Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

~Dua puluh satu~






=Selamat Membaca=
______________________




-Aku pergi bersama Cinta yang kau beri-







||












"Mir tunggu Mir!"

Ara masih mengejar, sesekali nyaris terjatuh karena tak memperhatikan apa yang di lewati.

"Mira!" Sedikit berteriak Ara akhirnya bisa meraih tangan Mira "Tunggu dulu"

"Apa lagi sih Ra?" Kesal Mira. Berusaha melepas tangannya namun tak bisa
"Gue mau balik, lepasin"

Menyadari bahwa sekelilingnya melihat perdebatan mereka, Ara segera menarik tangan Mira ke arah parkiran.
"Ikut gue!"

Seolah tak ingin dibantah Ara tak peduli dengan gerutuan Mira yang sesekali juga masih berontak ingin melepas tangannya.

Ara membuka pintu mobil lalu menyuruh Mira masuk. Ara pun sama, ia langsung masuk ke pintu sebelahnya.

Ara menjatuhkan kening pada kemudi, sementara Mira melipat tangannya di dada sambil menatap lurus ke depannya.

"Kalo loe ngajak gue kesini cuma buat diem, mending gue balik"

"Diem! " Lagi, kalimat Ara seolah tak ingin di bantah.

Ara menegakkan tubunya sambil menoleh ke arah Mira. Tatapannya melembut, ditariknya perlahan tangan Mira lalu digenggam erat.

"Mir... Tentang gue yang cinta sama loe itu benar" Ucap Ara tanpa keraguan "dan tentang gue yang mencintai Chika, itu juga tidak salah" lanjutnya membuat Mira menatap tak suka.

"Gue cinta sama Chika sudah sejak lama. Tapi dia gak pernah bisa balas perasaan gue. Gue gak pernah maksa itu, gak papa. Karena gue tau bahwa perasaan itu gak bisa di paksakan" Ara menjeda kalimatnya sebelum kembali berkata "Tiap hari gue mati-matian bunuh perasaan gue buat Chika, menyakitkan? Tentu saja. Tapi gue bisa apa Mir?. Dan semenjak gue kenal deket sama Loe, gue mulai sadar bahwa gue punya perasaan berbeda sama loe"

Ara tidak bohong saat berkata demikian. Mira berbeda dari orang-orang yang ia kenal sebelumnya.

"Gue gak pernah bermaksud buat jadiin loe pelarian. Gue cuma minta sama loe, bantu gue buat jadiin loe satu-satunya di hidup gue. Bantu gue buat ngelupain semua rasa yang pernah gue kasih sama orang lain, bantu gue menyempurnakan cinta gue buat loe, dan bantu gue agar gue bisa lepas dari bayang-bayang Chika"

"Apa loe yakin loe bisa? " Setelah lama diam, akhirnya Mira bersuara.

"Gue yakin. Selama sama loe, gak ada kata gak bisa"

Mira tersenyum lalu menarik tangan yang Ara genggam, ia menghambur ke pelukan Ara lalu berbisik..

"Gue janji bakal terus sama loe"

____




Penuh percaya diri si gadis bergigi gingsul turun dari motor kesayangannya. Merapikan kembali penampilannya sambil menatap kaca spion di hadapannya.

Namun tak bisa ia pungkiri, untuk pertama kali selama hidupnya ia merasa gugup setengah mati. Pertama kali pula dalam hidupnya ia akan bertemu dengan calon mertuanya.

"Loe bisa Gracia!" Ucapnya menyemangati diri sendiri "Doain Gege ya ma pa" lanjutnya lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya.

Dengan langkah mantap Shania Gracia berjalan menuju pintu utama rumah Keluarga Tanumihardja, disambut oleh asisten rumah tangga yang seolah sengaja menunggunya.

"Silahkan masuk"

Gracia mengangguk sambil tersenyum "Terimakasih"

Semakin gugup, bahkan ia merasa kakinya gemetar. Diam sejenak untuk kembali menarik nafas dan menepuk pelan kedua pipi beberapa kali guna mengurangi rasa gugupnya.

Kembali melanjutkan langkah ke ruang tamu. Kedua mata Gracia langsung di suguhkan oleh sosok laki-laki paruh baya yang kini berdiri dari duduknya.

Pantas saja Shani Indira cantiknya tiada tara. Terlihat jelas bibit unggul dari seorang Reynan Tanumihardja yang masih terlihat tampan dan karismatik di usianya yang tak lagi muda.

"Selamat malam om" sapa Gracia lalu mengikis jarak. Mengulurkan tangan yang langsung di sambut oleh sang tuan rumah.

"Selamat malam" jawab Reynan. Sedikit kaget saat melihat Gracia mencium tangannya. Kesan pertama yang cukup baik. "silahkan duduk" lanjutnya membuat Gracia mengangguk.

Keduanya duduk berhadapan. Hanya terhalang meja kaca yang sudah tersedia makanan ringan serta minuman yang sengaja di siapkan.

Tidak terlihat keberadaan orang lain selain Reynan dan Gracia. Bahkan Gracia tidak tau bagaimana kabar terakhir dari Shani, karena kekasihnya itu tak bisa dihubungi.

Pesan terakhir yang Gracia terima sekitar dua jam yang lalu.

'Aku tunggu dirumah jam 7. Hati-hati'

Seperti itu isi pesannya. Bahkan balasan terakhir Gracia tidak sampai centang dua. Masih centang satu hingga detik ini.

"Siapa nama kamu?"

Reynan membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan.

"Shania Gracia"

Singkat. Membuat Reynan mengangguk tipis.

"Tidak usah terlalu tegang. Santai saja. Kita hanya akan berbincang bukan hendak berperang"

Gracia tersenyum sambil mengangguk. Terlihat beberapa kali menarik nafas berusaha untuk se-rileks mungkin.

"Sudah tau siapa saya?" Tanya Reynan kembali membuat Gracia mengangguk pasti. Tak bohong, karena sebelumnya Gracia sudah mencari banyak informasi mengenai siapa Reynan Tanumihardja ini.

"Baguslah" ucap Reynan "Jadi-- kamu siapanya Shani?"

Tanpa ragu Gracia menjawab "Saya pacarnya Shani Om"

Tidak terlihat reaksi berbeda dari Reynan. Laki-laki paruh baya itu hanya membenarkan posisi duduk nya lalu melipat kedua tangannya di dada.

"Saya suka gadis berani seperti kamu"

Seolah angin segar yang berhembus, kalimat barusan membuat Gracia sedikit lega. Gracia fikir Reynan akan langsung marah, atau memakinya. Nyatanya masih biasa saja.

"Terimakasih Om"

"Saya mau menanyakan sesuatu lagi sama kamu, Boleh?"

"Tentu Om, silahkan"

Reynan berdehem sebentar sebelum berkata..

"Kalo saya punya satu Koran, dan kamu ingin meminjam atau memintanya, apa kamu akan meminta izin terlebih dahulu?"

Untuk sesaat si gadis yang biasanya rusuh ini diam, otaknya sibuk mencerna pertanyaan Reynan. Berusaha mencari jawaban yang tidak akan menyusahkan atau malah jadi bumerang untuk dirinya nanti.

"Tentu Om. Saya akan meminta izin jika saya hendak meminjam atau meminta sesuatu yang bukan milik saya"

"Lalu kenapa kamu tidak melakukannya pada Shani juga?"

Sudah Gracia duga jika Reynan akan berkata demikian. Reynan akan berusaha memojokkan dirinya, atau berusaha mengintimidasi Gracia.

Masih mempertahankan posisi tenang, Gracia kembali berkata.

"Maksud Om ?"

"Bukan kah kamu tau jika Shani sudah ada yang memiliki? Dan kamu juga tau siapa pemilik Shani. Vino Mahendra.  Lalu kenapa kamu mengambil sesuatu yang bukan milikmu?"

Gracia tersenyum tenang "Shani dan Koran itu dua hal yang berbeda Om" ucap Gracia.

"Koran itu benda mati yang bisa Om atur sesuka hati. Mau om pinjam lalu di kembalikan, mau Om beli bahkan dengan pabrik nya sekalipun, atau maaf-- mungkin bisa om curi namun pasti ada konsekuensi. Sementara Shani adalah manusia yang gak bisa om atur maunya apa dan bagaimana, Shani punya hak untuk hidupnya. Dan jangan lupa jika Shani punya perasaan yang kadang Shani sendiri sulit mengendalikan. Mau Shani jatuh cinta sama siapa, mau benci sama siapa, atau Shani merasakan apa, ya itu urusan Hatinya"

Giliran Reynan yang diam untuk beberapa saat. Tangannya terulur meraih cangkir kopi lalu meneguk isinya dua kali.

"Tapi bukan kah konsep nya sama. Kamu tidak boleh mengambil sesuatu milik orang lain. Dan kamu juga tadi bilang masalah konsekuensi kan?"

Gracia mengangguk. Duduknya ia tegakkan lalu kembali menatap Reyna dengan lekat.

"Jika Om fikir sikap saya salah, saya minta maaf. Tapi kembali pada hal tadi. Shani berhak memlih siapa yang ia cintai dan ia berhak memilih siapa yang akan mendampinginya. Dan selama Shani belum resmi di peristri, bukan kah sah-sah saja jika saya mencintai Shani dan berjuang untuk mendapatkan Shani sepenuhnya?"

Memang benar. Hal tersebut mendapat anggukan dari Reynan. Senyum tipis juga laki-laki itu tunjukkan sebagai respon dari kalimat Gracia.

"Baik. Saya terima alasan dan penjelasan kamu. Kita lupakan sejenak kasus Vino. Jika saya sebagai orang tua Shani tidak merestui, apa kamu akan tetap memaksakan kehendak kamu?"

"Restu om tentu saja sangat penting. Dan saya sangat menghormati itu. Namun jika om tidak merestui, saya minta maaf karena saya tidak akan mundur selama Shani mencintai saya, dan Shani memilih saya. Tapi jika Shani sendiri yang meminta saya untuk mundur, detik ini juga saya siap"


"Gadis pintar!"

___






Ara bisa saja berkata bahwa ia baik-baik saja, padahal jauh dilubuk hatinya ia merasa sangat tersiksa. Apalagi penyebabnya jika bukan Chika?.

Hingga detik ini Ara tak tau bagaimana kabar gadis itu.

"Aarghhhh sialan!!" Umpatnya pada diri sendiri "Loe tau kan kalo gue gak bisa kalo gak tau kabar loe Chika" lanjutnya.

Ara menggeram kesal. Semenjak kejadian waktu itu tak satupun pesan balasan atau panggilan masuk dari Chika ke ponsel Ara. Semua pesan Ara hanya centang satu, bahkan barusan Ara mencoba menghubungi nomor Chika hasilnya hanya kecewa. Nomor gadis itu tidak aktif.

Ara kembali mengikuti kata hati, ia beranjak keluar dari kamarnya.

Dengan langkah tergesa ia berjalan menuju rumah Chika, tak peduli dengan gerimis yang melanda.

"Malam pak" sapa Ara pada penjaga rumah Chika.

"Iya non Ara"

"Chika udah bolehin saya masuk?" Tanya Ara penuh harap.

"Loh, kan Non Chika sama keluarganya udah pindah semalam. Non gak di kasih tau?"

Ara diam sejenak. Tak siap dengan sebuah Fakta yang baru saja ia dengar. Kepalanya menggeleng pelan, sekuat tenaga ia berusaha menahan sesak.

"Ah iya bapak hampir lupa. Non Chika titip ini buat Non Ara"

Ara menoleh pelan, dengan gemetar Ara mengambil sebuah kotak yang disodorkan. Perasaannya semakin tak karuan, semakin takut dengan kenyataan.

"M-makasih pak. Aku pulang dulu"

Dengan langkah gontai Ara berbalik, tatapanya tak lepas dari kotak warna Navy yang ia pegang hati-hati. Jika saja dihadapannya ada lubang atau batu, mungkin Ara akan jatuh lalu tersandung karena fokusnya hanya pada kotak itu.

Rasa penasaran Ara tak lagi bisa menunggu, ia berhenti di tengah jalan. Mengambil posisi duduk di atas rerumputan basah, tak peduli jika rintik hujan akan membuat tubunya ikut basah.

Kedua matanya kini menatap sendu, tangan yang masih gemetar ia paksa bergerak lalu perlahan membuka tutup kotak.

Senyum miris tercipta saat matanya menatap sebuah boneka kecil berwarna merah muda, yang ia berikan pada hari ulang tahun Chika tahun lalu.

Tangannya kini beralih mengambil sebuah kertas yang terlipat. Penuh rasa kawatir dan takut, perlahan Ara membuka kertas tersebut, menarik nafas dalam sebelum membaca isinya....


Araa... Aku tau pasti, ketika kamu membaca tulisan ini, aku tak lagi disini. Aku tidak di tempat ini, tidak dimana-mana, aku juga mungkin sudah tidak dihatimu.
Karena aku tau, dihatimu kini ada orang baru. Tak apa, aku mengerti.

Terimakasih untuk 10 tahun yang terlewati. Terimakasih untuk semua kenangan manis yang kita ukir bersama, setiap harinya.
Untuk canda tawa, tangis bahagia, air mata rindu, bahkan untuk Cinta yang kamu berikan, yang bahkan baru aku sadari belakangan.

Aku pergi bukan karena aku membencimu, aku hanya tidak ingin selalu menjadi bayanganmu, aku tidak ingin selalu menyusahkanmu, dan aku tidak ingin jadi seseorang yang menghambat bahagiamu..

Kamu berhak memilih yang terbaik untuk hidupmu. Siapapun itu. Jika memang Mira orangnya, aku harap kamu bahagia dengan pilihanmu.

Maaf jika selama ini aku egois Ra. Maaf kalo aku terlalu acuh, dan maaf jika aku terlambat Raa. Aku terlambat menyadari, bahwa ternyata aku sangat mencintaimu.

Aku hanya ingin kamu tau itu.

Biar saja rasa ini aku bawa pergi. Biar aku tau bagaimana rasanya jadi kamu. Biar aku mengerti bagaimana sakitnya cinta tanpa balasan, dan biar aku tau bahwa membunuh cintaku untukmu, sama saja seperti membunuh diri sendiri, seperti yang selalu kamu lakukan setiap hari.

Bahagia selalu ya Ra. Janji sama aku kamu akan baik-baik saja.

Aku tidak akan berharap kita akan bertemu lagi, aku hanya akan terus berharap dan meminta agar kamu selalu bahagia. Dan tolong jangan pernah mencariku. Anggap aku tak pernah ada di hidupmu.

Selamat tinggal Ara. Aku mencintaimu.










= TBC =

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro