XXX
Sebuah ketukan halus membuat Sheira beranjak dari kasurnya dengan roman lemas. Sebenarnya, ia sudah menunggu ketukan tersebut sejak lima belas menit yang lalu. Rambutnya yang acak-acakan sengaja tak dirapikan. Kakinya berjalan dengan terseok-seok menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia menguap lebar. "Kenapa, Bi?"
Ijah cukup kaget melihat penampilan nona majikannya. "Habis Non belum sarapan. Jadi bibi datang, mau tanya sarapan Non mau diantar ke kamar aja atau gimana. Rupanya Non baru bangun, toh,"ujarnya.
Sheira hanya tersenyum tipis menanggapi celotehan asisten rumah tangganya. Ijah melongok ke dalam kamar yang tempat tidurnya masih berantakan. "Non gak bisa tidur, ya? Bibi perhatikan Non udah beberapa hari belakangan lemas kayak orang yang kurang tidur. Sekarang Non mau tidur lagi aja?" tanyanya ramah.
Di rumah itu, bukan rahasia lagi kalau nona majikan mereka adalah penderita insomnia berat. Sejak kejadian 9 tahun silam, Sheira sering menderita gangguan tidur. Sewaktu awal-awal kejadian itu terjadi, gadis itu bahkan bisa tak tidur selama berhari-hari karena mimpi buruk yang dialaminya. Seiring berjalannya waktu, gangguan tidur yang dialami gadis itu semakin menurun. Walau terkadang, ia bisa kambuh lagi seperti saat ini.
"Bi, boleh minta tolong tebus resep ini?" Sheira menyodorkan selembar kertas yang ia dapatkan dari dokternya. Kertas yang bertuliskan "estazolam" pun berpindah tangan dengan mulus.
Ijah mengangguk patuh, lalu menutup pintu. Membiarkan nona majikannya beristirahat dengan tenang. Sebelum beranjak dari pintu, ia sempat menatap iba pada pintu kamar tersebut. Ia merasa kasihan pada nona majikannya yang masih muda, tetapi harus menjalani hidup yang berat.
Selang beberapa jam berlalu, Sheira turun dan langsung berjalan menuju dapur. Kedua sudut bibirnya tertarik saat mendapati makanan kesukaannya—ikan asam manis. Gadis berkulit kuning langsat itu segera menyendok nasi dari rice cooker dan melahap makanannya dengan nikmat.
"Non, pelan-pelan makannya. Gak ada yang ngajak Non lomba, kok," tegur Ijah yang baru saja kembali dari belakang selepas mencuci sprei.
Sheira mengangguk patuh dan memelankan makannya. Matanya mengikuti pergerakan Ijah menuju kulkas. Binar senang tercipta saat melihat Ijah mengeluarkan jus sirsak. "Buat aku, Bi?" tanyanya senang.
Ijah mengambil gelas dan menuangkan jus sirsak itu ke dalam gelas. Kemudian, menyodorkan gelas tersebut pada Sheira yang menerimanya dengan senang hati. Hari ini, ia merasa sangat bahagia karena bisa memakan makanan kesukaannya dan minum minuman kesukaannya. "Makasih, Bi. Bibi yang terbaik," pujinya tulus.
Ijah mengangguk pelan dan tersenyum lebar. "Sama-sama, Non. Makan yang banyak, ya." Ijah kembali naik ke atas untuk membereskan setrikaannya.
Sepeninggal Ijah, Sheira kembali makan dengan lahap seolah ia tengah berlomba. Setelah menandaskan 2 piring nasi dan 2 gelas jus sirsak. Gadis dengan kaus berwarna hitam itu menaruh piring kotornya di wastafel. Tangannya terulur membuka keran, membasahi piringnya. Kemudian, bergerak menuju botol sabun dan menuangkan sabun tersebut pada spoons. Tangan kurusnya bergerak aktif meremas spoons tersebut agar berbusa. Setelah busanya cukup banyak, ia segera mengusapkan spoons tersebut pada piring kotornya dan juga sendoknya.
Selesai membilas, ia bergerak menuju lemari yang ada di dapur dan membukanya. Sesuai dugaannya, estazolam yang ditebus oleh Ijah sudah duduk manis di dalam sana. Ia pun menyambar obat tersebut dan membawanya ke dalam kamar. Ia akan menggunakan obat ini beberapa hari lagi, saat ulang tahunnya. Namun, sebelum itu, ia harus menggerus obat ini hingga menjadi bubuk.
***
Gadis berkucir itu tersenyum dalam gelap. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan satu bungkus plastik yang ia simpan di dalam saku celananya. Setelah membukanya, ia segera menuangkan bubuk yang ada di dalam plastik tersebut ke dalam gelas yang sudah ia hapal tempatnya. Ia bergerak cepat seolah tengah dikejar waktu. Bertepatan dengan ia memasukkan sisa serbuk tersebut ke dalam sakunya, lampu ruangan tersebut menyala.
Ia bisa melihat tatapan aneh Kirana padanya. Walau begitu, gadis itu memilih bungkam. Ia pun memutuskan untuk duduk kembali saja. Tak jadi mengambil tart mini seperti tujuan awalnya. Ia bersikap seolah tak terjadi apapun dan mendengarkan celotehan teman-temannya, walau tak sepenuhnya mengerti dan tertarik dengan obrolan mereka.
******
Di salah satu bangku di ruang tunggu bandara, seorang gadis duduk sembari menyumpal telinganya dengan earphone. Sesekali, ia bersenandung mengikuti alunan musik yang terdengar di telinganya. Kepala dan jemarinya juga sesekali bergoyang mengikuti irama.
"Wah!" desahnya kagum. Langit biru cerah tanpa awan yang ia lihat dari balik kaca membuat perasaannya jauh lebih ringan. Walau awalnya ia mengira tak akan merasa berat meninggalkan negara kelahirannya, tetapi begitu masuk ke ruang tunggu bandara hatinya terasa berat. Ia enggan meninggalkan negara tempat kelahirannya yang sudah ia tinggali selama hampir 16 tahun lamanya. Akan tetapi, ia memaksa langkahnya untuk masuk dan check in ke dalam.
Gadis berambut hitam legam itu menatap langit biru cukup lama. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Begitu terdengar pengumuman bahwa pesawatnya akan berangkat, ia pun bangkit dari duduknya. Tangan kurusnya menarik koper besar berwarna hitam, tas ransel berwarna senada mengantung manis di pundaknya. Sebuah tas kecil yang berisikan ponsel, powerbank, dompet, dan paspor serta tiket pesawat diselempangkannya di pundak.
"Dadah, luka. Dadah, Papa," bisiknya pelan seraya berjalan mantap menuju pesawat yang akan dinaikinya. Ia menyerahkan tiketnya pada pramugari yang tersenyum ramah padanya. Di sana tertulis tiket keberangkatan menuju Sydney dengan nama pemilik Sheira Agnesia Wirawan. Ya, ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya dan berangkat ke Sydney untuk memulai hidup yang baru.
Sheira duduk manis di tempat duduk miliknya. Senyumnya terlihat lepas. Sudah tiga bulan berlalu sejak permainan tersebut selesai. Jasad teman-temannya baru ditemukan dua minggu yang lalu. Kematian teman-temannya dianggap sebagai bunuh diri akibat kurangnya bukti. Saat mendengar hal tersebut. Ia merasa sangat lega dan juga puas.
Saat berada di arena bermain. Ia sudah sangat berhati-hati sampai-sampai ia tak sembarangan menyentuh dinding. Ia bahkan memastikan tak ada setetes pun keringatnya yang jatuh di lantai atau ludah miliknya yang menempel di mana pun agar ia tak menjadi tersangka. Preman-preman yang ia sewa ternyata juga pandai menghancurkan barang bukti hingga tak ada yang tersisa.
Ia memilih pergi ke luar negri hingga kasus tersebut terlupakan. Ia juga sudah meminta semua pria kekar itu berpisah dan pergi ke luar kota untuk beberapa waktu lamanya. Ia meminta mereka pergi secara bergilir, bukan semua sekaligus untuk meredam kecurigaan. Dan mereka semua memutuskan untuk tak berhubungan untuk sementara waktu hingga semuanya terkubur.
Sheira menatap langit biru dari balik jendela pesawat yang sedang terbang. "Ayo mulai hidup yang baru, Shei. Tanpa Papa, tanpa bayang-bayang Mama, dan mari kita cari teman bukan musuh," bisiknya pada dirinya sendiri. Ia sangat berharap, di hidupnya yang baru ini, ia bisa mendapatkan kedamaian. Jika ia tak bisa mendapatkan teman, setidaknya ia tak ingin hidup dalam neraka yang dikenal sebagai perundungan. Ia harap, kali ini takdir akan berpihak padanya.
------------------
1080.30072021
Yeay! Habis! Tamat!
Wah! Ini pertama kalinya aku nulis cerbung tamat dalam waktu 30 hari. Makasih banyak buat theWWG
Selamat buat teman-teman peserta ODOC, terima teman-teman seperjuangan aku di HMT Maharin Lynch_A MeltySari24
Selamat buat peserta odoc lainnya Quintis8 HalamanBaru FalufiAS Ria_cinthya Hanaksara meizarni jurutulis. momo_morinaa nuraiqlla Siskapuspus dan lain-lain
Maaf buat yang gak ke-tag
Makasih buat para admin WWG
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro