XXVI
"Ngomong-ngomong, kalau boleh tahu, kenapa Kirana dan teman-temannya ngerundung kamu?"
Gadis berkucir satu yang tak siap dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut tersedak oleh makanan yang baru saja ia kunyah. Pemuda berkulit putih itu segera menyodorkan segelas minum. Masih gemetaran, tangan kurus itu menerima gelas tersebut dan menyeruput minumnya hingga tandas.
"Kamu gak apa?" tanya pemuda itu khawatir. Ia merasa sedikit bersalah akibat pertanyaannya yang terlalu tiba-tiba.
Seulas senyum sendu dihadiahkan dari bibir pink tersebut. Walau tersenyum lebar, awan mendung yang mengelilingi gadis itu tak kunjung pergi. Rasa tak enak semakin meremas nurani pemuda tersebut.
"Kalau gak mau dijawab juga gak apa," ujarnya tak enak. Walau ia penasaran, tetapi ia masih mengerti apa itu privasi dan ia tahu itu adalah sesuatu yang tak boleh dilanggar.
Gadis itu menatap tangga yang ada di depannya. Pandangannya menerawang jauh ke masa silam. Kini, mereka tengah berada di ruang makan rumah gadis itu. Sudah hampir satu minggu lamanya pemuda itu nebeng makan di rumah gadis berkucir itu sepulang sekolah. Gadis itu yang mengizinkannya karena mengetahui ia tinggal sendiri di kos-kosan.
"Pembunuh," gumamnya pelan dan dingin. Namun, satu kata tersebut masih dapat ditangkap dengan baik oleh indra pendengaran pemuda tersebut.
Kening pemuda berkulit putih itu berkerut dalam. "Pembunuh?" beonya bingung. Ia sama sekali tak mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan berjalan. Lalu, apa yang dimaksudkan dengan 'pembunuh' itu? Apa benar-benar ia telah membunuh orang atau bagaimana?
Tawa miris meluncur dari bibir pink tersebut. "Aku pembunuh." Nasi yang tersaji di piring tak lagi menarik minat gadis itu. Terlihat dari gerakan mengaduk ke sembarang arah. Pandangan matanya pun hanya menatap lurus pada anak tangga terakhir yang terletak jauh di depannya.
"Aku pembunuh, Ran. Aku udah bunuh Mama kandung aku, aku juga udah Bunuh Mama Stephanie." Tangis gadis itu pecah. Bahunya bergetar hebat. Bulir demi bulir kristal bening itu meluncur turun dengan derasnya menghiasi kedua pipi tirus gadis itu.
Randy bangkit dari duduknya. Ia masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis itu. Walau ia pernah mendengar rumor bahwa gadis itu membunuh ibu tirinya, tetapi ia yakin itu hanyalah rumor semata. Gadis penakut seperti Sheira tak mungkin membunuh orang.
"Tenang dulu, Shei. Sepertinya ada yang salah. Kamu bukan pembunuh. Aku yakin itu," ujarnya penuh keyakinan membuat isakan Sheira terhenti.
Gadis berkucir satu itu tertegun sejenak. Benarkah ia bukan pembunuh? "Kalau gitu, kenapa papa benci banget sama Shei?" gumamnya tak mengerti. Kepalanya menggeleng kuat.
Ia memang tak membunuh wanita yang telah melahirkannya secara langsung. Akan tetapi, tetap saja ialah penyebab kematian ibu kandungnya. "Mama meninggal setelah melahirkanku," ujarnya memberi tahu. "Itu artinya aku pembunuh Mama," simpulnya getir.
Randy meremas kedua bahu gadis itu lembut. Ia memaksa gadis itu mendongak dan membalas tatapannya. "Kamu bukan pembunuh, Shei. Kamu gak membunuh mama kamu. Aku yakin mama kamu juga gak punya pikiran kayak gitu," jelas Randy lembut.
Mata gadis berkulit kuning langsat itu membulat. Benarkah itu? Benarkah semua ucapan Randy? Mama tak menganggapnya sebagai pembunuh. Apa memang benar begitu. Sedetik kemudian, ia menggeleng kuat. Bukan. Pasti bukan. Semua yang Randy katakan hanyalah kebohongan semata. Ia tahu itu. Walau begitu, ia merasa senang.
"Terima kasih," ucapnya tulus. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Binar senang itu pun mencapai kedua mata indah milik Sheira.
"Mama Stephanie itu ibu tiri kamu?" tanya Randy mengalihkan pembicaraan.
Kepala itu terangguk pelan hingga ekor kuda di belakangnya pun ikut terayun. "Mmhm ... Mama Stephanie sama Papa menikah pas aku umur 5 tahun," ujarnya seraya mengenang kembali beberapa potong memori bahagia di masa kecilnya.
****
Siang itu, Sheira baru saja kembali dari sekolah. Ia menatap seorang wanita cantik yang berada di ruang tamunya. Namun, yang lebih membuatnya senang adalah pria yang selama ini ia rindukan juga turut berada di sana. "Papa!" seru gadis itu seraya berlari menyongsong ke arah sang ayah.
Kepala Kevin berputar ke asal suara. Tatapannya dingin sekaligus tajam membuat rona bahagia di mata gadis kecil itu sirna. Ayunan langkah dari kaki kecil itu terhenti akibat instingnya. Matanya menatap sang ayah dengan gugup.
"Dia akan jadi Mama kamu. Baik-baiklah padanya." Setelah mendiamkannya selama lima tahun, akhirnya sang ayah berbicara dengannya. Namun, hanya dua baris kalimat itu yang terlontar. Itu juga dengan nada yang amat datar seolah pengumuman barusan tak begitu penting. Lagi-lagi, gadis kecil itu harus menelan pil pahit yang bernama kekecewaan. Anggukan pelan ia berikan dan pria tersebut pun pergi meninggalkannya. Membawa wanita cantik itu dengan perlakuan hangat nan ramah.
Waktu bergulir begitu cepat. Akhirnya, pernikahan tersebut datang. Walau begitu, Sheira tak begitu kecewa karena mama barunya terlihat baik. Ia juga sudah beberapa kali mengobrol dan bermain dengannya. Ia bisa merasakan kehangatan seorang ibu darinya. Walau dalam beberapa waktu, Sheira terkadang merasa takut dan juga merinding di kala berdekatan denhan wanita itu. Ia tak mempermasalahkannya sama sekali. Berkat wanita itu, ia bisa mendengar ayahnya berbicara padanya.
*****
"Mereka menikah, lalu Mama Steph pindah ke sini. Mama orang yang baik. Dia hangat. Walau begitu, terkadang Mama Steph bisa berubah kayak orang lain. Setahun tinggal bareng Mama Steph, aku belajar apa itu kasih sayang seorang ibu. Kadang-kadang, Mama Steph sangat mengerikan. Mama bisa tiba-tiba marah, lalu memukulku. Memaki dan menginjakku," kenang gadis berkucir satu itu sendu.
Randy masih diam menyimak. Ia merasa bahwa ia tak boleh menyela sama sekali. Selain itu, ia juga sangat penasaran. Sesekali, jemarinya meremas jemari Sheira saat gadis itu tercekat.
"Sampai insiden itu terjadi," ujar gadis itu pahit. Kedua matanya memejam kuat. Insiden mengerikan itu masih tercetak jelas di dalam benaknya. Bahkan hingga rasa sakit dan takutnya. Ia sampai gemetar hanya karena mengingatnya saja.
Rasa iba menyentil nurani pemuda itu. Ia merasa ini harus dihentikan. Walau ia tahu inilah puncaknya, tetapi ia merasa sudah mengorek luka gadis itu terlalu dalam. "Kalau gak kuat gak usah dilanjutin, Shei. Aku gak maksa, kok. Nanti-nanti aja kalau kamu udah sanggup lanjutin."
Gadis berkucir itu menggeleng tegas hingga kucirannya ikut bergoyang-goyang. "Gak! Aku gak apa-apa. Aku masih sanggup," seru gadis itu
Randy tercekat. Ia tahu, luka itu masih menganga sempurna bahkan mungkin sudah bernanah atau perlahan tengah membusuk. Dan tak ada yang mencoba untuk mengobatinya. Gadis itu hanya berjuang sendiri tanpa tahu bagaimana harus menanganinya. Ia menarik gadis itu dalam pelukannya. Sebuah tepukan pelan ia berikan di punggung gadis itu.
Sheira merasa tenang. Rasa takutnya meluruh di dalam pelukan Randy. Ia pun menelan salivanya dan melanjutkan, "Hari itu Papa ulang tahun, aku dan Mama Steph bikin kue buat Papa. Setelah semua selesai, aku pergi mandi. Dan Mama Steph nerima telepon, aku gak tahu itu telepon dari siapa. Tapi kayaknya dari Papa. Setelahnya, Mama tiba-tiba marah. Aku gak ngerti. Mama cuma langsung jambak aku dan mulai mukulin aku. Mama teriak-teriak ngatain aku jalang cilik."
Randy semakin mengetatkan pelukannya. Ia bisa merasakan ketakutan dan kengerian gadis itu karena tubuhnya gemetar hebat. Ia tak bisa membayangkan seberapa mengerikannya kejadian itu. Masih berusia 6 tahun dan harus menerima siksaan mengerikan. Sementara, sang ayah malah tak peduli sama sekali.
"Aku kabur. Rasanya sakit. Aku takut. Aku lari ke tangga dan Mama kejar aku. Pas aku sampai di mulut tangga, Mama berhasil nangkap aku. Tapi Mama oleng. Lalu kami jatuh. Rasanya sakit. Cuma setelah jatuh aku sedikit senang karena siksaan itu berhenti. Setelahnya, aku gak tahu apa-apa. Aku masuk rumah sakit. Katanya, aku gak sadarkan diri selama 3 bulan karena kepalaku terbentur. Sedangkan, Mama Steph meninggal karena kejadian itu. Aku dengar dari orang-orang, Mama Steph punya penyakit bipolar. Sejak saat itu, Papa semakin dingin padaku.
"Setiap aku sapa, Papa hanya melengos. Bahkan aku bisa gak lihat muka papa selama setahun penuh. Kayaknya Papa anggap aku udah ngebunuh dua orang yang dicintai sama dia, makanya Papa begitu. Padahal kalau bisa, aku mau aja gantiin Mama dan Mama Steph buat meninggal. Rasanya capek, Ran. Buat apa aku hidup kayak gini? Tapi mau bunuh diri juga gak bisa. Aku gak berani ketemu Mama nanti karena Mama sudah mengorbankan nyawanya untukku. Jadi, yang bisa kulakukan hanya hidup kayak orang mati," ungkap gadis itu menumpahkan segala yang ia pendam selama ini.
"Kamu gak salah apa-apa, Shei. Ini semua bukan salah kamu. Yang salah adalah orang dewasa yang gak mau peduli sama kamu. Sama luka kamu," balas Randy seraya menepuk pelan punggung Sheira. "Jadi, Kirana rundung kamu karna rumor ini?" tanyanya geram.
Sheira mengangguk pelan. "Anggap aja ini hukuman buat aku karna udah jadi alasan kematian Mama dan Mama Steph."
Siang itu, gadis berkucir kuda ini tahu bagaimana leganya setelah membagikan beban. Ia merasa hidupnya sedikit lebih ringan karena ada pundak untuk bersandar. Luka yang bernanah, perlahan mengering dan terobati.
---------------------
1414.26072021
Heiho! Ada yang mau masuk ke kapal Shei-Ran?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro