~Dua puluh lima~
-Sehancur apapun diriku nantinya,
Berjanjilah untuk tetap baik-baik saja-
=Monggo=
||
"Kak Ve tunggu kak..."
Shani meraih paksa tangan Veranda, membuat Veranda berbalik lalu menatap datar.
"Shani gak tau lagi harus minta maaf dengan cara apa sama kakak" ucap Shani menatap sendu, namun tak sedikitpun membuat Veranda luluh "Kasih tau Shani, apa yang harus Shani lakuin biar kakak bisa maafin Shani dan kita bisa kaya dulu lagi" lanjutnya penuh harap.
"Aku udah maafin"
"Tapi kakak berubah. Kakak bukan kakak aku yang aku kenal biasanya"
Veranda menghembuskan nafas kasarnya
"Semuanya gak akan kembali sama selama papa masih belum bisa nerima hubungan aku sama Naomi. Silahkan anggap aku egois, tapi kenyataannya seperti itu Shan"
"Tapi kita bisa nyari jalan sama-sama kak. Aku akan bantu kakak bilang sama papa kalo--"
Veranda menggeleng "Jalan apa lagi Shani?" Sela Veranda "Aku udah berusaha protes sama papa berkali-kali, tapi gak ada hasilnya. Hidup aku gak semudah hidup kamu Shan, papa gak akan perlakuin kita sama"
"Tapi aku-
"Apalagi Shani?. Mending kamu urus hubungan kamu sama Gracia aja, gak usah ngurusin aku"
"Gak bisa kak! Aku gak tenang kalo kakak belum baik-baik aja"
"Kamu berharap aku baik-baik saja di saat hubungan aku jadi korbannya!?" Ucap Veranda dengan nada meninggi di akhir kalimat "Coba kamu jad aku Shani! Coba kamu bayangin gimana perasaan aku saat aku tau hubungan aku udah di ujung tanduk! Kamu gak akan ngerti Shani"
"Aku ngerti kak..
"Ngerti apa? Kamu gak ngerti, dan kamu gak bisa rasain itu karena hubungan kamu sama pacar kebanggaan kamu itu akan selalu baik-baik aja. Sementara aku? Hubungan aku dipaksa berakhir, hidupku dihancurkan, dan lebih sakitnya lagi, orang-orang yang paling aku sayang yang udah hancurin itu semua!"
"Lalu aku harus apa kak?" Ucap Shani lalu menunduk sambil meneteskan air mata.
"Kalau pun aku meminta, kamu gak akan bisa penuhin Shani"
"Aku janji, apapun akan aku lakukam asal kakak bisa maafin Shani" air mata yang Shani tahan kini semakin deras mengalir, apalagi saat ia mendengar jawaban dari Veranda.
"Putusin Gracia! Kalo aku gak bisa sama Naomi, maka kamu juga gak bisa sama Gracia. Cukup adil bukan?" Lanjut Veranda lalu pergi dari hadapan Shani. Meninggalkan Shani yang mematung sendiri sambil mencerna kalimat Veranda barusan.
_____
Sejak kemarin Gracia tidak mendapat kabar dari Shani. Kekasihnya itu juga tidak terlihat masuk kuliah. Perasaan kawatir kini menyelimuti gadis bergigi gingsul itu.
Dengan cepat ia mengambil kunci motornya, meraih jaket lalu segera berlari keluar.
Dengan kecepatan tinggi Gracia menjalankan motornya, ingin segera sampai di kediaman kekasihnya itu.
Motor ia parkirkan di halaman lalu segera berjalan menuju pintu.
"Sore kak Ve" sapa Gracia saat Veranda membuka pintu. Tak ada jawaban dari calon kakak iparnya itu, ia berbalik membuat Gracia segera menyusul masuk.
"Aku mau ketemu Shani kak" Gracia masih berusaha bertanya, sekalipun ia tau bahwa ia di abaikan.
Belum sempat Veranda menjawab, Shani sudah turun dari tangga. Cukup terkejut melihat kekasihnya yang datang tiba-tiba.
"Sayang" ucap Gracia sambil melempar senyumnya. Lega rasanya melihat kekasihnya itu baik-baik saja. "Kamu baik-baik saja kan?"
Shani tersenyum tipis, menutup mata sejenak saat Gracia menariknya kedalam pelukan. Bukan tak ingin membalas, hanya saja ia dilema. Kalimat Veranda sejak kapan hari selalu menghantui dirinya.
"Aku baik" ucap Shani saat Gracia melonggarkan pelukannya "Gak usah kawatirin aku"
"Gak mungkin aku gak kawatir kalo pacar aku gak ada kabar. Minimal kamu kirim pesan, aku takut kamu kenapa-kenapa dan aku gak tau"
Shani sebenarnya sangat bahagia mendengar kalimat Gracia barusan, apalagi melihat Gracia yang sangat kawatir, membuat Shani makin sulit untuk menentukan pilihannya. Namun beberapa hari ini ia sudah berfikir banyak hal.
Memang harus ada yang di korbankan bukan?
"Mulai sekarang kamu gak perlu kawatir lagi Gee" ucap Shani membuat Gracia menatap penuh tanya. Sementara Veranda yang tadinya akan pergi, segera mengurungkan niatnya saat mendengar kalimat Shani. Ia menunggu apa yang akan adiknya itu katakan pada Gracia.
"Maksud kamu apa Shan?"
"Kamu gak perlu kawatirin aku, nanya kabar aku, atau temuin aku lagi"
"Kenapa?" Masih tak mengerti arah pembicaraan Shani, Gracia masih tetap bertanya walau perasaannya sudah kalang kabut setengah mati.
"Kita putus ya"
Gracia membatu. Kalimat Shani barusan sukses membuat fikirannya kosong. Ia mengerjap lalu menatap penuh tanya.
"S-salah aku apa Shan?" Dengan bibir bergetar Gracia bertanya. Ia ingin menangis namun sekuat tenaga ia tahan "K-kita baik-baik aja sampai detik ini kan?" Lanjutnya penuh tuntutan.
"Aku cuma pengen putus aja. Tolong hargai keputusan aku" sekuat tenaga Shani menahan air matanya juga. Hatinya sangat nyeri karena harus mengatakan hal ini.
Gracia mengepal kedua tangannya erat. Rasanya ia tak bisa lagi merasakan apapun selain nyeri di dadanya. Ia yakin ada yang terjadi antara Shani dan Veranda selama Shani tidak ada kabar kemarin.
Gracia menoleh sekilas kearah Veranda yang kini membuang pandangan ke sembarang arah. Semakin membuat Gracia yakin bahwa ini semua ada kaitannya dengan masalah Veranda.
"Aku gak tau salah aku apa sama kamu Shan" ucap Gracia. Setetes air mata terlihat di sudut mata yang langsung ia usap "Kemarin aku mati-matian berusaha Ikhlas jika memang hubungan kita harus di korbankan juga, tapi kamu yakinin aku buat bertahan. Kamu bilang aku jangan jadi pecundang yang lari gitu aja di saat ada masalah"
Ditengah sesak yang melanda Gracia berusaha mengeluarkan semuanya.
"Lalu di saat aku yakin bahwa aku akan maju dan berjuang bersama kamu, kamu malah segampang itu bilang putus"
"Kamu anggap perasaan aku sebecanda itu Shani?" Tanya Gracia namun tak memberikan Shani kesempatan untuk menjawab "Kamu fikir hati dan perasaan aku bisa kamu mainin sesuka kamu?"
Shani tak menjawab apa-apa. Tak apa jika kini ia dianggap si ratu tega. Tak apa juga jika Gracia membencinya. Yang penting hubungan Shani dan Veranda bisa seperti semula. Sekalipun yang dikorbankan adalah Gracianya, cintanya, bahkan semua hidupnya. Agar Veranda juga tau, bahwa Shani bisa merasakan hal yang sama. Hancurnya Veranda adalah hancurnya Shani juga.
"Sekarang dengan mudah kamu bilang aku harus menghargai keputusan kamu? Tapi apa kamu menghargai aku Shani? Apa kamu menghargai perasaan aku Indira!?"
"JAWAB SHANI!!!"
Shani mengerjap, tak menyangka jika Gracia akan berteriak di hadapannya.
"Aku minta maaf Gee. Keputusan aku sudah bulat"
Dalam sesak Gracia berusaha menarik nafas sebanyak-banyaknya. Menunduk sejenak, merasakan bagaimana hatinya semakin nyeri setiap ia mengeluarkan kalimat.
"Baik" ucap Gracia lemah "Aku sangat menghargai keputusan kamu. Semoga suatu saat nanti kamu mengerti, bahwa cinta tak sebencanda itu Shani"
Gracia berbalik, lalu menatap Veranda. Ingin sekali ia meluapkan emosinya, namun percuma, Shani sudah menghancurkan semuanya. Tak perlu di perpanjang, lebih baik ia pulang sebagai pecundang.
"Permisi Veranda."
_____
Shani hanya berdiri tegang menatap Gracia hingga menghilang dari pandangannya. Tidak bisa lagi menggambarkan emosinya sendiri saat ini. Rasa sakitnya bahkan tidak lagi terasa berganti dengan rasa amarah teramat sangat pada satu orang. Perlahan dia sadar, kebahagiaan yang dijanjikan orang itu hanya semu. Keuntungan pribadi berkedok ungkapan rasa sayang.
Shani tidak akan diam saja kali ini. Sekalipun dia harus jadi manusia paling jahat sekalipun.
Shani berbalik untuk kemudian terhenyak kaget melihat Veranda masih berdiri tak jauh di belakangnya. Dengan penuh keyakinan, dia bergerak mendekat lalu berhenti beberapa langkah di dekat Kakaknya.
"Apa Shani dimaafin?" Pertanyaan Shani membuat Veranda kaget karena tidak menyadari jika adiknya sudah berdiri di dekatnya.
Veranda diam saja masih tetap membuang muka.
"Jika itu masih belum cukup buat Kakak maafin Shani, Shani tau harus ngapain. Kakak tunggu aja."
Diamnya Veranda, membuat Shani lagi-lagi harus menelan ludahnya sendiri. Bahkan tanpa menjawab apapun, Veranda kini pergi meninggalkannya.
Dengan perasaan campur aduk, Shani hanya bisa menghela napas dalam lalu masuk ke kamarnya.
Malam tiba, ketika Shani dan Veranda dipaksa duduk makan bertiga di meja makan dengan Papanya. Tidak ada obrolan apapun hingga mereka selesai makan. Seperti orang asing, dimana Shani dan Veranda sibuk dengan pikiran masing-masing sedangkan Reynan sibuk dengan ponselnya sejak tadi.
Tiba-tiba terdengar kursi terdorong ke belakang bersamaan dengan Reynan yang selesai berurusan dengan ponselnya.
"Sudah diputuskan, melihat progress kalian yang terlalu lama. Maka pernikahan kamu dengan Vino dilakukan bulan depan."
Veranda yang memang sudah akan berdiri sejak tadi, dengan cepat menegakkan tubuhnya. Dia tau pernyataan itu untuk siapa meski Reynan tidak memandangnya sedikitpun.
Sambil mengepalkan erat tangannya dan emosi yang sudah diubun-ubun, Veranda masih menahan untuk tidak meledak saat itu juga.
"Atur aja! Semakin Papa memaksa, Ve akan buktikan kalau itu ga akan pernah terjadi!"
Mendengar itu, Reynan hanya tersenyum remeh.
"Kamu mau nglawan Papa?! Bisa apa kamu tanpa Papa?! Ga lupa kan, hidup kamu sampai detik ini karena siapa?" Ucap Reynan yang kini menatap tajam anaknya dengan angkuhnya.
Tampak napas Veranda naik turun. Mukanya merah padam. Buku tangannya mulai membiru karena terlalu keras meredam emosinya sendiri.
Shani yang diam memperhatikan sejak tadi, makin pusing. Sakit kepala yang muncul sejak tadi sore makin terasa berdenyut saja. Diperhatikan dengan seksama wajah Papanya yang kini sedang intens menatap Kakaknya. Lalu beralih menatap Veranda.
"Kalau Kak Ve gak mau, biar Shani yang lakuin." Ucap Shani dalam satu tarikan napas dengan pandangan tertuju pada piring kosong di depannya.
Seketika kalimat Shani membuat Veranda dan Reynan menatap Shani kaget.
"Coba ulang?" Perintah Reynan kali ini dengan suara datar.
"Kalau Kak Ve gak mau, biar Shani yang lakuin." Ucap Shani tanpa ragu.
Reynan menggeser piring di depannya dengan kasar. Dua tangannya dia lipat lalu diletakkan di atas meja. Posisi badannya dia majukan mengarah pada Shani.
"Mau jadi pahlawan kesiangan?" Tanya Reynan masih bersuara pelan sambil menaikkan dua alisnya. "Kalau bicara dengan orang tua, lihat wajahnya." Ucap Reynan lagi karena tau Shani tak sedikitpun menatapnya.
Bahkan di kondisi saat ini pun, terlihat perbedaannya ketika Reynan bicara dengan Shani ataupun Veranda. Veranda menyadari itu. Membuat dia semakin muak.
Shani menerima tantangan itu. Wajahnya dia angkat lalu balas menatap Papanya dengan yakin. "Lebih baik begitu daripada diam melihat ketidakadilan."
Reynan melotot kaget. Belum selesai dia mengurusi Veranda yang selalu membangkang. Kali ini dia mencium gelagat tidak baik dari anak keduanya.
"Kamu ajarin apa Shani?! Belum puas jadi anak durhaka sampai harus mempengaruhi orang lain untuk ikuti cara kamu?!" Sepersekian detik Veranda kaget mendengar tuduhan yang ditujukan padanya. Namun tak berselang lama mulutnya mengeluarkan tawa pelan.
"Jadi begini orang yang sudah terlalu banyak makan kesombongannya sendiri sampai otaknya jadi kosong?! Shani bukan bayi! Setidaknya kalau sudah tidak ada yang mendukung, instropeksi diri bukan malah melimpahkan kesalahan pada orang lain!" Ucap Veranda tegas. Tidak peduli dia dicap kurang ajar. Sudah kepalang basah. Percuma menunjukkan hormat bagaimanapun, harga dirinya tetap akan diinjak-injak.
Prank!!!
Reynan berdiri sambil melempar gelas di depannya.
"Papa!" Shani reflek ikut berdiri. Kaget melihat gelas itu melayang hampir mengenai Veranda.
"Kenapa?!! Kalian berdua mau coba-coba nglawan Papa?! Jangan harap kalian bakal menang. Denger Veranda! Sekalipun Shani mau mengalah, Aku tetap pada keputusanku. Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah punya kesempatan dengan wanita jalang itu! Pilihanmu cuma dua tinggalkan dia lalu nikah dengan Vino atau wanita itu Papa bikin menyesal pernah dilahirkan di dunia ini."
"Dan kamu Shani! Pilih Gracia atau tidak sama sekali. Vino dan Veranda sudah bukan urusanmu! Jangan sampai Papa berubah pikiran dan membuat kamu tidak pernah lagi punya kesempatan bertemu Gracia!"
Setelah mengucapkan itu, Reynan kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
"See? Bahkan udah kayak ginipun kamu tetap masih bisa bahagia Shani. Anak Papa itu cuma kamu. Jadi berhenti membuat semuanya makin rumit dengan tiba-tiba datang jadi pahlawan." Ucap Veranda dengan pandangan kosong.
"Kak, Shani cuma------"
Veranda menggeleng lemah sambil menatap Shani tak berdaya. Kesabarannya sudah diambang batas.
"Jangan campuri lagi urusan aku. Anggap aja kamu tidak pernah punya Kakak di dunia ini."
Shani terduduk kembali di kursinya ketika kini dia ditinggalkan sendirian di meja makan. Kepalanya makin berdenyut hebat. Hatinya berteriak menangis, tapi syaraf otaknya tak sedikitpun membiarkan air mata mengalir keluar.
____
Siang ini Shani keluar rumah dengan tidak semangat. Bahkan tadi sebelum pergi, dia sempat berdiri cukup lama di depan pintu kamar Veranda. Sejak makan malam itu, Veranda tidak terlihat keluar dari kamar sedikitpun. Sarapan paginya pun dia lewatkan.
"Selamat siang Shani." Sapa Vino ketika Shani membuka pintu depan rumahnya.
Tak berniat menjawab, Shani berjalan melewati Vino begitu saja. Menganggap manusia satu itu transparan.
Tak ingin melewatkan kesempatan begitu saja, Vino dengan sigap menarik tangan Shani agar mau menatapnya.
"Sekalipun kita tidak akan bersama, tolong hargai 3 tahun hubungan kita yang pernah terjalin dengan anggap aku ada Shani." Ucap Vino dengan wajah memelas. Betapa dia masih yakin dengan perasaannya pada Shani. Bahwa dia begitu mencintai gadis ini.
Shani menarik kasar tangannya yang dipegang Vino.
"Terus?" Shani menaikkan sebelah alisnya. Lalu mengusap tangannya di bajunya. Seakan bekas tangan yang dipegang Vino itu adalah najis.
"Perasaanku ga pernah berubah Shan. Kamu milih orang lain dibanding aku pun, aku ga pernah benci kamu."
"Waras? Kemarin kayaknya bahagia aja tuh dijodohin sama Kak Ve. Mau playing victim?"
"Aku terpaksa Shan. Aku sakit hati waktu itu karena kamu lebih milih orang baru dibanding aku yang udah bertahun-tahun sama kamu."
"Aku lebih terpaksa. Kita dijodohin, inget? Kalau bukan menghormati keinginan Papa, untuk nerima kamu jadi temen aja ga pernah terlintas di otak aku. Laki-laki bangsat kayak kamu ga pantes dikasih hati."
Vino terlonjak kaget mendengar umpatan Shani yang ditujukan padanya. Shani yang dia kenal begitu kalem dan anggun. Bahasa dan tutur katanya begitu santun kini berubah drastis.
Shani yang mengerti perubahan ekspresi Vino pun tertawa.
"Kaget liat aku kayak gini? Bukan aku yang berubah, tapi kamu yang gak tau sifat asliku. Jadi mulai sekarang ga usah muncul lagi di depan aku ataupun Kak Ve. Atau kamu akan berpikir ribuan kali untuk jadi bagian dari keluarga ini."
Shani pun berbalik hendak pergi, namun langkahnya tertahan ketika mendengar kalimat Vino.
"Suka atau enggak, aku tetap akan menjadi bagian dari keluarga ini Shani. Sebagai Kakak iparmu."
Vino yang tidak tau lagi harus berkata apa untuk menghadapi Shani kali ini, akhirnya asal berucap. Tidak peduli lagi Shani makin membencinya, yang dipikirannya saat ini dia tetap harus menyelamatkan harga dirinya dan orang tuanya.
Shani berbalik dengan tatapan datar. Sedetik kemudian seutas senyum tipis terukir di bibirnya.
"Coba saja." Ucap Shani. Seutas senyum yang tadi terukir di bibirnya berganti dengan tatapan dingin namun menusuk tepat menghujam mata Vino.
Lalu pergi meninggalkan Vino sambil mengacungkan jari tengahnya pada laki-laki itu.
____
Setelah jam kuliahnya berakhir, Shani tidak langsung pulang kerumah. Dia harus pergi ke suatu tempat untuk bertemu seseorang yang dia tau pasti ada disana.
15 menit menyetir sendiri, akhirnya kini dia berada di sebuah pintu kamar seseorang. Diketuknya perlahan pintu. Cukup lama hingga hampir meluapkan keyakinannya bahwa kamar ini ada penghuninya. Namun keyakinan itu terjawab ketika pintu terbuka.
Dengan canggung, Shani mengangkat tangannya menyapa. Tapi yang disapa hanya menatapnya tanpa ekspresi.
"Boleh masuk?" Pinta Shani dengan tatapan memohon.
Si pemilik kamar tampak sedikit berpikir, tapi tak lama dia bergerak mundur memberi ruang lebih luas agar Shani bisa masuk.
Mengerti dengan kode yang dimaksud, Shani bergegas masuk. Lalu menutup pintu di belakangnya.
Si pemilik kamar terlihat berdiri di tengah ruangan dengan posisi membelakanginya. Diam tak bergerak sedikitpun. Membuat Shani bingung harus mulai darimana.
Shani sendiri tidak tahu bagaimana isi pikirannya kali ini, mengapa akhirnya dia bisa berdiri di dalam kamar ini dengan tidak tahu malu. Datang seolah-olah semua baik-baik saja. Tidak berekspektasi juga bahwa orang ini akan membukakan pintu untuknya.
Tapi satu langkah sudah diambil, kalau bukan sekarang kapan lagi.
Dengan ragu, Shani berjalan mendekat sambil mengumpulkan sisa keberanian yang ada. Dengan sekali gerakan, tangannya terangkat lalu merengkuh tubuh itu erat. Memeluknya dari belakang. Kepalanya di sandarkan di pundak itu. Pundak yang selalu berjanji akan mencintainya sampai kapanpun.
"Aku minta maaf." Suara Shani terdengar tertahan teredam karena dia benar-benar membenamkan kepalanya di antara pundak dan leher orang itu. Sambil menghirup aroma tubuh yang dia rindukan sejak kemarin.
"Aku kalut, aku ga mau lepasin kamu tapi aku juga ga mau kehilangan Kak Ve. Aku harus apa?" Suara lirih Shani kini bertambah dengan isakan pelan.
Si pemilik kamar mulai tersentuh hatinya ketika merasakan pundaknya makin lama makin basah. Egonya yang sedari tadi menahannya untuk tidak merespon apapun, kini runtuh seketika. Perlahan dia berbalik, lalu balas memeluk tubuh Shani tak kalah erat.
"Aku tahu. Aku tahu semuanya sayang." Kalimat itu semakin menambah kencang suara tangisan Shani. Setelah semalam dia tidak bisa menangis sedikitpun, entah kenapa di depan orang ini, air matanya begitu mudah mengalir.
Usapan pelan di punggungnya, membuat Shani makin meluapkan semua emosinya melalui air mata. Tidak ada lagi suara yang terdengar antara keduanya. Hanya tampak dua manusia yang berdiri di tengah ruangan, saling menguatkan dan bicara dengan bahasa hati.
"Gee...." Panggil Shani setelah dia mulai menguasai lagi dirinya sendiri. Dia angkat kepalanya, menatap Gracia yang kini juga sedang menatapnya khawatir.
Gracia mengangkat tangannya, mengelus rambut poni Shani yang kini berantakan.
"Minta apa saja ke aku. Aku tau ga akan ada yang mudah buat kita. Tapi aku ingin lakukan sesuatu buat kamu, buat kita. Lebih baik sakit memperjuangkan sesuatu, daripada tidak melakukan apapun. Sakitnya double." Ucap Gracia pelan yang kini turun membelai pipi Shani.
Shani yang sejak tadi diam, terbuai usapan tangan Gracia kini mulai merangkai sesuatu di otaknya.
"Apapun?" Tanya Shani lagi memastikan kalimat Gracia.
Gracia mengangguk pasti. "Apapun."
Sedetik kemudian Gracia kaget dengan ulah tiba-tiba Shani. Matanya melotot tajam ketika kini wajahnya dan wajah Shani menempel tanpa jarak. Napasnya tercekat di tenggorokan, otaknya kosong mendadak ketika bibirnya kini dihisap seseorang penuh nafsu. Seperti mendapat dorongan tak kasat mata, bukannya menghindar, Gracia justru mencengkram kepala Shani lebih kuat memperdalam ciuman itu.
Nafsu yang sudah diujung tanduk harus dipatahkan ketika Shani menarik diri karena kehabisan napas.
Keduanya saling menatap dengan napas terengah-engah. Berlomba mengisi kembali paru-paru mereka dengan oksigen.
Tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, karena Shani sendiri tidak tahu bagaimana nanti nasibnya setelah ini. Maka satu permintaan terlontar dari mulutnya untuk Gracia.
"Apapun yang terjadi antara aku dan Kak Ve nanti di masa depan. Janji sama aku, kamu cuma fokus pada satu hal----" Shani menjeda kalimatnya dengan menarik napas dalam.
"Tolong selamatkan Kak Naomi."
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro