the way, Ce," panggilan Pablo menghentikan Musa untuk membuka notifkasi dari ayahnya. "Nea tuh udah punya pacar belum sih?"

"Nea?" ia tertawa pelan, "Kenapa emangnya, Bang?"

"Enggak apa-apa sih," Pablo menggaruk kepala belakangnya canggung sebelum menawarkan Musa untuk minum kembali. "Kan dia lucu ya—"

"Lucu? Hidungnya yang minimalis lucu maksudnya?"

"Iya, mungil, gayanya polos dan kikuk gitu, sama rambutnya wangi banget—gue nyium pas dia lewat bareng lo di parkiran, Ce," ralatnya buru-buru. "Lucu banget, kan? Kayak ... minta dilindungi banget."

Musa yang tengah menyesap sodanya tiba-tiba tersedak dan memuntahkan kembali soda ke dalam gelas dengan sensasi hidung terbakar. "Hah?"

Jika yang menanyakan serta memuji Nea dengan kata lucu adalah seorang wibu berkacamata tebal, jaket hitam, dan tas ransel, Musa akan memakluminya karena Nea memang pasarnya para wibu, namun Pablo Salim yang di mata para mahasiswa saja panutan cowok keren apalagi di mata mahasiswi, bertanya soal Nea ....

Agak di luar prediksi BMKG.

"Atau jangan-jangan lo naksir Nea makanya nggak mau jawab, ya?"

"Bukan, Bang, gue cuma syok aja ada yang suka sama Nea. Dia jomlo kok."

Ia bisa melihat senyum Pablo meski berusaha disembunyikan sambil sesekali mengangguk. "Jadi, kalau nanti gue deketin Nea, lo sama Amu nggak masalah, kan?"

"Masalah sih, alasan Nea belum punya pacar karena nggak ada cowok yang lolos seleksi gue sama Amu, Bang. Tapi, nanti akan gue pertimbangkan."

"Oke," jawab Pablo kemudian berdiri dengan cengiran lebar di wajah. "Kirimin gue syarat buat lolos seleksi lo ya, biar gue check list satu-satu."

Meski tak nyaman melihat senyuman Pablo sambil membayangkan suatu saat mereka akan triple date dengan seniornya tersebut, Musa tetap memaksakan makan siang terlambatnya tertelan.

Untuk mengalihkan ketidaknyamannya akan bayang-bayang Nea dan Pablo, Musa membalas pesan Nea untuk membatalkan jadwal mereka malam ini dan dipindah ke esok malam, kemudian membalas pesan Embun bahwa ia menunggu di Aula Taman Budaya bersama mahasiswa arkeolog lainnya, kemudian menghadapi Raja Terakhir.

Tak lupa Musa menenggak banyak-banyak air mineral untuk membersihkan kerongkongannya, takut-takut diintrogasi dan menjawabnya terbata-bata. Baru satu kali berdering, panggilannya sudah diangkat oleh ayah.

"Yah, kenapa tadi telepon? Aku lagi di kelas."

"Mau nanyain kabar Bunda, lupa kalau hari ini kamu ada meeting produksi sama ada kelas," jawab ayahnya tenang seolah belum mengetahui beritanya yang sudah tersebar di media sosial.

"Oh ... gitu."

"Sama nanyain kenapa ciuman di publik? Emang nggak bisa di mobil atau di mana gitu yang lebih privasi?"

Mana mungkin Raja Terakhir tidak tahu berita seheboh ini, kan?

"Spontah, Yah."

"Oke."

"Oke? Aku nggak harus minta Tante Yun untuk hapus atau apa gitu untuk redain omongannya?"

"Enggak usah, ciuman biasa. Cuma kalau bisa nanti jangan di lingkungan akademi, nggak sopan dan banyak temen Ayah ngajar di sana, itu aja."

Wah, hukuman yang sangat ringan, hanya teguran saja.

"Baik, Yah. Sama ... kalau akau ajak perempuan yang di video ke rumah untuk makan malam ... boleh nggak, ya?"

Kali ini ada jeda dari pertanyaan ke jawaban ayahnya yang cukup lama sebelum terdengar suara berdahem. "Kamu ... ngehamilin dia, Dek?"

"Hah? Enggak, Yah! Cuma makan malam aja buat kenalan sama Ayah, Bunda, sama Kakak!"

"Oh, kalau itu sih nggak masalah. Bilang sama Mbak Iis untuk siapin makan malam lebih."

Dari sekian banyak cerita hukuman serta teguran seram yang ayahnya lakukan pada keluarga Mahawira, mungkin ini adalah yang paling ringan, atau mungkin ia hanya banyak ditakut-takuti oleh saudaranya yang lain?

Sudut matanya menangkap siluet Pablo berlari setelah menyambar kunci mobil ke arah parkiran di seberang gedung. Matanya ikut memperhatikan siapa tujuan Pablo di seberang, Nea dan Abia yang jalan beriringan sambil sesekali tertawa.

Pablo memanggil nama Nea, membuat langkah Nea dan Bia terhenti. Nampak jelas dari raut wajah Bia yang menahan ejekan sementara Pablo bicara pada Nea yang masih bingung tanpa memberi jeda.

Nea menjawabnya dengan satu kalimat sebelum jari Pablo tertuju padanya yang membuat Nea semakin bingung dengan senyum meringis. Anggukkan Bia adalah yang mengantarkan Nea untuk mengekor di belakang Pablo menuju area parkir mobil.

Matanya dan mata Bia bertatapan, ia menggerakkan dagunya pelan meminta penjelasan apa yang terjadi pada Nea dan Pablo barusan, namun Bia menjawabnya dengan jempol terbalik dan mulut mengerucut seperti mengejeknya.

Apa maksudnya?

"Kamu kenapa, By?" pandangannya terhalang oleh rok selutut berwarna khaki dan sepasang kaki mulus milik Embun.

"Oh, ini ..." Musa menunjukkan pizza-nya yang tersisa dua gigit lagi, "telat makan siang, malah jadi mual pas diisi." Matanya naik memperhatikan pakaian serta penampilan Embun yang terlihat berbeda dari pagi tadi. "Kamu cantik amat? Pulang dulu?"

Pemilihan kata adalah hal yang harus diperhatikan saat bicara dengan perempuan, ditambah pagi ini mereka baru saja bertengkar dan diakhiri dengan drama ciuman di publik dan videonya sampai ke tangan ayahnya, daripada harus mengulagi video ciuman di publik kedua kalinya, Musa akan memuji terlebih dahulu untuk menutupi pertanyaan sebenarnya.

Embun menjawabnya dengan gelengan kecil. "Cantik, ya? Tadi aku bolos, terus ke salon deh," jawabnya sambil berputar, "nggak mungkin aku ketemu mama kamu kucel habis ngampus, kan?"

"Cantiklah!" Mungkin bagi perempuan bertemu dengan keluarga pacar adalah hal krusial hingga Embun rela meninggalkan kelasnya untuk pergi ke salon.

Ia mencoba untuk mengingat bagaimana penampilan kakaknya saat bertemu dengan orangtua mantannya yang brengsek itu, well ... harus diakui Shua Sutayta Mahawira hampir terlihat rapi dan terawat 24 jam, jadi tak ada bedanya. Sementara Nea ... tak ada harapan bertanya pada sahabat jomlo dari lahirnya.

***

Menurut survei, warga Jakarta menghabiskan waktunya selama 22 hari per tahun untuk menghadapi kemacetan. Dahulu kalimat 'tua di jalan' yang sering sopirnya ucapkan saat menghadapi kemacetan terasa berlebihan dan bahan lelucon, namun setelah menyetir sendiri lima hari dalam seminggu, Musa harus mengakui bahwa 'tua di jalan' bukan lagi lelucon.

Berangkat pukul lima sore lewat beberapa menit dari kampus dan sampai pukul setengah tujuh malam membuat sebagian kesabaran Musa terkikis, beberapa kali ia harus memejamkan matanya untuk meredakan amarah saat mobilnya terhalangi motor lawan arah yang terlalu ke tengah ataupun dipotong tiba-tiba oleh angkot yang menurunkan penumpang mendadak.

Beruntung Embun sesekali mengusap bahunya, mencoba menenangkan emosi Musa yang tengah diuji.

"Ini rumah kamu? Lebih kecil dari bayanganku. Kupikir rumahmu kayak gaya Eropa seluas lapangan sepak bola," ucap Embun saat gerbang rumahnya perlahan terbuka.

"Iya, soalnya Bunda sama Ayah waktu buat rumah niatnya nggak ingin punya anak, plus Bunda sama Ayah lebih sering kerja, jadi buat rumah yang gampang dibersihin aja."

"Tapi adem banget, banyak pohonnya."

Taman luar pagar rumahnya dahulu diisi dengan ilalang, sekarang diganti dengan kolam berisi ikan-ikan kecil dan tanaman nelumbo nucifera. Sementara di belakangnya gerbang batu hitam setinggi dua setengah mater menjulang ditutupi tanaman juntai vernonia elliptica pada bagian tengah. Rumah dua lantai dan satu rubanah tersebut mengintip di antara dahan salix babylonica tertiup sepoi angin sore itu yang membawa aroma danau di balik rumah.

Saking megah dan misterius rumahnya, beberapa kali fotographer dengan klien pre-wedding mencoba berfoto di depan rumahnya, mulai dari meminta izin baik-baik hingga curi kesempatan. Bahkan, di internet rumahnya mendapat julukan Rumah Pohon Dedalu.

"By, aku cocok nggak sih pakai baju gini? Sopan nggak, ya?" Embun berusaha menarik turun roknya karena saat duduk, roknya terangkat hingga ke paha.

"Aku sih suka," Musa meletakkan tangannya di atas paha Embun sebelum meremasnya pelan dengan senyuman nakal.

"Kalau di apartemen sih kamu suka banget!"

Senyum nakalnya berubah menjadi cengiran lebar. "Bunda nggak masalahin kok, santai. Soalnya yang masalahin biasanya Ayah." Melihat wajah Embun semakin panik membuatnya tertawa. "Bercanda."

Begitu membuka pintu utama, aroma manis namun segar dari bunga-bunga mawar dan sedap malam serta sedikit sentuhan kekayuan di ujung hidung menyambut mereka. Bagi Musa, inilah rumah. Aroma yang membuatnya tenang saat terbangun di malam hari dan yang menyambutnya setiap kali kelelahan.

Hidung Embun bergerak, mengendus aroma rumahnya sebelum mencium kaus yang Musa kenakan. "Oh, ini tuh wangi rumah kamu, ya? Aku sering cium aroma ini dari kamu soalnya."

"Iya, kamu nggak percayaan sih aku bilang ini bau rumah, nuduhnya aku jalan sama cewek lain terus," keluh Musa setengah bercanda. Mood-nya langsung membaik begitu menginjakkan kaki di rumah.

Tak ada foto keluarga apa pun di ruang tamu rumahnya, hanya ada dua lukisan, koleksi guci dan piring-piring antik, vas berisi bunga di tengah meja, dan banyak sofa empuk. Semua terkesan formal dan bisnis.

Terpisah tiga undakan dan dinding, ruang santai keluarga lantai satu nampak nyaman dengam pemilihan warna bumi, lantai kayu, sofa panjang, bean bag, figura dengan foto dari berbagai masa berbaris rapi di atas meja panjang, tanaman palem di sudut ruangan serta foto keluarga berfigura besar tertempel di tembok. Kesan hangat yang tidak ada di ruang tamu bagian depan.

Anggota pertama yang terlihat adalah Mbak Iis yang sibuk meletakkan makanan ke atas meja makan.

"Ini Mbak Iis, dia kenal Bunda sama Ayah lebih lama dari aku dan Kak Wa," Musa memperkenalkan Mbak Iis sambil mengambil alih penataan piring dan alat makan.

Dengan lambaian tangan yang kaku, Mbak Iis menjawab, "semoga suka sama masakannya ya. Ada garam dan gula di sini," telunjuk Mbak Iis mengarah pada dua botol kecil di tengah meja makan, "kalau kurang asin atau kurang manis, boleh ditambahin sendiri ya, Kak."

Ada kelebat heran di mata Embun yang dijawabnya dengan anggukan ragu. Namun segera teralihkan karena ayahnya masuk melalui pintu yang tersambung dengan area parkir rubanah.

Buru-buru Embun menarik turun dan merapikan lagi roknya sambil memastikan bahwa blouse yang dikenakannya tidak berantakan.

"Ayah, ini pacarku, Embun," ucap Musa dengan sedikit jeda saat memperkenalkan status Embun pada ayahnya, "Embun, ini Dokter Eros Mahawira yang terkenal itu."

Diulurkan tangan Embun dengan sedikit dingin, "Selamat malam, Om, saya Embun Harjotjatmoko, anak dari Kris dan Eliana Harjotjatmoko, senang akhirnya ketemu Om."

Senyum kecil dan wajah ramah yang ayahnya tunjukkan saat menjabat tangan Embun adalah senyum bisnis yang sering Musa lihat saat menjamu tamu ibunya. "Halo, Embun, senang juga ketemu kamu," lirikann ayahnya berhasil membuat tulang belakang Musa mendingin, "pertama kalinya Musa ajak pacarnya ke rumah, silakan duduk, kita masih tunggu Kak Shua dulu ya."

Belum sempat ayahnya menaiki tangga menuju lantai dua, sebuah panggilan masuk ke ponsel ayahnya. "Dek, kamu jemput Bunda, Ayah ada angkat telepon sebentar," lalu menitipkan tas kerjanya ke pelukan Musa dan menghilang ke balik kamar kerja.

Musa menarikkan kursi makan tempat biasa ia duduk, "aku ke atas sebentar, kamu tunggu sini ya."

Sambil membawa tas kerja ayahnya, Musa mengintip ke dalam kamar orangtuanya setelah mengetuk dua kali. Ia melihat ibunya duduk di atas ranjang, bersandar pada headboard ranjang, di pangkuan ibunya terdapat sebuah iPad yang menayangkan cara merajut.

"Bunda, aku bawa tamu," umum Musa pelan saat memunculkan wajahnya dari balik pintu, "aku sudah info Mbak Iis tadi, Nda nggak keberatan, kan?"

Senyum ibunya lebar sambil menggeleng. "Pacar kamu yang ciuman di kampus itu, ya?" ledeknya. "Ayah tadi telepon, takut-takut kamu ngajak cewek itu ke sini karena kamu ngehamilin dia."

Musa meringis. "Aku akan hati-hati untuk nggak rusak nama baik keluarga."

"I know you will." Usapan lembut di kepala Musa membuatnya ingin rebah di pangkuan ibunya jika saja tidak ingat ada tamu di bawah.

"Nda mau aku gendong atau pakai kruk?" tawar Musa. Sudah dua hari semenjak ibunya mengalami penurunan imun dan kehilangan hampir 50% kekuatan kakinya untuk menopang tubuh. Biasanya hanya bertahan selama satu minggu sebelum sistem imun ibunya kembali normal dan kekuatan motorik ibunya kembali seperti tak terjadi apa-apa.

"Kruk aja."

Musa membantu ibunya berdiri dan menyangga bagian kanan seraya menyamakan langkahnya perlahan menuruni tangga untuk mencapai meja makan.

Dari ujung tangga, ia bisa melihat mata Embun membulat dan sikap tubuh tegak tersebut menandakan keterkejutan. Tentu bukan dirinya yang buat Embun ternganga, ibunyalah yang membuat Embun duduk tak nyaman.

Ursa Kawindra yang orang dengar adalah wanita mandiri yang tangguh dan bertangan dingin, bukan Ursa Kawindra yang jalan saja harus dibantu kruk dan putranya.

Tugas itu langsung diambil alih ayahnya setelah menyelesaikan panggilan telepon dari rumah sakit. 

"Bunda, ini Embun. Embun, ini founder Ursa Major, Ursa Kawindra."

"Halo, Tante, akhirnya kita ketemu setelah enam bulan kerja bareng Ursa Minor," sapa Embun hangat, ketidaknyamanan itu menghilang di antara senyum lebar dan mata berbinar. Harus Musa akui bahwa ia amat lega.

"Hai, Embun, maaf harus ketemu saya dalam keadaan seperti ini. Makanan di sini biasanya kurang asin, kalau kurang menurutmu, boleh ditambah sendiri ya karena Musa bilang dadakan jadi Mbak Iis nggak sempat siapin menu khusus untuk kamu."

"Aku nggak rewel soal makanan kok, Tante."

Makan malam hari itu dimulai tanpa kehadiran Shua yang masih menangani pasien dan tak perlu lama untuk mencairkan suasana lantaran Embun yang memang memiliki pembawaan ceria dan penuh rasa ingin tahu akan pekerjaan orangtuanya.

"Embun tinggal di mana, omong-omong?" tanya ayahnya.

"Aku tinggal di Kuningan, Om, Tower Kuningan Paragon."

"Oh, dekat sama apartemen Kak Wa dong? Omong-omong apartemen Kakak, sudah kamu bersihin?" tanya ayahnya. "Kita jual aja apa ya?"

"Adek mau nempatin nggak? Ya jauh sih dari kampus kamu, tapi dekat sama apartemen Embun, kan?" tawar ibunya yang sedikit gemetar saat mengangkat sendok ke arah mulut.

"Enggak, aku kan mau tinggal di sini terus."

"Terus? Masa sampai nikah masih di sini?"

Musa mengangguk. "Rencananya gitu, aku mau tinggal sama Ayah dan Bunda di sini sampai nikah. Aku kan anak laki satu-satunya, aku harus jaga Bunda sama Ayah."

Ini bukan kali pertama keinginannya untuk tinggal bersama orangtuanya ia ucapkan, biasanya mereka tertawa dan menyerahkan seluruh keputusan pada Musa, namun malam ini ibunya nampak canggung dan sedikit meringis mendengar kalimat Musa.

***

Hola, amigos! Akhirnya kerjaanku yang dari November seabrek-abrek itu selesai juga. Yang ikutin twitter-ku pasti tau semenjak November lemburku sampai tembus 40 jam sebulan, wkwk. 

Semoga bisa lebih produktif ya dan semoga masih ada yang nunggu cerita TBC di sini.

***

Nelumbo nucifera alias lotus alias bunga seroja.

Salix babylonica alias weeping willow alias dedalu menangis. Versi di rumah Mahawira nggak segede gini tapi ya.

Vernonia elliptica alias Li Kuan Yu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro