Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

~Dua puluh delapan~





Aku hampir lupa bagaimana cara menulis sebuah cerita. Otakku seakan tidak mau bekerja sama. Setiap adegan terlintas di kepala, namun nyatanya tak satupun kata bisa aku tuang dalam cerita.

Aku berharap kalian masih bisa membaca kisah ini dengan nyaman. Aku berharap masih bisa menyampaikan kisah ini dengan baik seperti biasanya.

Bagaimanpun, kisah ini harus selesai.
Entah akan bahagia atau tidak. Yang jelas setiap kisah pasti punya akhir yang sesuai dengan takdir.

Tapi, apakah takdir akan berpihak pada mereka? Apakah takdir mereka akan sama seperti kisah-kisah fiksi sebelumnya yang berakhir bahagia?

Entahlah...











-MetBaca-












DOR!!


Suasana menjadi kacau seketika. Bukan hanya karena suara tembakan tapi juga karena mendadak seluruh ruangan gelap tanpa cahaya. Semua orang berhamburan mencari jalan keluar. Suara teriakan terdengar dimana-mana akibat panik yang melanda.

Reynan mendadak serba salah. Tak sekali tubuhnya di dorong kesana kemari oleh para tamu yang berlari. Di sela kalut yang melanda ia segera mencari keberadaan Shani dan Veranda. Namun percuma sepertinya, untuk melangkah saja sudah sulit di lakukan.

Tak lama lampu kembali menyala. Reynan mengedarkan pandangan ke segala arah. Rahangnya mengeras saat melihat kekacauan yang terjadi. Perasaannya mendadak tidak enak. Reynan segera mencari beberapa anak buahnya.

"Cari Shani dan Veranda! CEPAT!!!"

"Baik Tuan"

Sudah lima jam mencari namun tak ada kabar pasti. Shani dan Veranda seolah hilang di telan bumi.

Tak henti Reynan, anak buahnya serta Vino mencoba menyusuri tiap lorong dan kamar hotel, mencoba melacak lewat cctv yang ada namun nihil. Mendadak semua cctv hotel rusak, bahkan beberapa ada yang sudah mati sejak  kemarin sore. Bagaimana bisa?

Tak hanya itu, padamnya listrik di seluruh ruangan juga seolah sudah direncanakan matang-matang. Tidak ada kerusakan apapun. Bahkan dikabarkan, tidak hanya listrik hotel yang padam, melainkan seluruh kota ikut terkena imbasnya.

Siapa yang berani mensabotase seluruh kota?.

Kepala Reynan mendadak berdenyut hebat.

"Vino udah nyari kemana-mana, tapi gak ada Om" tampak penampilan Vino sudah acak-acakan. Ia dibuat frustasi atas kejadian ini. "Vino juga udah suruh anak buah papa buat nyari ke beberapa tempat, kalo perlu sampai luar kota".

Reynan hanya mengangguk pelan, ditengah emosi yang sejak tadi masih menguasai, ditambah dengan sakit di kepala yang semakin terasa, terlintas sebuah nama yang muncul di kepalanya.

"Om, mau kemana?" Tanya Vino saat Reynan mendadak pergi.

"Ke suatu tempat"

_______


"Gue takut loe kesambet kalo kebanyakan ngelamun"

"Setan aja mikir-mikir kalo mau gangguin gue. Udah ilfil duluan"

"Bener juga"

Keduanya terkekeh. Ara berjalan menghampiri Gracia yang kini duduk di sisi kasur, mengambil tempat di samping Gracia. Keduanya kompak merebahkan tubuh mereka, menatap langit-langit kamar.

"Setelah Loe tau Chika ada dimana. Loe mau ngapain?"

Yang di tanya menarik nafas dalam lalu menghembuskannya. Beberapa kali, seolah dadanya terhimpit sesak sekali.

Ara dan Gracia kompak tidak masuk kuliah selama satu minggu, membawa misi mencari keberadaan Chika. Mencari informasi kemana-mana, hingga akhirnya usaha mereka membuahkan hasil juga.

"Chika kayanya udah bahagia Gre"

Ara kembali mengais ingatan, dimana ia melihat Chika sedang duduk di taman sebuah kampus ternama. Di sebuah kota yang jauh dari tempat tinggal Ara sekarang. Duduk berbincang dengan seseorang sambil sesekali tertawa bahagia.

Tidak ada yang berubah dari Chika. Tetap cantik, malah semakin cantik saja.

"Gue liat dia baik-baik aja udah lebih dari cukup. Gue gak akan ngejar dia. Gue mau Chika bahagia dengan pilihannya, dengan siapapun itu"

"Loe yakin gak mau berjuang sekali lagi?"

Ara menoleh sekilas, menatap Gracia yang juga sedang menatapnya menuntut jawaban.

"Enggak. Gue takut bikin dia kecewa lagi. Gue yakin dia akan menemukan seseorang yang dia mau. Yang mencintai dia lebih dari gue"

Gracia mengangguk paham. Tak ingin memaksakan kehendak apapun.

"Lalu Mira?"

Ara tersenyum tipis. Rasanya ingin sekali menertawakan hidupnya yang menyedihkan ini.

"Gue juga gak akan ngejar Mira. Sekalipun kesempatan gue masih besar banget. Gue takut dia kecewa. Selama di hati gue masih ada Chika, gue gak akan buka hati gue buat siapapun Gre. Gue bakal nunggu pemilik hati gue pulang. Kalaupun enggak, gue gak akan nyari penghuni baru".

"Loe sebenernya bisa belajar mencintai Mira sepenuhnya Ra"

"Gak ada jaminan Gre. Gue gak mau ngorbanin siapapun. Cukup liat Chika dan Mira baik-baik aja, gue udah seneng".

"Pilihan ada di tangan Loe Ra. Gue bakal dukung keputusan loe apapun itu"

"Thankyou. Sorry kalo gue ngerepotin, sorry juga kalo loe jadi kaya gini gara-gara gue".

"Enak aja sorry doang. Ganti rugi elah"

"Ck! Perhitungan banget"

"Ini soal nyawa anjir!!"

"Tap----

Tok.... Tok....

"ARA! GRACIAA!!"

"Ya ma bentar!!"

Ara bergegas membuka pintu kamarnya. Menatap heran pada sang mama yang terlihat ketakutan.

"Mama kenapa ?"

"Diluar banyak orang yang nyariin Gracia"

"Siapa Tan?" Tanya Gracia yang kini berdiri disamping Ara tak kalah herannya.

"Gak tau Gre. Mereka nyari kamu"

"Yaudah tante tenang dulu. Biar Gre yang liat ke depan ya. Oiya, Om dimana?"

"Di depan sama mereka"

Gracia mengangguk lalu berjalan bersama Ara menuju pintu depan, dimana para tamu tidak di undang masih berdiri dengan ekspresi yang sulit di artikan.

"Om Reynan?" Tanya Gracia heran "Ada apa ini?" Gracia mengedarkan pandanganya. Menatap satu persatu orang yang kini menatapnya dengan emosi.

"Gak usah banyak omong!. Mana Shani hah?!" Bukan Reynan yang menjawab, tapi Vino yang kini mengikis jarak lalu mencengkram kaos Gracia.

"Woy selow anjir!" Teriak Ara meraih tangan Vino lalu menghempasnya "Dateng-dateng rusuh loe bangsat!"

"Raa tenang Ra".

"Dimana Shani dan Veranda?" Tanya Reynan dengan tatapan intimidasi.

"Maksud Om?"

"Gak usah pura-pura gak tau. Dimana Shani dan Veranda!?" Lagi, Reynan bertanya dengan nada yang lebih tinggi.

"Saya gak tau dimana mereka"

"Gak usah drama, pasti loe yang nyembunyiin kan?" Tuduh Vino yang kembali terpancing emosi. "Ngaku aja!"

"Loe kalo ngomong dijaga. Gak usah nuduh orang!" Kesal Gracia sambil menunjuk Vino.

"Siapa lagi kalo bukan Loe"

"Saya gak tau dimana Shani atau Veranda Om. Saya aja terakhir ketemu mereka 2 minggu yang lalu"

Reynan menatap Gracia dengan intens, mencari kebohongan di mata gadis itu, namun nihil.

"Bahkan tiga hari ini saya gak kemana-mana Om. Silahkan tanya om dan tante saya"

"Benar Pak, Gracia tiga hari yang lalu mengalami kecelakaan bersama anak saya, Ara. Selama itu mereka istirahat di rumah"

Reynan sempat meneliti perban di pelipis Gracia, dan beberapa luka ditangan yang masih terlihat baru. Tak hanya Gracia, Ara juga mendapat luka yang hampir sama.

"Baik. Maaf sudah mengganggu"

Reynan berbalik, segera pergi di ikuti Vino dan yang lainnya.

Sementara itu Gracia segera bergegas masuk ke dalam, mengundang tatap tanya dari Ara.

"Mau kemana loe?"

"Nyari Shani!"

_______


Sudah 90 hari semenjak Shani dan Veranda hilang di telan bumi.

Sejak malam itu, semua penduduk bumi seolah sibuk mencari kedua bidadari itu.

Gracia dan Ara yang setiap hari berkeliling kota, hingga luar kota. Mencari jejak langkah Shani dan Veranda.

Reynan mengerahkan puluhan aparat, intel bahkan para detektif hebat yang ia bayar mahal untuk mencari kedua putrinya.

Namun hingga detik ini.. tidak ada hasil yang berarti.

Sementara Vino kini tertunduk lesu. Setelah acara wisudanya selesai, ia pikir ia akan bisa fokus mencari keberadaan Shani dan Veranda. Namun ternyata ia salah.

Baru saja sang papa memberi perintah pada Vino untuk segera bersiap. Malam ini ia akan di kenalkan pada seorang gadis yang berasal dari keluarga terpandang, kaya raya serta memiliki pengaruh besar di Negeri ini.

Harga diri Vino terluka. Kini ia merasa tak pantas dianggap sebagai lelaki sejati. Mempertahakan pilihannya saja ia sudah tidak berhak, apalagi memilih pilihannya sendiri. Semua sudah di atur sang papa. Hidupnya, pasangannya, bahkan semua hal seolah harus sesuai dengan apa yang di inginkan sang kepala keluarga.

Perihal perasaan dan cinta itu urusan kesekian, yang penting adalah bisnis berjalan sesuai keinginan.

Inikah yang dirasakan Shani dan Veranda??

Dua perempuan yang tak satupun bisa Vino jadikan pasangan hidupnya.
Dua perempuan hebat yang berani menentang sang papa, hanya demi mempertahankan harga diri dan pilihan mereka.

Apakah Vino harus melakukan hal yang sama? Menghilang dari muka bumi, dan tak pernah muncul lagi.

Tapi siapa Vino? Dia tak punya kuasa apapun, tak punya siapapun untuk membantunya lari dari kenyataan ini.

Sang papa sudah pasti akan menemukannya di mana pun.

Vino mengerutkan keningnya. Seolah teringat sesuatu yang sangat penting.

Siapa orang dibalik hilangnya Shani dan Veranda? Sehebat apa orang itu sehingga keluarganya maupun Reynan tak mampu menemukan jejak sedikitpun.

Dan apakah benar Shania Gracia tidak terlibat apapun?

Vino belum bisa sepenuhnya percaya. Walaupun fakta yang ada hingga kini, Gracia pun sama frustasinya, tak mampu menemukan Shani dan Veranda.

_______

Gracia beberapa kali melihat ke arah kaca spion mobilnya, tak lama ia mencengkram erat stir guna meluapkan amarahnya.

"Brengsek!! Masih aja ngikutin gue"

Gracia menepikan mobilnya secara tiba-tiba, sontak membuat beberapa mobil dibelakangnya melakukan hal yang sama.

"Keluar kalian semua bangsat!!!"

Nafas Gracia memburu, emosinya sudah tak bisa lagi dibendung. Semenjak Shani dan Veranda hilang hidupnya tak pernah bisa tenang. Setiap hari ada saja iblis berkedok manusia yang mengikutinya.

Terlihat beberapa orang keluar dari mobil.

"Mau apa kalian?"

"Kami hanya melaksanakan tugas Nona. Mohon tenang. Jangan sampai kami melakukan kekerasan"

"Tenang? Enteng banget rahang loe. Gimana gue bisa tenang kalo kalian ngikutin gue terus hah!"

Tak ada satupun yang merespon kalimat Gracia. Gracia sudah murka. Ia lelah terus di ikuti selama beberapa bulan ini. Ia seperti tahanan kota yang tidak bebas kemana-mana.

"Bangsat!" Umpat Gracia "Gue bakal bikin perhitungan sama bos kalian"

Tak menunggu apapun lagi, Gracia kembali masuk ke dalam mobil. Melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke suatu tempat.

Tiba di kantor milik Reynan, Gracia segera menuju resepsionis. Bertanya dimana ruangan Reynan berada.

"Saya mau ketemu Pak Reynan"

"Sudah ada janji?"

Gracia menggeleng tak sabar "Bilang aja Gracia mau ketemu"

"Baik, sebentar"

Tatapan Gracia mengedar ke segala arah, sebelum akhirnya tersenyum miring saat sang resepsionis mempersilahkan untuk bertemu Reynan.

Gracia berjalan dengan buru-buru menuju ruangan yang di sebutkan. Beberapa kali mengetuk pintu sebelum akhirnya membukanya.

"Selamat siang" Sapa Reynan sambil menatap penuh arti "sudah menyerah?"

"Maksud anda?"

"Kamu kesini untuk memberitahu keberadaan Shani kan? Atau mengaku bahwa kamu dalang dari semua masalah ini"

"Saya tidak akan mengakui sesuatu yang tidak saya lakukan. Dan tolong berhenti mengikuti saya pak. Kalian tidak akan mendapat apapun dari saya"

Reynan terkekeh pelan "Selama saya masih belum percaya bahwa kamu tidak terlibat dengan hilangnya anak-anak saya, maka selama itu saya tidak akan pernah berhenti"

Kedua tangan Gracia mengepal erat. Jika bukan orang tua, atau jika bukan ayah dari seseorang yang ia cintai, sudah pasti Gracia sudah menghadiahkan satu pukulan di wajah tua bangka menyebalkan itu.

"Tidak ada bukti apapun yang mengarah pada saya kan? Jika memang saya tau Shani dan Veranda ada dimana, sudah pasti saya tidak akan cape mencari mereka dan mungkin saya akan menghilang bersama mereka" ucap Gracia santai "lagi pula...

Ucapan Gracia menggantung di udara membuat Reynan berdiri dari duduknya, menaikkan sebelah alisnya lalu mengikis jarak tepat ke hadapan Gracia.

"Harusnya yang disalahkan dalam kasus ini anda sendiri Tuan Reynan yang terhormat. Jika bukan karena ego dan obsesi anda, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi".

Kalimat Gracia seolah menebar racun di sekitar Reynan. Merasuk ke dalam tubuhnya. Membangkitkan emosi yang sejak tadi ia tahan.

"Anda tidak mendapat keuntungan apapun kan sekarang? Anda hanya seorang pecundang sekarang. Apa yang anda punya tidak berarti apapun lagi"

"Jaga ucapan kamu! Kamu hanya orang lain, kamu tidak berhak ikut campur dalam urusan saya"

"Kalau begitu berhenti mengikuti saya. Saya hanya orang lain bukan?" Tantang Gracia "Saya bukan siapa-siapa, bukankah saya tidak punya kuasa apa-apa dibanding anda Pak Reynan. Orang sehebat anda saja tidak bisa menemukan Shani dan Veranda, apalagi saya yang hanya seorang mahasiswa biasa"

Gracia tersenyum menantang. "Daripada sibuk menyalahkan orang lain, lebih baik bapak sibuk introspeksi diri. Seberapa kuatpun kekuasaan yang bapak miliki, tidak bisa menemukan mereka bukan?" Tanya nya tanpa memberikan kesempatan Reynan menjawab "Dan seberapa banyak harta yang anda punya, tetap tidak bisa membawa Shani maupun Veranda kembali".

Rahang Reynan mengeras. Kedua tangannya mengepal dengan erat. Jika dihadapannya bukan seorang gadis, mungkin ia sudah meraih dan melempar vas bunga diatas meja tepat ke kepalanya.

"Ohh dan satu lagi, saya dengar calon menantu kebanggaan anda sudah dijodohkan dengan gadis lain Tuan. Berita nya sudah menyebar ke seluruh Negeri. Apakah harga diri anda tidak terluka Tuan?" kekehnya diakhir kalimat.

Tanpa menunggu respon Reynan, Gracia segera berbalik, meninggalkan Reynan yang masih terdiam di tempatnya. Menggeram kesal, ia sangat marah setelah mendengar kalimat terakhir Gracia.

"Jika saya ada di posisi anda. Sudah pasti berita kematian Vino akan mengisi topik utama besok pagi. Saya Permisi".

_______



Saya tidak punya kekuasaan apapun, saya hanya mahasiswa biasa.

Kalimat-kalimat Gracia masih segar dalam ingatan. Berputar di kepala Reynan hingga malam tiba. Ia masih duduk di kantornya. Tak beranjak seinci pun sejak kepergian Gracia.

Reynan tau jika Gracia bukan gadis dari kalangan biasa. Ia sudah mencari tau sejak awal ia dekat dengan putri bungsunya. Seolah mendapat angin segar, Reynan meraih ponsel untuk menghubungi seseorang, memberi beberapa instruksi sebelum melangkah keluar dari kantornya.

Reynan baru saja tiba di rumahnya. Rumah megah bak istana itu nampak sepi. Tidak ada aktivitas apapun apalagi sejak kepergian Veranda dan Shani. Ia mendesah lelah, melempar tubuhnya ke sofa lalu meraih remot tv dan menyalakannya. Setidaknya, sekarang tidak sesepi sebelumnya.

Reynan menunduk lesu, memijat pelipisnya pelan. Kepalanya nyaris ingin pecah, seolah tak sanggup menanggung semua hal yang ada di dalamnya.

Cukup lama hingga akhirnya kepalanya mendongak cepat, menatap ke layar Tv yang menampilkan berita pertunangan Vino dengan salah satu anak petinggi Negeri ini. Benar apa yang di katakan Gracia tadi siang. Harga dirinya kini terluka. Bagaimana bisa mereka mengadakan acara meriah sementara Shani dan Veranda hingga detik ini masih belum juga ada kabarnya?.

Kalimat terakhir Gracia benar-benar memenuhi pikirannya sekarang.

Reynan meraih kembali remot TV lalu menekan tombil off sebelum melempar benda itu ke lantai hingga hancur berhamburan.

"Brengsek!!"

"Sialan kau Alvino"

Reynan menggeram frustasi, ia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.

"Lakukan sesuai rencana, pastikan tidak ada kesalahan".

_____


72 jam setelah pertemuan Gracia dan Reynan.

Gadis itu tampak lebih tenang karena ia merasa tak ada yang mengikutinya. Apakah tua bangka itu sudah menyerah? Atau ini hanya bagian dari rencananya? Tentunya Gracia tidak boleh lengah. Ia tidak tau rencana apa yang akan di lakukan Reynan nantinya.

Sementara itu di semesta lain, Reynan berjalan angkuh dengan diikuti beberapa orang dibelakangnya. Menyusuri koridor sebuah gedung pencakar langit.

"Silahkan masuk Tuan"

Reynan mengangguk. "Kalian tunggu diluar". Reynan masuk ke dalam sebuah ruangan. Berjalan mendekat ke arah seseorang yang kini berdiri, menatapnya tanpa ekspresi.

"Selamat datang Tuan...??"

"Reynan"

"Baik Tuan Reynan, silahkan duduk"

Reynan mengangguk. Segera duduk, berhadapan dengan seseorang yang kini ikut duduk, lalu menatap penuh arti.

Tatapan itu. Tatapan yang beberapa kali pernah ia lihat, tatapan penuh percaya diri, tidak ada ketakutan, tidak ada ragu, persis sama seperti yang ia lihat pada Gracia.

"Langsung saja Tuan Harlan" Reynan tanpa basa basi langsung berkata, membuat sang lawan bicara memfokuskan diri untuk mendengar apa maksud dan tujuan dari tamu tak diundang ini "Saya minta untuk anda tidak ikut campur urusan saya. Dan segera beritahu dimana anak-anak saya berada"

Harlan menaikkan sebelah alisnya. Tidak mengerti arah pembicaraan ini kemana. "Tunggu sebentar. Ikut campur? Anak-anak? Anak siapa yang anda maksud? Dan urusan mana yang saya campuri. Saya saja tidak mengenal anda Tuan". Nada bicara Harlan begitu tenang. Kontras dengan Reynan yang memang sudah terlihat kesal sejak menginjakkan kaki di kantor ini.

"Tidak usah pura-pura. Tidak mungkin anda dan anak anda tidak terlibat dalam masalah ini"

"Anak saya?"

"Shania Gracia Harlan"

Harlan mengangguk "Oh si bungsu itu. Sebentar" ucap Harlan santai. Ia meraih ponselnya, tak lama menempelkannya ke telinga.

"Hallo sayang.."

"......."

"Papa kedatangan tamu, Tuan Reynan. Kamu mengenalnya?"

"............"

"Oh mantan pacar. Baguslah. Papa tidak mau berbesan dengan manusia angkuh"

".........."

"Papa tunggu kamu pulang"

Harlan mematikan sambungan telponnya, menatap remeh ke arah Reynan.

"Urusan percintaan anak muda tidak seharusnya melibatkan saya Tuan"

"Tapi saya yakin anak anda terlibat dalam masalah ini, tentu dia tidak akan bisa melakukan hal itu jika tidak ada anda di belakangnya" Reynan tak mau kalah. Tatapan intimidasi dia layangkan sementara Harlan hanya terkekeh pelan. "Beritahu saya segera, jika tidak tentu anda akan menerima akibatnya".

"Datang tanpa di undang, lalu dengan sikap yang begitu angkuh berani mengancam saya? Anda sehat Tuan?" Kekeh Harlan "Saya beritahu sesuatu, sejak kecil hingga detik ini, anak kebanggaan saya tidak pernah merepotkan saya. Apalagi hanya urusan percintaan dan melibatkan seorang perempuan? cih!" ucap Harlan seolah meremehkan "Dia selalu bisa menyelesaikan semua masalah-masalahnya sendiri" ucap Harlan "Saya juga tidak punya cukup waktu untuk mengurus hal-hal seperti itu. Kita berada di Negara berbeda. Dan saya belum pernah menginjakkan kaki di Negara anda selama 3 tahun terakhir ini. Saya tidak pernah sekalipun melihat wajah anak-anak anda, bagaimana caranya saya bisa terlibat?"

"Saya tidak peduli, dan saya pastikan kalo saya akan segera menemukan bukti bahwa anda terlibat Tuan. Dan jika saat itu tiba, maka bersiaplah menerima akibatnya".

"Saya tunggu dengan senang hati"

_____

Putra pertama seorang pengusaha ternama, meninggal karena kecelakaan tunggal. Diduga pengemudi dalam pengaruh minuman keras.


Berita utama pagi ini begitu mengejutkan. Baru saja kemarin keluarga besar Alvino mengumumkan pertunangan mereka dengan begitu bangga ke depan media. Namun siapa sangka hari ini mereka mengumumkan berita kematian putra mereka.

Dikabarkan laki-laki itu mengemudi dengan kecepatan tinggi, hilang kendali sehingga mobilnya menghantam pembatas jalan, berguling beberapa kali sebelum akhirnya terbakar dan menewaskan dirinya sendiri.

Sungguh tragis.

Gracia bergidig ngeri saat melihat berita tersebut. Kemarin ia hanya basa basi saja pada Reynan, tapi mengapa hal tersebut malah jadi kenyataan. Sekalipun katanya memang kecelakaan, tapi apakah memang itu murni tanpa campur tangan Reynan atau pihak lainnya? Gracia harus waspada.

Sementara itu di sisi lain, Reynan baru saja tiba di hotel tempat ia menginap. Belum berniat kembali ke kediamannya karena dirasa masih banyak informasi yang harus ia dapatkan tentang Harlan.

Reynan menyeruput kopi panasnya sekali, menikmati rasa pahit yang kini mendominasi, sambil tersenyum miring saat menatap layar ponselnya. Dengan seksama menyaksikan berita pagi ini yang sungguh menjadi hiburan tersendiri bagi Reynan.

"Pemuda yang malang" gumam Reynan sambil menyimpan ponselnya. Kembali menikmati secangkir kopi, seolah tidak ada beban apapun hari ini.

"Satu lagi yang harus di selesaikan"



-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro