~Dua puluh dua~
Rindu tidack? 😌
=Karena Cinta, tak hanya tentang rasa.
Tapi juga pengorbanan yang nyata =
||
= Selamat membaca =
_________________________________
"Silahkan pulang!"
Satu kalimat yang membuat Gracia tercengang. Ia diam beberapa saat, berusaha mencerna kalimat Reynan barusan.
"Maaf. Maksud Om?" Tanya Gracia memastikan.
"Kamu tidak mendengar apa yang saya katakan?"
"Tapi Om..
"Silahkan pulang Shania Gracia"
Tanpa mau memaksakan kehendak, Gracia akhirnya berdiri. Di susul dengan Reynan yang juga ikut berdiri.
"Kalau begitu saya pamit dulu Om" ucap Gracia yang hanya di jawab anggukan oleh Reynan.
Dengan langkah gontay diiringi beberapa oleh-oleh pertanyaan di kepalanya, Gracia keluar dari rumah Reynan.
Sekilas ia berbalik lalu menatap rumah Reynan. Mendongak menatap lantai dua, berharap ada Shani disana. Namun nihil.
"Gini amat naksir anak orang" gumam Gracia lalu merogoh saku celananya, mengambil kunci motor lalu pergi meninggalkan rumah Shani.
Sementara Reynan masih duduk di tempatnya.
"Bi, tolong panggilkan Nona Shani" titah Reynan pada salah satu Asisten rumah tangganya.
"Baik pak"
Tak lama Shani muncul, di susul dengan Veranda yang mengekor di belakang Shani. Ia penasaran dengan hasil pertemuan Reynan dengan Gracia tadi.
"Papa manggil Shani?"
"Iya sayang" jawab Reynan dengan senyum khasnya "Sini duduk deket papa" lanjutnya sambil menepuk tempat kosong disampingnya. Sementara Veranda duduk di sebrang Shani dan sang Papa.
"Gimana pah?" Tanya Shani tak sabar. Sungguh ia penasaran dengan apa yang akan di katakan oleh Reynan.
"Apanya gimana?" Tanya Reynan membuat Shani menghela nafas.
"Gracia" jawab Shani cepat.
"Kamu yakin sama gadis itu?"
Shani mengangguk semangat. Tentu saja ia yakin 1000%. Karena jika ia tidak yakin, ia tidak akan mau repot-repot menentang sang papa.
"Seyakin apa?"
"Yakin banget. Gak pernah Shani ngerasa seyakin ini sama orang kecuali Gracia. Shani harap papa mau ngerti dan mau nerima Gracia sebagai pacar Shani"
Reynan diam lalu tersenyum tipis saat melihat kesungguhan Shani. Tangannya terulur menepuk kepala Shani beberapa kali.
"Kamu kalo ada maunya emang mirip banget sama mama" ucap Reynan "Tukang maksa" lanjutnya sambil terkekeh pelan.
Pemandangan tersebut tak luput dari perhatian Veranda. Tentang bagaimana sang papa yang sikapnya bisa berubah drastis ketika berbicara dengan Shani, bahkan sang papa akan lebih banyak tersenyum jika berhadapan dengan adik bungsunya itu.
Sementara ketika bersama Veranda. Sang papa tetaplah sang papa. Jangankan tersenyum, interaksi saja hanya secukupnya.
"Jadi gimana pah?" Tanya Shani cemas.
"Yaudah iyaa"
"Iyaa apa?"
"Kamu boleh pacaran sama gadis itu"
Shani membulatkan kedua matanya, kaget sekaligus senang mendengar penuturan sang papa barusan.
"Beneran pah?" Tanya Shani memastikan.
"Iya sayang"
"Tapi Kak Vino?"
"Biar jadi urusan papa"
"Aaahh makasih banyak papa" ucap Shani lalu menghambur ke pelukan sang Papa. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih beberapa kali pada Reynan.
Sementara Veranda kembali dibuat takjub dengan apa yang di dengarnya barusan. Sang papa yang biasanya kukuh dengan pendirian dan keinginananya, kini dengan mudah mengiyakan maunya Shani.
Pakai pelet apa Shania Gracia hingga Reynan pun seolah tak berdaya?
Tapi setidaknya masalah Shani dan Gracia sudah menemukan titik terang, tidak perlu ada drama berdarah-darah atau masalah besar lainnya. Yang jadi pertanyaan Veranda kini, bisakah sang papa merestui hubungan Veranda dan Naomi semudah papa merestui Gracia dan Shani?.
"Besok kita ke rumah keluarga Vino. Biar papa yang selesaikan"
Shani mengangguk semangat, ia menoleh kearah Veranda lalu tersenyum. Namun senyumnya luntur saat ia melihat sang kaka terlihat melamun. Entah apa yang ia Fikirkan, Shani tak tau.
"Besok kamu ikut ke rumah Vino ya Ve" ucap Reynan membuat Veranda mengerjap.
"Hah? Kenapa pah?"
"Besok ikut ke rumah Vino" ulang Reynan lalu berdiri "jangan nyari alasan untuk tidak ikut" lanjutnya lalu berjalan meninggalkan Veranda dan Shani.
"Kakak ngelamunin apa?" Tanya Shani yang kini menghampiri Veranda.
"Enggak ada"
"Bohong!" Ucap Shani tak percaya "Kakak dari tadi ngelamun aku liatin"
"Perasaan kamu aja ih"
"Ih kakak aneh"
"Beneran kakak gak papa. Btw, cieee di restuin" goda Veranda membuat Shani tersenyum lalu menghambur ke pelukan Veranda.
"Makasih kak. Semua ini berkat dukungan kakak juga"
"Apapun untuk Shani" jawab Veranda sambil mengusap kepala Shani.
"Semoga nanti papa restuin kakak sama kak Nomnom juga ya"
Veranda tak menjawab, entah mengapa perasaannya malah tak karuan mendengar kalimat Shani barusan. Ia malah mengeratkan pelukannya pada Shani sambil bergumam dalam hati.
"Semogaa saja".
_______
Gracia mematikan mesin motornya. Ia segera turun lalu berlari menuju kamarnya. Namun belum sempat ia menyentuh handle pintu, tiba-tiba saja ia diam sambil menatap pintu kamar Ara.
Segera ia berjalan lalu masuk ke kamar Ara tanpa mengetuk pintu.
"Ra..." panggil Gracia pelan. Ia heran saat melihat Ara yang duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya. "Loe kenapa?" Tanya Gracia lalu berjalan menghampiri Ara, duduk di sampingnya.
"Chika pergi" ucap Ara tanpa menoleh ke arah Gracia. "Gue gak tau dia kemana, dan kayanya dia gak mau ketemu gue lagi".
Terdengar begitu menyakitkan di telinga Gracia. Gracia tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Ara karena ditinggal Chika. Sungguh kisah cinta yang rumit dan menyedihkan.
Lalu apa kisah cinta Gracia dan Shani akan berakhir lebih baik? Atau malah sama saja? Sementara sampai detik ini saja Gracia belum menerima kabar apapun dari Sang Indira.
"Gue cuma bisa bilang sabar ya. Gue tau pasti sakit banget kan"
"Gapapa. Udah biasa" jawab Ara lemah "Loe gimana? Udah di restuin papa Shani?"
Gracia menggeleng pelan "gak tau. Selesai wawancara gue di suruh langsung balik. Pacar gue aja gak ada kabar".
"Gue cuma bisa bilang sabar ya" ucap Ara membalikkan kalimat Gracia.
"Cinta itu ribet ya" ucap Gracia lalu menepuk pundak Ara "Gue ganti baju dulu, ntar gue temenin begadang ampe mampus"
"Sono"
Gracia berdiri dari duduknya lalu berjalan menuju kamar. Ia melempar kunci motor serta ponselnya ke atas meja. Baru saja ia membuka dua kancing kemejanya, perhatiannya teralih pada notif yang berasal dari ponselnya.
Segera ia meraih ponselnya. Kedua matanya melebar, di susul jantungnya yang berdetak sangat kencang. Ingin sekali berteriak namun takut menganggu penghuni lainnya. Ditambah tak enak juga pada Ara yang sedang galau karena Cinta. Gracia memilih melompat-lompat di kasurnya sambil berteriak tertahan, beberapa kali ia melihat pesan masuk di ponselnya, memastikan bahwa ia tak salah baca.
Yayang Shanee❤
=> Sayang, papa restuin hubungan kita.
Setelah itu Gracia kembali melompat-lompat bahagia.
_______
Jika boleh, ingin sekali Gracia menjadikan hari ini sebagai hari libur nasional. Jika bisa, ia ingin tanggal hari ini berubah warna menjadi merah agar ia tidak harus repot-repot masuk kuliah. Jika bisa juga, ia ingin segera lulus agar bisa langsung melamar pujaan hatinya.
Agak gila memang anak satu ini.
Tak biasanya ia sudah bangun sejak subuh tadi. Entah memang bangun pagi, atau memang belum tidur sama sekali. Karena sejak semalam ia menemani Ara ngopi cantik hingga pagi. Bercerita banyak hal tentang Chika, yang tentunya membuat Gracia semakin yakin bahwa memang Ara sudah cinta mati pada sahabatnya itu. Namun tentu saja Gracia belum menceritakan perihal restu papa Shani untuk dirinya, karena ia takut malah membuat Ara semakin terluka.
Tak lucu ia bahagia diatas penderitaan Ara.
Selesai mandi dan merapikan diri, Shania Gracia kembali berdiri di depan cermin. Melihat penampilannya dari atas ke bawah lalu kembali ke atas.
"Cakep bener pacarnya Shani" ia terkekeh di akhir kalimat. "Setidaknya gue gak malu-maluin kalo ajak Shani jalan" lanjutnya kemudian meraih kunci motornya di atas meja. Tak lupa ia mengirim pesan kepada Shani, mengucapkan selamat pagi seperti biasanya.
Sementara dikamar Ara tak terlihat ada aktifitas apapun, gadis itu masih berada di bawah selimutnya, membungkus dirinya sendiri hingga tak terlihat sama sekali. Setidaknya, mati kehabisan nafas di bawah selimut masih mending dibanding gantung diri, fikirnya.
Tak jauh berbeda dengan Gracia. Shani terlihat sibuk di depan cermin, beberapa kali memastikan penampilannya sudah sempurna padahal tiap detik juga sempurna.
"Kamu masih lama gak sih ?" Kesal Veranda yang sejak tadi duduk di kasur Shani, memperhatikan gerak gerik adiknya itu "kalo masih lama kakak tinggal!"
"Gak boleh jahat-jahat kak. Sabar dulu"
"Kakak udah sabar dari 40 menit yang lalu. Dan kamu masih belum selesai juga"
"Ck! kakak itu kaya gak pernah dandan lama aja" cibir Shani "lagian tumben banget hari ini aneh, tau-tau udah nongkrong di kamar aku dari pagi"
"Mana ada aneh, kamunya aja lama. Buruan Shani ah kakak ada kuliah pagi" ucap Veranda lalu berjalan menuju pintu
"Sabaaar Verandaaaa"
"Buruan Indira!!!"
"Iyaa iyaaa. Rusuh banget"
Shani segera meraih tasnya lalu menyusul Veranda. Dengan cepat Shani mensejajarkan langkahnya dengan Veranda.
______
"Kamu kenapa kak?" Tanya Naomi yang sejak tadi heran saat melihat Veranda hanya diam. Semakin heran saat kekasihnya itu mengajaknya bolos kuliah dan berakhir di Apartementnnya ini. "Ada masalah?" Lanjut Naomi sambil mengelus pipi Veranda.
"Gak tau. Aku juga gak ngerti aku kenapa"
Naomi mengangguk. Sulit jika Cwk sudah mengeluarkan kalimat keramat seperti itu. Pengennya di ngertiin, tapi dia juga gak ngerti dia kenapa, ditanya maunya apa, malah bingung. Gatau maunya gimana.
Dahlah pasrah aja.
"Mau makan ?" Tawar Naomi membuat Veranda menggeleng "yaudah. Aku buatin minum?" Kembali Veranda menggeleng.
Naomi menarik nafas dalam. Mencoba sabar menghadapi mood kekasihnya pagi ini.
"Peluk aja sini" Naomi menarik Veranda ke dalam pelukan, sesekali mengusap punggung serta kepala kekasihnya itu.
"Feeling aku gak enak" ucap Veranda membuat Naomi menarik sebelah alisnya heran "diem aja dulu gini" lanjut Veranda saat Naomi hendak melepas pelukannya.
"Soal apa dan siapa?" Tanya Naomi
"Kita"
"Kita?" Ulang Naomi sementara Veranda mengangguk dalam pelukan.
"Papa udah restuin hubungan Shani sama Gracia"
"Bagus dong. Bukannya itu yang kita semua mau?" Tanya Naomi "tapi apa hubungannya sama kita?"
Veranda menggeleng pelan "Gak tau. Aku juga gak ngerti apa yang aku kawatirin"
"Kamu takut papa gak restuin hubungan kita?"
Diam. Veranda hanya mengeratkan pelukan pada Naomi tanpa berniat menjawab pertanyaan Naomi barusan.
"Se enggak yakin itu kamu sama aku dan hubungan kita?"
Veranda menarik diri, menatap lekat Naomi sambil menangkup kedua pipinya. "Gak pernah aku gak yakin sama kamu atau hubungan kita. Aku cuma gak yakin sama papa" ucap Veranda sambil mengelus pipi Naomi dengan ibu jari "Aku bukan takut papa gak restuin kita, aku cuma gak tau apa jalannya akan semudah Shani dan Gracia atau enggak".
"Kamu yakin kita bisa lewatin ini semua?"
"Tentu. Selama kamu yakin sama aku, aku yakin bisa lewatin semuanya"
Naomi tersenyum tipis, ia mengikis jarak lalu mengecup bibir Veranda sekilas dan berkata.
"Yaudaah. Gak ada lagi yang mesti kamu kawatirin kan?"
"Gak tau aku bingung"
"Serah lah!!"
_____
Setengah berlari Shania Gracia bergerak menuju kelas Shani. Ia tak sabar bertemu sang pujaan hati, karena tadi pagi mereka tak sempat bertemu.
Senyumnya yang sempat mengembang kini sedikit luntur saat ia melihat Vino sudah berada di depan kelas Shani.
"Ngajak baku hantam kayanya ni kampret!" Umpat Gracia kesal. "Mesti di kasih pelajaran tambahan kayanya" lanjutnya lalu mendekat.
"Ngapain loe kesini?" Tanya Vino sinis
"Jemput pacar gue lah" jawab Gracia
"Cih! Masih aja mimpi"
"Gapapa. Bentar lagi mimpi gue jadi kenyataan, dan loe siap-siap aja mimpi buruk tiap malem"
"Loe--
"Sayaang"
Gracia dan Vino kompak menoleh ke arah suara. Gracia tersenyum saat Shani melangkah ke arahnya.
"Shan ayo pulang. Aku antar" ucap Vino
"Maaf kak, aku sama Gracia" tolak Shani halus, sementara Vino menggeram dalam hati.
"Tapi aku udah nunggu dari tadi"
"Gak ada yang nyuruh!" Sela Gracia
"Loe gak usah ikut campur urusan gue" ucap Vino sambil menunjuk Gracia.
"Gue akan ikut campur selama loe masih gangguin pacar gue"
"Shani tunangan gue!"
"Shani pacar gue! Mau apa loe?!"
Tak ingin semakin menjadi pusat perhatian, Shani segera menarik tangan Gracia. "Kita pulang Gee" ucap Shani
"Tapi sayang"
"Aku gak mau ada keributan Gee. Biarin aja" ucap Shani lalu menarik Gracia pergi, sementara Vino memaki dalam hati sambil melihat Shani yang semakin menjauh.
"Jangan sampe gue kehilangan Shani".
______
Gracia dan Shani tiba di parkiran, segera mereka masuk ke dalam mobil milik Ara yang Gracia rampok kuncinya pagi tadi.
Memang tak ada ahlak!
"Kamu kok gak biarin aku ribut sama si Kampret itu sih!" Ucap Gracia setelah masuk ke mobil sementara Shani sudah duduk anteng di kursi penumpang.
Shani malah terkekeh pelan "Biar apa sih sayang?"
"Biar keren aja gitu. Terus biar orang-orang tau kalo kamu tuh punya aku!" Ucap Gracia menggebu "aku kan gak mau mereka terus-terusan mikir kalo aku ngerusak hubungan kamu sama dia cuma buat dapetin kamu. Sekalipun iya bener sih aku ngerebut kamu, tapi kan--
"Sssttt bawel banget sih!" Sela Shani sambil menarik pelan pipi Gracia "Ngapain sih cape-cape buktiin sesuatu sama mereka. Yang penting papa udah restuin kita, dan nanti malem aku sama papa bakal ke rumah kak Vino buat selesaikan semuanya"
"beneran sayang?"
"Iyaa sayang. Aku kapan sih bohong sama kamu"
Gracia tersenyum lalu meraih tangan Shani, menjatuhkan kecupan di punggung tangan kekasihnya itu beberapa kali lalu berkata..
"Yaudah kalo gitu aku mau buru-buru telpon papa sama mama"
"Mau ngapain?"
"Ngelamar kamu lah, apa lagi!"
Shani tertawa pelan, sungguh ia tak menyangka jika kekasihnya ini sudah berfikir ke arah sana.
"Kuliah aja belum kelar ih. Main lamar-lamar aja"
"Biar! Harus buru-buru kalo menyangkut kamu" Ucap Gracia lalu menyalakan mesin mobil "tapi ngomong-ngomong Naomi dibawa ke mana sama kak Ve?"
"Maksud kamu?"
"Tadi pagi kak Ve ke kelas, terus manggil si Nomnom. Eh gak di balikin ampe sekarang"
Shani berfikir sejenak, kemana kakaknya pergi sementara dia bilang ada kelas pagi?. Masa iya seorang Jessica Veranda bolos kuliah?
"Mungkin ke Apartement kak Naomi"
"Bisa jadi sih. Yaudah lah biarin aja, mungkin ada urusan" ucap Gracia lalu menoleh ke arah Shani "mau makan siang dulu sayang?"
"Ayo. Abis itu kita ke Apartement kak Nomnom ya"
"Siap sayang!"
______
Shani berkali-kali berjalan mondar mandir di teras menunggu kepulangan Veranda. Bahkan Gracia yang menemaninya sejak pulang dari kampus tadi sudah pulang satu jam yang lalu. Perasaan cemas makin menguasai karena Veranda seperti menghilang di telan bumi. Tidak hanya Veranda, Naomi pun tak jelas kabarnya ada dimana. Terbukti dari Apartementnya yang kosong ketika Gracia dan Shani mencoba menyusul kesana.
Untungnya 10 menit kemudian bibir Shani menyunggingkan senyum saat melihat mobil Veranda masuk halaman rumah.
"Kakak darimana?" Tanya Shani ketika Veranda berjalan mendekatinya.
"Cari angin." Jawab Ve singkat.
"Aku telpon berkali-kali ga diangkat. Papa marah nunggu Kak Ve ga pulang-pulang."
Tak menjawab, Veranda justru memperlihatkan layar ponselnya. Ada puluhan notif panggilan dan pesan tidak hanya dari Shani tapi juga dari Reynan.
"Kakak masuk dulu ganti baju sebelum Papa nanti makin marah." Ucap Ve meninggalkan Shani begitu saja.
Shani merasa aneh dengan perubahan sikap Kakaknya hari ini.
"Mungkin lagi ada masalah sama Kak Naomi." Pikir Shani mencoba positif sambil berjalan masuk menyusul Veranda.
Sore ini rencananya mereka akan datang ke rumah Vino sesuai janji Reynan untuk membicarakan kelanjutan hubungan Vino dan Shani. Namun rencana itu harus mundur beberapa jam karena Veranda yang terlambat pulang.
Hari yang seharusnya membahagiakan untuk Shani karena akhirnya dia bisa terlepas dari hubungan yang tak dia inginkan, agak sedikit tercoreng karena suasana rumah malam ini. Kakak dan Papanya seperti sedang terlibat perang dingin, tidak ada interaksi antara mereka berdua sejak tadi. Suasana tak enak pun makin terasa ketika mereka berada di dalam mobil menuju rumah Vino. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Selamat malam Pak Alvin dan Istri." Sapa Reynan ketika melihat Tuan rumah berdiri di depan pintu menyambut kedatangan mereka.
"Selamat malam Pak Reynan, Shani dan Ve. Mari silahkan masuk." Ucap Si Tuan Rumah ramah tamah.
Setelah beberapa menit obrolan basi-basi antar orang tua, akhirnya Reynan menyampaikan maksud kedatangan mereka malam ini. Vino yang sejak awal kedatangan mereka sudah duduk disitu mencuri-curi pandang pada Shani pun cukup was-was dengan apa yang akan disampaikan Reynan. Semoga kabar baik, pikirnya.
"Sebelumnya saya minta maaf dengan kedatangan saya sekeluarga yang mendadak seperti ini. Tapi akan lebih baik kalau hal seperti ini disampaikan secepatnya sebelum makin berlarut. Sebelum saya ke intinya, saya mau menanyakan beberapa hal pada Vino." Ucap Reynan kemudian pandangan matanya dia alihkan pada Vino.
"Iya Om?" Tanya Vino.
"Sudah sejauh mana hubungan kamu sama Shani? Meskipun dia tunangan kamu, kita semua tahu kalian berdua produk perjodohan."
Vino cukup kaget dengan pertanyaan ini. Selama ini baik orang tua Shani apalagi orang tuanya tak pernah bertanya hal seperti ini. Mereka tidak pernah bertanya, mereka hanya menyampaikan keinginan mereka apapun itu 'suka' atau 'tidak suka' baik pada Shani maupun pada Vino.
"Ehmm kita berdua baik-baik aja kok Om." Ucap Vino mencoba yakin. Tapi bagi Reynan itu terdengar meragukan.
"Bisa dijelaskan lebih detail lagi Vino? Om ingin tahu tidak hanya yang tampak dari luar, keterlibatan perasaan kalian itu yang paling penting." Tanya Reynan lagi.
"Sebenarnya ini ada apa Pak Reynan?" Sela Alvin yang tampak bingung.
"Sebentar ya Pak Alvin. Setelah saya mendapatkan jawaban yang saya mau dari Vino, saya akan jelaskan semuanya pada kalian." Ucap Reynan yang membuat Alvin kemudian diam dan mengalah.
"Vino?" Tanya Reynan lagi menatap Vino yang kini sedang menundukkan kepalanya seperti sedang berpikir keras. Shani dan Ve yang tidak mau ikut campur hanya duduk diam dan tenang disitu. Ralat. Hanya Shani yang tenang.
Setelah diam beberapa saat Vino akhirnya buka suara.
"Baik Om. Sepertinya saya harus jujur disini. Awal dijodohkan memang saya menolak keras, namun entah mengapa setelah tahu dengan siapa saya dijodohkan, keinginan itu menguap entah kemana. Perasaan itu tiba-tiba saja berganti dengan rasa ingin memiliki Shani sepenuhnya. Saya menyukai Shani om. Atau kalau boleh saya bilang, Saya cinta sama Shani."
"Apa yang kamu inginkan selanjutnya?" Tanya Reynan.
"Kalau diijinkan, Saya ingin pernikahan saya dan Shani dipercepat Om."
"Sudah tanya ke Shani soal itu?"
Vino menggeleng. "Tapi saya yakin kalau Om mengijinkan, Shani akan turuti apa mau Om." Ucap Vino penuh percaya diri yang dibalas dengan kekehan dari Reynan.
"Shani itu anak saya. Bukan boneka yang bisa saya atur semau saya. Dia punya keinginannya sendiri. Saya tanya sekali lagi, kamu sudah tau keinginan Shani apa?"
Merasa tak ada gunanya lagi menutupi, Vino akhirnya mengangguk pasrah.
"Shani punya pilihannya sendiri dan itu bukan saya." Ucap Vino pelan sambil mengepalkan erat tangannya.
"Nah Pak Alvin sepertinya sudah mendengar sendiri dari Vino, jadi maksud kedatangan saya kesini ingin membicarakan hal itu." Ucap Reynan akhirnya setelah merasa cukup puas dengan jawaban Vino.
"Maksudnya apa ini Pak Reynan? Saya masih kurang mengerti." Tanya Alvin.
Reynan kemudian membetulkan posisi duduknya. Kali ini sedikit lebih tegak kemudian menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara.
"Jadi begini, niat kita menjodohkan Shani dan Vino supaya hubungan kita lebih dari sekedar rekan bisnis. Tapi yang kita tau, anak-anak pasti punya pilihannya sendiri dan tidak semua berjalan sesuai keinginan kita. Dalam hal ini, mungkin Vino mau menerima kondisi Shani. Tapi ternyata tidak dengan Shani. Pak Alvin sendiri sudah dengar jawaban dari Vino tadi."
"Oke saya mengerti Pak. Tapi apa tidak bisa beri mereka waktu lagi? Setidaknya beri Shani waktu untuk bisa menerima Vino. Saya yakin Vino akan berusaha membuat Shani menerimanya."
"Saya tidak masalah dengan itu. Asal dengan catatan Shani belum punya seseorang yang dia inginkan. Tapi sayangnya itu sudah terjadi."
"Tapi Pak, saya tau Pak Reynan mencoba menghormati keinginan Shani karena dia anak bapak. Tapi bisakah bapak coba mengerti posisi Vino juga? Apa yang Vino inginkan? Saya justru merasa ada perlakuan yang tidak adil disini. Masalah ini kita yang mulai, tapi kenapa yang harus menanggung akibatnya anak saya? Disaat dia sudah menerima dengan sepenuh hati, Pak Reynan dengan mudahnya menghancurkannya begitu saja. Shani memang anak bapak, tapi Vino anak saya Pak."
Shani dan Veranda ikut duduk tegak saat merasa mulai ada ketegangan antar orang tua disini.
Reynan diam. Tampak keningnya berkerut dalam karena berpikir keras.
"Pa, Vino gapapa kok kalau ga jadi sama Shani. Vino ikhlas." Ucap Vino lemah. Dalam hati dia tetap tak rela Shani tidak jadi bersamanya. Namun demi menghindari perseturuan dua orang tua disini, dia berpura-pura kuat.
"Gak bisa begitu. Ini masalah harga diri. Kamu laki-laki, jangan lemah begitu Vino!" Ucap Alvin yang makin emosi saja.
"Tapi kita ga bisa egois Pak. Apa Vino mau selamanya hidup dengan orang yang tidak menginginkannya?"
"Saya hanya minta keadilan Pak Reynan. Dalam hal ini Shani yang menang karena dia mendapatkan apa yang dia mau. Tapi Vino? Tolong beri solusi yang tidak memberatkan satu pihak saja."
Perasaan Shani makin tak enak karena perdebatan alot ini. Dipikirannya tadi protes cukup besar akan datang dari Vino sendiri, namun nyatanya ini justru dari orang tuanya.
Reynan diam kemudian balik badan untuk menatap Shani dan Ve bergantian. Shani balas menatap Papanya cemas. Sedangkan Ve malah melamun, sibuk dengan pikirannya sendiri. Lhaaa elaaah...
Reynan akhirnya menghembuskan nafas berat. Dia akhirnya kembali menatap Vino.
"Menurut kamu dari kacamata seorang laki-laki, Shani dan Veranda cantik siapa?"
"Om?" Vino malah makin bingung dengan pertanyaan itu.
"Jawab saja. Kita ga usah bawa perasaan disini. Antara mereka berdua mana yang paling cantik?"
Kalau harus menjawab tanpa perasaan, Vino merasa bisa menjawabnya.
"Dua-duanya cantik Om. Tidak bisa dibandingkan. Mereka punya spesialnya masing-masing. Kenapa Om?" Tanya Vino penasaran.
"Kalau Om minta kamu mulai lagi dari awal mau?"
"Maksud Om?"
"Misi penjajakan lagi dari awal. Saling mengenal dan memahami. Bedanya kali ini tidak ada hubungan seperti sebelumnya dan tidak ada paksaan. Kalau sudah sama-sama cocok, akan langsung Om nikahkan, tak perlu lagi tunangan."
"Pa!" Shani mencengkram lengan Papanya erat. Tidak terima karena tidak begitu perjanjian awalnya. Kenapa sekarang berubah drastis?
Reynan diam saja tak merespon Shani sedikitpun.
Mendengar itu Vino melotot. Antara percaya tak percaya, takut salah dengar.
"M-maksud Om? Om akan lanjutkan perjodohan ini?"
Reynan hanya mengangguk pelan.
"Mau Om. Vino Akan berusaha membuat Shani menerima Vino sepenuhnya. Vino janji." Ucap Vino mulai sumringah. Begitupun kedua orang tuanya.
Reynan hanya mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Tapi....."
"Tapi apa Om?"
"Yang mau Om jodohkan dengan kamu bukan Shani."
Terasa waktu berhenti dan semuanya berjalan slow motion. Veranda tersadar dari lamunannya ketika mendengar namanya disebut.
"Kamu akan Om jodohkan dengan VERANDA."
________
Jedaaarrr!!!
Veranda keluar dengan membanting pintu mobil, berjalan meninggalkan Shani dan Reynan dibelakangnya.
Hingga akhirnya dia berdiri diam di ruang tengah.
"Ve ga mau Pa!" Ucap Ve ketika Reynan dan Shani berdiri beberapa langkah di belakangnya. Tetap berdiri membelakangi mereka.
"Coba dulu. Kamu ga akan tau jadinya seperti apa kalau kamu ga coba."
"Tanpa perlu Ve coba, Ve sudah tau jawabannya."
"Jawaban apa?" Tanya Reynan.
"Kalau Ve ga akan pernah sama Vino."
"Kenapa?"
Veranda diam. Haruskah dia jujur sekarang?
"Kenapa?!!" Tanya Reynan lagi.
"Seperti Shani. Ve sudah punya pilihan sendiri." Jawabnya lantang karena merasa inilah kesempatannya untuk memberi tahu Papanya soal Naomi.
"Siapa?"
Veranda menarik napas panjang sebelum menjawab. Namun sebelum itu terjadi, Reynan mematahkan mentah-mentah niatnya.
"Cewek ga jelas asal usulnya itu kan?" Ucap Reynan seketika membuat Veranda menatap bingung Papanya.
"Jangan dikira Papa ga tau apa yang selama ini kamu lakukan sama dia diluar sana."
"Papa nguntit aku selama ini?!"
"Bangga? Apa yang kalian berdua lakukan diluar sana sekecil apapun itu Papa tau. Jadi jangan coba-coba bohongin Papa." Jelas pernyataan ini tidak hanya ditujukan pada Veranda, tapi juga pada Shani.
"Papa masih bisa mentoleransi Shani karena Papa tau siapa Gracia. Tapi kamu? bisa-bisanya kamu milih cewe yang terlahir dari keluarga ga jelas seperti dia."
"Apa salahnya Pa? Naomi cewek baik-baik, bukan pelacur seperti yang ada dipikiran Papa!"
"Siapa bilang dia pelacur? Jadi namanya Naomi?" Tanya Reynan santai.
"Iya. Dan satu-satunya orang yang Ve mau cuma dia!" Ucap Ve dengan nada menggebu.
"Oke! Papa ga akan maksa kamu harus sama Vino. Tapi jangan harap Papa akan restuin hubungan kalian!" Setelah mengucapkan itu, Reynan pergi meninggalkan Shani dan Veranda.
Shani mendadak sakit kepala. Kenapa jadi begini sih?! Pikirnya.
Veranda masih berdiri tegang dengan kepala tertunduk menahan emosi. Tak lama dia menatap Shani. Dan untuk pertama kalinya Shani kaget saat melihat Veranda menatapnya seperti itu. Dari sejak Shani bisa melihat sampai detik ini, baru kali ini ia melihat tatapan kakak kandungnya itu begitu menakutkan baginya.
"Kak ak---"
Belum sempat Shani menyelesaikan kalimatnya, Ve berbalik pergi meninggalkannya. Shani hanya diam berdiri sendiri di ruang tengah, mencerna satu per satu apa yang terjadi hari ini. Baru sebentar dia merasakan bahagia, lagi-lagi masalah harus muncul minta diperhatikan. Feeling Shani ini akan makin berat dari sebelumnya.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro