~Delapan Belas ~
-Terimakasih karena tidak
merindukan aku- 😌😌
= Selamat Membaca =
___________________________
-Jangan membuang waktu,
Untuk seseorang yang jelas-jelas tak bisa membalas perasaanmu.
Karena yang kau dapat bukan hanya kecewa, tapi juga luka yang mungkin bisa membunuhmu-
||
Untuk pertama kali selama hidup nya gadis bergigi gingsul bernama Shania Gracia tidak memiliki nafsu makan sepertinya, makanan yang ia pesan tadi hanya di acak-acak tanpa berniat ia nikmati rasanya.
"Mau balik kapan?" Tanya Naomi setelah meneguk segelas air putih.
Berbeda dengan Gracia, Naomi masih semangat menghabiskan makanannya karena ia dijanjikan oleh Veranda yang akan datang ke Apartment nya setelah acara di keluarga Vino selesai. "Bentar lagi resto nya tutup, gue gak mau di usir secara tidak terhormat ya" lanjut Naomi namun tetap saja tidak ada jawaban dari lawan bicara nya.
"Dijawab Gracia Shania bukan malah nafas doang" kesal Naomi. Sedetik kemudian Naomi menatap heran saat melihat Gracia beranjak dari duduk nya.
"Eh eh mau kemana loe?" Panik Naomi saat melihat Gracia melangkah pergi.
"Katanya mau balik, malah nanya mau kemana" kesal Gracia "gimana sih loe?!"
Naomi menghelas nafas sebelum berkata "Iyaa tau balik, tapi jangan maen nyelonong aja dong"
"Lah ngapa?"
"Bayar anjir!!" Ucap Naomi cukup keras "gak usah pura-pura amnesia loe"
"Hehe maap aing lupa" Ucap Gracia sambil mengusap tengkuk nya.
"Halah bilang aja loe mau kabur. Pokoknya Sesuai perjanjian tadi, loe yang bayar semua nya"
Gracia menunjukkan cengiran nya saat ingat kejadian di Apartemen Naomi tadi. Ia berjanji membayar semua makanan asal tidak di suruh membereskan baju Naomi yang ia acak-acak tadi.
"Iya gue bayar. Loe tunggu di parkiran aja"
Naomi mengangguk lalu meraih tas nya "Jangan lama-lama, awas aja cuci piring dulu"
"Iya bawel"
Selesai dengan urusan bayar membayar, Gracia segera menuju parkiran.
Gracia segera memakai helm lalu naik ke motornya, di susul Naomi yang duduk di belakang.
"Loe mau ke Apartement atau ke tempat Veranda?" Tanya Gracia
"Yakali ke rumah Ve pas ada papa nya, bisa repot urusan" ucap Naomi
"Lah emang loe gak pernah ke rumah kak Ve atau ketemu bokap nya kak Ve?" Tanya Gracia heran, semakin heran saat Naomi menggelengkan kepala nya "Kenapa emang nya?" Lanjut Gracia bertanya.
"Ve belom izinin gue ketemu bokap nya, katanya nanti tunggu waktu nya tiba"
Gracia mengangguk, seperti nya ia harus melakukan sesi wawancara lebih banyak lagi nanti, siapa tau kisah cinta Naomi dan Veranda lebih menarik dari yang pernah ia lihat selama ini.
"Yaudah ayo balik. Gue nginep yak?"
"Serah. Asal pake adab!" Ucap Naomi membuat Gracia tertawa.
"Iyaa selo" ucap Gracia lalu menyalakan mesin motor nya dan melesat menuju Apartement Naomi.
__
Sempat tenang dengan hanya menikmati semilir angin malam, jantung Shani tiba-tiba saja berdegup kencang saat ia mendengar sebuah kalimat yang Vino lontarkan....
"Aku udah tau kalo sebenarnya kamu pacaran sama Gracia"
Sukses membuat Shani menegang di tempatnya.
Hening kembali setelah nya. Shani tak tahu apa yang akan ia katakan. Tak ada kalimat sanggahan yang terlintas di otak nya. Hati dan pikiran nya kompak membenarkan bahwa Shani dan Gracia memang resmi berpacaran.
Untuk beberapa saat Shani berfikir apakah ini saat yang tepat untuk memberitahu kebenarannya pada Vino? Apalagi keluarga nya dan keluarga Vino sedang berkumpul disini dan itu merupakan momen yang bagus bagi Shani bukan?
Tapi.. apakah semua nya akan semudah yang ia harapkan?
Lamunan Shani buyar saat kekehan ringan terdengar di telinga nya. Kekehan yang berasal dari Vino yang kini menoleh ke arah Shani lalu berkata..
"Aku hanya bercanda Shani, kamu kayanya serius banget mikir nya"
Kepala Shani sontak menoleh ke arah Vino lalu menatap penuh tuntutan.
"Maksudnya apa?" Tanya Shani dengan nada tak suka.
Sungguh ia sedang tidak memiliki selera humor dan tidak berminat untuk sekedar tersenyum menanggapi kalimat Vino yang kata nya 'bercanda' itu.
"Aku hanya bercanda. Aku tau kalo kamu gak mungkin pacaran sama Gracia" ucap Vino sambil menatap Shani "Aku tau kalo kamu gak mungkin selingkuh di belakang aku"
Senyuman tipis Vino tunjukkan di akhir kalimat nya, senyuman yang malah membuat Shani merasa tak suka karena merasa bahwa Vino hanya sedang menyindirnya.
Shani beranjak dari duduk nya, tak berniat mendengar lebih banyak kalimat yang keluar dari mulut Vino.
Kaki Shani melangkah dua kali namun kembali diam saat suara Vino terdengar di telinga nya.
"Kamu juga gak mungkin ngelakuin hal yang akan membuat papa kamu marah" Ucap Vino lalu ikut berdiri dan diam di belakang Shani "kamu gak mungkin membuat papa kamu malu jika benar anak nya selingkuh padahal sudah bertunangan kan?"
"Dan aku tau jika kamu bukan seorang pengecut yang---
"Kalo semua itu benar lalu kamu mau apa?!"
Kalimat dengan nada cukup tinggi dari mulut Shani membuat Vino diam tak melanjutkan kalimatnya. Lagi-lagi Vino tersenyum tipis saat mata nya menatap Shani yang kini berbalik ke arah nya.
"Sudah aku duga..." ucap Vino pelan lalu menghembuskan nafas kasar. Kedua mata nya kembali menatap dalam mata Shani yang kini terlihat lebih tajam Karena tersulut emosi.
"Kenapa Shan?" Tanya Vino membuat Shani menaikkan sebelah alisnya heran.
"Kenapa apa nya?" Tanya balik Shani
"Kenapa kamu ngasih dia kesempatan buat dapetin hati kamu, sementara aku gak dapet kesempatan sama sekali?"
Shani menggeleng, membantah dengan tegas kalimat tanya dari Vino barusan.
"Kenapa kamu gak belajar buat menerima aku seperti aku menerima kamu?. Kenapa kamu gak belajar mencintai aku seperti aku mencintaimu dengan sangat Shani!?"
Shani sedikit tersentak saat mendengar nada cukup tinggi di akhir kalimat Vino.
Kalimat yang terdengar penuh emosi membuat Shani sedikit bergidig ngeri.
"Kenapa kamu gak pernah sedikitpun menghargai apa yang aku berikan sama kamu Shan?"
Vino menunduk sejenak lalu menarik nafas dalam beberapa kali, ia harus mengendalikan diri agar tidak terpancing emosi dan malah memperkeruh keadaan.
"Udah?"
Vino mendongak, menatap Shani penuh tanya "maksud kamu?"
"Udah ngomong nya?" Ulang Shani namun tak memberi kesempatan pada Vino untuk menjawab lagi.
"Siapa bilang aku gak kasih kamu kesempatan buat dapetin hati aku?" Tanya Shani lalu mengikis jarak "siapa bilang aku gak belajar buat mencintai kamu?. Siapa bilang aku gak pernah berusaha buat nerima kamu kak?!"
Angin malam kembali berhembus kencang, sengaja menyapa dua insan yang saling menatap penuh luka.
"3 tahun kak Vino...." lirih Shani
"3 tahun aku berusaha untuk belajar menerima kamu. Belajar menerima kenyataan bahwa papa sudah menjodohkan aku dengan kamu. Belajar mencintai kamu, memahami kamu, bahkan belajar untuk bisa menjadi pendamping hidup sesuai dengan yang kakak harapkan"
Shani menjeda kalimat nya untuk menarik nafas dalam. Tak ada lagi yang harus Shani sembunyikan, tak ada lagi yang harus di tutupi. Biarkan semua beban yang Shani pendam selama ini ia utarakan.
Sementara Vino masih menunggu kelanjutan kalimat Shani, tak berniat menyela atau mengeluarkan argumen lagi.
"Tapi apa..." Ucap Shani "Semua nya sia-sia kak. Karenya nyatanya aku gak bisa memaksakan perasaan aku. Aku gak bisa terus berpura-pura menerima kamu, aku gak bisa terus hidup dalam bayang-bayang keraguan karena aku gak pernah bisa mencintai kamu kak!!"
Kedua mata Vino terpejam erat menahan sesak, hati nya terlampau nyeri mendengar kalimat Shani barusan. Jika saja ia tau kenyataan nya akan sesakit ini, ia tak akan memancing Shani untuk berkata jujur tadi.
Ia lebih memilih tetap berpura-pura tidak tau, memilih untuk diam saja saat tahu bahwa Shani mempunyai hubungan dengan gadis bernama Gracia itu.
"Apa tidak ada lagi kesempatan untuk aku Shan?" Kalimat Vino terdengar lirih di telinga Shani "apa tidak bisa kamu belajar mencintai aku sekali lagi?"
Tatap penuh harap disertai nada memohon dari Vino tak membuat Shani luluh, ia tetap menggeleng. Menolak dengan tegas permintaan laki-laki yang berstatus sebagai tunangan nya itu.
"Aku sudah berusaha sekuat yang aku mampu kak, aku cape.... "
Setetes air mata jatuh di sudut mata Shani Indira, perlahan mengalir di pipi tirus nya.
Vino mengikis jarak lebih dekat, kedua tangan nya terangkat hendak menarik Shani ke dalam pelukan, namun segera ia urungkan saat Shani malah mundur dua langkah lalu berkata..
"Aku mau selesaikan semua nya kak, aku mau kita--
" Enggak Shan!!!" Vino menggeleng dengan cepat "Aku gak mau kehilangan kamu, aku cinta sama kamu--
"TAPI AKU ENGGAK VINO!!" Teriak Shani membuat Vino bungkam. Hati nya kini semakin nyeri akibat teriakan Shani barusan.
Tidak adakah sedikit saja harapan untuk Vino? Padahal ia sudah berusaha keras untuk berubah demi Shani?
Tidak adakah kesempatan kedua, ketiga atau ke empat untuk Vino menunjukkan rasa cinta nya pada Shani?
Tidak bisa kah sedikit saja Shani mengerti dan merasakan bahwa Vino teramat mencintai Shani ?
Cukup lama Vino diam lalu akhirnya kembali berkata "Please Shan... Kasih aku kesempatan sekali lagi, aku janji akan turutin semua mau kamu, aku janji akan jadi seperti yang kamu inginkan"
Shani Indira hanya menggeleng pelan, dengan cepat ia menghapus kasar air mata nya lalu berkata...
"Maaf kak.. Aku gak bisa. Aku mau kita udahan".
__
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah keluarga Vino gadis bernama Shani Indira terlihat berbeda.
Beberapa kali Veranda bertanya dalam hati tentang apa yang terjadi dengan Shani dan Vino tadi. Namun Veranda masih bisa menahan diri unuk tidak bertanya sekarang, ia akan bertanya di rumah saja agar Shani bisa lebih bebas bercerita.
Sementara Shani saat ini masih bergulat dengan fikiran nya sendiri. Niatnya untuk segera memutuskan hubungan nya dengan Vino di hadapan keluarga Vino ia urungkan karena tak mau membuat papa nya marah dan malah semakin memperburuk keadaan.
Shani memutuskan untuk berbicara dulu dengan sang papa. Semoga saja sang papa bisa mengerti dan menerima semua keputusan Shani.
Tiba di kediaman nya Shani langsung turun lalu menyusul sang papa yang sudah berjalan masuk lebih dulu.
"Papa Shani mau bicara"
Sang papa berhenti berjalan, diam sejenak sebelum memutar tubuh nya menghadap anak bungsu nya itu. Niat nya untuk langsung beristirahat ia urungkan sejenak.
Sang papa tersenyum sebelum berkata "Yaa Shani. Bicara saja sayang"
Shani malah menatap ke arah Veranda sementara yang ditatap malah bingung karena Shani tidak memberitahu apa yang akan ia bicarakan dengan sang papa.
"Bisa kita duduk dulu sebentar?"
Sang papa menatap sekilas ke arah jam di pergelangan tangan nya "Baik" jawab nya singkat lalu melangkah menuju sofa, di susul oleh Shani dan Veranda.
"Ada apa? Sepertinya hal yang cukup penting?"
Shani mengangguk mantap "Sangat penting pah" jawab Shani membuat sang papa mengangguk.
"Silahkan bicara"
Shani menarik nafas dalam lalu menghembuskan nya perlahan. Sempat ragu untuk beberapa saat sebelum kembali memantapkan hati, meyakini bahwa saat ini adalah saat yang tepat.
Sementara Veranda menatap resah. Penasaran dengan apa yang akan di katakan Shani, dan apa yang harus ia lakukan nanti.
"Shani mau putus sama Vino"
Hening untuk beberapa saat.
Shani terlihat harap-harap cemas menunggu respon sang papa. Sekilas menatap Veranda yang juga ikut diam. Bahkan sepertinya bukan sang papa yang kaget saat mendengar kalimat Shani barusan melainkan kakak nya itu.
Veranda menatap Shani penuh tuntutan, namun malah di balas senyum yang di paksakan dengan sedikit anggukan.
Sementara sang papa mengubah posisi duduk nya menjadi lebih tegak, lalu melipat kedua tangan nya di depan dada.
Sejenak berfikir tentang kalimat Shani yang sangat tiba-tiba ini.
"Sangat tiba-tiba"
Sebuah kalimat yang menjadi respon dari sang papa, nyaris tak terlintas di fikiran Shani maupun Veranda.
Shani kira sang papa akan langsung marah atau minimal respon menakutkan lain nya.
"Shani sudah fikir matang-matang pa"
"Kasih papa alasan yang kuat"
"Shani gak cinta sama Vino"
"Terlalu klasik" jawab sang papa cepat membuat Shani diam sejenak sebelum berkata..
"Shani gak bisa hidup sama orang yang gak Shani cintai pah. Shani harap papa mengerti"
"Papa sangat mengerti. Tapi maaf alasan itu tidak cukup kuat untuk membatalkan perjodohan kamu dengan Vino"
"Tidak cukup kuat gimana pa? Jelas-jelas Shani gak bisa sama Vino karena Shani gak pernah mencintai Vino"
Sang papa mengangguk, ekspresi nya tak bisa Shani baca sama sekali.
"Cinta itu bisa datang karena terbiasa"
"Tiga tahun Shani menunggu untuk bisa terbiasa namun hasil nya percuma pah"
"Tak ada yang percuma Shani. Kamu hanya perlu membiasakan diri lebih lama lagi"
Sang papa berdiri sekali gerakan, berbalik sambil berkata "Papa kira perbincangan kita cukup. Permintaan kamu papa tolak. Selamat malam"
Sang papa melangkah meninggalkan Shani dan Veranda yang masih diam ditempat nya, namun baru 3 kali sang papa melangkah, langkah nya langsung terhenti saat Shani berdiri lalu berkata...
"Shani mencintai orang lain dan Shani gak bisa hidup tanpa dia pah"
Shani dan Veranda bisa melihat dengan jelas perubahan sikap sang papa. Rahang nya mengeras di susul kedua tangan yang mengepal erat.
Kedua nya menunggu respon apa yang akan di berikan sang papa, sambil bersiap jika sang papa langsung meluapkan amarah nya.
Namun setelah beberapa saat hal itu tidak terjadi, sang papa malah menghembuskan nafas kasar sebelum berkata...
"Bawa orang itu ke hadapan papa sesegera mungkin".
Shani dan Veranda masih bungkam bahkan setelah sang papa tak lagi terlihat di depan mata. Kedua nya hanya saling menatap sebelum akhirnya saling memeluk erat.
"Lain kali kalo mau ngomong kasih aba-aba dulu biar kakak gak kena serangan jantung"
Shani hanya mengangguk dalam pelukan Veranda. Shani juga tak tau kenapa dirinya bisa senekat ini.
Mungki semua ini karena ia terlalu mencintai Gracia, sehingga ia memiliki keberanian ekstra.
"Kakak mau ke Apartment Naomi, kebetulan pacar kamu ada disana. Kamu ikut aja biar kita cari solusi bareng-bareng ya?"
"Tapi papa?"
"Udah terlanjur basah, kita nyebur aja sekalian"
"Kaka yakin?"
"Pergi atau tidak pergi papa akan tetap murka. Setidak nya kalo papa nanti marah besar, kita udah punya solusi buat masalah ini"
Shani tersenyum lalu kembali memeluk Veranda "Makasih ya kak, maaf Shani ngerepotin terus"
"Sudah kakak bilang kalo kakak akan berdiri paling depan jagain kamu. Apapun resiko nya, kita hadapi sama-sama"
"Makasih kak, makasih"
__
Ara mematikan mesin mobil nya lalu segera turun. Sejak tadi wajah nya berseri, tak jarang senyumnya tercipta di wajah cantik nya yang mempesona. Alasan nya sederhana, ia baru saja menyatakan perasaan nya pada Mira dan jawaban nya diterima. Jangan tanya bagaimana bahagia nya Ara malam ini.
Yang jelas ia sangat amat bahagia ketika cinta nya mendapat balasan nyata, tidak seperti cinta nya pada.. Ah sudahlah.
"Malam pa ma" sapa nya pada kedua orang tua nya yang sedang duduk di sofa.
"Malam Ra.. tumben malam banget pulang nya?" Tanya sang mama
"Biasalah ma anak muda" ucap nya lalu terkekeh
"Loba gaya maneh teh" Ledek sang papa "kamu tuh ditungguin loh dari tadi sa --
"Udah ya pa besok lagi ngobrol nya Ara mau mandi. Dah papa dah mama"
"Ish anak itu"
Tanpa menghiraukan apapun lagi, Ara segera berjalan ke kamar nya, tangan nya meraih handle pintu, memutar nya lalu mendorong dengan semangat.
Tubuh Ara menegang sejenak, baru saja selangkah ia masuk, kedua mata nya sudah di kejutkan dengan kehadiran seseorang.
"Toko buku mana yang buka sampe malam banget begini?"
Ara tercekat, otak nya tak siap di beri kuis dadakan seperti ini. Tak ada jawaban atau alasan yang terlintas di fikiran nya.
Semakin gugup saat melihat sosok yang bertanya tadi, kini malah mendekat ke arah nya dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Sejak kapan kamu berani bohong sama aku?" Lanjutnya bertanya dengan tatapan yang mengunci, sukses membuat Ara tak bisa berkutik lagi.
"Ehm... Chik.....
"Jawab Ra!. Sejak kapan kamu berani bohong sama aku!?"
Ara memejamkan kedua matanya saat Chika sedikit berteriak tepat di depan wajahnya.
Oh ayolah Ara baru saja merasakan bahagia, kenapa cepat sekali perasaan nya berubah menjadi serba salah.
"Kamu bilang sama aku mau pergi ke toko buku sama Adek kamu, sementara kata mama papa kamu tadi kamu pergi sama temen kampus kamu"
Chika mundur satu langkah, kedua matanya masih menatap Ara penuh tuntutan.
"Aku gak bermaksud--
"Gak bermaksud apa Ra? Jelas-jelas kamu bohong sama aku!" Ucap Chika menggebu "kenapa kamu gak jujur aja sama aku kalo kamu emang pergi sama Mira!"
Ara kembali menatap tak percaya dengan kalimat Chika barusan, bagaimana bisa Chika tau jika Ara pergi dengan Mira. Setau Ara sahabatnya ini tidak memiliki keturunan cenayang atau paranormal.
"Kok kamu tau?"
Chika terkekeh, namun kekehan nya malah terdengar tak enak di telinga Ara. Membuat Ara mengusap tengkuk nya karena merasa salah tingkah.
"Sama siapa lagi kamu pergi kalo bukan sama Mira? Akhir-akhir ini kamu sering bareng sama dia kan?"
Ara tidak bisa membantah kalimat Chika yang memang benar adanya.
"Dan kamu juga sering cari alasan bahkan sampai bohong sama aku cuma buat pergi sama perempuan gak jelas itu!"
"Cukup Chik!" Bentak Ara tak terima dengan kalimat terakhir yang Chika ucapkan "kamu boleh maki aku, marahin aku, asal jangan bawa-bawa Mira!"
Chika memalingkan wajah nya kemana saja asal tidak menatap Ara. Emosi nya semakin menjadi saat Chika merasa bahwa Ara lebih membela Mira dibanding dirinya.
"Kamu berubah Raa..." Chika menunduk sejenak menahan sesak.
"Gak ada yang berubah Chik, kamu aja yang egois"
Chika kembali mendongak lalu menatap Ara "Iya aku egois Ra" tantang Chika "Aku egois, aku gak suka kamu dekat dengan siapapun, apalagi sama Mira"
"Kenapa Chik?" Tanya Ara "aku punya hak untuk dekat dengan siapapun"
"Tapi aku gak suka!"
"YA KENAPA!!?"
Chika terlonjak, tubuh nya menegang untuk beberapa saat. Matanya menatap tak percaya bahwa barusan Ara sudah membentak nya.
"selain berani bohong, kamu juga udah berani bentak aku Ra...?" tanya Chika lirih.
Ara mengerjap, sungguh ia tak sadar jika ia sudah membentak Chika barusan.
"Maaf. Maksud aku gak gitu Chik...
"Lalu apa? Jelas-jelas kamu bentak aku Ara!"
"Aku cuma mau tau alasan dari sikap kamu Chik. Alasan kenapa kamu larang aku untuk dekat dengan siapapun"
Chika diam sejenak, mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan Ara. Sambil mencoba untuk menenangkan hati nya yang kini semakin nyeri karena sikap Ara yang nyaris tak ia kenali.
"Kita sahabatan udah lama Raa, wajar kalo aku gak suka kamu deket sama dia. Dan semenjak kenal Mira kamu berubah Raa.. "
Giliran Ara yang terkekeh pelan saat mendengar kata 'sahabat' yang Chika ucapkan barusan.
"Itu masalah nya Chik... "
Chika menatap penuh tuntutan, semakin heran saat melihat Ara menutup pintu yang belum sempat ia tutup tadi, lalu mengikis jarak semakin dekat.
"Kamu tau kalo kita sahabatan udah lama.." ucap Ara pelan "kamu juga tau perasaan aku gimana sama kamu"
Ara menghembuskan nafas kasar nya, menyakitkan sekali rasanya ketika ia harus kembali membuka luka yang sebelum nya sudah perlahan ia obati dengan kehadiran Mira.
"Kamu tau kalo aku cinta sama kamu, tapi kamu gak pernah bisa bales perasaan aku kan?"
Jantung Chika tiba-tiba saja terasa tertusuk ribuan duri, ia nyaris lupa jika ia tak pernah sekalipun menanyakan bagaimana perasaan Ara sekarang. Ia hanya sibuk dengan perasaan nya sendiri yang masih saja di bayangi oleh mantan kekasih nya.
Chika lupa jika ada hati yang harus ia tanyakan kondisi nya, yaitu hati Ara.
"Kamu gak pernah bisa balas perasaan aku, tapi kamu juga gak pernah kasih kesempatan untuk aku gak mikirin rasa cinta aku sama kamu sehari aja" Ara menjeda kalimat nya, sesekali menarik nafas dalam guna sedikit meredakan sesaknya "Kamu gak pernah izinin aku untuk dekat dengan siapapun. Kamu selalu saja egois untuk aku selalu ada buat kamu, untuk ikut mengobati luka kamu, membuat kamu perlahan bisa sembuh dari luka, sementara kamu lupa jika perasaan aku juga terluka"
Seegois itukah Chika di mata Ara??
Bukankah Ara sendiri yang bilang bahwa Cinta nya tak mengharap balasan? Bukankah Ara yang berkata tidak apa-apa, cukup Chika tau bahwa Ara mencintainya, tanpa meminta Chika membalas perasaan cinta nya.
Lalu sekarang apa??
Seolah semua kalimat penenang yang pernah Ara berikan kini malah berbalik menyerang Chika?
"Bahkan Aku hanya dekat dengan Mira saja kamu marah kan? Kamu gak terima kan?? Lalu bagaimana aku bisa lupain rasa aku ke kamu? Bagaimana aku bisa sembuh dari cinta yang membuat aku perlahan terbunuh?"
Setetes air mata jatuh di sudut mata Chika, disusul tetesan lain nya. Melihat Ara terluka ternyata lebih menyakitkan dibanding melihat mantan kekasihnya lebih memilih bersama orang lain di banding Chika dulu.
Sekuat tenaga Chika berusaha menahan tangis nya agar tidak pecah.
"A-aku minta maaf Raa..."
"Kamu gak salah Chik...." lirih Ara "dari awal yang salah itu aku kan? Aku yang bodoh karena punya perasaan lebih sama kamu, yang akhirnya malah membuat kamu sempat benci sama aku"
Chika menggeleng pelan, sesekali mengusap kasar air mata yang kini semakin deras mengalir di pipi nya.
"Kamu gak bodoh Raa hiks..."
Seumur hidup Ara, ia berusaha untuk menjaga Chika sekuat tenaga. Berusaha agar sahabat sekaligus orang yang dicintainya tidak terluka apalagi sampai menangis karena apapun atau siapapun.
Tapi lihatlah, hari ini malah Ara sendiri yang membuat gadis itu menangis di depan matanya.
Ara semakin mengikis jarak, kedua tangan nya terangkat menangkup pipi Chika, mengusap air mata yang tak henti mengalir, malah semakin deras terlihat.
"Aku gak pernah minta kamu buat balas cinta aku dan itu benar Chik. Tapi tolong izinin aku buat buka hati aku untuk Mira" Ara mengusap kasar air mata yang ikut mengalir juga "Sekalipun aku tau kalo hati aku sepenuh nya masih milik kamu Chika. Tapi Mira pacar aku sekarang, dan aku mau belajar mencintai dia sekuat aku mencintai kamu".
Chika memejamkan kedua mata nya erat. Otak nya tak lagi bisa berfikir karena kini ia dilema. Hati nya malah bertanya bagaimana sebenarnya perasaan nya pada Ara.
Bukan kah selama ini sudah terbukti bahwa Chika tidak bisa jauh dari Ara bahkan mungkin tak bisa hidup tanpa Ara?
Lalu apa lagi yang harus ia sangkal dari perasaan nya selama ini?
Tapi.. jika Chika jujur dengan perasaan nya apakah bisa merubah semua nya? Bukan kah Ara kini sudah menjadi milik Mira?.
Seperti nya Chika tak lagi boleh Egois. Ara berhak menentukan pilihan terbaik untuk hidup nya, walaupun pilihan nya terasa sangat melukai Chika, entah karena apa.
Chika membuka kedua mata nya, mengambil tangan Ara lalu menurunkan nya. Dengan cepat ia menghapus air mata nya lalu memaksakan senyum nya.
"Araa... " ucap Chika "Kamu benar. Harus nya aku kasih kamu kesempatan buat ngelupain perasaan kamu ke aku"
Chika terus memaksakan senyum nya di saat hati nya sedang sekarat "Harus nya aku tidak pernah melarang kamu dekat dengan siapapun. Harus nya aku tidak selalu menjadi bayang-bayang kamu kan"
Ara masih terus mendengar dengan seksama, telinga nya ia tajamkan seolah tak ingin satu kata pun dari mulut Chika ia lewatkan.
"Sebagai sahabat..." nafas Chika sedikit tercekat, kenapa kata 'sahabat' yang sering ia ucapkan kini malah sulit dan menyakitkan untuk sekedar ia ucap.
"..Harus nya aku selalu dukung kamu, seperti yang selalu kamu lakukan untuk aku" Chika menjeda kalimat nya. Paru-paru nya terasa sesak, jika lebih lama berdiam disini, Chika takut ia tak bisa bernafas lagi.
"Aku minta maaf ya Raa buat semua nya"
Ara menggeleng pelan, perasaan nya semakin tak karuan karena kalimat Chika yang seolah menunjukkan perpisahan.
Chika mengusap sebelah pipi Ara, kembali tersenyum untuk terakhir kali nya sebelum berkata...
"Bahagia selalu ya Ara.. Aku pamit"
~~ Tbc ~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro