~Dua Puluh Tiga~
~Monggo~
_______________
Flashback.
"M-maksud Om? Om akan lanjutkan perjodohan ini?"
Reynan hanya mengangguk pelan.
"Mau Om. Vino Akan berusaha membuat Shani menerima Vino sepenuhnya. Vino janji." Ucap Vino mulai sumringah. Begitupun kedua orang tuanya.
Reynan hanya mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Tapi....."
"Tapi apa Om?"
"Yang mau Om jodohkan dengan kamu bukan Shani."
Terasa waktu berhenti dan semuanya berjalan slow motion. Veranda tersadar dari lamunannya ketika mendengar namanya disebut.
"Kamu akan Om jodohkan dengan VERANDA."
Tak hanya Veranda dan Shani yang terkejut. Vino juga demikian. Bisa-bisanya Reynan dengan mudah berkata seperti itu. Apa baginya perasaan sebercanda itu?
"Papa apa-apaan sih?!" Sela Veranda tak terima. Ternyata ini jawaban dari perasaan tak karuan yang ia rasa sejak kemarin.
"Papa tidak bertanya pendapat kamu. Jadi kamu diam"
Sementara Shani bingung harus berkata apa, semua kalimat di otaknya meluap entah kemana. Ia memang bahagia karena bisa lepas dari Vino, tapi tidak dengan mengorbankan kakak kandungnya sendiri.
Veranda mengepal kedua tangannya erat, tak mungkin ia meluapkan emosinya di tempat ini.
Sementara Vino dilema. Perasaannya di buat naik turun oleh Reynan. Ia kira Reynan akan memberi kesempatan untuk Vino kembali dekat dengan Shani, bukan malah Veranda.
"Tapi Om--
"Saya setuju pak Reynan!"
Semua mata langsung tertuju pada Alvin yang berkata lantang barusan.
"Saya fikir tawaran pak Reynan barusan tidak terlalu merugikan kami. Setidaknya biarkan Vino mencoba sekali lagi, siapa tau Veranda bisa menerima Vino. Tidak ada salahnya mencoba kembali bukan?" ucap Alvin diakhiri dengan senyum penuh kemenangan.
"Tapi Pah-
"Kamu dengar tadi keputusan papa dan Pak Reynan. Itu sudah jalan terbaik jadi papa harap kamu bisa berusaha lebih keras lagi Vino"
Tak ingin membuat suasana makin tidak kondusif, Reynan segera mengambil keputusan.
"Saya kira kedua belah pihak sudah setuju, semoga kedepannya hubungan kita bisa lebih baik Pak Alvin, dan apa yang kita rencanakan dari dulu bisa segera terlaksana" ucap Reynan lalu menoleh ke arah Veranda "papa minta kerjasamanya Veranda. Tolong jangan kecewakan papa"
Mengingat kejadian di rumah Vino tadi, serta sikap sang papa yang seenaknya, membuat Veranda semakin tidak bisa mengendalikan diri.
Sepertinya kini predikat manusia sabar sudah tak lagi melekat pada Veranda. Terlihat ia membanting pintu kamarnya cukup keras sebagai luapan emosinya.
Tak hanya pintu yang jadi korban, beberapa barang pun ikut jadi korban amukan Veranda. Bahkan foto dirinya bersama Shani yang biasa terpajang rapi, ikut hancur setelah ia banting ke lantai yang tak berdosa.
"Aargghhhhhh!!!"
Veranda menggeram kesal.
Tak peduli bagaimana kondisi kamarnya saat ini, Veranda terus melempar barang apapun yang ia temukan di kamarnya. Tak peduli seberapa banyak pecahan kaca, atau benda-benda yang hancur lainnya.
Terakhir sebagai penutup kekesalannya, ia melempar foto dirinya, Shani dan sang papa ke dinding kamar, hingga hancur berantakan.
Puas meluapkan emosi Veranda duduk di sisi kasur lalu menunduk. Ia berada di titik dimana ia merasa hubungannya dengan Naomi sedang di ujung tanduk. Semua ini gara-gara .... Asudahlah.
Veranda tidak membenci Shani, bukan pula sudah tidak menyayangi adik kandungnya itu. Semuanya masih sama, Shani masih jadi prioritas Veranda sekalipun tidak di nomor satu. Karena yang menjadi nomor satu tetap Naomi sang kekasih hati. Sekalipun kebahagiaan Shani akan selalu menjadi yang utama bagi Veranda, dan apapun akan ia lakukan demi Shani, tapi tidak untuk yang satu ini.
Kenapa harus hubungan Veranda dan Naomi yang jadi tumbal hubungan Shani dan Gracia?
Ini tidak adil.
Mungkin yang sepatutnya ia benci adalah sikap sang papa. Laki-laki yang hampir selama hidup Veranda selalu acuh, terkesan tak peduli dengan hidup Veranda, tapi mengapa sekarang seolah jadi penentu takdir Veranda selanjutnya.
Bukankah harusnya sebagai kepala keluarga Reynan menerapkan keadilan sosial bagi semua anaknya?
Disaat nyaris pecah kepala Veranda, suara ponsel mengalihkan perhatiannya. Segera ia melihat siapa yang menghubunginya. Veranda menarik nafas dalam. Tak berniat menjawab panggilan tersebut.
Bukan tak ingin mendengar suara Naomi, hanya saja Veranda butuh tenang saat ini. Ia memilih mengabaikan panggilan Naomi lalu berjalan menuju kamar mandi.
Sementara Shani terlihat bingung di depan pintu kamar Veranda. Niatnya untuk mengetuk pintu ia urungkan karena takut jika sikap Veranda masih seperti tadi.
Ingin sekali Shani meminta maaf untuk semua yang sudah terjadi. Ingin sekali ia memeluk Veranda untuk mengurangi sedikit sesal di hati. Namun sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat.
Shani memutar tubuhnya meninggalkan kamar Veranda lalu masuk ke kamarnya. Tak jauh berbeda, ia memilih masuk ke kamar mandi untuk membasuh diri. Semoga fikirannya bisa jernih kembali, dan semoga ada solusi lebih baik untuk masalah ini.
______
Pagi yang cerah untuk jiwa yang gundah. Shani terbangun dengan kepala yang rasanya mau pecah. Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana ia harus bersikap pada Veranda, dan bagaimana cara untuk bicara pada sang papa.
Seperti biasa Shani mengecek ponsel miliknya, membaca beberapa pesan masuk dari Gracia yang setidaknya bisa membuat Shani menyunggingkan senyuman singkat. Sebelum ia memulai hari yang mungkin akan lebih berat.
Setelah selesai bersiap Shani segera turun menuju ruang makan untuk sarapan. Alisnya naik, heran saat ia hanya melihat sang papa sudah duduk di kursinya.
"Pagi sayang" sapa Reynan
"Pagi pah. Kak Ve--
"Sudah pergi tadi pagi. Kamu mending sarapan dulu"
Shani dibuat kecewa dengan kalimat sang papa barusan. Tumben sekali kakaknya itu meninggalkan Shani, padahal biasanya tidak pernah seperti itu.
Shani menarik kursi meja makan, menatap ke arah sang papa hendak berkata sesuatu, namun ia urungkan. Bingung hendak memulai darimana. Ia memilih mengirim pesan pada Gracia terlebih dahulu, meminta kekasihnya itu menjemput Shani ke rumah.
"Papa bisa--
"Gak bisa!" Sela Reynan sambil menatap Shani "keputusan papa gak akan berubah"
"Tapi kenapa pa? Papa bisa nerima Gracia tapi kenapa gak bisa nerima kak Naomi?" Tanya Shani penuh tuntutan "Setau Shani kak Naomi baik--
"Baik saja tidak cukup Shani. Keputusan papa sudah mutlak, jadi kamu gak usah campur urusan papa dan kakak kamu. Dan jangan buat papa berubah fikiran tentang hubungan kamu dan Gracia juga"
Ultimatum Reynan membuat Shani bungkam.
"Papa duluan ke kantor. Kamu hati-hati kekampusnya"
Tak ada jawaban dari Shani, ia hanya menunduk lesu sambil memejamkan kedua matanya.
"Maafin Shani kak"
______
Gracia baru saja masuk ke kursi pengemudi. Heran melihat Shani yang hanya diam sejak tadi. "Kok murung sayang?" Tanya Gracia sambil mengelus pipi Shani "ada masalah?".
Bukannya menjawab, Shani malah menghambur ke pelukan Gracia lalu menangis.
"Loh kok nangis sayang" panik Gracia sambil mengusap punggung Shani. Merasa tidak ada jawaban dan Shani malah semakin menangis memilukan, akhirnya Gracia diam, membiarkan Shani menangis dulu sepuasnya.
"Udah nangisnya sayang?" Tanya Gracia saat Shani melonggarkan pelukannya. Gracia mengusap air mata Shani lalu menjatuhkan kecupan di kening kekasihnya itu. "Cerita sama aku, kenapa pagi-pagi bidadari aku nangis? Pantes aja pagi ini mendung tuh. Bilang sama aku siapa yang nyakitin kamu hmm?"
Shani menggeleng pelan "Aku nyakitin kak Ve"
"Maksud kamu ?"
Shani menceritakan apa yang terjadi di rumah Vino hingga sikap Veranda pagi ini. Hal tersebut membuat Gracia ikut bungkam.
"Kenapa jadi rumit begini?" Tanya Gracia dalam hati.
"A-aku gak tau mesti gimana sama Kak Ve. Aku gak mau kak Ve diemin aku terus"
"Hey sayang" ucap Gracia sambil menggenggam kedua tangan Shani "Kak Ve butuh waktu buat mencerna semua hal yang terjadi tiba-tiba ini. Bukan mau Kak Ve, bukan mau kamu dan bukan mau kita juga kaya gini, tapi aku yakin semua akan ada jalannya. Kita cari kak Ve, kita omongin baik-baik, kita cari solusi bareng-bareng ya"
"Tapi kalo Papa--
"Sstttt... percaya sama aku, kita bisa lewatin ini semua. Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng ya"
Gracia berusaha menenangkan Shani, menariknya ke dalam pelukan, mengecup puncak kepala Shani beberapa kali.
"Kita berangkat ya, kita cari kak Ve sama Naomi"
Shani hanya mengangguk sebagai jawaban.
______
Sudah dua hari Veranda tak terlihat dikampus, bahkan tak terlihat menginjakkan kaki di rumah. Hal itu membuat Shani semakin resah.
Bukan hanya ponselnya yang tidak aktif, tapi keberadaan Veranda pun tak Shani ketahui. Beberapa kali Shani dan Gracia datang ke Apartment Naomi, tapi hasilnya tetap sama. Kosong tak berpenghuni. Mencoba bertanya pada teman Naomi dan Veranda hasilnya sama saja, mereka tidak tau pasangan kekasih itu ada dimana.
Waktu kini terlihat pukul 11 malam dan Reynan masih duduk di sofa ruang tamu. Masih menunggu Veranda akan pulang atau tidak. Karena bagaimanapun Veranda juga anak kandungnya.
Reynan terlihat mengotak atik ponselnya lalu menempelkan di telinga.
"Seret anak itu pulang, bagaimanapun caranya"
Setelah berkata demikian, Reynan langsung mematikan panggilan.
Satu jam berlalu, sosok yang ia tunggu muncul dihadapannya, namun sepertinya tak berniat menyapa.
"Sekali lagi kamu bertemu perempuan itu, jangan salahkan papa kalo terjadi sesuatu yang buruk padanya!".
Kalimat ultimatum dari Reynan sukses membuat langkah Veranda terhenti, sontak ia berbalik lalu menatap tajam sang papa.
"Jangan pernah usik Naomi. Apapun yang akan papa lakukan, silahkan lakukan sama aku"
Reynan berdiri lalu berjalan ke arah Veranda, berhenti tepat di hadapan putri sulungnya itu.
"Sikap papa tergantung sikap kamu Ve. Papa sudah berusaha untuk bersabar dengan membiarkan kamu bersama perempuan itu dua hari ini, dan papa rasa itu cukup!" ucap Reynan dengan tatap mata tak lepas dari Veranda "papa juga sudah katakan kalo apapun yang kamu lakukan diluar sana, sekecil apapun itu, papa pasti tau. Jangankan di kota ini, kamu pergi kemanapun papa bisa dengan mudah menyeret kamu pulang"
"Papa gak adil!"
"Papa mau yang terbaik untuk kalian berdua, papa kira itu cukup adil bukan?"
"Tidak!" Tegas Veranda "aku bahkan tidak pernah merasakan keadilan itu sejak aku masih kecil hingga detik ini"
"Kamu hanya belum mengerti"
"Apa yang gak aku ngerti pah? Semua mau papa selalu aku turuti. Aku tidak pernah protes dengan apapun yang papa lakukan. Tapi tolong kali ini saja pah, jangan pernah mengatur pilihan aku, karena aku cuma mau Naomi"
"Sudah papa katakan, kalo kamu tidak mau dengan Vino, silahkan pilih siapapun, yang memang sebanding dengan kita, asal tidak Naomi"
"Ve cuma mau Naomi"
"Tidak ada dalam pilihan"
"Ve gak peduli"
Veranda berbalik lalu melangkah meninggalkan Reynan, baru saja beberapa langkah ia berjalan, Veranda berhenti dengan tubuh yang menegang saat Reynan berkata.
"Jangan salahkan papa kalo nanti kamu gak bisa menemukan Naomi lagi!!"
______
Shani akhirnya bisa bernafas lega saat melihat Veranda sudah duduk di meja makan bersama sang papa.
"Selamat pagi pah" sapa Shani pada Reynan
"Pagi sayang"
"Pagi Kak Ve" sapa Shani pada Veranda yang tidak mendapat respon apa-apa. Shani harus menelan mentah-mentah kecewanya, sikap Veranda padanya memang sah-sah saja, karena jika Shani jadi Veranda, mungkin ia akan bersikap yang sama.
Tak ada percakapan apa-apa, hanya hening yang tercipta. Denting sendok garpu juga tak lagi terdengar.
"Selamat pagi semua"
Sontak Shani, Reynan dan Veranda menoleh pada sosok Vino yang kini mendekat.
"Pagi Vin. Sudah sarapan?" Tanya Reynan
"Sudah Om" jawab Vino "Kalo boleh Vino minta izin jemput Veranda untuk berangkat ke kampus sama Vino"
Veranda menggeram dalam hati, bisa-bisanya setan satu ini memanfaatkan kondisi.
"Ve gak ma--
"Tentu saja Vin" sela Reynan "Sekalian Nanti antar pulang juga, atau kalo Veranda mau pergi kemana-mana, tolong di antar ya"
"Baik Om"
Reynan menatap pada Veranda "Papa harap kamu tidak lupa percakapan kita semalam"
Veranda dengan emosi yang semakin menjadi segera pergi meninggalkan Reynan dan Shani. Berhenti sejenak menatap tajam Vino lalu berkata..
"Puas loe!"
Sementara Vino hanya diam, tak berniat menanggapi kalimat Veranda. Vino tau jika ini tidak mudah bagi Veranda.
"Vino pamit Om"
Reynan mengangguk.
"Shani juga"
Shani segera mengejar Veranda yang sudah lebih dulu keluar rumah lalu berhenti di teras saat ia melihat sosok Gracia yang baru saja turun dari mobil dan berjalan ke arahnya.
"Pagi kak Ve"
Veranda mendengus, membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Kita nyariin kakak dari-
"Bukan urusan loe!" Sela Veranda lalu menatap Shani dan Vino yang baru saja mendekat.
"Kaak--
"Buruan Vin!" Sela Veranda membuat Shani lagi-lagi harus menelan kecewa. "Jangan sampe gue berubah fikiran" lanjut Veranda lalu pergi di susul Vino.
Sementara Gracia lansung mendekat lalu menarik Shani ke dalam pelukan.
"Maaf ya sayang" ucap Gracia sambil mengeratkan pelukan.
Shani menggeleng dalam pelukan
"Bukan salah kamu, aku yang egois disini. Semua gara-gara aku"
"Enggak sayang. Keadaan yang salah" ucap Gracia lalu melonggarkan pelukan, menatap Shani dalam lalu kembali berkata "apa perlu aku yang bicara sama papa?"
Shani menggeleng sambil mengusap kasar air matanya.
"Kenapa hmm?"
"Hubungan kita taruhannya"
_______
Tak kapok dengan penolakan Veranda di rumah, Shani berusaha untuk mencegat Veranda saat ia turun dari mobil di parkiran kampus.
"Kak tolong dengerin dulu Shani"
Veranda tak menghiraukan kalimat adiknya itu, dengan cepat ia berjalan melewati Shani.
"Jangan egois dong kak, setidaknya dengerin Shani dulu"
Kalimat dari Gracia barusan membuat Veranda menghentikan langkahnya, tubuhnya berbalik sambil menatap tajam Gracia.
"Gue egois?" Tanya Veranda sambil menunjuk dirinya sendiri "kalo gue egois karena ingin mempertahankan Naomi, lalu Shani gimana? Sama saja kan?" Lanjut Veranda.
"Setidaknya kita bicarain baik-baik, cari jalan keluar bukannya menghindar kaya gini dong"
"Gee---
"Kamu diem dulu" ucap Gracia pada Shani.
Veranda melangkah mengikis jarak.
"Jalan keluar apa yang loe maksud hah?! Loe gak ngerti apa yang terjadi, apa yang gue rasain sekarang, dan apa yang akan terjadi sama hubungan gue dan Naomi" ucap Veranda.
"Gue emang gak tau apa-apa kak, tapi jangan hukum Shani dengan diemin dia kaya gini dong. Kita juga gak mau hal ini terjadi"
"Gue gak menghukum siapapun. Gue cuma lagi gak pengen banyak ngomong, yang ujung-ujungnya malah emosi terus nyakitin adek gue sendiri!"
"Tapi loe nyakitin dia kak!!"
Veranda menghembuskan nafas kasarnya, sejenak ia menunduk lalu kembali menatap Gracia.
"Terus loe maunya gimana?" Tanya Veranda lemah "loe mau gue seneng-seneng, bahagia karena Shani sama loe udah dapet restu papa?. Loe mau gue biasa aja di saat hubungan gue jadi taruhannya? Dan loe mau gue gak nyakitin Shani sementara hati gue aja terluka. Gitu Shania Gracia!!?" Lanjut Veranda dengan nada lebih tinggi.
"Kak bukan gitu" sela Shani "Shani cuma--
"Nikmatin aja kebahagiaan kalian, gak usah urusin gue dulu" ucap Veranda "Dan Loe Vin" tunjuk Veranda pada Vino "Gak usah memperkeruh keadaan dengan bersikap seolah-olah gue mau nerima perjodohan ini. Sampe kapanpun, gue gak sudi nerima loe!"
Veranda berbalik, ingin segera pergi dari hadapan manusia-manusia dibelakangnya ini.
"Tapi kita bisa nyoba Ve"
Veranda tak peduli apa yang di katakan Vino barusan, ia tetap berjalan menjauh setelah berkata...
"Sampai mati, gue cuma mau Naomi!"
= TBC =
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro