~Dua~
= Selamat Membaca =
***********************
-Selalu ada bahu yang siap menjadi sandaran.
Yaitu, Bahu seorang sahabat yang memiliki ketulusan-
"Raa, ngelamun aja kamu, kaya mikirin hutang negara" ledek Pras pada Anak nya yang sejak tadi hanya mengaduk-ngaduk makanan di piring, tanpa berniat memasukkan nya dalam mulut "kamu teh ada masalah hidup apa?" Tanya sang papa.
Ara menggeleng pelan "hutang negara sama beban hidup sama berat nya pah" candanya namun terdengar tidak lucu sama sekali.
"Berat banget kek nya, tapi bodo amat ah" ucap Pras santai membuat Ara mendengus kesal "Papa mau minta tolong dong"
Ara mendongak, mengalihkan padangan nya dari piring "apa pa? Bayarin utang negara ? Ogah dih"
"Sembarangan kalo ngomong maneh teh, jemput sepupu kamu nanti siang di Bandara. Dia mau kuliah disini katanya"
Mata Ara seketika berbinar "si gendut mau kesini pah?" Ucapnya antusias "kok gak ngomong sama Ara, minta di tampol tu anak"
Pras mengangguk "iya, pesawat nya tiba jam 3 sore. Kamu gak ngampus kan?"
Ara menggeleng pelan "Enggak pah, Ara mau ke rumah Chika doang"
"Ngapel wae" cibir Pras
"Apaan dah, cuma temen pah"
"Temen kok di galauin tiap hari" ledek sang papa "udah lama dia gak kesini? Biasanya udah kaya minum obat sehari tiga kali"
"Dia sibuk nugas pah"
"Lah sama dong" saut sang papa
Ara menaikkan sebelah alisnya "Sama apanya??"
"Sama sibuk nya kaya kamu, dia teh sibuk nugas, kamu mah sibuk galauin dia haha kasian"
"Bodo amat pah" kesal Ara "Ara mau ke rumah Chika, bilangin mama ya. Ara males pamit" ucap nya lalu beranjak dan berlalu begitu saja.
"Dasar budak durhaka"
___
Ara berjalan dengan santai menyusuri komplek perumahan nya menuju rumah Chika. Senyum nya mengembang sempurna saat bayangan wajah Chika terlintas di otak nya. Kepalanya menggeleng pelan, seraya terkekeh kecil membayangkan hal-hal sederhana tentang pujaan hatinya itu.
Untung saja komplek perumahannya sepi, sehingga Ara tidak takut dianggap kurang sehat karena tertawa sendirian.
Ara tiba di tempat tujuan, membuka pintu dengan semangat lalu melangkah tanpa ragu menuju kamar Chika. Namun tiba-tiba langkah nya berhenti saat dia baru saja tiba di ruang tamu, semua imajinasi indah yang Ara bayangkan sejak tadi seketika musnah, matanya memanas, hatinya sesak saat pandangan nya tertuju pada Dua sejoli yang sedang asyk saling memagut mesra di Sofa.
Ara menyimpan tangan nya di dada sebelah kiri, meremas kaos yang dikenakan nya dengan kuat, berusaha menekan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh nya. Tubuh nya lemas, nyaris saja ambruk jika kaki nya tak cukup kuat menopang tubuh kurus nya. Tak ingin memperburuk suasana hati, Ara memutar balik tubuh nya, segera pergi meninggalkan penyebab luka di hatinya. Tatapan Ara terpaku pada sebuah motor Sport warna biru, terparkir sempurna di halaman rumah Chika.
Ara tersenyum miris, sehebat itu kah efek dari seorang Yessica Tamara untuk dirinya? Bahkan Hanya dengan memikirkan nya saja Ara bisa lupa segalanya, sampai ia tidak menyadari keberadaan motor sport tersebut.
Ara melangkah dengan gontai, sesekali menendang-nendang kerikil kecil di hadapan nya.
Langkah Ara terhenti di tengah-tengah, lalu memilih duduk di pinggir Trotoar jalan, menatap sekeliling nya sambil tersenyum getir.
Ara terkekeh seraya menghapus air mata nya dengan kasar, menertawakan nasib nya yang menyedihkan. Salahkah jika Ara Jatuh cinta pada sahabatnya sendiri? namun semua Ini bukan ingin nya, dan juga bukan kehendak nya. Salahkan perasaan bodoh ini kenapa harus jatuh bukan pada tempatnya. Kenapa harus pada Chika?
Kembali Ara menghapus kasar air matanya, kepalanya mendongak menatap langit. Hendak mengadu pada semesta tentang kisah cinta nya yang tak seindah film-film korea yang sering ia tonton bersama Chika.
Pandangan Ara teralih saat telinganya mendengar sebuah suara yang tak asing, suara dari sebuah motor sport yang ia lihat di rumah Chika tadi, bertepatan dengan ponselnya yang berdering, membuat nya segera merogoh saku nya dan melihat siapa yang menghubungi nya.
Mata Ara membulat saat ia melihat nama Chika terpampang disana, segera ia menghapus air mata nya, berdehem sebentar lalu menggeser icon hijau.
"Hall-
"Hiksss Araaa" ucap Chika di sebrang telp sambil menangis.
Ara bangkit dari duduknya saat mendengar tangisan Chika di sebrang sana.
"Kenapa Chik?" Tanya Ara kawatir.
"Kamu bisa ke sini?" Tanya nya di sela tangis yang semakin menjadi.
"Bentar lagi aku sampe kamu tenang dulu ya"
Ara segera mematikan sambungan telpon nya, menyimpan kembali ke sakunya. Segera ia berlari menuju rumah Chika sambil memastikan tak ada air mata yang tersisa di wajah cantik nya.
"Chik" panggil Ara saat ia sudah tiba di kediaman Chika. Berjalan ke hadapan Chika yang tengah menangis di Sofa.
"Ara hikksss"
Kembali Ara mendekap tubuh Chika yang bergetar sambil menangis, tangisan Chika terdengar lebih menyakitkan dibanding rasa sakit yang Ara rasakan saat melihat Chika berciuman dengan Vian tadi.
"Kamu diapain lagi sama dia hmm?" Tanya Ara lembut sambil mengusap puncak kepala Chika.
Chika menggeleng dalam pelukan Ara membuat Ara melonggarkan pelukan nya.
"Wajah kamu teh makin jelek kalo nangis tau gak" ledek Ara sambil mengelus pelan pipi Chika. Kedua alis Ara bertautan saat melihat sebelah pipi Chika yang kini berwarna merah, kontras dengan kulit putihnya. "Apa salah kamu sampe dia nampar kamu lagi?" Tanya nya lembut, namun hatinya menggeram penuh emosi.
"Kok kamu tau dia kesini?" Tanya Chika heran
"Siapa lagi yang berani nyakitin kamu selain dia hmm? Kalo kamu izinin aku bisa aja ilangin nyawa dia sekarang juga"
Chika memukul bahu Ara pelan "serem banget Raa" ucap nya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Ara "aku gak mau kamu kenapa-kenapa" lirihnya.
"Gak mau aku kenapa-kenapa, atau gamau dia yang kenapa-kenapa?" Tanya Ara penuh tuntutan.
Chika diam, tak berniat menjawab pertanyaan gadis yang kini kembali memeluknya, memberi nya ketenangan yang tidak ia dapatkan dari siapapun, bahkan dari kekasihnya sekalipun.
"Aku lihat di hp nya ada Chat sama cewek, kalimatnya romantis banget. Pas aku tanya dia siapa, Vian malah marah. Katanya aku gak berhak liat isi hp dia tanpa izin, padahal dulu Vian gak pernah masalah kalo aku acak-acak isi hp nya sekalipun. Dia... dia nampar aku terus pergi"
Ara kembali menggeram dalam hati, entah sampai kapan stok sabar nya akan bertahan. Setiap kalimat yang ia lontarkan selalu di bantah oleh Chika, semua penyangkalan Chika selalu membuat Ara diam tak berkutik.
Namun bisa Ara pastikan, jika laki-laki itu menyakiti Chika lagi, maka Jangan salah kan Ara, jika suatu saat ia akan menyewa pembunuh bayaran untuk melenyapkan manusia brengsek itu.
Membunuhnya tanpa harus mengotori tangan nya sendiri.
___
Ara mengedarkan pandangan nya ke segala penjuru, suasana bandara yang padat membuat nya sedikit kesulitan untuk menemukan sepupu yang sudah 5 tahun tak pernah ia temui. Berkali-kali Ara menghubungi no Hp nya, namun tidak aktif, Ara mendengus sambil mengumpat beberapa kali, belum juga bertemu sepupu sekaligus sahabatnya itu, dia sudah membuat Ara kesal setengah mati.
Puk
"Astagfirulloh!!" Kaget Ara, terlonjak saat seseorang menepuk pundak nya dengan keras dari belakang. Segera ia melihat siapa pelaku yang membuat dirinya kaget.
Mata Ara memicing, kepalanya turun naik meneliti penampilan seseorang di hadapanya. Seseorang itu tengah tersenyum tengil padanya. Senyum khas dengan gigi gingsul yang selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapapun yang melihatnya.
Ara kembali meneliti dari atas ke bawah, mengucek mata nya beberapa kali, memastikan bahwa yang dilihat nya adalah benar sepupunya. Ara mengabsen semua yang dikenakan Gadis itu, Snapback warna Hitam dengan lambang huruf G berwarna putih menjadi penutup kepala gadis itu. Jaket denim berwarna maroon menutupi kaos polos warna putih di dalam nya. Celana jeans hitam yang terlihat robek-robek di bagian lutut dan paha menjadi bawahannya, tak lupa sepasang sneaker warna putih dengan logo centang warna hitam menjadi alas kaki nya.
"Ari maneh kenapa jadi mirip cowo-cowo pakboy yang bawa ninja sih?" Cibir Ara kesal "so so pake anting-anting sebelah deuih" lanjutnya membuat gadis dihadapan nya terkekeh.
"Setidak nya gue lebih keren dari pada loe" ucap nya "loe kagak kangen gue?"
Ara terkekeh lalu menarik gadis di depan nya dalam pelukan "gue kangen nyolong mangga sama loe Gre" ucap Ara disela pelukan nya. Menyalurkan rasa rindu pada Shania Gracia, sepupu sekaligus sahabatnya itu.
"Gak usah terharu gitu ah, gue juga kangen jajan gorengan 5 ngakunya 3 bareng loe"
Kedua nya tertawa, melupakan fakta bahwa mereka masih di bandara dan kini menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.
__
"Kamu bukan nya makin cantik malah makin ganteng Gre" kalimat dari Sasya, mama dari Ara sukses membuat Gracia terbahak.
"Makasih pujian nya tante, tau kok aku keren"
"Kalo rambut kamu gak panjang, udah om kira aa aa loh" timpal Pras
"Kaya anak om sama tante bentukan nya bener aja" cibir Gracia, sambil menatap Ara dengan ekor matanya.
"Maneh minta di tampol Gre?" Ara mengangkat sendok di tangannya, mengarahkan pada Gracia "setidaknya gue masih ada anggun-anggun nya gak kaya loe" lanjutnya.
"Anggun gak tuh?" Ledek Gracia.
"Kalian ini tiap ketemu ribut mulu, mama pusing sama tingkah kalian. Awas aja bikin masalah di kampus" ancam Sasya pada keduanya.
"Gre itu anak baik tante, tuh anak tante yang harus di waspadai. Terakhir kali dia makan bakso sama Gre pas SMP, dia bilang yang bayar wali kelas nya. Ya ngamuk lah hahah" Ke empat nya tertawa mendengar kalimat Gracia.
"Loe jangan lupa Gre, yang bikin wali kelas gak masuk kelas gegara bolak-balik kamar mandi siapa hah? Loe kan yang masukin obat pencuci perut di makanan nya"
"Hahaha masih inget aja, siapa suruh gurunya nyebelin. Nyuruh gue bersihin kamar mandi satu sekolah"
"Salah loe yang dateng ke sekolah jam 9 anjir, orang mah jam 7 udah pada masuk"
"Salah loe yang ganti settingan alarm gue"
"Haaha sudah-sudah, nanti lanjut nostalgia nya. Habiskan makanan kalian" lerai Pras membuat kedua nya diam lalu melanjutkan makan.
__
"Lama banget ya kita gak ketemu" Ara membuka percakapan, mereka kini sedang menikmati secangkir kopi dibalkon kamar Gracia. Ditemani ribuan bintang yang mempercantik langit malam ini.
"Iya lama banget, gak nyangka gue kalo loe bakal tumbuh tinggi juga" ledek Gracia sambil terkekeh.
"Maneh fikir gue tanaman bonsai"
"Loe kan tumbuh nya kesamping bukan ke atas"
"Kumaha maneh"
Ara menyeruput kopi nya, lalu menyimpan nya kembali di meja "loe kok gak bilang mau kuliah disini?" Tanya Ara.
"Biar kejutan aja sih buat loe"
"So gaya banget hidup loe pake kejutan segala" cibir Ara "loe kenapa sih mau kuliah disini? nambah-nambah beban hidup gue aja tau gak" candanya memuat Gracia terbahak.
"gue tau sohib gue ini hidup nya gak asik, gapunya temen. Gue gak mau aja loe mati kesepian" ledek Gracia membuat Ara menatap tajam "jadi gue memutuskan untuk menemani loe, dan mengisi hari-hari loe dengan canda tawa riang gembira"
"Lisan loe emang gapernah di sekolahin"
"lah kan gue emang sering bolos sama loe" ucapnya lalu mengganti topik obrolan mereka "Btw, gimana gebetan loe?" tanya Gracia sambil menatap intens Ara yang kini dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya.
Ara menghela nafas dalam "masih bertahan sama cowok brengsek itu" Gracia menyadari ada amarah tertahan dari kalimat Ara "gue gak tau gimana caranya bikin dia sadar kalo hubungan dia itu gak sehat"
"Loe juga kenapa bego! Cinta kok di pendam mulu, sakit sendirian mampus kan maneh" ledek gracia membuat seutas senyum terbit di wajah Ara, senyum miris tepatnya.
"Gue terlalu pengecut bahkan untuk sekedar bilang kalo gue suka sama dia, gue takut rasa gue malah jadi beban buat dia. Tapi Yang paling gue takutkan adalah saat dia ngejauh dari gue, kalo dia tau gue cinta sama dia"
"Tapi loe belum nyoba Raa, gimana loe bisa tau respon dia bakal gimana"
"Gue gak berani bayangin nya Gre, yang penting buat gue saat ini adalah kebahagiaan dia. Cukup gue berada di sekitar dia dan menjaga dia dengan baik, itu sudah menjadi kebahagiaan tersendiri buat diri gue"
Gracia tertawa hambar "Otak loe sekali-kali dipake, jangan dipajang mulu. Mikir realistis dong, loe bilang cukup dia bahagia, tapi pada kenyataan nya apa dia bahagia dengan pilihannya? dia malah kesiksa kan? " kalimat Gracia berputar di kepala Ara, tak satupun kalimat yang dikeluarkan Ara sebagai jawaban atas pernyataan dan pertanyaan Gracia padanya "Perjuangin dia Raa, lepasin dia dari hubungan gak sehat yang sedang dia jalani. Loe gak mau kan dia terus-terusan terluka??" Gracia menjeda kalimat nya, sesekali memperhatikan ekspresi Ara "tunjukkin sama dia apa arti bahagia yang sesungguhnya. Gue disini bakal dukung loe" lanjutnya diakhiri dengan tepukan di Bahu Ara.
Ara tersenyum hangat, menatap lekat sahabat sekaligus sepupunya itu. "Kenapa gue gak cinta sama lu aja sih, kan gak bakal gue sakit sendirian" Ara terkekeh di akhir kalimatnya.
"Amit-amit tujuh turunan gue punya pacar macem loe, mending nyelem sumur aja gue mah"
"Suka malu-malu gitu ah, sini-sini gue peyuk"
"Jijik anjir!!"
= Tbc =
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro