~Dua Puluh Enam~
Pergilah...
Bawa cinta kita ke tempat yang jauh.
Biarkan tetap tumbuh,
Kelak akan ku jemput, walau tak lagi utuh.
Masih bersama
Sthiraa_ VS -Nubivagant-
-MetBaca-
____________
Shani mengetuk beberapa kali pintu kamar Veranda, berharap sang penghuni akan segera membuka pintu dan berbicara dengannya. Hingga pada ketukan kesekian kali tak ada pergerakan dari dalam. Kemana sang pemilik kamar malam-malam begini?.
Bukan tak mau menghubungi sang kakak, hal itu sudah Shani lakukan sejak sore tadi. Tapi nomornya tidak aktif, sepertinya memang sengaja di matikan oleh pemiliknya.
Shani mendesah lelah, hingga akhirnya menyerah. Ia berbalik namun terkejut ketika sang tokoh utama berdiri di hadapannya, menatap penuh tuntutan.
"Ngapain?"
Sejenak Shani menetralkan jantungnya yang barusan sempat terkejut, ia mengatur nafas lalu berkata..
"Nyari Kakak"
"Sudah aku bilang--
"Cukup Kak!" Sela Shani tak lagi bisa menahan diri, kakaknya ini memang sesekali harus di maki biar mau mendengarkan Shani "Aku mau ngomong, tolong dengerin sebentar aja"
"Omong kosong apalagi? Kamu hanya buang-buang waktu"
Veranda tak ingin berdiri lebih lama menatap adiknya, segera ia berjalan melewati Shani. Merogoh kunci kamar lalu masuk.
"Tunggu!!" Shani menahan daun pintu sebelum di tutup sempurna oleh pemiliknya. Segera ia dorong sekuat tenaga lalu masuk tanpa permisi "Aku akan pergi setelah kita ngomong Veranda!" Lanjut Shani lalu menutup pintu dengan kencang.
Dua Tanumihardja ini sama-sama menatap penuh arti. Sebenarnya Veranda tak mau lagi berbincang apapun, ia merasa semuanya sudah sia-sia. Bahkan ketika Shani menawarkan diri untuk menggantikan dirinya menikah dengan Vino pun tak ada artinya. Tetap saja ia yang jadi korbannya.
Ingin sekali memaki, jika tidak ingat di hadapannya adalah adik kandung yang sangat ia sayangi. Berusaha untuk tetap menahan diri, untuk tidak mengeluarkan kalimat yang nantinya akan menyakitkan hati.
"Dengerin Shani kak!" Ucap Shani sambil mengunci tatapan Veranda.
Veranda melempar asal tasnya ke atas kasur, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Menantang si bungsu yang kini terlihat menggebu.
"Kalo kakak fikir selama ini kakak yang lebih kehilangan, kakak salah besar!"
"Gara-gara Shani, Kakak mungkin kehilangan kak Naomi, orang yang paling kakak cintai selama ini. Tapi apa kakak ngerti kalo Shani yang lebih kehilangan disini?. Shani kehilangan Kakak!. Kehilangan seseorang yang dari kecil Shani sayangi. Kakak fikir cuma kakak yang terluka?" Tanya Shani tanpa memberikan Veranda kesempatan untuk menjawab "Shani lebih terluka kak! Bahkan kakak tau kalo Shani rela kehilangan Gracia, rela kehilangan orang yang Shani cintai demi kakak!"
Veranda merasa di tampar untuk kesekian kali, tatapannya meredup tak lagi terlihat emosi.
"Shani yang Kakak lihat bukan Shani kecil yang gak tau apa-apa. Shani sudah bisa melihat mana yang baik dan tidak, bahkan Shani sudah siap membela Kakak dari sikap papa yang semena-mena. Bukan mau Shani di perlakukan beda kak, Shani gak pernah minta. Dan kalaupun boleh Shani meminta, Shani akan minta posisi kita di balik agar Kakak gak terluka, Shani rela kok"
Shani mengikis jarak, berhenti tepat di hadapan Veranda, menatap kakaknya penuh harap.
"Tolong ngerti kalo Shani juga tidak ingin kita di posisi ini. Shani lebih rela tidak bersama siapapun asal hubungan kita baik-baik saja kak"
Veranda menunduk lesu, tak kuat melihat Shani yang kini menatapnya pilu.
"Kakak gak bisa jalan sendirian kak.." ucap Shani lirih "Shani gak akan biarkan Kakak sendirian, Shani akan ada di setiap langkah Kakak. Kita lewatin apapun yang terjadi, kita perjuangkan hak kita sebagai manusia yang berhak memilih keputusan apapun untuk hidupnya"
"Liat Shani kak..."
Veranda mengangkat kepalanya menatap Shani.
"Bahkan jika mati adalah akhir dari kita, Shani terima. Asal kita berjuang sama-sama sekalipun papa kita sendiri adalah lawannya"
Setetes air mata jatuh di sudut mata Shani, di susul tetesan lainnya.
"Shani cuma mau sama-sama terus sama kakak"
Veranda menarik Shani kedalam pelukan. Jika dulu ia berjanji pada sang mama untuk menjaga Shani, memberi jaminan bahagia tanpa air mata, tapi kini malah Veranda sendiri yang membuat Shani terluka. Adiknya menangis karena sikapnya.
"Maafin Kakak..." bisik Veranda di sela tangis Shani yang semakin menjadi "Kakak cuma gak mau kamu kenapa-kenapa. Biar kakak yang hancur sendirian".
Shani menggeleng "Gak. Jika memang akan hancur, Kita akan hancur bersama"
Veranda semakin mengeratkan pelukan, sesekali mengusap kepala Shani dengan lembut.
"Maaf karena Kakak terlalu egois selama ini. Kakak cuma mikirin perasaan Kakak, hubungan Kakak sama Naomi, tanpa sekalipun mikirin perasaan kamu"
Tak ada jawaban dari Shani, ia sibuk menikmati pelukan sang Kakak yang entah kapan terakhir kali ia rasakan.
Veranda harusnya tau jika Shani sudah punya pemikiran dan pandangan sendiri tentang hidupnya. Dan harusnya Veranda tau jika Shani sekarang sudah bisa dijadikan partner untuk menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi. Veranda tidak sendiri, ada Shani di sisinya.
Jika dulu Veranda sering berkata, apapun yang terjadi dengan Shani, Veranda akan siap siaga di sisi Shani. Sekarang Shani pun akan berkata demikian. Akan melakukan hal yang sama demi sang kakak.
Cukup lama mencipta hening, akhirnya Veranda kembali berkata..
"Shani sudah besar sekarang" ucap Veranda "Udah bisa belain Kakaknya" lanjutnya membuat Shani menarik diri, lalu menatap tak terima.
"Kemana aja baru sadar?"
Veranda terkekeh pelan lalu menghapus air mata di pipi Shani.
"Maaf ya, selama ini Kakak terlalu buta. Kakak hanya melihat dari sudut pandang Kakak saja, tanpa sekalipun melihat dari sudut pandang kamu. Maaf ya"
Shani mengangguk "Janji jangan diemin Shani lagi?"
"Iya Janji"
"Apapun nanti langkah yang akan kita ambil, Shani pastiin kalo Kak Naomi akan baik-baik saja"
Veranda menaikkan sebelah alisnya, belum mengerti arah pembicaraan Shani hendak kemana.
"Maksudnya?"
"Kita fokus dengan masalah kita tanpa membawa Kak Naomi maupun Gracia. Tapi bagaimanapun nanti kedepannya, Shani pastiin Kak Naomi dan Gracia tidak akan menanggung akibat apapun"
"Kok bisa?"
"Gak usah banyak nanya. Bawel banget" ledek Shani "mending fikirin caranya batalin pernikahan kakak yang katanya sebulan lagi itu".
Veranda mendengus. Kesal mendengar kalimat terakhir Shani.
"Kita bunuh aja si Vino. Urusan selesai"
Shani menoyor pelan bahu Veranda "Shani gak mau punya kakak pembunuh. Lagian kalo Kakak di penjara nanti Kak Naomi di ambil orang emang mau?"
"Enggak lah! Enak aja"
"Ya makanya gak usah aneh-aneh!"
"Terus kamu punya rencana apa?"
"Belum tau, makanya fikirin!"
"Haish!!"
____
Reynan tampak gelisah di tempatnya, sudah 2jam ia menunggu dua putrinya namun hingga detik ini belum terlihat hilalnya.
Segera ia meraih ponsel diatas meja, menelpon seseorang yang di tugaskan mengawasi keduanya.
"Dimana mereka?"
Tanpa basa-basi Reynan bertanya, emosinya sudah di puncak.
"Kami kehilangan jejak Nona Ve dan Nona Shani, sampai detik ini kami masih mencari Tuan"
"BODOH!!! Gak becus! Kerja kalian ngapain aja sampe kecolongan Hah!?"
"Maaf Tuan--
"Apa Veranda bertemu jalang itu?"
"Sepertinya tidak Tuan. Beberapa hari terakhir tidak terlihat interaksi Nona Ve dan gadis itu. Bahkan kabar terakhir yang kami terima, gadis itu sudah pindah kampus Tuan"
"Bagus, jangan lengah! Pastikan Veranda tidak pernah bertemu lagi dengan jalang itu!"
"Baik Tuan!"
"Cari terus Shani, bawa pulang. Jika tidak, kepala kalian akan jadi gantinya!"
Baru saja Reynan menyimpan ponselnya di samping tubuhnya, ia mendengar suara dari arah pintu.
"Lama banget kan kita gak nonton" ucap Shani antusias.
"Iya, terakhir kapan ya dek?"
"Shani juga lupa Kak"
"DARI MANA KALIAN ?!!" sela Reynan dengan nada tinggi sambil berkacak pinggang, menatap murka kedua putrinya.
"Minggu depan juga ada film bagus kak" Shani tanpa rasa berdosa terus berjalan di samping Veranda yang terlihat antusias mendengar adiknya berbicara "Kita nanti duduk di paling depan ya" lanjut Shani.
"KALIAN DENGAR SAYA BICARA TIDAK!!!?"
Lagi-lagi nada tinggi terdengar menyakitkan telinga, namun Shani maupun Veranda tak terusik sepertinya. Mereka tetap berjalan melewati Reynan yang kini menggeram. Rahangnya mengeras. Merasa di permainkan oleh keduanya.
"JESSICA VERANDA!!!"
Veranda berhenti berjalan di susul Shani yang kini menoleh menatap Veranda "Kenapa kak?"
"Hp Kakak kayanya ketinggalan di mobil. Kamu duluan ke kamar gih"
Shani menggeleng pelan "Ikut aja"
"Bandel!"
"Biar!!"
Reynan mendekat lalu menarik tangan Veranda hingga tubuh Veranda berbalik, sedikit mendongak menatap sang papa yang kini siap memuntahkan caci maki, bahkan sumpah serapah padanya.
"Kamu semakin hari semakin kurang ajar Veranda" ucap Reynan sambil menatap tajam, matanya memerah menahan amarah.
"Saya papa kamu, kamu harusnya menghormati saya"
"Saya sangat menghormati anda Tuan Reynan yang terhormat. Tapi anda sendiri yang tidak pernah menghormati saya sebagai anak!"
"Kamu semakin kurang ajar, percuma saya sekolahkan"
"Papa menyesal? Aku juga"
"Kalo kamu mau kurang ajar, jangan bawa-bawa Shani. Gara-gara kamu dia jadi pembangkang seperti ini"
Veranda terkekeh pelan, dengan lantang ia menantang sang papa seolah tak ada takutnya.
"Gak ada yang ajarin Shani apapun, dia itu kan pintar. Dia cepat belajar dan memahami situasi pah"
"Tapi kamu yang ngajarin gak bener! Semenjak kamu kenal dengan gadis jalang itu kamu semakin kurang ajar dan keras kepala Veranda!"
"Semua sikap aku, itu asalnya dari papa. Aku kurang ajar, pembangkang, gak tau diri, ya itu ajaran papa kan? Papa selalu bilang kalo Shani itu mirip mama. Sabar, pintar, baik, lemah lembut. Sementara aku? Bukannya aku 90% mirip papa? Jadi kalo aku keras kepala, lalu papa apa?"
Plakkk
Reynan tak lagi bisa menahan diri, ia mengangkat tangannya lalu mendaratkan sebuah tamparan keras. Namun sayang bukan Veranda yang kini menerima cap lima jari, melainkan Shani yang segera menarik Veranda sehingga ia yang menerima tamparan sang papa.
"S-shani...
"Dek..." panik Veranda lalu menarik pelan wajah Shani, rahangnya mengeras saat melihat setetes darah di sudut bibir Shani.
Belum sempat Veranda memaki sang papa, Shani lebih dulu bersuara.
"Shani bukan lagi anak kecil yang bisa di pengaruhi orang lain dan Shani tau harus berada di pihak mana. Kalau menurut Papa Kak Ve kurang ajar karena wanita itu, bisa dipastikan Shani sekarang kurang ajar karena ulah Papa. Gak boleh ada yang nyakitin Kakak aku, sekalipun itu Papa".
"Kalian berduaaaa-----" Reynan makin geram.
"Mau apa? hukum kita? Silahkan. Bunuh sekalian juga ga masalah." Ucap Shani makin menantang.
"Masuk kamar kalian!!"
"Dengan senang hati. Ayo Kak." Shani menarik tangan Veranda secepatnya meninggalkan Reynan yang mulai terlihat mengerikan.
______
"Sini Pipi kamu." Ucap Veranda ketika mereka berdua sudah berada di kamar.
Veranda meringis melihat ruam di Pipi Shani. Tak terbayang sekeras apa tamparan Papanya tadi hingga meninggalkan bekas seperti ini.
"Kompres ya? Pipi kamu merah banget." Ucap Veranda.
Shani menggeleng. Lalu menarik Veranda untuk duduk di sebelahnya.
"Harus segera dikompres nanti makin merah."
"Nanti aja Kak. Sakitnya ga seberapa dibanding liat sikap Papa tadi. Shani ngerti sekarang apa yang Kak Ve rasain selama ini. Tamparan ini cukup jadi bukti bahwa Papa ga pernah mikir kesakitan yang bakal Kak Ve tanggung. Dia cuma mentingin egonya."
"Ga masalah selama itu ga berimbas ke kamu. Kakak udah biasa diperlakukan Papa kayak gini. Saking terbiasanya, mungkin kalau Papa mau mukul atau digantung sekalipun ga akan terasa. Kakak udah kebal." Ucap Ve berusaha menghibur adiknya.
"Tapi tetep aja sakit Kak."
"Sakit fisik gampang sembuhnya Dek, tapi kalau sakit hati? Hari ini kamu sudah mengambil langkah besar yang mungkin akan mempengaruhi kelangsungan hidup kita dirumah ini." Ucap Ve sambil tertawa. Daripada terus-terusan menangis, lebih baik menertawakan nasib sendiri bukan?
"Kakak takut?" Tanya Shani sambil menoleh memandang Ve.
Veranda mengangguk. "Iya, takut Papa akan berbuat hal lebih kejam sama kamu."
"Shani udah siap."
"Yakin?"
Shani mengangguk.
"Taruhannya bukan cuma nasib kita. Nasib hubungan kamu dan Gracia ga kamu pikirin?"
"Kita udah putus. Kakak ga inget?" Balas Shani sewot.
"Ah masa?" Tanya Ve yang justru menggoda Shani.
"Lebih baik kayak gini Kak. Kita jalan masing-masing sampe kita tau kita masih punya harapan di masa depan. Atau minimal kita bisa jinakin Papa. Kalaupun itu ga bisa terjadi, setidaknya Kak Naomi ataupun Gracia ga ikut menanggung beban masalah kita. Kecuali Papa nyari-nyari masalah sama mereka, maka kita harus siap jadi tamengnya."
Veranda tak lagi bisa berkata-kata. Alhasil dia hanya menarik Shani ke pelukannya. Situasinya tidak berubah, tapi setidaknya dia bersyukur bebannya sedikit berkurang. Dia tidak lagi harus memikirkan semuanya sendiri. Sudah saatnya membagi beban pada satu-satunya orang yang dia percaya. Satu-satunya orang yang mulai bisa dia andalkan. Adik semata wayangnya.
________
"Mulai hari ini kalian tidak diijinkan kemana-mana sendiri. Mobil Papa sita." Ucap Reynan di sela sarapan pagi mereka.
"Hmmm." Jawab Shani dan Veranda bersamaan. Merasa tak terganggu dengan apapun yang mau Papanya lakukan.
"Ve, Hari ini kamu ke kampus sama Vino. Bentar lagi dia datang. Dan Shani kamu Papa anter."
"Shani bareng Kak Ve aja." Jawab Shani.
"Gak bisa! Ve biar berdua sama Vino." Reynan masih kukuh dengan pendiriannya.
"Yauda kalau Shani ga boleh bareng. Ve ga kekampus aja hari ini." Kali ini Ve yang menjawab.
"Veranda! Jangan ikut-ikutan!"
"Shani juga ga kekampus. Kita berdua dirumah aja."
"Mana bisa begitu! Kalian ga boleh bolos!" Reynan tak habis pikir. Bagaimana bisa di pagi buta begini kedua anaknya sudah memancing emosinya kembali.
"Tinggal ijinin Shani bareng Kak Ve apa susahnya. Kan sekampus juga Pa. Repot amat."
"Kalian ini mau bikin ulah apalagi hah?!!!!"
"Ya Ampuuuun Pa. Shani cuma minta berangkat bareng aku. Kalau Vino keberatan ya tinggal Papa yang anter kita berdua. Kalau Papa ga mau, yauda tinggalin kita berdua dirumah. Kalau takut kita ngapa-ngapain, tinggal kunci atau rantai sekalian kamarnya biar kita ga bisa kabur." Ucap Veranda santai sambil terus mengunyah sarapan paginya. Tak peduli Papanya yang kini menatapnya tajam.
"Tinggal jawab iya masalah selesai Pa. Masa pagi-pagi kita mesti ribut lagi karena masalah sepele." Ucap Shani yang tak lagi peduli nadanya terkesan kurang ajar atau tidak.
"Masalah akan selesai kalau kalian nurut kemauan Papa daritadi."
"Cuma perkara berangkat ke kampus doang Pa. Ga usah dibesar-besarin. Hemat waktu Papa juga kan ga perlu anter Shani." Veranda menimpali.
Reynan diam. Rahangnya mengeras. Tampak sekali dia sedang meredam emosinya.
"Oke. Sekarang tunggu Vino di depan. Biar dia ga perlu repot jemput kalian sampai kedalam." Reynan akhirnya mengalah.
"Siap." Ucap Shani dan Veranda bersamaan lagi. Secepat kilat mereka berdiri dari kursinya lalu berjalan keluar meninggalkan Reynan begitu saja. Tak mau repot untuk sekedar pamitan.
Mau tak mau Reynan hanya menarik nafasnya dalam-dalam. Dua anaknya mulai mengabaikannya, tak menaruh hormat padanya dan itu membuat nyeri di hatinya.
Sementara di teras rumah, Shani dan Veranda berdiri saling diam. Sesekali menengok jam di pergelangan tangannya.
"5 menit ga dateng, pesen ojol aja. Bisa-bisanya Papa ngandelin manusia lelet kayak gitu." Gumam Veranda kesal.
"Tinggal pencet doang nih Kak." Shani menunjukkan layar ponselnya. Seketika membuat Veranda melongo. Menatap Shani takjub.
"Emang lelet Kak, Shani udah khatam masalah begini." Ucap Shani seketika mengundang tawa renyah dari Veranda.
Sayangnya, belum sampai 5 menit tampak mobil Vino memasuki halaman rumah mereka perlahan.
"Yah, ga jadi pesen ojol deh." Umpat Veranda lalu berjalan menghampiri mobil Vino.
"Selamat Pa-----"
"Ga usah keluar basa-basi, kita udah telat." Ucap Veranda memotong ucapan Vino dan menghentikan gerakan Vino yang berniat keluar menyapa mereka.
Dengan cepat, Veranda membuka pintu belakang mobil Vino lalu masuk diikuti oleh Shani di belakangnya.
"Loh loh loh, kok dibelakang sih? Aku bukan sopir ya." Keluh Vino ketika melihat Shani dan Veranda duduk di kursi belakang.
"Ah masa? Papa bilang yang bakal anter jemput kamu, yang biasanya anter jemput kan sopir." Balas Veranda tanpa ekspresi.
"T-tapi aku bukan sopir."
"Intinya mau nganter ga? Kita udah telat. Kalau ga, Shani mau pesen ojol."
"Eeehh j-jangan. Kalian ga takut dimarahin Papa kalian kalau ga berangkat sama aku?" Tanya Vino.
Dirinya sudah mulai merasa tak enak dengan perubahan sikap yang tiba-tiba dari Veranda. Apalagi sekarang ada Shani yang ikut. Dia pikir Veranda akan melakukan konfrontasi seperti biasa. Setidaknya jika begitu, dia bisa menarik simpati Reynan lebih banyak.
"Ngapain takut, Papa akan lebih marah kalau kita telat karena loe ga mau nganterin daripada naik ojol. Pilih mana?"
"O-Oke. Oke. Aku anterin sekarang."
"Daritadi Kek. Banyak omong loe! Jalan buru!" Ucap Veranda kemudian bersandar di kursinya sambil melihat pemandangan keluar jendela. Menyusul Shani yang sudah duduk tenang sejak tadi. Tak terganggu perdebatan antara Kakaknya dan mantan Tunangannya itu.
Suasana sepi sepanjang perjalanan ke kampus. Bukan Veranda atau Shani tak tau bahwa Vino selalu mencuri-curi pandang lewat kaca spion ke arah Shani.
Tapi mereka tak peduli. Lebih menganggap Vino adalah debu yang tak kasat mata. Anggap aja sebagai pahala, bikin senang hati orang walau rasanya ingin sekali mencolok mata ga tau diri itu.
"Ve, aku jemput pas jam makan siang ya? Sekalian mau fitting baju. Kamu kuliah sampe jam berapa?" Tanya Vino ditengah perjalanan.
"Sore. Fitting aja sendiri."
"Lho kan harus sama kamu biar tau ukurannya."
"Suruh Papa bawain baju aku buat contoh. Modelnya juga tanya Papa aja."
"Lho kan kamu yang mau nikah? Kok malah tanya Papa kamu sih."
"Ini rencana Papa, berarti yang mau nikah Papa. Aku cuma wakilin. Jadi apapun yang menyangkut urusan pernikahan silahkan tanya Papa."
"T-tapi Ve...."
"Loe bisa cepetan dikit ga bawa mobilnya? Gue ada quiz bentar lagi. Kalau sampai gue ga boleh masuk, loe tanggung jawab." Potong Veranda makin kesal.
Mau tidak mau, Vino diam lalu menambah laju kecepatan mobilnya.
"Jemput jam 3. Telat 5 menit, kita tinggal." Ucap Veranda lalu keluar dengan cepat dari mobil lalu berlari kedalam gedung kampus karena takut terlambat.
Tak lama, Shani pun mengikutinya.
"Shan, tunggu." Cegah Vino sebelum Shani betul-betul keluar dari mobil.
"Apalagi?"
"A-aku....."
"Kalau cuma mau bahas masa lalu ga usah. Buang-buang waktu. Fokus aja ke rencana kalian sebulan lagi. Aku ga akan ikut campur. Urusan aku sekarang memastikan Kak Ve baik-baik aja." Ucap Shani memotong ucapan Vino. Seakan tau apa yang mau laki-laki itu katakan.
"Sekalian laporin ke Papa kelakuan kita barusan. Titip sampein juga kalau ada kelakuan kita yang ga berkenan, Shani dan Veranda siap terima hukumannya. Dibunuh sekalian juga boleh." Ucap Shani menatap sekilas Vino tanpa ekspresi lalu keluar dari mobil. Berjalan dengan kepala tegak tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.
_TBC_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro