~Dua Puluh Tujuh~
=Hehe=
||
-Ini bukan tentang menyerah atau kalah,
Tapi ini tentang lelah yang tak kunjung sudah-
||
Reynan beberapa kali menggeram kesal, tak jarang ia memukul meja atau menendang kursi untuk meluapkan kekesalannya. Entah apalagi yang di lakukan Veranda dan Shani, yang jelas cukup membuat urat leher Reynan tampak terlihat jelas saat ini.
Reynan memilih berjalan menuju pintu utama. Menunggu kedatangan dua tuan putri yang sejak tadi tak ada kabarnya. Bahkan Vino yang bertugas untuk menjemput mereka, tak bisa lagi berkata-kata. Sudah bingung harus mencari Shani dan Veranda kemana.
Satu jam berlalu. Reynan nampak tak gentar. Tak peduli jam berapa sekarang ini, ia tetap berada di posisi. Jangankan hingga tengah malam atau dini hari, hingga subuh pun dia akan tetap menunggu.
Hingga akhirnya yang ditunggu menampakkan wujudnya. Keduanya berjalan dengan tenang sambil bergandengan tangan. Seolah tak peduli dengan raja singa yang sudah siap ngamuk di hadapan mereka.
"Dari mana saja kalian?!!" Kalimat dengan nada rendah namun sarat emosi menyambut kedatangan Veranda dan Shani "Bukankah sudah saya peringatkan untuk tidak pergi kemana-mana!" Lanjutnya.
Kalimat Reynan ibarat debu yang berhamburan tersapu angin. Tak satupun yang bersarang di telinga Veranda dan Shani. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Gak sempet parkir.
"JAWAB SAYA!!"
Reynan berkacak pinggang di hadapan kedua putrinya. Sungguh ia merasa harga dirinya sudah tak lagi ada, dua-duanya malah melenggang tak peduli dengan murka sang papa.
"Ve--
"Berisik pa!!" Sela Shani yang kini berhenti lalu berbalik menatap Reynan "Udah malem ini. Kalo papa mau marah, marahin si Vino sana"
"Vino sudah menjemput kalian tapi kalian malah hilang!"
"Siapa suruh lelet jemput kita"
"Vino sudah tepat waktu, dan sudah mencari kalian kemana-mana dan kalian tetap tidak bisa di temukan. Kalian sengaja kan?"
"Itu berarti si Vino gak becus nyari kita" ledek Shani membuat Veranda terkekeh pelan. "Gimana mau jadi suami Kak Ve kalo nyari doang aja dia ga becus. Malu-maluin aja"
"Shani!! Jaga bicara kamu!"
"Upsss! Maaf, papa ketampar fakta ya?"
Seolah tak ada takut-takutnya, Shani dan Veranda kembali tertawa.
Wajah Reynan kini sudah merah padam, rahangnya mengeras, disusul kepalan tangan yang semakin erat. Melihat itu Veranda segera menarik tangan Shani untuk
Kabur dari amukan singa di hadapan mereka. Melesat menuju kamar masing-masing meninggalkan Reynan yang masih diam ditempatnya.
______
Veranda baru saja keluar dari kamar mandi. Hendak merebahkan diri, namun suara gedoran pintu membuat ia mengurungkan niatnya. Diliriknya sekilas jam dinding yang menunjukkan pukul 1 malam.
Tak ingin membuat penggedor hebat itu menunggu, Veranda segera membuka pintu. Sedikit kaget karena ternyata sang Papa yang muncul di hadapannya, bukan Shani seperti perkiraannya.
"Kenapa?" Tanya Veranda tak santai, semakin kesal saat sang papa memaksa masuk lalu menutup pintu dengan rapat. Berharap Shani tak mendengar percakapannya dengan Veranda.
"Papa mau bicara empat mata sama kamu"
"Sok!"
"Yang sopan kamu Veranda"
"Silahkan Tuan"
Reynan mengikis jarak, mengunci tatapan Veranda sebelum berkata.
"Ini terakhir kali Papa peringatkan sama kamu, untuk tidak jadi anak pembangkang Veranda!".
Veranda mendengar dengan seksama ultimatum sang papa, tak sedikitpun raut ketakutan terlihat di wajahnya.
"Dan Papa juga peringatkan sama kamu untuk tidak melibatkan Shani, dengan apapun yang kamu lakukan!. Jika kamu keberatan dengan perjodohan ini, jangan kamu cuci otak Shani untuk membela kamu terus".
Veranda tersenyum miring "Sudah aku bilang kan kalo aku itu anak Papa? Jadi jiwa pembangkang aku sudah pasti aku dapatkan dari Papa bukan?" Tanya Veranda tanpa memberikan Reynan kesempatan menjawab "Dan gak usah Papa menjadikan perjodohan sebagai alasan, karena aku tau itu hanya modus Papa untuk membuat bisnis Papa lancar. Kurang apalagi sih Papa selama ini sampe papa masih harus tega menumbalkan aku? Apalagi yang papa kejar? Harta gak dibawa mati Pa!"
"Ini bukan hanya tentang bisnis Veranda! Ini tentang harga diri dan nama baik keluarga kita"
"Keluarga mana yang Papa maksud? Dengan papa bersikap seperti ini, semakin jelas kalo Papa hanya mementingan diri Papa sendiri!"
"Saya tidak membesarkan kamu untuk jadi kurang ajar Veranda".
"Aku gak akan jadi kurang ajar kalo papa tidak semena-mena sama aku!"
"Saya Papa kamu! Saya punya hak untuk mengatur apapun yang terbaik untuk kamu!"
Veranda menggeleng, dengan tegas ia menolak kalimat sang Papa "Papa gak punya hak apapun tentang hidup aku. Papa bukan Tuhan. Aku punya hak untuk memilih apapun yang aku mau dan aku tidak mau. Termasuk menolak keinginan Papa".
Reynan mendengus kesal. Bagaimana bisa sifat keras kepalanya menurun kepada Veranda semua. "Saya yang mengurus kamu sejak kecil, memberi kamu hidup yang layak, pendidikan yang baik, tidak kurang apapun, apa salah jika sekarang saya hanya meminta kamu menuruti apa mau saya?"
"Aku tidak pernah minta itu semua!" Nada Veranda meninggi "toh jika boleh aku meminta, aku tidak pernah ingin dibesarkan oleh Papa. Lebih baik aku hidup susah dari pada aku kehilangan hak aku sebagai manusia!"
Plakk!!!!
Entah tamparan ke berapa, yang jelas Veranda sudah sangat terbiasa.
Kesabaran Reynan sepertinya sudah hilang sepenuhnya. Entah harus dengan kalimat apa lagi ia berkata pada Veranda.
"Kamu hanya cukup menuruti apa mau Papa!"
Veranda menghembuskan nafas lelah, tetap berusaha berkata sambil meringis menahan panas di pipinya.
"Sudah kan? Apalagi? Selama ini semua mau papa sudah aku turuti, semua sudah papa atur. Apalagi yang papa mau? Nyawa aku? Ambil pah, Ve gak peduli!"
"Veranda!"
"Apa!!?".
"Sudah saya bilang jangan kurang ajar!"
"Selama aku punya kesempatan untuk memperjuangkan hidup aku, akan aku lakukan pah! Aku gak peduli dengan semua hal yang akan papa lakukan sama aku. Silahkan saja. Atur sesuka Papa".
"Baik. Lakukan apapun yang kamu bisa Veranda! Saya pastikan kamu tidak akan bisa macam-macam lagi".
Reynan berbalik lalu keluar dari kamar Veranda setelah mengucapkan kalimat terakhir "Dan saya pastikan juga, pernikahanmu akan di percepat 3 hari lagi".
Sukses membuat tubuh Veranda lemas lalu luruh ke lantai.
Shani yang baru saja keluar dari kamar bermaksud untuk mengambil air minum menatap horor ke arah Reynan yang keluar dari kamar sang Kakak. Tanpa ingin basa basi, Shani segera masuk kekamar Veranda.
Shani meringis, nyeri di hatinya semakin terasa saat melihat keadaan Veranda.
"Kaaak..."
Veranda mendongak, memaksakan senyumnya terbit di sela isak tangis yang tentu saja pecah saat Shani menarik Veranda kedalam dekapnya. Shani membiarkan Kakaknya menangis, menumpahkan semuanya dalam peluknya. Sesekali mengusap punggung Veranda.
Cukup lama hingga akhirnya Veranda mulai tenang, Shani melonggarkan peluknya lalu mengusap air mata di pipi Veranda.
"Ngapain lagi bapak gila itu?"
Veranda malah terkekeh pelan "Bapakmu itu Shan" jawab Veranda lemah.
"Amit-amit. Tuker tambah aja kalo boleh" sempat-sempatnya Shani berkata demikian. Keduanya terkekeh menertawakan keadaan. "Kakak di apain lagi?" Lanjut Shani bertanya sambil meneliti keadaan Veranda "Ini sakit banget? Aku kompres ya"
"Gak usah. Udah biasa segini mah"
"Tap--
"Gak usah tapi-tapi, ayo berdiri. Kakak pegel!"
Shani mendengus namun tetap berdiri lalu menarik pelan tangan Veranda, berjalan menuju tempat tidur. Keduanya kini duduk berhadapan.
"Kata Papa, pernikahannya di majuin jadi 3 hari lagi"
Mata Shani sontak membulat "Mana boleh kaya gitu!" Kesal Shani lalu dengan cepat bergerak, hendak turun dari kasur namun di tahan Veranda.
"Mau kemana ?"
"Protes lah! Mana boleh Papa kaya gitu, semena-mena"
Veranda menoyor pelan kening Shani "Udah Kakak wakilin, Kakak udah protes juga gak di denger, jadi kamu gak usah buang-buang tenaga dek"
"Terus? Kakak mau pasrah aja gitu?"
Veranda menggeleng "Enggak akan. Cuma Kakak belum tau mesti ngapain"
Shani kembali beranjak turun, segera pergi dari hadapan Veranda membuat Veranda bertanya "Kamu mau ngapain Shani?"
Shani berbalik "Telpon orang!" Jawabnya lalu hilang di balik pintu.
_____
Tidak main-main apa yang di katakan Reynan semalam. Terlihat pagi ini dia sudah bersiap untuk pertemuan dengan keluarga Vino. Sementara Veranda dan Shani tentu saja tidak di izinkan pergi ke mana-mana termasuk kampus.
Waktu dan tempat sudah di tentukan. Beberapa hal sudah mulai di persiapkan. Tak peduli dengan penolakan Veranda untuk kesekian kali. Seperti kali ini.
"Gak mau, loe pilih aja sendiri"
Vino menggeram frustasi. Ia mengacak rambutnya sendiri, tak sanggup menghadapi keras kepala Veranda.
"Minimal kamu pilih salah satu dari 5 gaun ini Veranda. Gak susah kan?"
"Ogah!"
Vino menutup erat kedua matanya. Niat hati ingin Veranda ikut andil dalam persiapan ini, namun sepertinya Veranda tetap kukuh pada pendiriannya.
"Yaudah. Cobain aja kalo gitu, mana yang pas"
Veranda yang sejak tadi duduk di sofa mulai jengah melihat Vino yang sibuk memegangi gaun untuk pernikahan mereka. Veranda berdiri lalu menunjuk tepat di wajah Vino "Gue gak mau! Lo gak budek kan? Lo aja yang pake!"
"Sekali aja Ve--
"Gak cuma budek! Gak tau malu juga!" Bukan Veranda yang berkata, namun Shani yang kini ikut bergabung dalam drama saat ini "Lo jadi cowok gak tau diri, gak tau malu. Udah tau Kak Ve gak mau, masih aja maksa!"
"Kamu gak usah ikut campur Shan, ini urusan aku sama Kakak kamu"
"Urusan Kak Ve ya urusan gue juga. Kenapa? Gak terima?" Tantang Shani sambil melipat kedua tangan di depan dada "Mending Lo enyah deh Vin, sumpek banget liat muka Lo. Hus hus !".
Vino menggeram kesal, tidak ada harapan menang jika berdebat dengan perempuan apalagi dua sekaligus. Vino akhirnya menyerah, ia merapikan semua gaun yang ia bawa lalu membawanya pulang.
__________
Reynan baru saja tiba dikediamannya, menatap sekeliling rumah yang sepi seolah tak berpenghuni.
"Kemana Ve dan Shani?" tanyanya pada salah satu Asisten rumah tangga yang baru saja mendekat ke arahnya.
"Dikamar Tuan"
"Mereka gak aneh-aneh atau coba kabur lagi kan?" Tanya Reynan memastikan. Ia takut jika Veranda dan Shani kembali nekat untuk pergi dari rumah. Beberapa kali anak buahnya harus memaksa bahkan sampai menarik Veranda dan Shani untuk masuk ke rumah. Tentu saja hal itu atas perintah Reynan. Ia harus memastikan Veranda dan Shani tidak bisa lagi bertingkah selama Reynan mempersiapkan pernikahan Veranda dan Vino.
"Tidak Tuan. Nona Ve dan Nona Shani tidak kemana-mana hari ini"
"Bagus" Ucap Reynan lalu beranjak menuju kamarnya.
Waktu makan malam tiba, Shani dan Veranda turun untuk makan malam.
Keduanya kompak menarik kursi, lalu duduk.
"Kalian berdua tidak melakukan tindakan bodoh lagi kan?" Tanya Reynan. Ia murka ketika menerima informasi bahwa Shani dan Veranda ternyata sempat akan kabur lewat halaman belakang. Entah dapet ide dari mana, mereka berdua nekat membawa tangga hendak memanjat tembok pembatas rumah. Padahal tembok yang di bangun tingginya tidak main-main, salah sedikit lalu jatuh, sudah pasti nyawa mereka melayang atau minimal patah kaki. Untung saja para penjaga segera mengetahui hal tersebut dan menarik paksa mereka berdua masuk.
Tidak hanya sampai disana, Veranda dan Shani juga sempat mengendarai mobil mereka, bermaksud untuk menerobos pintu gerbang namun para penjaga kompak berdiri menghalangi pintu gerbang. Di ancam akan di tabrak pun mereka tak gentar, entah digaji berapa mereka oleh sang Papa, sehingga mereka rela jika nyawa mereka harus hilang cuma-cuma.
Akhirnya Shani dan Veranda mengalah karena tak sampai hati menabrak mati para penjaga, kasian yang udah punya keluarga apalagi jika anak mereka banyak jumlahnya. Siapa yang menafkahi nanti ? Netizen? Tentu saja tidak!.
Kembali pada dua putri titisan Tanumihardja yang sama sekali tak tertarik dengan pertanyaan Reynan barusan. Mereka berdua kompak diam seribu bahasa. Niatnya hanya untuk makan, mengisi perut yang sejak kemarin tidak mereka isi. Itu salah satu bentuk protes mereka, namun ternyata cacing di perut mereka tak sekuat itu.
"Papa kalian sedang bertanya, apa kalian tidak dengar hah!?"
Veranda malah sibuk meneliti udang yang tertancap di garpu yang dia angkat lebih tinggi, seolah udang tersebut lebih menarik dari kalimat Reynan barusan.
Si bungsu lebih gila lagi, dia lebih anteng menata wortel yang dipotong mirip korek api itu di sisi piring. Satu persatu ia jejerkan, seolah ia sudah sibuk dengan dunianya sendiri dan tak punya waktu mendengarkan sang Papa.
"Dek!" Panggil Veranda membuat Shani menoleh
"Hmm?"
"Kenapa kalo orang bodoh, pasti di ejeknya pake kata otak udang?" Tanya Veranda random.
"Karena udang otaknya kecil"
"Oyah?" Tanya Veranda excited seolah baru mengetahui fakta barusan.
"Terus punya otak juga gak dipake mikir!" Ucap Shani dengan nada lebih tinggi.
Brakkk!!!
Reynan menggebrak meja dengan keras.
"KALIAN DENGAR SAYA BICARA TIDAK!?"
Bohong jika Veranda dan Shani tidak mendengar murka Reynan barusan. Bukan hanya dengar, tapi telinga mereka cukup dibuat berdengung untuk beberapa saat.
Reynan berdiri sekali gerakan, ia merasa harga dirinya lenyap entah kemana. Ia merasa tidak dihargai sebagai kepala keluarga sekaligus sebagai seorang Papa.
"Besok pagi kalian siap-siap berangkat ke Hotel. Jangan berulah saat acara berlangsung!!" Ancam Reynan lalu pergi meninggalkan Shani dan Veranda yang kini saling pandang lalu terkekeh pelan sambil melanjutkan makan.
_______
Pesta akbar akan di gelar di sebuah hotel ternama. Tak hanya orang-orang penting yang di undang datang, para pejabat tinggi serta para pengusaha dari berbagai kalangan juga di undang untuk menyaksikan pernikahan Veranda dan Vino malam ini.
Vino sudah terlihat rapi dengan balutan jas warna putih, beberapa kali ia melihat dirinya lewat cermin. Memastikan penampilannya memukau malam ini.
Tak apa jika tidak dengan Shani, Veranda pun tak kalah cantiknya, serta sudah dipastikan ia yang akan jadi pewaris perusahaan Reynan nantinya. Bayangkan betapa beruntungnya Vino bisa jadi mantu di keluarga Tanumihardja.
Berbanding terbalik dengan Vino. Di sebuah kamar yang diisi oleh Shani dan Veranda kini tampak tidak kondusif. Veranda tak henti melayangkan protes keras kepada orang-orang yang bertugas untuk merias dirinya.
Itu blush on apa tampolan papa!? Merah bener!!
Make-upnya jelek ini!
Make-upnya bikin gue kaya nenek-nenek!
Apaan kaya dakocan!
Iiih apaan itu bedaknya murahan. Alergi kulit gue nanti!
Bulu mata gue kecabut astaga!
Alisnya miring itu!!
Entah berapa puluh protesan yang ia layangkan membuat beberapa orang mundur perlahan. Inginnya memaki Veranda, namun mereka tak mau mendadak miskin karena tidak ada job lagi nantinya.
"Gue make-up sendiri. Keluar kalian semua!!" Usir Veranda
"T-tapi Nona--
"KELUAR!!!"
Mau tidak mau mereka semua keluar, meninggalkan Shani dan Veranda berdua saja.
"Kenapa kalian keluar? Sudah selesai?" Tanya Reynan yang hendak memastikan semua persiapan selesai.
"Maaf Tuan. Nona Ve tidak mau kami yang merias, kami semua di minta keluar Tuan"
"Anak itu!!" Reynan bergegas membuka pintu lalu masuk.
"Apa-apaan kamu? Kenapa mengusir mereka?"
"Aku mau make-up sendiri" ucap Veranda santai sambil menatap satu persatu peralatan make-up miliknya.
"Mereka adalah orang terbaik di bidangnya, kenapa kamu malah menolak mereka?"
"Kak Ve pake Make-up atau enggak juga tetep cantik Pah" sela Shani yang kini menarik kursi lalu duduk di samping Veranda "Lagian kalo cuma make-up doang mah Shani jagonya. Gak usah sama mereka" lanjut Shani lalu mulai membantu Veranda.
"Kamu--
"Papa mending keluar, nanti malah makin lama. Atau papa mau Shani pakein make-up juga biar cantik?"
Reynan menggeram kesal lalu berbalik dan menutup pintu dengan kencang, meninggalkan Shani dan Veranda.
Shani tiba-tiba diam sejenak, menatap Veranda iba "Udah siap kan? Kita gak bisa mundur lagi"
Veranda mengangguk pasrah "Mau gimana lagi? Semua usaha udah kita lakuin, tapi gak ada hasil kan?"
"Kalo misal nanti terjadi hal buruk, apa Kakak akan menyesal?"
"Jika pada akhirnya harus mati, setidaknya kita sudah mencoba kan?"
Shani tak lagi berkata, ia malah menghambur ke pelukan Veranda. Memeluk erat Kakak satu-satunya itu.
______
Akhirnya malam pun tiba. Acara yang dipersiapkan secepat lari maling pun akan segera di mulai. Beberapa orang sudah terlihat wara wiri, memastikan sekali lagi supaya tidak ada kendala yang akan mengganggu jalannya acara.
Reynan sudah bersiap dengan setelan jas mahalnya, rasanya tak menyangka jika ia akan segera memiliki menantu. Rasanya baru kemarin ia mengantarkan Veranda ke sekolah dasar, kini ia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa walaupun sedikit kurang ajar. Fikirnya.
Setelah ini beban Reynan akan berkurang, Veranda akan di bawa oleh Vino dan tentu saja ia hanya akan fokus pada anak bungsunya, Shani. Ia akan kembali mengembalikan Shani pada jalur yang semestinya. Yang menurut pada perintahnya dan patuh dengan semua hal yang ia ucapkan, tanpa bantahan maupun perlawanan seperti sekarang.
"Sudah siap? Acara sebentar lagi di mulai"
Tanpa bantahan apapun Veranda dan Shani berjalan keluar melewati Reynan.
Reynan tersenyum penuh kemenangan, Sepertinya kedua putrinya sudah pasrah dengan keadaan. Ia merasa bangga karena sudah bisa mengendalikan Shani dan Veranda.
Ketiganya segera berjalan menuju ruang utama. Dimana semua tamu undangan, dan tentunya seluruh keluarga Vino sudah berkumpul semua.
Shani mengantar Veranda menuju altar, dimana Vino sudah berdiri penuh kesombongan.
"Hai Ve" sapa Vino pelan ketika Veranda sudah berada di hadapannya. Sementara Shani berada tak jauh dari Veranda.
"Kedua mempelai sudah siap?"
"Siap." Ucap Vino mantap.
Sedangkan Veranda hanya menatap kosong. Raganya memang disini tapi jiwanya nyantol entah dimana.
Akhirnya prosesi pun dimulai, ketika tiba saatnya Vino harus mengucap janji di depan penghulu tiba-tiba suasana berubah.
Nafas Vino tercekat di tenggorokan, kalimat yang sudah dia hapalkan jauh sebelum hari ini terjadi mendadak hilang tak jadi diucapkan.
"Keluar satu kata dari mulut, loe mati!" Ucap Veranda sambil menodongkan pistol tepat di kepala Vino.
Sontak semua tamu yang hadir panik tak terkecuali Reynan dan orang tua Vino.
"Veranda!! Udah ga waras kamu ya!!" Teriak Reynan yang mencoba mendekati altar.
"Maju selangkah, peluru ini tembus ke kepala Vino!" Ucap Veranda menatap dingin pada Papanya.
"Anak kurang ajar!" Teriak Reynan dengan emosi bercampur malu.
Tak ada seorang pun yang berani mendekat, takut Veranda tidak main-main dengan ucapannya.
"Ve." Vino menatap pucat pada Veranda. Dia tau Veranda sedang tidak bercanda. Terbukti dengan jarinya yang sudah di pelatuk. Siap dilepaskan.
Hati yang tadinya bahagia bisa mempersunting salah satu keturunan Reynan pupus sudah. Disaat dia akhirnya bisa menerima bahwa tidak dengan Shani pun tidak masalah, karena Veranda pun sama cantiknya.
Disaat para tamu beberapa mulai belarian keluar ruangan karena ketakutan, disitulah Shani maju. Berjalan santai menuju altar lalu berhenti tepat di sebelah Veranda. Saling tatap sejenak sebelum akhirnya sepasang mata Kakak beradik itu menatap tajam pada Papanya.
"Bapak Reynan yang terhormat. Kami berdua mohon maaf sedalam-dalamnya karena resmi pada hari ini kami menobatkan diri sebagai anak durhaka. Kami berdua menyadari kesalahan kami yang tidak pernah bisa memuaskan nafsu ambisi Bapak Reynan yang terhormat. Meskipun begitu, kami juga masih bertanya-tanya apa benar kami dianggap sebagai anak oleh Bapak? Sedangkan selama ini kami tidak pernah merasa diperlakukan seperti itu?!" Ucap Veranda lantang tanpa ada perasaan takut sedikitpun.
Tubuh Reynan bergetar hebat. Emosi bercampur malu tak terkira mendengar ucapan Veranda yang ditujukan padanya. Yang otomatis mengundang semua pasang mata menatapnya penuh tanya.
"Kami masih meyakini bahwa jawabannya tidak. Kami bukan anak anda. Anda hanya merawat dan membesarkan dua boneka hidup agar dikemudian hari bisa anda perlakukan sesuka hati. Sayangnya anda tidak menyadari bahwa dua boneka hidup ini memiliki perasaan. Dua boneka hidup ini butuh dirawat dengan kasih sayang bukan hanya ambisi anda sendiri." Veranda diam sejenak menarik napas.
"Hari ini kami berdua berdiri disini bukan lagi ingin meminta belas kasihan anda. Kami menyerah bukan pada anda. Tapi pada kehidupan ini. Jadi tolong pengertiannya bahwa dua anak durhaka ini tidak ingin lagi menambah beban hidup anda. Terimakasih dan maaf untuk semuanya." Pernyataan terakhir bukan keluar dari mulut Veranda, tapi dari Shani.
Karena bersamaan dengan itu, Pistol Veranda yang masih betah mengarah di kepala Vino kini berpindah ke kepalanya sendiri.
Tak ayal, kondisi yang sama pun terjadi pada Shani. Entah darimana dua Kakak beradik itu memiliki senjata berbahaya itu. Sepertinya hanya Reynan yang tahu.
Dua anak manusia itu berdiri di depan ruangan dengan pelatuk menempel di kepala. Tak peduli menjadi tontonan banyak orang karena saat ini fokus mereka berdua adalah pada sosok laki-laki yang berdiri tak jauh dari mereka dengan kedua tangan mengepal erat dan wajah merah padam.
Suara bisik-bisik julid bercampur dengan suara panik orang-orang mengiringi momen menegangkan ini.
Sesaat mata kedua kakak beradik itu terpejam, menarik napas panjang lalu...
DOR!!
--TBC--
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro