Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

~Dua Puluh Empat~



-Hai warga WP yang budiman.
Kalian sedih juga gak karena banyak para
Author AU milih buat pensi ?
Author Wp mesti pensi juga gak sih? -














||









Kenapa aku hanya menyukai satu warna?
Karena kamu sudah mewarnai seluruh hidupku dengan sempurna.

_________________________________________




-Silahkan-
________________________




"Kamu kok susah banget aku hubungin?" Tanya Naomi saat bertemu Veranda di kantin kampus "Kamu kaya ngehindar dari aku gitu" lanjutnya penuh tuntutan.

Veranda sempat bingung hendak memulai darimana. Tapi mau tak mau dirinya harus menjelaskan semuanya pada Naomi.

"Aku tau ini bukan waktu dan tempat yang pas buat ngomong sama kamu, tapi aku gak punya banyak waktu lagi" ucap Veranda serius membuat Naomi menatap fokus "Imbas dari semua hal yang terjadi itu hubungan kita"

"Maksud kamu yank?"

"Gara-gara Shani dan Vino putus, jadinya papa jodohin aku sama Vino"

"HAH!!!?"

"Tenang dulu sayang"

"Tenang gimana sih?! Kamu fikir aku bisa tenang denger kamu di jodohin sama orang lain?" Marah Naomi "atau emang kamu nya mau-mau aja apa gimana?"

"Hust ngawur! Dengerin dulu penjelasan aku"

"Yaudah sok"

"Aku juga kaget sama semua ini, tapi sumpah demi apapun aku udah nolak mati-matian, tapi papa juga gak kalah kukuh. Percaya sama aku, aku gak akan pernah ninggalin kamu, aku akan terus berjuang buat kita. Tapi untuk saat ini keadaannya lagi gak baik. Kita mesti jaga jarak dulu untuk sementara"

"GAK! Gak mau"

"Sayang.. ini semua demi keselamatan kamu. Ngerti yaa" Veranda berusaha menjelaskan, sesekali mengusap tangan Naomi yang digenggamnya di atas meja "aku bukan mau nakutin kamu, aku cuma mau menjaga kamu dari amukan papa. Biar aku aja yang kena imbasnya, biar aku yang selesaikan semuanya"

"Tapi kenapa kita gak berjuang bareng? Aku mau kok berjuang sama kamu. Apapun resikonya pasti aku ambil"

Veranda menggeleng pelan "Aku tau kamu mau berjuang sama aku, tapi tolong untuk saat ini ngerti dulu ya. Sambil aku mikirin gimana caranya buat yakinin papa dan batalin perjodohan ini"

"Tapi kamu yakin kalo papa kamu akan berubah fikiran?"

"Semoga. Makanya aku mesti cari jalan keluar dulu. Sabar ya"

Naomi mengangguk lesu "Kenapa jadi gini ya? Kenapa harus hubungan kita yang jadi korban?"  Ucap Naomi lesu, Veranda bahkan bisa menangkap raut berbeda dari Naomi.

"Apa karena kita berbeda Ve? Ah iya aku tau kalo aku berasal dari keluarga--

"Ssssstt sayang... kita udah janji gak bahas hal itu. Siapapun dan bagaimana pun kamu, gak akan merubah keyakinan aku tentang kamu, dan pilihan aku tetap kamu. Percaya sama aku kalo kita akan bisa lewatin ini semua ya"

Naomi mengangguk lemah.

"Aku janji gak akan lama. Selama kita gak ketemu, jaga diri baik-baik. Aku pasti jaga kamu dari jauh"

"Kamu juga ya"

"Pasti sayang"

___

Shani berjalan tergesa, ia berencana bertemu dengan Gracia sore ini.

"Kak Ve aku--

"Pergi aja!" Sela Veranda saat ia melihat Shani hendak pamit.

"Shani mau ketemu-

"Pergi aja aku bilang!"

Shani harus menelan kecewa untuk kesekian kalinya, dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan Veranda yang duduk di sofa.

Sementara Veranda merutuki diri dalam hati, harusnya memang ia tak menghukum Shani seperti ini. Tapi bukankah Veranda juga manusia biasa yang punya ego? Dan bukankah Veranda juga punya hak untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri sekalipun yang ia korbankan adalah hubungan persaudaraannya dengan Shani?.

Belum lama Shani berlalu, kini seorang laki-laki datang menghampiri Veranda, membuatnya mendengus kesal dan hendak pergi.

"Aku cuma mau ngobrol sebentar"

"Apalagi Vin? Gue muak liat muka loe"

"Aku tau, tapi untuk kali ini aja dengerin aku" Vino duduk di samping Veranda.

"Jangan kira aku mau-mau aja di jodohin sama kamu, karena cinta aku gak semurah itu. Aku gak se plimplan itu buat milih pasangan hidup aku"

"Lalu?"

"Aku justru kasian sama kamu"

Veranda menaikkan sebelah alisnya heran.

"Kamu gak cape apa ngalah terus?"

"Maksud loe?"

Vino tersenyum tipis "Jangan kamu kira aku gak tau kalo selama ini kamu selalu ngalah buat Shani"

Veranda bungkam. Jika difikir memang kalimat Vino ada benarnya juga.

"Kamu juga selalu nurut apa yang papa kamu katakan, tanpa pernah membantah apapun kan?. Bahkan selama ini Kamu selalu diperlakukan berbeda dengan Shani, sampai-sampai jika orang lain tau, mungkin mereka akan bilang kalian bukan saudara kandung. Padahal kalian sama-sama darah daging Tanumihardja bukan?"

Veranda masih diam, mencerna semua kalimat Vino.

"Kamu selalu bilang 'iya' untuk apapun yang Om Reynan atau Shani mau. Tapi lihatlah sekarang, bahkan mereka memilih egois dan gak mikirin perasaan kamu kan?"

Veranda ditampar oleh kalimat Vino barusan. Memang benar, hal itu yang Veranda fikirkan akhir-akhir ini.

"Selama ini kamu terus berkorban demi kebahagiaan mereka, tapi apa mereka pernah mikirin kebahagiaan kamu?" Tanya Vino

"Tapikan--

"Ayolah Veranda, Pembelaan apa lagi yang mau kamu lakukan untuk mereka? Bukankah Shani dan Om Reynan sama-sama menghancurkan kamu saat ini? Apa bedanya mereka sekarang?" Vino menjeda kalimatnya, sesekali melihat respon Veranda.

"Gak usah ngomong masalah Om Reynan dulu, tapi lihat Shani. Adik kandung kamu, yang kamu jaga dan kamu sayangi itu, apa dia mikirin perasaan kamu? Apa mungkin dia rela mengorbankan Gracia demi kamu? Buktinya mereka masih bersama kan sampai detik ini, disaat Shani tau bahwa hubungan kamu dan Naomi yang di korbankan? "

"Kenapa diem? Bener kan semua kalimat aku?"

Veranda bungkam. Mendadak otaknya beku. Semua kalimat Vino benar adanya, semuanya, tidak terkecuali.

_______




Seorang gadis berdiri di depan pintu sebuah rumah. Dengan harap-harap cemas ia menunggu sang tuan rumah membuka pintu.

"Selamat sore, cari siapa ya?"

"Sore tante, saya Mira. Mm Ara nya ada tante?"

"Temen kampusnya?"

Mira menggeleng pelan "Pacar Ara tante"

"Oh gitu, kamar Ara di lantai dua paling ujung ya"

"Baik tante, makasih"

Mira segera melangkah masuk, perlahan menaiki tangga lalu fokus menatap ke kamar paling ujung. Belum sempat ia sampai, ia melihat sosok yang ia cari sedang berdiri di balkon, tak jauh dari tempat Mira berdiri sekarang.

Dengan langkah pasti Mira mendekat, lalu mendekap sambil berkata..

"Gue kangen sama Loe Raa.. Loe kemana aja?"

Yang di peluk sempat terkejut sebelum berbalik memeluk Mira tak kalah erat.

"Maaf..."

Hanya itu yang keluar dari mulut Ara. Tak kuasa lagi berkata apa-apa karena tiba-tiba saja hatinya nyeri saat ia menyadari bahwa ia sudah menyakiti Mira lagi. Cintanya pada Chika ternyata masih begitu kuat, jangankan untuk diganti, digeser posisinya pun ternyata tidak bisa.

"Loe jahat Raa" lirih Mira "Gue kangen banget sama loe, tapi loe malah ngilang gak ada kabar"

Ara mengeratkan pelukannya, tak menyangkal apapun yang Mira katakan.

"Gue tau loe kehilangan Chika. Tapi ngerti gak sih kalo gue juga kehilangan Loe Ra" Mira terisak ditengah sesak, air mata yang ia tahan sejak tadi kini mengalir di pipi.
"Gue mesti pake cara apa lagi biar loe bisa liat gue Ra, biar loe bisa mencintai Gue seperti loe mencintai Chika"

Angin berhembus kencang, sekencang tangis Mira dalam peluk Ara.

Bukan tak ingin, Ara juga sangat ingin bisa mencintai Mira sekuat ia mencintai Chika. Nyatanya tidak semudah bayangan Ara. Chika tetap berada di tahta tertinggi. Tetap jadi satu-satunya dihidup Ara.

"Maafin gue Mir. Maaf"

Kata maaf yang di lontarkan tak mampu membuat Mira menghentikan tangisnya.

Seumur hidupnya, baru kali ini ia menemukan sosok seperti Ara. Baru kali ini ia jatuh cinta sebegini hebatnya. Dan baru kali ini ia merasa patah hati luar biasa, karena nyatanya cinta Ara bukan untuknya.

Tak ingin menambah luka, tak ingin menambah sesak di dada, Mira segera melepas pelukannya. Ditatapnya Ara penuh cinta, sekalipun yang ia dapat hanya kecewa.

"Gue sayang banget sama Loe Ra..." ucap Mira membuat air mata Ara mengalir seketika "Gue cinta sama loe, banget" Ara mengangguk sambil memaksakan senyumnya.

"Tapi gue gak bisa selalu kuat Ra. Gue gak bisa selalu terlihat baik-baik saja di saat gue tau kalau di hati loe masih ada Chika" ucap Mira lalu menghapus kasar air matanya "Gue tau gue gak bisa maksa loe. Dan gue juga tau kalo gak mudah buat loe lupain Chika"

Tak satupun kata keluar dari mulut Ara, lidahnya seolah kelu, tak sanggup lagi menahan sakit di dada.

"Gue juga sadar, kalo gue gak selalu bisa jadi obat buat loe. Gue punya batas mampu Ra" Mira menunduk, tangisnya makin tak terbendung membuat Ara semakin bingung. Berusaha menebak alur pembicaraan Mira hendak kemana.

Tak berselang lama Mira mendongak, memaksa senyumnya mengembang lalu berkata..

"Kita udahan aja ya Raa.."

____




"Kamu mau makan sayang?" Tanya Gracia sambil menggenggam tangan Shani diatas meja. Mereka berdua bertemu di sebuah Cafe tak jauh dari kampus mereka.

"Enggak mau. Minum aja"

Gracia mengangguk lalu memesan minuman untuk mereka berdua.

"Kamu kurusan sayang, gara-gara mikirin masalah ini ya?" Tanya Gracia membuat Shani mengangguk pelan.

"Aku gak tau mesti gimana lagi, aku udah minta maaf berkali-kali tapi respon kak Ve masih sama"

Gracia bisa merasakan kesedihan kekasihnya ini, sebenarnya ia juga bingung harus bagaimana, namun sebisa mungkin untuk tidak menunjukkan di hadapan Shani.

"Aku tau sayang, tapi dengan kamu kaya gini nanti malah sakit. Kamu juga harus jaga kesehatan kamu"

Gracia mengusap punggung tangan Shani dengan ibu jari, berusaha memberi ketenangan saat melihat Shani berusaha menahan air mata.

"Aku ngerasa aku bodoh karena gak mikir bahwa efeknya akan sebesar ini. Gara-gara ego aku, hubungan Kak Ve sama Kak Naomi terancam, bahkan hubungan aku sama Kak Ve juga"

Gracia menutup kedua matanya erat, ia merasa tertampar oleh kalimat Shani barusan.

Bukankah seharusnya Gracia yang bersalah disini? Gara-gara Gracia hubungan mereka jadi berantakan seperti ini.

"A-aku minta maaf sayang, harusnya kamu gak nyalahin diri kamu sendiri. Yang salah disini adalah aku. Aku yang maksa masuk ke hidup kamu, dan kalian. Kalo tau akhirnya akan seperti ini, mungkin aku juga gak akan melangkah lebih jauh lagi"

Shani diam sejenak. Mungkin bukan tentang siapa yang benar atau salah, tapi tentang keadaannya saja yang memang sudah begini seharusnya.

Gracia menunduk sejenak, berusaha menahan diri untuk tidak menangisi keadaan ini.

Haruskah ia yang mundur ? Haruskan ia yang pergi dan membiarkan mereka dengan kehidupan mereka seperti dulu?.

Tapi apa Gracia sanggup hidup tanpa Shani? Apa sanggup ia meninggalkan Shani disaat ia sudah jatuh-sejatuhnya pada bungsu Tanumihardja ini?.

"Kamu gak salah Gee. Memang keadaannya aja kaya gini kan?"

"Tapi tetap harus ada yang di salahkan dan di korbankan bukan?"

Shani menatap tak suka pada kalimat Gracia, dengan was-was ia berusaha menebak arah pembicaraan Gracia hendak kemana.

Jangan sampai ia berfikir untuk pergi. Jangan!"

"Demi hubungan kamu sama kak Ve, kalo memang harus aku yang mengalah aku gapapa Shani"

Shani langsung menatap tak suka sambil menggeleng keras. Ia beralih menggenggam kedua tangan Gracia sambil berkata...

"Aku bukan ingin kita lari, tapi hadapi. Setau aku, pacarku bukan pengecut Shania Gracia!"

______

Seperginya Vino, Veranda masih diam ditempatnya. Kepalanya terasa penuh, semua hal yang Vino ucapkan terus terngiang di fikirannya.

Ingin berteriak sekencang mungkin, namun tak sempat ia lakukan karena Reynan ternyata sudah pulang.

"Sore Ve" sapa Reynan yang tak di hiraukan oleh Veranda. Tiba-tiba saja ia merasa kebenciannya kepada sang papa meningkat drastis. "Shani kemana?" Tanya Reynan sukses memancing emosi Veranda.

Shani, Shani, Shani. Selalu Shani.

"Entah!"

"Kalo bicara yang jelas Veranda. Shani kemana?"

"Ve gak tau!"

"Harusnya kamu tau adik kamu pergi kemana"

"Kenapa gak papa tanya sendiri aja?"

"Papa tanya kamu, karena kamu harusnya jaga adik kamu!"

Veranda berdiri sekali gerakan, berjalan menghampiri sang papa.
"Bukannya papa juga mengawasi Shani, harusnya papa tau dimana Shani"

"Tapi kamu kakaknya, papa percayakan Shani sama kamu. Jadi kamu bertanggung jawab atas apapun yang menyangkut adik kamu"

"Shani sudah dewasa dan kami punya kehidupan masing-masing. Harusnya papa ngerti kalo aku juga punya urusan lain selain ngurusin Shani"

Reynan menggeram, ia mengepal kedua tangannya erat sambil menatap tajam Veranda.

"Kamu berani melawan papa!?"

Veranda tersenyum miring, tak sedikitpun terlihat takut oleh tatapan maut sang papa. Baginya, hal ini sudah biasa.

"Aku gak ngelawan, aku cuma bicara apa adanya"

"Dengan kamu tidak menjaga Shani dengan baik, kamu sudah melawan papa!"

"Anak papa gak cuma Shani pah, gak cuma dia yang harus papa fikirin. Tapi aku juga" ucap Veranda penuh tuntutan "Selama ini yang papa fikirin cuma Shani, Shani dan Shani. Gak sedikitpun papa mikirin aku"

"Jaga bicara kamu Ve!"

"Loh benar kan? Buktinya papa gak pernah peduliin aku, mikirin aku, atau minimal memperlakukan aku sama dengan papa memperlakukan Shani"  ucap Veranda menjeda kalimatnya "Yang papa fikirin cuma tentang Shani, kebahagiaan Shani, keselamatan Shani, dan apapun tentang anak kesayangan papa itu, sementara papa gak pernah sedikitpun memperlakukan aku sama, sampai-sampai aku terlihat sebagai anak tiri--

"VERANDA!!" Teriak Reynan menyela

"Kenapa pah? Papa mau marah? Papa mau nyalahin aku? Silahkan, aku gak peduli!!"

Veranda berbalik hendak meninggalkan Reynan, namun belum sempat ia melangkah  suara Reynan sudah menggema.

"JANGAN KURANG AJAR KAMU!"

Veranda diam sejenak, kalimat Reynan barusan sukses mengoyak hatinya. Ia berbalik lalu berkata

"Papa yang bikin aku kaya gini, apapun yang mau papa katakan tentang aku silahkan. Aku cape. Papa urus aja anak kesayangan papa itu--

"VERANDA!!"

Plakkk...

Pandangan Veranda sedikit buram, terhalang air mata yang kini mengalir di pipinya, hatinya terluka, pipinya juga. Ia sedikit meringis merasakan nyeri akibat tamparan Reynan barusan.

Veranda mengusap kasar air mata sambil menatap Reynan penuh luka, sementara yang ditatap hanya diam menatap tangannya yang baru saja menyentuh pipi anaknya dengan keras.

"Papa min--

Belum sempat Reynan menyelesaikan kalimatnya, Veranda menggeleng lalu segera pergi dari hadapan Reynan.
Membawa sakit hati yang luar biasa, yang baru saja di torehkan oleh sang papa.

____

Luka ini tak seberapa, hanya lebam biasa yang sudah di obati oleh Veranda, tak sesakit luka yang ia rasa di hatinya. Ia tersenyum miris, menertawakan dirinya sendiri di depan kaca.

"Loe menyedihkan Veranda. Bahkan di rumah loe sendiri, loe gak dapet keadilan" ucapnya pada dirinya sendiri "yang sayang sama Loe cuma Naomi. Aman yang loe rasain selama ini palsu Veranda" lanjutnya.

Veranda mengusap air matanya beberapa kali, namun air matanya seolah tak habis ia keluarkan.

"Vino bener, loe aja gak mikirin gue Shan. Kalo gue gak bisa bersama Naomi, maka loe juga gak bisa sama Gracia.....

"Sampai kapanpun".







=TBC=

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro