Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

~Sembilan Belas~





Minyak Zaitun dimakan hiu (cakep)
Pantun dulu yuk!!!!


||





=Selamat Membaca=
______________________



-Kendalikan dirimu,
sebelum ego mengalahkanmu-







||







Sedang asyk bermain Ps milik sang tuan rumah, tiba-tiba saja si gadis bergigi gingsul di kejutkan dengan pintu yang terbuka.

Braakk....

"Lempar aja amjink!!!"Kesal Naomi saat Gracia langsung melempar stik Ps nya dan buru-buru menghampiri Shani.

"Ahlak loe di gade hah!? " Lanjut Naomi sementara Gracia dengan tanpa dosa melanjutkan langkah nya lalu tersenyum menyambut sang pujaan hati.

"Sayang kok gak ngabarin kalo mau kesini?" raut kawatir terlihat sangat jelas di wajah Gracia "tengah malem loh ini" lanjutnya sambil mengusap pipi Shani pelan.

"Kan sama Kak Ve" ucap Shani sambil tersenyum sementara Veranda sudah berjalan ke arah Naomi, hendak bertanya apa yang membuat kekasihnya itu terlihat sangat emosi.

"Tetep aja sayang aku kawatir" Gracia menarik Shani dalam pelukan nya. Entah lah ia kenapa malam ini, hanya saja rasanya ia sangat takut Shani kenapa-kenapa atau sampai terjadi hal yang buruk pada Shani.

"Gee.. aku gak papa sayang" ucap Shani membalas pelukan Gracia.

"Buceenn terooosss" sindir Naomi membuat pelukan kedua nya terlepas "inget ya kalo loe cuma numpang!" lanjutnya bercanda membuat Gracia menoleh.

"Tuan rumah tidack ramah. Kasih bintang 1"

"Gundulmu!!"

Gracia terkekeh lalu menarik tangan Shani untuk duduk di sofa, sementara sofa satu lagi diisi oleh Naomi dan Veranda.

"Tumben Shani bisa keluar jam segini yank?" Tanya Naomi pada Veranda "terus kamu kok pucet banget kaya keabisan darah?"

Pertanyaan dari Naomi hanya di balas senyuman tipis oleh Veranda, dengan segera Veranda menarik Naomi kedalam pelukan nya. Entah lah perasaan nya mendadak tidak enak. Padahal yang bermasalah disini adalah Shani dan Gracia, tapi kenapa ia malah takut jika hubungan nya dengan Naomi akan kena imbasnya.

"Kamu kenapa sayang? " Tanya Naomi disela pelukan "berasa aneh banget. Horor tau kalo kamu lagi kaya gini tuh"

Veranda hanya menggeleng lalu melepas pelukan sambil berkata..

"Sekalian kita bahas bentar lagi" Ucap Veranda "Gre bawain minum sana, jangan nempel-nempel mulu adek gue" lanjut nya.

"Baik kakak ipar yang budiman" ucap Gracia sambil terkekeh lalu berdiri.

"Aku ikut" ucap Shani membuat Gracia berkata...

"Tuan putri duduk manis saja"

"Enggak mau"

"Harus mau"

"Mau ikut Gee... "

"Ke dapur doang sayang" Kukuh Gracia

"Ya mau ikut"

"STOP!!" sela Naomi "Gue aja! Nunggu kalian kelar debat, keburu gue punya anak 3" Lanjut nya membuat Gracia dan Shani tertawa pelan.

Naomi berlalu ke dapur sementara Veranda kini melipat kedua tangan nya di depan dada. Mata nya menatap lurus ke arah Shani dan Gracia. Memperhatikan dengan seksama interaksi dua sejoli yang kini malah asyk berdua seolah melupakan keberadaan Veranda.

"Maaf ya Gee.. makan malem kita harus batal tadi" ucap Shani membuat Gracia tersenyum menenangkan.

"Gak masalah sayang, yang penting kan kamu sekarang disini sama aku"

"Tapi kan tetep aja aku gak enak. Gara-gara kak Vi--

"Gak papa sayang beneran" ucap Gracia menyela, malas rasanya mendengar nama itu disebut lagi.

Gracia memilih mengambil sebelah tangan Shani dengan kedua tangan nya, dikecup nya punggung tangan Shani cukup lama sebelum berkata..

"Jika hanya janji makan malam yang di batalkan aku gak masalah, asal jangan janji cinta kita"

"Buayaaaa oooohhh buayaaa.." ledek Naomi "kenyang adek ipar gue loe kasih makan gombalan" Lanjutnya sambil membawa satu nampan berisi 4 cangkir minuman hangat, lalu meletakkan nya di atas meja..

"Makasih mbok" ledek Gracia membuat Naomi mendengus.

"Bayar anjir!'

"Tulis dulu aja sama yang kemaren" kekeh Gracia

"Halah bcd!!" Ucap Naomi lalu menatap Veranda "Katanya mau ngomong yank"

Veranda mengangguk "Jadi gini..." Ucap Veranda membuka kembali percakapan "Gracia gue lempar dari balkon ya! Dengerin gue ngomong dulu!" Omel Veranda saat Gracia malah memainkan rambut Shani, sesekali mengusap pipi Shani. Sementara Shani hanya terkekeh melihat kekesalan Veranda.

"Pada ngomel mulu" Ucap Gracia "darah tinggi tau rasa loh"

"Dek pacar kamu kakak tuker tambah boleh ya?"

"Jangan kak limited edition ini" Ucap Shani

"Entar dulu" Ucap Gracia serius "ini kaya nya ada yang aneh. Ada masalah kah? "

Veranda dan Shani mengangguk bersamaan.

"Masalah besar, dan pacar loe yang bikin" Ucap Veranda membuat Gracia menoleh ke arah Shani.

"Kamu ngapain sayang?" Tanya Gracia

"Mending jelasin dari awal cepat" Sela Naomi "udah jam dua pagi ini. Ntar keburu imsak! "

Veranda terkekeh melihat Naomi yang sepertinya sedang dalam masa PMS. Mudah sekali singa nya terpancing.

"Minum dulu sayang biar gak emosi" Ucap Veranda sambil meraih secangkir minuman lalu di berikan pada Naomi. Naomi meneguk nya beberapa kali sebelum kembali fokus pada Veranda.

"Mau kakak atau kamu yang jelasin dek? "

"Kakak aja, aku cape ngomong banyak sama papa tadi"

"Okee. Dengerin gue baik-baik Gracia. Karena ini menyangkut hidup dan mati loe sama Shani"

Gracia mengangguk. Segera ia mengubah setelan menjadi mode serius. Menajamkan kedua telinga supaya bisa mendengar dengan seksama. Tak lupa otak nya di minta untuk lebih cepat mencerna, siapa tau ada kuis dadakan yang di tanyakan oleh Veranda.

"Gak ada angin, gak ada ujan, gak ada breefing, gak ada kisi-kisi, pacar loe yang cantik kaya gue ini tiba-tiba ngomong sama papa kalo dia minta putus sama Vino"

Gracia langsung menoleh ke arah Shani. Menanyakan kebenarannya lewat tatap mata, sementara Shani menjawab dengan anggukan mantap.

Dalam hati Gracia tersenyum bangga pada Shani. Sangat bahagia karena dia begitu berani memutuskan hal ini.

Namun, rasa bahagia nya langsung hilang saat mendengar kalimat lanjutan dari Veranda.

"Tapi papa menolak mentah-mentah permintaan Shani"

Shani menyadari perubahan ekspresi dari kekasih nya ini. Segera ia meraih sebelah tangan Gracia lalu menggenggam nya.

"Shani beberapa kali kasih alasan dan yaa seperti dugaan gue. Kalo papa akan kukuh menolak itu. Selain karena keluarga Vino adalah teman baik papa, Vino juga udah memenuhi semua kriteria yang papa inginkan untuk jadi calon mantu nya.

Tiba-tiba saja Naomi kesulitan menelan saliva nya. Jika yang papa Veranda harapkan adalah calon mantu dengan kriteria seperti Vino. Lalu Naomi yang hanya remahan sukro ini bisa apa?

Veranda menatap sekilas ke arah Naomi yang kini tampak berfikir keras. Entah apa yang kekasih nya itu fikirkan, Veranda belum bisa menebak nya.

"Tapi.... " Ucap Veranda menggantung. Menatap lebih lama ke arah Gracia yang kini penasaran menunggu lanjutan kalimat Veranda.

"Shani bilang sama papa kalo dia mencintai orang lain dan papa bilang kalo dia ingin segera bertemu dengan orang tersebut"

Ekspresi Shania Gracia tidak bisa di baca sama sekali. Tak ada kalimat apapun yang dia ucapkan sebagai respon dari kalimat Veranda barusan.

Ia sibuk mencerna semua hal yang Veranda ucapkan.

Jika dengan bertemu papa Shani bisa membuat Shani langsung lepas dari Vino, tentu saja hal tersebut bisa Gracia segerakan.

Tapi apakah akan semudah itu?

Gracia menoleh ke arah Shani yang menatap nya penuh harap.

Jika Shani saja dengan sangat berani berbicara pada papa nya, kenapa Gracia tidak?

Bukan kah momen ini yang ditunggu Gracia sejak lama?

Tanpa ragu Gracia tersenyum pada Shani lalu menatap Veranda sambil berkata..

"Okee kak aku siap!"

"Jangan siap-siap aja"

"Lah terus apa? Mau sama orang tua aku sekalian?"

"Bukan gitu. Papa itu orang nya gak bisa di tebak, dan gue gak tau apa yang bakal dia lakuin kalo ketemu sama loe nanti. Kita harus mempersiapkan kemungkinan paling buruk yang akan terjadi"

"Apapun yang bakal papa kalian minta aku pasti sanggupin"

"Gue tau loe bisa. Tapi sekeras apapun kalian berusaha, papa bakal makin keras juga buat menolak"

Gracia diam sejenak. Kembali memantapkan hati lalu berkata..
"Apapun nanti yang bakal terjadi, aku akan siap untuk menghadapinya kak. Apapun demi Shani"

Veranda cukup puas melihat kesungguhan Gracia. Gadis itu sepertinya memang sudah siap dengan segala sesuatu nya.

Veranda harus lebih siap nanti nya. Kemungkinan-kemungkinan paling buruk yang akan terjadi sudah bersarang di fikiran nya.

Jika hanya penolakan mungkin Gracia tidak akan mundur. Tapi jika kekerasan atau hal lain yang bisa mengancam nyawa nya? Apa gadis ini akan tetap maju untuk memperjuangkan Shani?

Belum selesai Veranda berfikir, tiba-tiba saja ia tersentak saat Naomi bertanya..

"Apakah hubungan kita akan di restui papa kamu yank?"

___






Tiga jam sudah berlalu semenjak Chika pergi dari hadapan Ara.

Gadis itu masih duduk di lantai samping tempat tidur nya. Memeluk erat kedua lutut sambil sesekali menyeka kasar air mata yang masih saja tak habis ia keluarkan.

Kepergian Chika menoreh luka yang makin terasa menyakitkan. Bodoh nya Ara hanya bisa diam tanpa mencegah, atau menyusul Chika kerumah nya.

Puluhan kali terdengar panggilan masuk dari Mira ia abaikan, entah berapa Chat masuk dan notifikasi lain yang juga Ara biarkan. Tak berniat menyentuh ponsel nya sama sekali, biarkan saja tergeletak di atas meja.

"Chikaa maafin aku..." lirih

Puluhan kali kalimat itu di ucap, tak satupun yang akan di dengar oleh Chika.

Kenapa akhrinya harus menyakitkan seperti ini ?

Tak bisa kah kisah persahabatan Ara berakhir manis seperti kebanyakan kisah lain nya?

Jikapun tidak bisa memiliki Chika, setidak nya jangan biarkan Ara menyakiti sahabatnya itu.

Jika dulu Ara dengan begitu lantang nya berkata 'Akan kubunuh siapapun yang berani menyakiti Chika'.

Lalu sekarang apa Ara harus bunuh diri karena dia sendiri yang telah menyakiti Chika?

Gelengan lemah terlihat saat Ara berusaha membuang fikiran-fikiran tak mendasar di otak nya. Tak mau memikirkan beberapa cara bunuh diri yang kini berputar di otak nya.

"Chika!" Ara mengerjap. Seolah sesuatu tak kasat mata menampar dirinya dengan keras.

Segera ia berdiri dari posisi nya, menghapus kasar air mata lalu segera keluar dari kamar nya.

Dengan langkah tergesa, sedikit berlari Ara keluar dari rumah. Mengabaikan kenyataan bahwa sekarang sudah tengah malam. Tak peduli jika ada yang mencegat, atau minimal tertawa mengikik saat ia lewat.

Yang ada difikiran nya kini hanya Chika.

Dengan nafas terengah Ara akhirnya sampai di rumah Chika. Sedikit ragu saat ia hendak masuk.

"Pak !!" Panggil Ara pada satpam yang berjaga.

"Loh non Ara. Ngapain malem-malem?"

"Tolong bukain pak, aku mau ketemu Chika" ucap Ara namun tak di sangka sang penjaga malah menggeleng sambil berkata..

"Maaf Non. Kata non Chika kalo ada Non Ara dateng gak boleh di buka pintu nya"

Ara mendadak semakin lesu. Ara tau jika Chika pasti sangat marah hingga ia tak ingin bertemu dengan dirinya.

Tak mungkin juga Ara memaksa masuk atau membuat keributan tengah malam seperti ini.

"Yaudah pak gapapa. Aku pulang aja pak"

"Iya Non hati-hati ya"

Ara berbalik, segera meninggalkan rumah Chika dengan perasaan tak karuan.

"Maafin aku Chika"

____







"Apakah hubungan kita akan di restui papa kamu yank?"

Veranda langsung menatap ke arah Naomi. Sedikit syok karena pertanyaan Naomi yang tiba-tiba.

Untuk sejenak Veranda bungkam. Otaknya di paksa untuk mencari jawaban paling tepat untuk pertanyaan kekasihnya.

Selama ini sang papa hanya tau jika Veranda memiliki kekasih. Dan hanya sebatas itu. Sang papa tidak pernah bertanya perihal siapa, sekolah atau bekerja, bagaimana keluarga nya, atau apapun tentang kekasih Veranda.

Hal tersebut membuat Veranda santai saja dalam menjalani hubungan nya. Namun akhir-akhir nya pertanyaan yang sama bersarang di fikiran nya.

Apakah sang papa akan menerima Naomi nanti nya?

Sekalipun sang papa tidak menentukan kriteria khusus tentang bagaimana harus nya pendamping Veranda, tetap saja Veranda tidak begitu percaya diri bahwa sang papa akan merestui.

"Apa kamu juga ragu jika papa kamu akan merestui kita?" Lanjut Naomi bertanya membuat Veranda mengerjap.

"Atau ini salah satu alasan kenapa kamu gak pernah bawa aku kerumah kamu dan bertemu papa kamu?"

Naomi bukan nya tidak tau diri. Harusnya malam ini mereka membahas masalah Gracia dan Shani, dan bukan membahas hubungan nya dengan Veranda.

Tapi bukan kah Naomi juga punya hak bertanya. Naomi juga ingin tau kejelasan hubungan nya dengan Veranda bagaimana.

Sama sekali Naomi tidak ragu dengan cinta Veranda untuknya. Namun jika melihat kasus Shani dan Gracia, Naomi jadi sedikit ragu bisa mendapat restu.

Dan jika kriteria yang papa Shani inginkan adalah orang seperti Vino. Tentu saja Naomi harus mundur teratur mengingat keluarga nya yang hanya kalangan biasa.

Bahkan Apartement yang di isi nya ini adalah milik Veranda.

"Atau semua ini juga yang membuat kamu gak pernah mau aku ajak ketemu orang tua aku?"

Bungkam nya Veranda menambah keyakinan Naomi tentang apa yang Veranda takutkan selama ini. Sekarang Naomi sedikit banyak sudah tau alasan di balik sikap Veranda yang seakan menutupi hubungan mereka.

"Apa pertanyaan ku terlalu sulit?" Tanya Naomi penuh tuntutan.

Gracia menatap Shani sekilas, mengangguk kepada Shani guna memberi kode untuk pergi dari sini karena merasa bahwa atmosfer di tempat ini sudah berbeda

"Sorry. Kalian seperti nya butuh ruang berdua" ucap Gracia "Kita bisa bahas tentang aku dan Shani siang nanti"

Gracia berdiri lalu mengulurkan tangan nya pada Shani. Segera Shani menyambutnya lalu berjalan menuju kamar tamu bersama Gracia. Meninggalkan dua sejoli yang masih diam dengan fikiran nya masing-masing.

___







"Kenapa Raa....?"

Sebuah tanya yang lagi-lagi keluar dari mulut Chika. Semakin lirih terdengar di telinga.

Tak pernah sedikitpun terlintas di fikiran Chika bahwa hubungan nya dengan Ara akan berakhir semenyedihkan ini.

Jika Cinta adalah penyebab utama. Bolehkah Chika meminta untuk tidak pernah mengenal apa itu cinta.

Ia ingin hubungan nya bersama Ara seperti biasa. Tak perlu ada luka atau cemburu, jangan pernah ada tangis pilu, tak usah ada kata perpisahan yang terjadi seperti ini.

Jika masih bisa Chika meminta, ia ingin berkata pada Ara --tunggu sebentar lagi--  untuk pernyataan cinta yang sering Ara ucapkan untuk nya.

Ia ingin yakin seyakin yakin nya tentang perasaannya untuk Ara. Chika tidak mau ia menerima Ara hanya untuk mengobati luka. Tak pernah berfikir sedikitpun untuk menjadikan Ara pelarian dari semua hal yang ka alami.

Chika tau jika Ara sangat mencintai nya.

Tapi apa Ara juga tau jika Chika juga sedang berusaha menggali lebih jauh lagi perasaan nya untuk Ara?

Dan kenapa ketika Chika sudah yakin atas apa yang ia rasa, Ara malah berusaha membunuh cinta nya dengan kehadiran Mira.

Taukah Ara jika Chika sekarang sudah yakin bahwa ia juga mencintai Ara?

"Bisakah kita seperti dulu Raa...? "

Masih banyak tanya yang sebenarnya ingin Chika tujukan pada Ara.

"Apa jika aku berkata Aku mencintaimu, kamu akan kembali sama aku? "

Tentunya kalimat barusan tak akan mendapat jawaban. Karena Ara tidak mungkin bisa mendengar semua yang Chika katakan.

"Atau kamu memang mau aku pergi agar kamu tidak terluka lagi? "

___


"Apa yang harus aku siapkan selain mental, ketika bertemu dengan papa kamu nanti? "

Shani yang duduk di depan Gracia menggeleng sementara Gracia mengeratkan pelukan nya pada Shani lalu menaruh dagu nya di pundak Shani.

"Papa kamu karakter nya kaya gimana? "

Shani diam sejenak, fikiran nya sibuk memproses segala informasi yang kini berputar di fikiran nya sebelum menjawab pertanyaan Gracia.

"Papa itu.... " Shani menggantungkan kalimat nya. Sedikit ragu dengan analisa nya sendiri "biasa aja Gee"

Gracia terkekeh pelan mendengar jawaban Shani barusan. Gracia fikir jika Shani akan menjawab 'papa nya itu keras, galak, badan nya gede atau hal menyeramkan lain nya'.

"Kalo yang luar biasa kan kamu sayang" Ucap Gracia lalu mengecup sekilas pipi Shani yang sejak tadi menggoda untuk di sentuh oleh bibir nya "Maksud aku, galak atau apalah gitu"

Shani menggeleng lagi "Papa yaa papa. Selayaknya papa biasa. Papa baik, ramah, sayang sama aku dan kak Ve, hanya saja papa itu orang nya kukuh sama pendirian nya. Kalo papa bilang A ya kita harus ikut A"

Giliran Gracia yang mengangguk "okee. Aku kira semua orang tua memang begitu kebanyakan nya. Selalu menuntut anak-anak nya untuk mengikuti apa mau nya"

"Tapi kalo sama kak Ve enggak terlalu kok" Ucap Shani lalu menarik diri dan membalik tubuh nya menjadi menghadap Gracia.

Gracia menaikkan sebelah alisnya lalu bertanya..

"Maksudnya? "

"Papa gak pernah maksa kak Ve untuk jadi apa yang papa mau. Papa selalu membebaskan kak Ve untuk apapun yang dia pilih, bahkan papa selalu bilang 'iya' untuk apapun yang kak Ve inginkan"

"Iyaa juga sih, biasanya kan kalo orang mau di jodohin kan kakak nya dulu. Ini malah kamu yang kaya di haruskan lebih dulu. Padahal kamu juga kalo mau nikah kan harus kak Ve dulu yang nikah"

"Iyaa. Makanya aku aja kadang suka heran. Dulu sering banget aku nanya sama papa, tapi papa cuma bilang 'Shani itu anak bungsu jadi harus ikut apa kata papa'. Dari kecil selalu seperti itu"

"Ya mungkin emang bener kan, karena kamu anak bungsu"

"Iyaa" ucap Shani lalu tersenyum

"Jangan senyum gitu yank, kasian hati aku gak kuat liat nya"

Shani malah terkekeh lalu menarik hidung mancung Gracia.

"Idung kamu gemesin banget, tapi orang nya enggak"

"Lah kan satu paket sayang"

"Enggak. Aku suka idung nya doang"

"Orang nya enggak??"

Shani menggeleng "Sama orang nya cinta, sama idung nya suka"

Gracia terkekeh lalu menarik Shani ke dalam pelukan nya 

"Diajarin siapa ngomong kaya gitu?"
Tanya Gracia namun Shani hanya tertawa menanggapi nya.

"Gee... kamu beneran siap ketemu papa?"

Gracia mengangguk sambil mengeratkan pelukan nya pada Shani 

"Aku akan siap untuk hal apapun yang menyangkut kamu"

Shani menarik diri, lalu menatap dalam mata Gracia "Kenapa kamu seyakin ini sama aku?"

"Gak ada satupun alasan yang membuat aku gak yakin sama kamu. Semenjak pertama kali aku liat kamu, aku udah jatuh hati sama kamu" ucap Gracia tulus..

"Dan kamu orang pertama dan satu-satu nya yang membuat aku percaya tentang cinta pada pandangan pertama"

____


"Jadi... apa kamu tidak bisa menjawab semuanya?"  Tanya Naomi penuh tuntutan.

Veranda menggeleng. Pertanyaan Naomi tak satupun yang sulit, hanya saja Veranda sedikit bingung bagaimana menjelaskan nya.

"Semua pertanyaan kamu mudah, hanya sedikit rumit" ucap Veranda sambil menatap intens ke arah Naomi. "Alasan paling kuat yang membuat aku belum melakukan semua hal yang kamu tanyakan adalah karena aku gak mau kehilangan kamu"

Veranda tidak bohong. Semua hal ini sudah ia pertimbangkan baik-baik. Berusaha untuk bertahan dulu dalam zona aman sebelum ia memutuskan untuk membawa Naomi ke hadapan sang papa nanti.

"Papa itu orang nya sulit di tebak. Sering aku berkata seperti itu kan?" Tanya Veranda tanpa memberi kesempatan Naomi untuk merespon "Aku tidak tau apa yang akan dia lakukan jika dia tau kalo kamu pacar aku. Papa memang tidak pernah memaksa aku untul hal apapun yang menjadi pilihan ku. Aku tidak seperti Shani yang apa-apa harus sesuai mau papa. Tapi aku juga tidak bisa gegabah untuk segala sesuatu yang menyangkut kamu"

Veranda meraih kedua tangan Naomi lalu menggenggam nya. "Kasih waktu sampai aku lulus kuliah. Aku janji akan ketemu sama orang tua kamu, dan juga mengenalkan kamu sama papa" ucap Veranda. Sementara Naomi terlihat masih diam, mencerna semua kalimat Veranda..

"Percaya sama aku, semua nya hanya tentang waktu. Sabar sedikit lagi yaa..."

Naomi akhirnya mengangguk, ia juga tidak boleh egois dan memaksa Veranda untuk segera bertemu orang tua mereka. Veranda benar bahwa segala sesuatu nya harus di pertimbangkan lebih dulu.

Apalagi keluarga Veranda bukan lah keluarga sembarangan. Tidak mudah bagi Naomi untuk bisa percaya diri saat bersanding dengan Veranda karena dia hanya orang biasa.

Hal itu juga yang mungkin menjadi pertimbangan bagi Veranda.

"Aku percaya sama kamu"

Veranda menunjukkan senyum nya, segera ia menarik Naomi kedalam pelukan nya. Mendekap erat gadis yang sudah dua tahun menjalin kasih dengan nya ini.

"Kita udah kelamaan ngobrol yank" ucap Naomi di sela pelukan nya membuat Veranda merenggangkan pelukan lalu menatap tanya pada Naomi seraya berkata..

"Emang kenapa?"

"Jangan sampe kita cepet punya ponakan kalo biarin Shani ama buaya ungu berduaan dikamar"

"Astaga iya juga!!"

______

"Loe kemana aja sih yank? dari semalem loh gue telponin tapi gak nyaut"

Omel Mira yang baru saja duduk di kursi di hadapan Ara. "Muka loe pucet banget, loe sakit?"lanjut Mira yang sekarang berubah menjadi kawatir.

"Gak papa sayang. Cuma masuk angin paling" ucap Ara dengan senyum menenangkan "Maaf ya semalam ketiduran jadi gak denger loe telpon"

Mira mengangguk lalu mengusap puncak kepala Ara pelan "Yakin gapapa? Gak mau balik aja terus istirahat?"

Ara kembali tersenyum, berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Ia menurunkan tangan Mira yang sejak tadi masih mengelus rambut nya, lalu menggenggamnya "Ngantuk kalo di elus terus, ntar malah tidur"

"Tidur aja gak papa" ucap Mira "Kayanya loe emang lebih butuh tidur, pucet banget"

Ara hanya menggeleng pelan. Jika boleh jujur ia hanya butuh Chika saat ini. Ara hanya ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. Namun hingga detik ini ia belum melihat sahabat nya itu. Bahkan tadi Ara sengaja pergi ke kelas Chika untuk memastikan keberadaan nya namun gadis itu tidak ada.

"Gak papa aman kok. Liat loe juga gue udah langsung sehat" ucap nya lalu terkekeh

Mira menoyor pelan kening Ara sambil berkata "gombal mulu loe kaya Gracia"

"Lah kok tau dia kang gombal?"

"Udah terkenal nya gitu. Sekarang-sekarang aja agak kalem"

"Iya karena ada pawang nya" jawab Ara "Tuh panjang leher nya" lanjutnya sambil menunjuk dengan dagu ke arah Gracia yang baru saja masuk.

"Wiii... pagi besti!" Sapa Gracia sambil menepuk bahu Ara "kenape loe? Jelek banget tuh muka, kesian Mira kalo jalan sama loe pasti malu"

"Sialan!" Ucap Ara "Eh ikut ke mobil bentaran, dompet gue ketinggalan"

"Sendiri aja anjir! Masa ke parkiran aja mesti di anter. Cemen banget!" 

"Bukan gitu. Kalo gue telat masuk setidak nya ada temen nya, jadi malu nya bareng-bareng sama loe" ucap Ara lalu berdiri.

"Emang sesat loe" ucap Gracia "Nyusahin aja"

"Gue ke parkiran dulu ya sayang" ucap Ara lalu mengusap kepala Mira sekilas.

"Iyaa" jawab Mira

"Udah soyang sayang aja nih gue liat-liat" sela Gracia

"Berisik loe"

"Pamit ya yank" ucap Ara lalu segera berjalan keluar di susul oleh Gracia yang kini mensejajarkan langkah nya.

"Loe kenapa? Ada masalah?" Tanya Gracia "dan sejak kapan loe bawa dompet anjir!!"

"Chika marah sama gue"

"Sudah kuduga" ucap Gracia "Gara-gara loe jadian sama Mira?" Lanjutnya bertanya.

"Kok loe tau?"

"Gue kan buka praktek dukun" ucap Gracia

"Cocok sih, pasti gurunya mbah Freya" jawab Ara lalu membuka pintu pengemudi lalu masuk, sementara Gracia masuk ke pintu penumpang.

"Gue mau cerita sama loe, jangan di sela" ucap Ara membuat Gracia mengangguk..

"Semalam tuh......

___

"Papa gak pernah ngajarin kamu pergi tanpa pamit"

Tubuh Shani dan Veranda terlonjak saat mendengar suara sambutan dari sang papa. Mereka fikir sang papa sudah berangkat ke kantor sehingga mereka bisa pulang dengan aman.

"Papa juga gak pernah ajarin kamu keluyuran malam-malam"

Veranda tau jika kalimat sang papa hanya di tujukan untuk Shani. Karena selama ini ia tidak pernah menerima pertanyaan seperti itu, selarut apapun ia pergi.

Pernah ia pergi jam tiga pagi karena Naomi sakit, namun hingga detik ini sang papa bersikap biasa saja, padahal sang papa saat itu tau jika Veranda keluar dari rumah.

"Shani minta maaf karena gak izin sama papa"

Sang papa berdiri dari duduk nya, melempar dengan asal koran yang tadi ia baca ke atas meja.

"Apa kamu pergi bertemu seseorang yang kamu cintai itu?" Tanya sang papa membuat Shani mengangguk ragu.

"Bagus lah" ucap sang papa membuat Shani menatap heran lalu bertanya..

"Maksud papa?"

"Dia sudah berhasil membuat kamu berani pergi malam-malam tanpa izin papa. Dan itu membuat Nilai nya berkurang di mata papa"

Sang papa berbalik lalu berjalan meninggalkan Shani dan Veranda yang masih diam di tempat. Keduanya kompak mengerjap ketika suara sang papa kembali terdengar saat berkata..


"Malam ini papa ingin bertemu orang itu"







= TBC =

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro