XXIX
Gadis berambut sebahu itu menatap gadis yang ada di hadapannya tajam. "Kamu gila!" makinya geram. "Hanya karena itu kamu bikin permainan sinting kayak gini?" tanyanya tak terima.
Tawa sinis meluncur dari bibir pink tersebut. Ia menatap gadis berambut sebahu itu nanar. "Hanya? Kamu bilang hanya?" Nada tak percaya terdengar kental di setiap kata yang meluncur dari bibirnya.
Gadis berambut sebahu itu menelan salivanya susah payah. Ia tahu sekarang, apa yang ia perbuat salah. Namun, rasa gengsi membuatnya enggan mengakuinya di depan Sheira. Ia merasa, jika ia mengakui hal tersebut, harga dirinya akan jatuh. "Itu kan cuma main-main. Kamu juga tahu, 'kan?"
"Cuma main," sinis Sheira geram. Ya, mau bagaimana pun ia menuntut gadis yang ada di hadapannya, gadis itu akan selalu berkilah kalau dirinya hanya bermain. Bermain bersama teman yang ia tahu, seharusnya tidak membuat salah satunya sakit hati atau terluka. Dan di matanya, apa yang Kirana lakukan bukanlah bermain.
"Sampai akhir pun kamu tetap sampah, ya?" ejek Sheira seraya berkacak pinggang. Kepalanya ia dongakkan ke atas guna menghadang air yang hendak membanjiri pipinya. Napasnya tertahan agar ia tak jadi terisak di depan Kirana hingga membuat harga dirinya terluka.
"Kamu yang lebih sampah," teriak gadis berambut sebahu sembari melayangkan sebuah batu bata ke arah Sheira yang tak siap.
Tak ayal, kening Sheira pun menjadi korban. Ia sempat terhuyung sejenak. Cairan kental berwarna merah meluncur turun ke alis gadis itu. Tawa meluncur dari bibir pink tersebut.
Kirana yang melihat hal itu hanya bisa terpatung. Ia merinding mendengar tawa lepas Sheira. Roman ngeri tercetak di wajahnya. Takut-takut, ia melangkah mundur dengan mata memandang awas pada lawannya. Sambil sesekali, melirik cermat ke setiap sudut ruangan guna mencari jalan keluar.
Walau perutnya sudah mulai kram, Sheira tak menghentikan tawanya barang sedetik pun. Sembari tertawa, jemari kurusnya bergerak ke sudut mata, menyusut air matanya yang merembes keluar. Tangan kirinya meremas perutnya yang kram. "Kamu tuh lucu banget, deh," ujarnya di sela-sela tawanya.
Menyadari Kirana sudah berpindah tempat. Sheira menghentikan tawanya. Ia menatap tajam gadis itu, lalu berlari mendekatinya. Ditariknya rambut sebahu gadis itu hingga kepalanya terdongak. "Mau ke mana kamu?" bisiknya pelan.
Kirana menelan salivanya gugup. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat, mempertimbangkan apa yang harus ia perbuat sekarang. Namun, tak ada satu ide pun yang menyapa otaknya. Tangannya terulur ke belakang dan langsung menarik kucir kuda itu kuat hingga si empunya meringis kesakitan.
"Lepas! Lepasin gak?" ancam Sheira gusar. Tarikan kuat Kirana membuatnya merasa rambutnya akan segera lepas dari kulit kepalanya.
Tawa sinis meluncur dari bibir tipis Kirana. "Lepas? Kamu duluan yang lepas," titah gadis itu tak terima.
Sheira mendecih pelan. "Di hitungan ketiga, kita lepas sama-sama," tawarnya membuat Kirana menyetujui. Gadis berkulit kuning langsat itu mulai berhitung. Dan pada hitungan kedua, aksi saling jambak itu pun telah terhenti. Keduanya mengambil posisi siap dengan masing-masing tangan menyambar senjata yang sempat terlupakan. Kirana menggenggam dua buah anak panah yang tersisa. Sedangkan Sheira memainkan palunya.
Saat Kirana menerjang ke arahnya, Sheira dengan cepat berkelit. Tujuan utamanya adalah untuk mematahkan anak panah tersebut agar tak ada lagi sejata milik Kirana yang tersisa. Dengan begitu, ia akan lebih mudah menghabisi gadis itu. Sekali lagi, Kirana menerjang ke arahnya. Namun, kali ini Sheira tak langsung menghindar. Ia menunggu dan terus menunggu hingga tersisa 5 langkah. Sheira mengayunkan palunya ke arah tangan Kirana. Ia beruntung karena pukulan tersebut langsung kena dan anak panah yang digenggam Kirana pun lepas.
Sheira segera menendang anak panah tersebut setelah melayangkan sebuah hentakan kuat. Ia benar-benar beruntung kali ini. Walau ia harus merelakan sebuah pukulan mendarat di perutnya hingga ia terjengkang.
Sebuah ringisan meluncur dari bibir pink tersebut. "Kamu gak mau nyerah aja? Bunuh diri sana biar kerjaan aku jadi gampang." Sheira bangkit dari posisinya dan berusaha berdiri tegak.
"Kamu kira aku gila? Aku gak gila kayak kamu! Ngapain kamu bikin kayak gini? Atau jangan-jangan, rumor yang bilang kamu pembunuh itu benar adanya?" tuding Kirana. Dalam hati, ia berharap bahwa perkataannya tidak benar. Sebab, jika itu benar, saat ini Sheira pasti tak akan segan-segan membunuhnya.
"Rumor? Ah! Soal aku bunuh Mama-mamaku? Yah, kamu boleh anggap itu benar. Boleh juga anggap itu salah. Kurang lebih kayak gitu, deh," jawab Sheira ambigu membuat Kirana sedikit demi sedikit menciut. Ia yakin Sheira sudah tak waras. Salah sedikit saja, ia akan segera menyusul Randy dan lainnya di alam seberang.
Senyum tipis bertengger di wajah manis Sheira. Ia memainkan kucirannya tenang. "Kalau ngapain aku bikin kayak gini .... Bukannya ini keinginan kalian? Ini permintaan kamu dan Randy, loh. Kalian yang ingin main, aku hanya menyediakan wahananya. Kurang baik apalagi aku?" tanya Sheira sepolos mungkin.
Kirana menggeram. Lagi-lagi Sheira mengatakan bahwa ini permintaannya dan Randy. Memang benar ia dan Randy tengah bosan. Akan tetapi, ia tak pernah bermaksud untuk bermain seperti ini. "Gak! Kamu salah! Aku dan Randy gak pernah pengen main yang kayak gini. Kamu gila! Ini udah di luar kemampuan kita. Skala permainan yang kamu buat terlalu besar sampai menimbulkan korban jiwa," isak Kirana mulai pecah.
Sheira terdiam sejenak. "Kamu nyesal?" tanyanya pelan. Sedetik kemudian, ia menjawab pertanyaan tersebut sendiri. "Mana mungkin kamu menyesal. Kamu kan selalu nganggap semuanya cuma main-main. Jadi, jangan salahin aku dong. Aku kan belajar dari kamu," jelas gadis itu santai.
"Aku ... ini semua kan gara-gara kamu. Kamu yang bikin semua ini jadi rumit," tuduh Kirana tak terima disalahkan.
Sheira mengangkat bahunya tak acuh. "Ya, terserah kamu aja. Yang penting, kamu cuma perlu ingat. Ini semua berawal dari kalian. Kalian mau anggap aku monster? Terserah!" Sheira menatap Kirana, lalu menatap ke belakang Kirana dengan saksama, seolah tengah mengukur sesuatu. "Tolong geser ke kiri 4 langkah," pintanya.
Kirana menyerngit. Untuk apa Sheira memintanya geser? Pasti ada jebakan lagi! Ia tak akan geser. Ia akan terus berdiri di tempatnya.
Melihat Kirana yang diam. Senyum Sheira terkembang lebar. "Oh, ya udah kalau gak mau geser." Sheira mengambil ancang-ancang, lalu berlari secepat yang ia bisa, lalu menabrak Kirana kuat.
Kirana yang bingung menjadi tak siap dengan serangan tiba-tiba itu. Tubuhnya terhempas dan menabrak triplek di belakangnya yang langsung terjatuh begitu terhantam tubuhnya. Teriakan Kirana menggema hingga ke ruangan tempat Sheira berdiri. Tak lama, suara debuman keras menyapa indra pendengaran Sheira menggantikan teriakan nyaring Kirana. Senyum puas terbit di wajahnya.
"Coba aja kalau kamu dengerin kata aku," desahnya lega. Gadis berkucir itu pun mengambil tali katrol yang telah diikat pada jendela di ruangan tersebut dan tertutupi oleh kertas wallpaper putih. Setelah mengaitkan pengaman, gadis itu turun perlahan ke bawah.
Beberapa orang bersetelan hitam—yang sebelumnya memindahkan mereka—telah menunggu dengan posisi siap. "Anda sudah selesai, Nona?" tanya seorang pria botak dengan codet di sebelah kanan matanya.
Sheira mengangguk sekali. Ia menatap gedung terbengkalai itu dengan senyum puas. Akibat bosan sendirian di rumah, ia menemukan gedung ini satu tahun yang lalu. Di sini pula lah ia bertemu dengan preman-preman ini. Ia tak tahu mengapa dan bagaimana gedung tinggi ini berakhir seperti ini. Namun, menurut pria-pria yang ada di hadapannya ini, gedung tersebut menjadi seperti sekarang karena adanya sengketa tanah. Mereka juga tak begitu paham duduk permasalahannya. Namun, satu hal yang mereka tahu dengan jelas. Tak ada yang pernah mengunjungi gedung tersebut selama satu setengah tahun terakhir. Dan gedung tersebut masih belum jelas mau diapakan.
Berkat hal tersebut, Sheira dapat menyalurkan rasa penasarannya hingga puas. Matanya menatap satu per satu pria kekar itu dengan cermat. "Bereskan dekorasi bermain yang ada tempat ini. Bawa pulang semua benda dan bakar. Jangan menyisakan satu barang pun sebagai barang bukti," titahnya membuat kelima pria kekar itu mengangguk patuh.
Saat Sheira mengambil langkah menjauh, Cepak menghalangi langkahnya. "Untuk mayatnya bagaimana?" tanyanya bingung.
Sheira terdiam. Berpikir sejenak sebelum memutuskan, "Jangan sentuh mayatnya. Satu pun jangan. Lalu, jangan meninggalkan satu buah jejak pun. Baik itu sidik jari kalian, atau setetes ludah. Bahkan setetes keringat pun tak boleh. Jika tertinggal, saya tidak akan bertanggung jawab. Kalau sudah selesai, hubungi saya," terangnya lagi.
Sheira pun mengayunkan langkahnya pergi. Baru tiga langkah, ia membalikkan tubuhnya dan bertanya, "Apa kalian sudah menyewa kamar untuk saya? Saya perlu mandi dan ganti baju. Sudah berapa lama saya di sini?"
Botak mengangguk kecil. "Sudah, Nona. Makanan Anda juga sudah kami persiapkan. Semua sesuai dengan permintaan Nona. Dan Nona sudah seminggu penuh berada di sini," jawabnya sopan.
Sheira mengangguk puas. Ia pun pergi ke penginapan kecil yang berada di dekat sana. Dan masuk ke kamar yang sudah dipesankan untuknya. Senyum puas tercetak di wajahnya karena pekerjaan kelima pria kekar itu sesuai dengan keinginannya. Setelah membersihkan diri, Sheira pun makan makanan yang sudah disediakan untuknya. Rasanya tak buruk walau tak begitu enak. Walau begitu, ia puas.
Setelahnya, gadis itu memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya. Walau ia sudah menghukum Kirana, Randy, beserta teman-teman mereka, entah mengapa, ia masih belum merasa lega. Ia sama sekali tak mengerti. Padahal, awalnya ia mengira ia akan merasa senang seperti yang pernah dikatakan oleh Randy suatu siang. Sheira memejamkan matanya, walau tak bisa tidur karena otaknya terasa penuh.
Perlahan, telinganya tak lagi menangkap suara-suara bising dari luar. Napasnya pun mulai teratur seiring dengan pikirannya yang mulai berkabut. Ia terlelap hingga ia mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya. Ia tak tahu berapa lama ia tertidur, tetapi saat ini ia merasa lebih segar.
"Kita sudah membereskan semuanya, Nona," lapor Botak bercodet.
Sheira mengangguk puas. Ia mempersilakan kelima pria itu masuk ke dalam kamarnya. Lalu, mengacak-acak isi tasnya dan mengambil satu buah tas kecil berwarna hitam dan melemparkan tas tersebut ke arah botak. "Itu bayaran kalian," ujarnya. Lalu tangannya kembali mengorek isi tas dan mengeluarkan satu buah amplop yang lumayan tebal. "Ini bonusnya. Kalian sudah bekerja keras," lanjutnya.
Setelah kelima pria tersebut memastikan isinya adalah uang dengan jumlah yang pas. Kelimanya pun berterima kasih padanya. Sheira bergerak ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar. Ia mengarahkan kepalanya keluar sebagai isyarat untuk mengusir kelima pria itu. Setelahnya, ia bersiap-siap untuk kembali ke rumah. Ia tak takut dicurigai oleh asisten rumah tangganya karena ia sudah coba berpergian sendiri sejak kelas 1 SMP berhubung sang ayah tak pernah mengajaknya jalan-jalan.
-----------------
1663.29072021
Panjang? Yak! Emang lebih panjang dari biasanya. Mudah"an gak mabok yak soalnya ini juga udah banyak yang kubuang.
Makasih buat yang udah baca dan vote.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro